Semua anak buah dikerahkan, tetapi Salwa tak kunjung ditemukan. Ponsel yang mereka cari justru ada di pos pengaduan, ditemukan oleh security setempat.Sean meremas rambutnya, berteriak lantang. Salwa, Salwa, Salwa, hanya nama itu yang sejak tadi membelenggu pikirannya. Dia bisa gila jika tak kunjung menemukan perempuan itu. Bekerja keras selama ini dia lakukan hanya karena ingin secepatnya menjemput Salwa, menemani sang istri di masa kehamilannya. Ia ingin menyenangkan perempuan itu yang belum merasakan bagaimana menjadi seorang Nyonya Arthur sesungguhnya.Sean tidak bisa berpikir jernih. Kebingungan kerap kali melanda jika dihadapkan dengan keselamatan Salwa. Berteriak, memaki, memarahi, juga menendang apa saja yang ada di hdapannya. "Periksa CCTV!" perintahnya setelah mengeluarkan amarah yang menggebu di dada.Semua orang segera menuruti, bertindak cepat untuk memeriksa rekaman kamera pengawas demi mencari keberadaan Salwa.Hampir lima belas menit berlalu, Sean sudah tidak bisa lag
"Maksud Tuan?"Salwa ternganga mendengar penuturan mengerikan yang baru saja terucap dari bibir Yang Pohan. Menghabiskan malam berdua tanpa ada yang mengganggu? Apa yang sesungguhnya lelaki itu inginkan?"Tentu kau tahu maksudku. Malam ini, di kamar ini, kita berdua ... tidak ada yang lain."Iris hitam membulat, tatkala lelaki itu tanpa bertanya mengangkat tubuh Salwa, membawa perempuan itu dalam gendongannya. Salwa berteriak, memukul-mukul tubuh Yang Pohan tiada henti. Hingga lelaki itu menurunkannya tepat berbaring di atas ranjang. Dia ingin segera bangkit, tetapi tangan lelaki itu mendorong bahunya lagi. Tubuh yang sempat beranjak, berakhir tumbang di atas kasur dengan mata membeliak marah.Wajahnya memanas menatap lelaki yang kini telah menanggalkan pakaian atasnya tanpa ragu. Mencoba melarikan diri, tetapi pergerakan tubuhnya tertahan oleh lengan lelaki itu secara tiba-tiba.Tubuh perempuan itu tampak indah dengan lekuk yang menggoda. Tiada goresan yang sedikit pun membekas bera
Ruangan yang tercium bau desinfektan bercampur karbol, terdapat dua orang yang sedang bersitegang. Di antara mereka, ada seorang wanita berumur yang tengah terbaring lemah dengan banyak kabel-kabel penunjang kesehatan berserakan di atas tubuhnya. Salah seorang laki-laki tampak tersenyum, tetapi senyumannya begitu menyedihkan."Sudah ketemu siapa pendonor jantung yang cocok?"Seorang laki-laki masih menunduk, tetapi mengangguk tanpa berani memandang sosok di depannya. "Kami sudah mendapatkan riwayatnya dan sangat cocok dengan apa yang kita butuhkan. Kami akan membawanya segera."Ibu jari mengusap bibir, menunjukkan senyum tipis kemudian. "Cepat laksanakan! Kita membutuhkannya untuk melakukan banyak observasi sebelum transplantasi itu dilakukan."***Yang Pohan memeluk Salwa, seolah tak rela membiarkan tubuh itu beralih ke atas brankar. Sangat jarang ada kesempatan memeluk wanita itu sesukanya seperti saat ini jika Salwa dalam kondisi sadar. Namun, tiada yang bisa ia lakukan selain menu
Wajah Sean tampak pasi, begitu banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Ia menolak untuk dibius secara total karena takut tertidur cukup lama dan melupakan Salwa. Alan hanya bisa mendengkus, kekeraskepalaan Sean ini cukup membuat lelaki itu membahayakan nyawanya sendiri. Sean seharusnya dalam kondisi tidur, berbaring setelah proses menjahit luka tembak untuk mempercepat pemulihan. Namun, alih-alih beristirahat, Sean justru menggunakan waktunya untuk mencari keberadaan Salwa."Cari tahu tentang laki-laki itu, Anders Ramunsen." Wajah pucatnya sungguh terlihat. Alan semakin mencemaskan konsdisi lelaki itu, tak menghiraukan kesehatannya, justru bekerja keras dan memforsir pikirannya.Di sisi lain, penembak jitu yang dikerahkan oleh Yang Pohan berhasil menangkap dua orang asing mencurigakan yang sempat kabur menggunakan parasut. Mereka meringkuk menahan sakit di bagian lengan serta kaki.Malam itu yang sehrusnya digunakan untuk beristirahat, justru menjadi malam mencekam yang penuh dengan
Sean menyandarkan tubuhnya di kursi sofa. Mata berkunang-kunang, merasa pusing dengan beberapa kali menggelengkan kepala demi meraup kesadaran agar dirinya tetap terjaga.Alan tetap setia memeriksa detak jantung, luka yang tertutup perban tebal di tubuh lelaki itu. Bahkan, dia memberikan perban dengan berlebih agar luka menganga itu tak terusik sebab pergerakan Sean yang terkadang di luar batas kendali. Meskipun Alan sudah memperingatkan, namun Sean masih saja bebal untuk menuruti semua perkataannya.Hingga ketika pintu ruangan itu dibuka secara diam-diam dari luar, tatapan mereka mengarah pada satu sosok yang sama. "Pohan!" ucap Sean setelah melihat Yang Pohan lah yang berada di sana.Lelaki bermata sipit menatap Sean dengan sesekali menghela napas panjang, merasa tidak perlu lagi menahan diri untuk bekerja sama. Dalam benaknya kini, dia hanya ingin Salwa kembali. Melihat bagaimana kesakitan wanita itu saat berada dalam pelukannya, membuat hatinya terluka. Ada rasa ingin melindungi,
Asap tiba-tiba mengepul dari satu sisi, membuat tatapan semua orang mengarah ke satu tujuan. Sebuah selang yang entah bersumber dari mana mengeluarkan asap tebal yang makin lama memenuhi ruangan tersebut. Mereka membungkam mulut menggunakan tangan atau apa pun yang bisa menyelamatkan pernapasan, karena yang dihirup terlalu banyak mengandung zat karbon monoksida.Tampak beberapa anak buah Sean terbatuk-batuk, merasakan tenggorokan tercekat akibat udara kotor mencemari pernapasan. Sean dan beberapa orang tampak berusaha memecahkan kaca jendela yang ternyata tidak bisa dibuka. Hanya sebuah aksesori yang ditempel sebagai dinding agar cahaya matahari bisa menembus dan menerangi ruangan.Beberapa kaca jendela pecah, membuat udara dan kepulan asap sedikit demi sedikit keluar, tetapi mereka masih belum bisa keluar dari ruangan itu. Begitu udara dari area luar masuk ke dalam, menggantikan asap pekat, karbon monoksida yang keluar dari selang tersebut makin banyak. Sedikit pemantik api, mampu me
Seketika sekujur tubuh Salwa membeku. Abust, lelaki yang selama ini sangat ia hindari. Lelaki yang sempat melecehkannya, menyiksanya kini justru berdiri di hadapannya. Dia yang sebelumnya berbaring telah mengganti posisi menjadi duduk, beringsut menjauh. Namun, jelas pergerakannya terentak ke dinding."Jangan mendekat!""Ssssstt!" Jemari Abust menekan bibir Salwa, memberi peringatan perempuan itu agar tidak banyak bicara. Dia sudah kesusahan untuk mencapai tempat itu, sembunyi-sembunyi dengan menyamar sebagai orang Ramunsen. Tidak lucu, bukan jika usahanya untuk menemukan Salwa sia-sia karena perempuan itu takut kepadanya. Abust hampir tertangkap ketika menyadari Salwa berada di ruangan itu. Ia masuk dengan hati-hati di kala dokter bersneli putih tampak menjentikkan jari untuk menyedot cairan di tabung kecil. Dia berpikir keras, bagaimana agar dokter tersebut pergi dan membuatnya mudah untuk membawa Salwa lari. Sehingga ketika ia melihat seekor cicak menempel di dinding, secara implu
Tubuh yang semula terbaring lemah kini tampak bergerak, seolah terlihat kesakitan setelah Sean menancapkan pisau itu tepat di jantungnya. Semua orang menatap dengan tegang, menyadari bahwa si pemilik tubuh tengah meregang nyawa.Ramunsen menggertakkan gigi, berdiri dari duduknya, menghardik Sean yang baru saja mencabut pisau itu tanpa ragu."Biadab!" Dia beranjak dari kursi, melangkah ke arah Sean Arthur, lalu menendang keras tubuh lelaki itu.Tendangan itu tepat mengenai dada Sean, menggesek luka yang telah diperban tebal oleh Alan. Lelaki itu terjerembab, mengusap bagian atas dada yang terasa nyeri kesakitan.Tentu Ramunsen menyadari jika bekas tembak yang pernah ia letupkan ke tubuh Sean Arthur belum sepenuhnya sembuh. Bahkan, lelaki itu baru dua hari yang lalu terkena luka tembak yang cukup serius sehingga ia akan memfokuskan pukulan-pukulannya ke area tersebut.Sean ingin berdiri, tetapi segera ditepis dengan kasar oleh tangan Ramunsen. Pria itu mendorong Sean dengan memukul bagi