Ruangan yang tercium bau desinfektan bercampur karbol, terdapat dua orang yang sedang bersitegang. Di antara mereka, ada seorang wanita berumur yang tengah terbaring lemah dengan banyak kabel-kabel penunjang kesehatan berserakan di atas tubuhnya. Salah seorang laki-laki tampak tersenyum, tetapi senyumannya begitu menyedihkan."Sudah ketemu siapa pendonor jantung yang cocok?"Seorang laki-laki masih menunduk, tetapi mengangguk tanpa berani memandang sosok di depannya. "Kami sudah mendapatkan riwayatnya dan sangat cocok dengan apa yang kita butuhkan. Kami akan membawanya segera."Ibu jari mengusap bibir, menunjukkan senyum tipis kemudian. "Cepat laksanakan! Kita membutuhkannya untuk melakukan banyak observasi sebelum transplantasi itu dilakukan."***Yang Pohan memeluk Salwa, seolah tak rela membiarkan tubuh itu beralih ke atas brankar. Sangat jarang ada kesempatan memeluk wanita itu sesukanya seperti saat ini jika Salwa dalam kondisi sadar. Namun, tiada yang bisa ia lakukan selain menu
Wajah Sean tampak pasi, begitu banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Ia menolak untuk dibius secara total karena takut tertidur cukup lama dan melupakan Salwa. Alan hanya bisa mendengkus, kekeraskepalaan Sean ini cukup membuat lelaki itu membahayakan nyawanya sendiri. Sean seharusnya dalam kondisi tidur, berbaring setelah proses menjahit luka tembak untuk mempercepat pemulihan. Namun, alih-alih beristirahat, Sean justru menggunakan waktunya untuk mencari keberadaan Salwa."Cari tahu tentang laki-laki itu, Anders Ramunsen." Wajah pucatnya sungguh terlihat. Alan semakin mencemaskan konsdisi lelaki itu, tak menghiraukan kesehatannya, justru bekerja keras dan memforsir pikirannya.Di sisi lain, penembak jitu yang dikerahkan oleh Yang Pohan berhasil menangkap dua orang asing mencurigakan yang sempat kabur menggunakan parasut. Mereka meringkuk menahan sakit di bagian lengan serta kaki.Malam itu yang sehrusnya digunakan untuk beristirahat, justru menjadi malam mencekam yang penuh dengan
Sean menyandarkan tubuhnya di kursi sofa. Mata berkunang-kunang, merasa pusing dengan beberapa kali menggelengkan kepala demi meraup kesadaran agar dirinya tetap terjaga.Alan tetap setia memeriksa detak jantung, luka yang tertutup perban tebal di tubuh lelaki itu. Bahkan, dia memberikan perban dengan berlebih agar luka menganga itu tak terusik sebab pergerakan Sean yang terkadang di luar batas kendali. Meskipun Alan sudah memperingatkan, namun Sean masih saja bebal untuk menuruti semua perkataannya.Hingga ketika pintu ruangan itu dibuka secara diam-diam dari luar, tatapan mereka mengarah pada satu sosok yang sama. "Pohan!" ucap Sean setelah melihat Yang Pohan lah yang berada di sana.Lelaki bermata sipit menatap Sean dengan sesekali menghela napas panjang, merasa tidak perlu lagi menahan diri untuk bekerja sama. Dalam benaknya kini, dia hanya ingin Salwa kembali. Melihat bagaimana kesakitan wanita itu saat berada dalam pelukannya, membuat hatinya terluka. Ada rasa ingin melindungi,
Asap tiba-tiba mengepul dari satu sisi, membuat tatapan semua orang mengarah ke satu tujuan. Sebuah selang yang entah bersumber dari mana mengeluarkan asap tebal yang makin lama memenuhi ruangan tersebut. Mereka membungkam mulut menggunakan tangan atau apa pun yang bisa menyelamatkan pernapasan, karena yang dihirup terlalu banyak mengandung zat karbon monoksida.Tampak beberapa anak buah Sean terbatuk-batuk, merasakan tenggorokan tercekat akibat udara kotor mencemari pernapasan. Sean dan beberapa orang tampak berusaha memecahkan kaca jendela yang ternyata tidak bisa dibuka. Hanya sebuah aksesori yang ditempel sebagai dinding agar cahaya matahari bisa menembus dan menerangi ruangan.Beberapa kaca jendela pecah, membuat udara dan kepulan asap sedikit demi sedikit keluar, tetapi mereka masih belum bisa keluar dari ruangan itu. Begitu udara dari area luar masuk ke dalam, menggantikan asap pekat, karbon monoksida yang keluar dari selang tersebut makin banyak. Sedikit pemantik api, mampu me
Seketika sekujur tubuh Salwa membeku. Abust, lelaki yang selama ini sangat ia hindari. Lelaki yang sempat melecehkannya, menyiksanya kini justru berdiri di hadapannya. Dia yang sebelumnya berbaring telah mengganti posisi menjadi duduk, beringsut menjauh. Namun, jelas pergerakannya terentak ke dinding."Jangan mendekat!""Ssssstt!" Jemari Abust menekan bibir Salwa, memberi peringatan perempuan itu agar tidak banyak bicara. Dia sudah kesusahan untuk mencapai tempat itu, sembunyi-sembunyi dengan menyamar sebagai orang Ramunsen. Tidak lucu, bukan jika usahanya untuk menemukan Salwa sia-sia karena perempuan itu takut kepadanya. Abust hampir tertangkap ketika menyadari Salwa berada di ruangan itu. Ia masuk dengan hati-hati di kala dokter bersneli putih tampak menjentikkan jari untuk menyedot cairan di tabung kecil. Dia berpikir keras, bagaimana agar dokter tersebut pergi dan membuatnya mudah untuk membawa Salwa lari. Sehingga ketika ia melihat seekor cicak menempel di dinding, secara implu
Tubuh yang semula terbaring lemah kini tampak bergerak, seolah terlihat kesakitan setelah Sean menancapkan pisau itu tepat di jantungnya. Semua orang menatap dengan tegang, menyadari bahwa si pemilik tubuh tengah meregang nyawa.Ramunsen menggertakkan gigi, berdiri dari duduknya, menghardik Sean yang baru saja mencabut pisau itu tanpa ragu."Biadab!" Dia beranjak dari kursi, melangkah ke arah Sean Arthur, lalu menendang keras tubuh lelaki itu.Tendangan itu tepat mengenai dada Sean, menggesek luka yang telah diperban tebal oleh Alan. Lelaki itu terjerembab, mengusap bagian atas dada yang terasa nyeri kesakitan.Tentu Ramunsen menyadari jika bekas tembak yang pernah ia letupkan ke tubuh Sean Arthur belum sepenuhnya sembuh. Bahkan, lelaki itu baru dua hari yang lalu terkena luka tembak yang cukup serius sehingga ia akan memfokuskan pukulan-pukulannya ke area tersebut.Sean ingin berdiri, tetapi segera ditepis dengan kasar oleh tangan Ramunsen. Pria itu mendorong Sean dengan memukul bagi
Abust masih mempertahankan tangan Salwa di sana. Perempuan itu seolah hampir menyerah, merasakan tangannya sudah tidak bertenaga untuk mencengkeram tangan Abust. Tentu saja perasaan takut juga paranoid menghantui diri Salwa. Tubuhnya tak berdaya dengan terombang-ambing di udara. Kaki tak bisa digerakkan, hanya mengandalkan satu tangan yang kini digenggam erat oleh Abust dari atas. Perutnya pun terasa sakit. Beberapa kali benturan ringan di dinding beton tampak menyakiti dirinya. Ia merasa sudah lelah, tidak sanggup bertahan lagi. Salwa memejamkan mata, ketika merasakan cairan hangat membasahi bagian bawah tubuhnya. Ia menangis, menyadari ada hal buruk yang menimpa janinnya. Ya, Tuhan, bagaimana dia harus bersikap. Mempertahankan hidupnya saja dia tidak sanggup, apalagi harus menyelamatkan anak dalam kandungan.Apakah ini benar-benar rencana Tuhan? Begitu susah payah dirinya mempertahankan kandungan, hanya karena satu kecerobohan membuatnya harus kehilangan janin di usia enam bulan. B
Di dalam gendongan Sean, darah terus saja menetes dari bagian bawah tubuh Salwa, rasa sakit yang ia rasakan semakin menjadi-jadi, seolah ada kontraksi hebat yang membuat perutnya keram dengan tulang terpatah-patah. Tangan yang melingkar di tubuh Sean semakin ia eratkan dengan beberapa kali suara desis kesakitan acapkali keluar dari bibirnya."Tu-an, sakit." Suaranya terdengar lirih, bahkan nyaris tak terdengar. Sean hanya mampu mempercepat langkah agar segera mencapai pintu elevator yang akan membawa mereka ke lantai dasar."Bertahanlah! Semuanya akan baik-baik saja." Sungguh tiada yang bisa Sean lakukan. Lelaki itu cukup paham kondisi Salwa. Berkali-kali ia mencari tahu tentang bagaimana kesulitan seorang wanita dalam mengandung dan melahirkan anak, dan ia mengerti jika kesakitan yang Salwa rasakan ini pastilah sangat luar biasa.Meskipun tubuh Sean sendiri tidak dalam kondisi baik-baik saja, tetapi lelaki itu tidak pernah sekali pun menunjukkan kepada Salwa agar perempuan itu tidak
Alan kembali tertawa. Tawa renyah tanpa takut Sean akan menghajarnya setelah itu."Tentu saja tidak. Kau sangat menggemaskan, Tuan Arthur.""Kau!"Sean beranjak berdiri, ingin mencekik Alan yang kembali mentertawainya. Namun, Alan segera menghindar, ikut berdiri dengan menghadapkan ke depan kedua telapak tangannya yang terbuka lebar."Ayolah, Sean. Aku hanya bercanda.""Bercandamu tidak lucu. Pulang saja ke negaramu!" ucap Sean menahan kesal kepada sahabatnya itu.***Malam ini adalah minggu ke dua setelah tragedi mualnya Salwa yang anti didekati oleh Sean. Sean terpaksa menahan diri agar tidak menyentuh Salwa, padahal dia termasuk lelaki yang tidak sanggup menahan kebutuhan hasrat biologisnya dalam waktu lama.Dia terpaksa tidur di ruang kerja yang berada tepat di samping kamar tidur utama. Dia berusaha memejamkan mata, mengatasi rasa menggigil ingin dihangatkan oleh tubuh wanita yang dicintainya.Suara derit pintu terdengar lirih, dengan langkah kaki yang menapak lantai marmer di ru
Jelas perhatian semua tamu undangan kini beralih pada sosok tegap yang wajahnya terlihat meradang. Lelaki tinggi dengan berbalut tuxedo mahal berjalan di atas karpet merah menuju panggung di mana Salwa dan Angela berdiri di sana.Langkah kakinya terdengar tegas begitu berada di atas panggung. Tangannya mengambil paksa microphone di tangan Angela, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku celana untuk digunakan mengelap kepala serta gagang microphone tersebut. Hal itu sengaja ia pertontonkan di hadapan Angela, menunjukkkan bahwa perempuan itu lebih menjijikkan dari dugaannya.Sementara sebelah tangan Sean memeluk pinggang Salwa, menarik perempuan itu agar lebih mendekat ke arahnya. Tatapannya tertuju pada semua tamu undangan yang sebelumnya tampak riuh karena ulah Angela, kini tiba-tiba hening dan senyap."Dia memang pernah menjadi pelayanku. Dia juga pernah mengandung anakku." Air mata Salwa seketika menetes mendengar perkataan Sean. Ada apa ini? Apakah ia datang ke sini hanya untuk dip
Tidak ada kata terlambat untuk menciptakan kehidupan yang diinginkan. Semua akan berjalan sesuai dengan apa yang sedang kita perjuangkan.Pria bermata biru mengusap kepala sang istri yang baru saja tersadar setelah pemeriksaan dokter dilewati beberapa menit yang lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum ketika memandang bulu mata lentik mengerjap ringan. Mata bulat itu memandang dengan sayu, buliran air pun menggenang di pelupuk mata, lantas menetes dengan aliran ringan membasahi pipi."Syukurlah kau sudah sadar." Sean menyeka air mata di pipi Salwa dengan ibu jari kanannya secara bergantian. Pria itu tak menanyakan hal yang sesungguhnya ingin sekali ia tanyai, terkait apa saja yang sudah Salwa lakukan dengan Ramunsen di kamar mereka."Mas, ...." Suara Salwa terdengar serak, mungkin karena terlalu banyak menangis. Menyadari hal itu, Sean mengambilkan minum untuknya, membantu Salwa duduk dari pembaringan.Sedikit demi sedikit air di dalam gelas itu berpindah ke mulut Salwa, membasahi tenggo
Mobil sport yang memiliki kecepatan lintasan di atas rata-rata digunakan Sean untuk mengejar Edward dan Salwa. Zoe bertugas mengendarai, sementara Sean duduk di sampingnya sembari berpikir dan mendengar segala laporan anak buahnya yang telah memata-matai Ramunsen dari atas ketinggian.Mobil mewah berwarna metalic itu menerobos apa saja yang ada di depan mata, memacu secepat yang ia bisa di tengah keramaian. Kepiawaian Zoe dalam mengendarai mobil tersebut sudah tidak diragukan lagi. Lelaki itu mengernyit ketika titik koordinat yang akan mereka lewati menuju daerah dataran tinggi."Tuan, mobil mereka ...."Sean hanya diam, meski Zoe tidak melanjutkan kalimatnya. Lelaki itu terlihat berpikir serius, tentang apa yang dilakukan Ramunsen di tempat seperti itu. Benar-benar tidak masuk akal.Sekelebat bayangan seorang wanita hamil dari kejauhan tampak tertatih-tatih dalam menahan kesakitan dan di sebelahnya dirangkul oleh seorang laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya, menjadi perh
Salwa bernapas lega melihat siapa yang datang. Air mata yang sejak tadi mengalir terus saja berlinang tiada henti. Dia terisak, tetapi tetap membungkam mulutnya.Pria itu adalah Sean Arthur bersama Zoe sang asisten yang berdiri di belakangnya. Rasa lega bukan hanya karena Salwa merasa aman sebab ada yang menyelamatkannya, tetapi juga melihat sang suami masih hidup dan dalam keadaan sehat. Padahal sebelumnya ia sudah sangat putus asa karena informasi akan keadaan Sean yang sedang bertaruh nyawa dengan bahan peledak, tetapi ternyata Tuhan memberinya secercah harapan."Jangan bergerak! Tetap di tempat." Ramunsen membuang gelas tersebut hingga pecah dan membasahi karpet bulu yang membentang di hampir seluruh permukaan lantai. Tangannya merogoh sesuatu di balik saku celana, lalu menunjukkan benda itu kepada semua orang. Sebuah suntikan berukuran mikro kini berada dalam genggaman lelaki itu."Ini adalah zat afrodisiak. Aku sudah memasukkan afrodisiak ini dalam konsentrasi tinggi. Bayangkan,
Lima jam berlalu setelah melakukan penerbangan kembali ke Indonesia. Baru saja Sean menyalakan mode data smarphone, sebuah email masuk dari Zoe sang asisten mengharuskan Sean menatap layar digital tipis miliknya untuk memeriksa. Di sana, Zoe mengirimkan file attachment di mana berisi foto-foto dan potongan berita khusus yang membuat Sean tercengang. Segera ia hubungi lelaki itu untuk mengetahui kejelasan lebih dalam dari email yang baru saja dikirimkan kepadanya."Tuan Arthur," ucap Zoe begitu menghormati Sean sesaat lelaki itu menjawab panggilan."Katakan, apa maksud semua ini? Mayat siapa itu?" Sean tak kuasa menahan diri. Semua yang terpampang di depan mata seperti sebuah teka-teki.Namun, Zoe di seberang sana terdengar menghela napas panjang sebelum pada akhirnya menjawab, "Polisi telah menemukan jenazah hancur kepalanya sekitar tiga bulan yang lalu. Jika dilihat dari kondisi jenazah itu, kemungkinan besar dia adalah korban pembunuhan sadis dan kejam. Dia ditemukan di sebuah alir
Hingga beberapa waktu mereka menunggu, tiada sesuatu yang terjadi. Semua pasang mata terbuka hampir bersamaan. Ketakutan dan kepasrahan kini berubah menjadi rasa penasaran. Dilihatnya bom itu telah berhenti di angka 00.01 yang artinya, terlambat hanya dalam satu detik saja, mereka semua akan lenyap dari muka bumi.Terdengar helaan napas dari bibir semua orang. Rasa lega belum sepenuhnya terobati, Fang Yi melihat sinar merah di kepala Abust. Dia menyeret lelaki itu, tetapi dirinya justru terjatuh dengan tubuh Abust menimpa dirinya."Cih, minggir! Kau bau." Abust segera berguling ketika kedua tangan Fang Yi menolaknya. Sementara sinar itu tetap mengarah kepadanya."Kau sendiri yang menyeretku. Kalau suka bilang saja."Fang Yi melihat sosok dari balik pagar sedang bersiap menarik pelatuk, dia segera menarik kembali tubuh Abust, membiarkan pria itu menimpanya sekali lagi dan ....Suara lesatan peluru itu terdengar, menerbangkan debu-debu yang ada di puncak gedung rumah sakit itu. Semua or
Fang Yi menuruni anak tangga darurat sembari mengatur frekuensi di earpiece yang tersemat di telinganya. Ia lebih yakin untuk membuntuti empat pria bertubuh kekar dengan orang tua berwajah mencurigakan daripada langsung menuju ruang bawah tanah. Instingnya bekerja cepat, merasa ada hal tidak beres dengan sekelompok mereka tadi. Meskipun Abust tidak memercayai perkataannya, tetapi ia sangat yakin dengan keyakinannya.Dia kehilangan jejak mereka, tetapi terus saja melangkah karena merasa mendengar suara sayup-sayup di lorong tangga darurat. Suara itu menggema, mungkin karena tiada benda-benda yang memantulkan suara dengan sembarang arah, sehingga lebih terdengar jelas di indra pendengaran.Langkah kaki Fang Yi menapak hati-hati, mengurangi suara pantulan sepatu agar tidak membuat kecurigaan seseorang yang mungkin sedang bersembunyi tanpa sepengetahuannya.Tepat ketika kaki Fang Yi melangkah melewati kelokan, menuruni anak tangga berikutnya, sebuah tangan mendekap kepalanya.Dia berontak
Abust menoleh ke arah sumber suara, melihat sosok berpakaian putih dengan badan tegap membawa troli dengan kain-kain putih ternoda. Tampaknya lelaki itu adalah petugas rumah sakit.Merasa tidak ada waktu berbasa-basi, Abust segera menodongkan senjata ke dahi lelaki itu. Mata pria berpakaian putih membukat, tak menyangka akan mendapatkan serangan mendadak seperti itu. Kedua tangan ia angkat ke atas dengan telapak tangan membuka lebar."Jongkok!" perintah Abust.Pria itu mengangguk hati-hati, menurut dengan merendahkan diri sembari melipat kaki."Katakan! Di mana ruang rahasia itu?"Lelaki itu menggeleng. "Ruang rahasia apa? Aku hanya petugas pembersih.""Sudah berapa lama kau bekerja?""Empat tahun. Tolong, aku tidak tahu apa-apa. Biarkan aku bekerja dengan tenang."Abust tak menuruti. Dia masih meletakkan ujung senjata di dahi pria itu. Empat tahun lamanya menjadi petugas di ruangan itu, mana mungkin tidak menyadari sesuatu."Jika kau masih mencintai pekerjaanmu, kau harus menunjukkan