Duduk bersandar dengan menaikkan sebelah kakinya, Sean menatap sosok yang masih terbaring lemah dengan mata tertutup di atas ranjang perawatan. Sekembali dari Indonesia, Sean menuju rumah sakit di mana Abust dirawat."Dia masih berada dalam pengaruh obat tidur. Dia terlalu keras kepala untuk segera keluar dari rumah sakit, padahal tubuhnya masih begitu lemah sehingga kami memaksanya tidur dengan menggunakan obat."Sean mengembuskan napas, menatap lurus ke arah Abust. Tubuh lelaki itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Sean tidak menyangka jika berada dalam posisi seperti ini. Meski sorot matanya mengarah ke depan, tetapi pikirannya berjalan mundur jauh ke belakang, yaitu ketika untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Abust dan memutuskan untuk mengangkatnya sebagai saudara.Sean yang merupakan anak tunggal dari sepasang suami istri dari pengusaha kaya tidak memiliki teman yang benar-benar tulus menemaninya. Hingga pada suatu saat, yaitu ketika usia Sean masih tujuh tahun, seorang wan
Perusahaan pesaing yang beberapa waktu lalu hampir menghancurkan apa yang telah Sean bangun mulai berulah lagi. Sayangnya sampai sekarang belum jelas siapa yang telah melakukan itu semua. Mereka begitu piawai dalam bekerja, tak meninggalkan jejak sedikit pun untuk dikenali.Sean berpikir, ia akan menemukan siapa pelakunya setelah ia ikut campur tangan sendiri saat ini. Personil ahli IT digerakkan seluruhnya, berusaha menemukan titik temu yang membuat mereka seperti orang lemah. Mulai bekerja lembur, meningkatkan kualitas system agar tidak mudah diretas kembali.***Seorang pria berusia sekitar hampir setengah abad tampak duduk tenang di sebuah kursi di ruangan itu. Dia menaikkan satu kaki, tak lantas berbicara dengan seorang pria yang masih tertidur di depannya. Ia hanya duduk, menunggu dengan sabar, tanpa ingin mengganggu lelapnya pria tersebut. Hingga ketika rasa kantuk menghilang, kelopak mata mengerjap, menandakan kesadaran telah berhasil merasuk pada diri lelaki itu.Senyum tersu
Mata bulat tambak membeliak terkejut, bibirnya bergetar dengan wajah yang tiba-tiba pucat pasi. Dia bergerak mundur, berusaha menjauh dari lelaki di depannya."Hai, kenapa kau takut? Apa yang terjadi kepadamu?"Yang Pohan mengernyit, menatap Salwa yang berubah sikap kepadanya. Seharusnya perempuan itu tersenyum dan menyambut dirinya dengan baik. Bukankah ia sudah banyak berbuat untuk Salwa. "Tuan ... Yang, kau ....""Iya, ini aku. Kenapa kau takut? Apa kau sudah tahu tentangku?"Belum sempat Salwa menjawab, kakinya lebih cepat bergerak. Ia lebih memilih berlari menjauh, meinggalkan Yang Pohan, tetapi tentu pergerakannya kalah cepat dibanding dengan lelaki itu. Hingga lengannya dengan mudah dicekal oleh Yang Pohan."Karena kau sudah tahu, aku tidak akan melepaskanmu lagi," ucapnya dengan membungkam mulut Salwa menggunakan sebuah sapu tangan.***Sean masih mencoba menghubungi Salwa, tapi tak kunjung berhasil. Lelaki berwajah tegas tampak mendengkus, merasa ada hal yang terjadi terhada
Semua anak buah dikerahkan, tetapi Salwa tak kunjung ditemukan. Ponsel yang mereka cari justru ada di pos pengaduan, ditemukan oleh security setempat.Sean meremas rambutnya, berteriak lantang. Salwa, Salwa, Salwa, hanya nama itu yang sejak tadi membelenggu pikirannya. Dia bisa gila jika tak kunjung menemukan perempuan itu. Bekerja keras selama ini dia lakukan hanya karena ingin secepatnya menjemput Salwa, menemani sang istri di masa kehamilannya. Ia ingin menyenangkan perempuan itu yang belum merasakan bagaimana menjadi seorang Nyonya Arthur sesungguhnya.Sean tidak bisa berpikir jernih. Kebingungan kerap kali melanda jika dihadapkan dengan keselamatan Salwa. Berteriak, memaki, memarahi, juga menendang apa saja yang ada di hdapannya. "Periksa CCTV!" perintahnya setelah mengeluarkan amarah yang menggebu di dada.Semua orang segera menuruti, bertindak cepat untuk memeriksa rekaman kamera pengawas demi mencari keberadaan Salwa.Hampir lima belas menit berlalu, Sean sudah tidak bisa lag
"Maksud Tuan?"Salwa ternganga mendengar penuturan mengerikan yang baru saja terucap dari bibir Yang Pohan. Menghabiskan malam berdua tanpa ada yang mengganggu? Apa yang sesungguhnya lelaki itu inginkan?"Tentu kau tahu maksudku. Malam ini, di kamar ini, kita berdua ... tidak ada yang lain."Iris hitam membulat, tatkala lelaki itu tanpa bertanya mengangkat tubuh Salwa, membawa perempuan itu dalam gendongannya. Salwa berteriak, memukul-mukul tubuh Yang Pohan tiada henti. Hingga lelaki itu menurunkannya tepat berbaring di atas ranjang. Dia ingin segera bangkit, tetapi tangan lelaki itu mendorong bahunya lagi. Tubuh yang sempat beranjak, berakhir tumbang di atas kasur dengan mata membeliak marah.Wajahnya memanas menatap lelaki yang kini telah menanggalkan pakaian atasnya tanpa ragu. Mencoba melarikan diri, tetapi pergerakan tubuhnya tertahan oleh lengan lelaki itu secara tiba-tiba.Tubuh perempuan itu tampak indah dengan lekuk yang menggoda. Tiada goresan yang sedikit pun membekas bera
Ruangan yang tercium bau desinfektan bercampur karbol, terdapat dua orang yang sedang bersitegang. Di antara mereka, ada seorang wanita berumur yang tengah terbaring lemah dengan banyak kabel-kabel penunjang kesehatan berserakan di atas tubuhnya. Salah seorang laki-laki tampak tersenyum, tetapi senyumannya begitu menyedihkan."Sudah ketemu siapa pendonor jantung yang cocok?"Seorang laki-laki masih menunduk, tetapi mengangguk tanpa berani memandang sosok di depannya. "Kami sudah mendapatkan riwayatnya dan sangat cocok dengan apa yang kita butuhkan. Kami akan membawanya segera."Ibu jari mengusap bibir, menunjukkan senyum tipis kemudian. "Cepat laksanakan! Kita membutuhkannya untuk melakukan banyak observasi sebelum transplantasi itu dilakukan."***Yang Pohan memeluk Salwa, seolah tak rela membiarkan tubuh itu beralih ke atas brankar. Sangat jarang ada kesempatan memeluk wanita itu sesukanya seperti saat ini jika Salwa dalam kondisi sadar. Namun, tiada yang bisa ia lakukan selain menu
Wajah Sean tampak pasi, begitu banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Ia menolak untuk dibius secara total karena takut tertidur cukup lama dan melupakan Salwa. Alan hanya bisa mendengkus, kekeraskepalaan Sean ini cukup membuat lelaki itu membahayakan nyawanya sendiri. Sean seharusnya dalam kondisi tidur, berbaring setelah proses menjahit luka tembak untuk mempercepat pemulihan. Namun, alih-alih beristirahat, Sean justru menggunakan waktunya untuk mencari keberadaan Salwa."Cari tahu tentang laki-laki itu, Anders Ramunsen." Wajah pucatnya sungguh terlihat. Alan semakin mencemaskan konsdisi lelaki itu, tak menghiraukan kesehatannya, justru bekerja keras dan memforsir pikirannya.Di sisi lain, penembak jitu yang dikerahkan oleh Yang Pohan berhasil menangkap dua orang asing mencurigakan yang sempat kabur menggunakan parasut. Mereka meringkuk menahan sakit di bagian lengan serta kaki.Malam itu yang sehrusnya digunakan untuk beristirahat, justru menjadi malam mencekam yang penuh dengan
Sean menyandarkan tubuhnya di kursi sofa. Mata berkunang-kunang, merasa pusing dengan beberapa kali menggelengkan kepala demi meraup kesadaran agar dirinya tetap terjaga.Alan tetap setia memeriksa detak jantung, luka yang tertutup perban tebal di tubuh lelaki itu. Bahkan, dia memberikan perban dengan berlebih agar luka menganga itu tak terusik sebab pergerakan Sean yang terkadang di luar batas kendali. Meskipun Alan sudah memperingatkan, namun Sean masih saja bebal untuk menuruti semua perkataannya.Hingga ketika pintu ruangan itu dibuka secara diam-diam dari luar, tatapan mereka mengarah pada satu sosok yang sama. "Pohan!" ucap Sean setelah melihat Yang Pohan lah yang berada di sana.Lelaki bermata sipit menatap Sean dengan sesekali menghela napas panjang, merasa tidak perlu lagi menahan diri untuk bekerja sama. Dalam benaknya kini, dia hanya ingin Salwa kembali. Melihat bagaimana kesakitan wanita itu saat berada dalam pelukannya, membuat hatinya terluka. Ada rasa ingin melindungi,