"Sudah cukup! Kau tidak perlu memakannya. Kita ... makan di luar." Sean memindahkan meja kecil serta nasi goreng buatannya dari pangkuan Salwa, menahan perempuan itu agar tidak melanjutkan makan. Kalau dia sendiri tidak mampu menghabiskan hanya satu suapan, bagaimana mungkin ia menyuruh Salwa menghabiskan makanan itu sendirian."Tapi, ....""Sudahlah! Aku ingin kau dan anakku memakan sesuatu yang bergizi daripada hanya sepiring nasi goreng," ucap Sean dengan mengangkat tubuh Salwa, memindahkannya ke atas kursi roda.Salwa hanya bisa pasrah ketika lelaki itu mendorong kursi roda yang ia kenakan menuju lift yang akan membawanya ke lantai bawah. Ya, Salwa tidak menggunakan tangga lagi semenjak memakai kursi roda.Sebuah restoran yang berada tak jauh dari area apartemen menjadi tujuan Sean kali ini. Tidak terlalu banyak orang yang datang, mungkin mereka terlalu pagi yang sebenarnya orang lebih banyak melakukan sarapan pagi di rumah masing-masing.Sebuah menu yang terdaftar di buku hardco
Beberapa hari terlewati dengan baik. Sean tidak pernah lagi menunjukkan sikap tempramennya semenjak tinggal berdua dengan Salwa. Apa pun yang lelaki itu kerjakan, dia tidak lagi menggunakan emosi. Atau lebih tepatnya dia menahan semua jika Salwa berada di depannya. Namun, itu tidak terjadi jika dia sedang bekerja di ruangannya sendiri. Dengan membatasi sebuah peredam suara, teriakan dan amukan yang ia lakukan ketika berhubungan dengan pekerjaan, yaitu di saat melakukan panggilan telepon maupun meeting secara virtual tak akan terdengar dari luar ruangan.Salwa mulai memahami bagaimana karakter suaminya. Dengan beberapa kali melihat Sean marah, ia mencoba mengalihkan perhatian lelaki itu dengan bersikap lembut. Amarah Sean seketika mereda di kala Salwa memeluk untuk menenangkannya. Lelaki itu juga akan merasa tidak berdaya ketika Salwa mendiamkannya. Sean yang tampak kuat dan ditakuti ternyata adalah pria rapuh tanpa ada yang mengetahui. Kehilangan kasih sayang sejak kecil membuatnya t
"Hem, kau bisa membantuku melakukannya dengan ...." Sean berbisik lirih, membuat Salwa melebarkan mata mendengarnya. Wajah perempuan itu merona, tak menyangka akan melakukan hal yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun, melihat lelaki itu tampak tersiksa, tiada pilihan lain selain ... menurutinya.***Sean mengenakan jubah tidurnya kembali setelah menutupi tubuh Salwa dengan selimut sebatas leher. Senyum menawan tampak terbit di bibirnya. Ada rasa kepuasan yang sudah beberapa minggu ini tidak ia rasakan. Salwa ternyata mau melakukan hal itu untuknya meski kondisi perempuan itu belum sepenuhnya sehat.Kini, Salwa tengah tertidur pulas setelah malam panjang yang keduanya lewati bersama. Sean mengambil benda pipih digital yang berada di atas nakas, mengetikkan sebuah pesan kepada seseorang yang segera dibalas dengan panggilan telepon."Tuan Arthur!" Terdengar suara dari seberang sana yang memanggil nama Sean dengan hormat."Kau bisa memulainya besok pagi. Aku tidak ingin bocah i
Duduk bersandar dengan menaikkan sebelah kakinya, Sean menatap sosok yang masih terbaring lemah dengan mata tertutup di atas ranjang perawatan. Sekembali dari Indonesia, Sean menuju rumah sakit di mana Abust dirawat."Dia masih berada dalam pengaruh obat tidur. Dia terlalu keras kepala untuk segera keluar dari rumah sakit, padahal tubuhnya masih begitu lemah sehingga kami memaksanya tidur dengan menggunakan obat."Sean mengembuskan napas, menatap lurus ke arah Abust. Tubuh lelaki itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Sean tidak menyangka jika berada dalam posisi seperti ini. Meski sorot matanya mengarah ke depan, tetapi pikirannya berjalan mundur jauh ke belakang, yaitu ketika untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Abust dan memutuskan untuk mengangkatnya sebagai saudara.Sean yang merupakan anak tunggal dari sepasang suami istri dari pengusaha kaya tidak memiliki teman yang benar-benar tulus menemaninya. Hingga pada suatu saat, yaitu ketika usia Sean masih tujuh tahun, seorang wan
Perusahaan pesaing yang beberapa waktu lalu hampir menghancurkan apa yang telah Sean bangun mulai berulah lagi. Sayangnya sampai sekarang belum jelas siapa yang telah melakukan itu semua. Mereka begitu piawai dalam bekerja, tak meninggalkan jejak sedikit pun untuk dikenali.Sean berpikir, ia akan menemukan siapa pelakunya setelah ia ikut campur tangan sendiri saat ini. Personil ahli IT digerakkan seluruhnya, berusaha menemukan titik temu yang membuat mereka seperti orang lemah. Mulai bekerja lembur, meningkatkan kualitas system agar tidak mudah diretas kembali.***Seorang pria berusia sekitar hampir setengah abad tampak duduk tenang di sebuah kursi di ruangan itu. Dia menaikkan satu kaki, tak lantas berbicara dengan seorang pria yang masih tertidur di depannya. Ia hanya duduk, menunggu dengan sabar, tanpa ingin mengganggu lelapnya pria tersebut. Hingga ketika rasa kantuk menghilang, kelopak mata mengerjap, menandakan kesadaran telah berhasil merasuk pada diri lelaki itu.Senyum tersu
Mata bulat tambak membeliak terkejut, bibirnya bergetar dengan wajah yang tiba-tiba pucat pasi. Dia bergerak mundur, berusaha menjauh dari lelaki di depannya."Hai, kenapa kau takut? Apa yang terjadi kepadamu?"Yang Pohan mengernyit, menatap Salwa yang berubah sikap kepadanya. Seharusnya perempuan itu tersenyum dan menyambut dirinya dengan baik. Bukankah ia sudah banyak berbuat untuk Salwa. "Tuan ... Yang, kau ....""Iya, ini aku. Kenapa kau takut? Apa kau sudah tahu tentangku?"Belum sempat Salwa menjawab, kakinya lebih cepat bergerak. Ia lebih memilih berlari menjauh, meinggalkan Yang Pohan, tetapi tentu pergerakannya kalah cepat dibanding dengan lelaki itu. Hingga lengannya dengan mudah dicekal oleh Yang Pohan."Karena kau sudah tahu, aku tidak akan melepaskanmu lagi," ucapnya dengan membungkam mulut Salwa menggunakan sebuah sapu tangan.***Sean masih mencoba menghubungi Salwa, tapi tak kunjung berhasil. Lelaki berwajah tegas tampak mendengkus, merasa ada hal yang terjadi terhada
Semua anak buah dikerahkan, tetapi Salwa tak kunjung ditemukan. Ponsel yang mereka cari justru ada di pos pengaduan, ditemukan oleh security setempat.Sean meremas rambutnya, berteriak lantang. Salwa, Salwa, Salwa, hanya nama itu yang sejak tadi membelenggu pikirannya. Dia bisa gila jika tak kunjung menemukan perempuan itu. Bekerja keras selama ini dia lakukan hanya karena ingin secepatnya menjemput Salwa, menemani sang istri di masa kehamilannya. Ia ingin menyenangkan perempuan itu yang belum merasakan bagaimana menjadi seorang Nyonya Arthur sesungguhnya.Sean tidak bisa berpikir jernih. Kebingungan kerap kali melanda jika dihadapkan dengan keselamatan Salwa. Berteriak, memaki, memarahi, juga menendang apa saja yang ada di hdapannya. "Periksa CCTV!" perintahnya setelah mengeluarkan amarah yang menggebu di dada.Semua orang segera menuruti, bertindak cepat untuk memeriksa rekaman kamera pengawas demi mencari keberadaan Salwa.Hampir lima belas menit berlalu, Sean sudah tidak bisa lag
"Maksud Tuan?"Salwa ternganga mendengar penuturan mengerikan yang baru saja terucap dari bibir Yang Pohan. Menghabiskan malam berdua tanpa ada yang mengganggu? Apa yang sesungguhnya lelaki itu inginkan?"Tentu kau tahu maksudku. Malam ini, di kamar ini, kita berdua ... tidak ada yang lain."Iris hitam membulat, tatkala lelaki itu tanpa bertanya mengangkat tubuh Salwa, membawa perempuan itu dalam gendongannya. Salwa berteriak, memukul-mukul tubuh Yang Pohan tiada henti. Hingga lelaki itu menurunkannya tepat berbaring di atas ranjang. Dia ingin segera bangkit, tetapi tangan lelaki itu mendorong bahunya lagi. Tubuh yang sempat beranjak, berakhir tumbang di atas kasur dengan mata membeliak marah.Wajahnya memanas menatap lelaki yang kini telah menanggalkan pakaian atasnya tanpa ragu. Mencoba melarikan diri, tetapi pergerakan tubuhnya tertahan oleh lengan lelaki itu secara tiba-tiba.Tubuh perempuan itu tampak indah dengan lekuk yang menggoda. Tiada goresan yang sedikit pun membekas bera