Ketika hampir memasuki waktu pulang, Sean mengirim pesan singkat kepada Salwa, bahwa ia tak bisa pulang cepat malam ini. Ada banyak pekerjaan dan beberapa pertemuan yang akan ia lakukan sekaligus, mengingat dia mempekerjakan sekretaris baru yang belum bisa menghandle banyak tugas seperti Alin. Dia meninggalkan perusahaan untuk menghadiri jamuan makan malam dengan beberapa kolega bisnis untuk membicarakan beberapa proyek kerjasama mereka ke depannya.Menggunakan pakaian formal, Sean sengaja tak menggunakan jas, hanya menggunakan rompi jas tak berlengan, tetapi cukup membuatnya lebih sopan dan berkarisma. Sepasang mata penuh damba tampak mengawasinya sejak lelaki itu keluar dari area lobby perusahaan. Dia tersenyum simpul, menyadari target sudah ada di depan mata."Jalan!" ucapnya ketika melihat Sean sudah keluar dengan sopir pribadinya dari area parkir perusahaan.Sebuah rumah makan mewah yang telah digunakan untuk meeting sekaligus jamuan makan malam sudah dipadati mobil-mobil mewah d
Salwa berjalan terburu-buru ketika taksi sudah mengantarkannya tepat di depan lobby gedung perkantoran milik Sean Arthur. Perasaannya sudah mulai gelisah, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi.Resepsionis tentunya sudah tiada di tempat karena jam pulang sudah terlewat beberapa waktu yang lalu. Hanya security yang berjaga di depan menjadi orang pertama yang Salwa tanyai perihal keberadaan sang suami. Mendengar bahwa Sean baru saja masuk, membuat Salwa segera melebarkan langkah untuk menuju tempat lelaki itu bekerja. Hanya beberapa saat setelah dia memasuki area lobby, Zoe menegurnya."Nyonya Arthur, apa yang Anda lakukan di sini?"Salwa tampak menghela napas panjang, bersyukur bertemu dengan Zoe, bodyguard sekaligus asisten Sean Arthur. "Di mana Tuan Arthur. Apa dia baik-baik saja?"Zoe sempat terkesiap mendengar penuturan Salwa. Sean mengatakan bahwa ia tidak ingin bertemu Salwa dalam kondisi mabuk, tetapi secara kebetulan Salwa justru datang untuk mencari lelaki itu. Zoe mengangguk
Tubuh Salwa masih merasakan gemetar setelah menyaksikan perselingkuhan Sean dan Alin dengan mata kepalanya sendiri. Mata yang sejak tadi telah meloloskan cairan bening telah memanas dan basah karena terlalu banyak menangis.Begitu pintu lift terbuka, Salwa segera memasukkan tubuhnya ke dalam. Menyandarkan punggung di dinding lift yang dingin, tubuh Salwa luruh ke bawah bersamaan pintu lift bergeser menutup kembali. Wajah dibenamkan di antara lutut dan tubuh, menangis sepuasnya, meraung-raung di sana. Hatinya sakit, kecewa, dan masih tidak terima akan kenyataan yang sudah jelas terpampang di depan mata.Sebegitu mudahnya kah Sean berpaling? Apakah pengorbanannya selama ini masih tak pantas membuat seorang Sean Arthur setia hanya kepadanya saja? Dan anak dalam kandungannya, apakah masih tidak cukup sebagai pengikat dan penyempurna hubungan mereka? Lantas, apa yang selama ini Sean katakan kepadanya hanya bualan belaka yang sama sekali tak berbekas di hati lelaki itu?Angka digital yang m
Sean segera menutupi tubuh Salwa dengan selimut. Rasa ketakutan itu semakin menjadi-jadi di kala wajah pucat Salwa terlihat begitu menyedihkan. Tangan kekarnya mengangkat tubuh lemah berbalut selimut tersebut setelah mengenakan celana yang sempat ia tanggalkan semalam.Masih terlalu pagi, tiada seorang pun selain para bodyguard yang ikut menginap di sana juga security. Sean berteriak, menyuruh mereka menyiapkan mobil untuk segera mrmbawa Salwa ke rumah sakit.Dipeluknya tubuh lemah itu dengan erat. Air mata tak sanggup ditahan. Sean menangis, mengecup wajah pasi Salwa berkali-kali, menunjukkan betapa menyesalnya dia. "Percepat mobilnya!" bentak Sean kepada sopir pribadinya.Sean berusaha mengingat-ingat kejadian semalam. Keningnya merasa berat dan pusing ketika ingatannya menggali apa yang terjadi antara dirinya dan Salwa sehingga membuat perempuan itu bisa sampai seperti ini.Dia mendengar Salwa berteriak kesakitan, memkuli serta mencakarnya. Tubuh Sean dengan jelas banyak sekali bek
"Jadi, kau menyerah dengan perasaanmu?"Alan meletakkan secangkir kopi di atas meja kecil berbahan kayu yang memisahkan dirinya dengan Sean Arthur. Dia repot-repot meninggaklan pekerjaan di negara asal hanya untuk menemui sahabatnya itu. Menginap di sebuah penthouse yang baru dibeli oleh Sean sebagai hadiah untuk Salwa ke depannya."Dia membenciku." Sean mengusap wajah dengan telapak tangan. Dirinya terlihat berantakan, sangat berbeda dengan kesehariannya yang selalu rapi dan menawan. "Dia ingin berpisah denganku. Tapi, aku tidak bisa hidup tanpanya," imbuh lelaki itu dengan menyugar rambutnya kasar."Aku tahu." Alan menyesap kopi, membiarkan uap air mengepul di depan wajahnya. "Aku sudah menyadarinya sejak lama. Kau akan kalah dan menyadari perasaanmu kepadanya.""Aku sudah mengutarakan kepadanya berulang kali, tapi dia tidak percaya." Sean tampak seperti orang linglung, bingung harus melakukan apa. Separuh nyawanya telah tertinggal bersamaan penolakan Salwa kepadanya. "Dia melihatku
Hanya beberapa detik bibir itu menempel, tetapi Salwa segera menundukkan wajah. Sean selalu mencari kesempatan, tidak peduli Salwa sedang marah ataupun kesal dengannya. Dia akan melakukan apa yang menjadi keinginannya meskipun dengan jelas Salwa akan menolak."Kau ingin berkeliling?"Mata bulat mengerjap, masih bingung dengan apa yang Sean utarakan. Namun, pergerakan lelaki itu selanjutnya membuat ia memahami akan maksud sesungguhnya. Sean membungkuk, menekuk kedua kaki dengan posisi memunggungi Salwa. "Naiklah! Aku akan mengajakmu berkeliling. Aku tahu jika dokter melarangmu banyak bergerak. Jadi, naik ke punggungku lagi."Salwa menggeleng. Sean selalu seperti ini, bersikap manis setelah melakukan kesalahan. Dia akan melakukan apa saja sampai Salwa merasa nyaman dengannya lagi, memaafkan dan melupakan apa yang menjadi kesalahannya. Lalu, dalam beberapa waktu ia akan mengulanginya lagi. Sungguh, Salwa sangat takut dengan sikap Sean yang berubah-ubah. Dia takut akan kemunculan Sean ya
"Sudah cukup! Kau tidak perlu memakannya. Kita ... makan di luar." Sean memindahkan meja kecil serta nasi goreng buatannya dari pangkuan Salwa, menahan perempuan itu agar tidak melanjutkan makan. Kalau dia sendiri tidak mampu menghabiskan hanya satu suapan, bagaimana mungkin ia menyuruh Salwa menghabiskan makanan itu sendirian."Tapi, ....""Sudahlah! Aku ingin kau dan anakku memakan sesuatu yang bergizi daripada hanya sepiring nasi goreng," ucap Sean dengan mengangkat tubuh Salwa, memindahkannya ke atas kursi roda.Salwa hanya bisa pasrah ketika lelaki itu mendorong kursi roda yang ia kenakan menuju lift yang akan membawanya ke lantai bawah. Ya, Salwa tidak menggunakan tangga lagi semenjak memakai kursi roda.Sebuah restoran yang berada tak jauh dari area apartemen menjadi tujuan Sean kali ini. Tidak terlalu banyak orang yang datang, mungkin mereka terlalu pagi yang sebenarnya orang lebih banyak melakukan sarapan pagi di rumah masing-masing.Sebuah menu yang terdaftar di buku hardco
Beberapa hari terlewati dengan baik. Sean tidak pernah lagi menunjukkan sikap tempramennya semenjak tinggal berdua dengan Salwa. Apa pun yang lelaki itu kerjakan, dia tidak lagi menggunakan emosi. Atau lebih tepatnya dia menahan semua jika Salwa berada di depannya. Namun, itu tidak terjadi jika dia sedang bekerja di ruangannya sendiri. Dengan membatasi sebuah peredam suara, teriakan dan amukan yang ia lakukan ketika berhubungan dengan pekerjaan, yaitu di saat melakukan panggilan telepon maupun meeting secara virtual tak akan terdengar dari luar ruangan.Salwa mulai memahami bagaimana karakter suaminya. Dengan beberapa kali melihat Sean marah, ia mencoba mengalihkan perhatian lelaki itu dengan bersikap lembut. Amarah Sean seketika mereda di kala Salwa memeluk untuk menenangkannya. Lelaki itu juga akan merasa tidak berdaya ketika Salwa mendiamkannya. Sean yang tampak kuat dan ditakuti ternyata adalah pria rapuh tanpa ada yang mengetahui. Kehilangan kasih sayang sejak kecil membuatnya t