Salwa menatap layar smartphone yang sejak tadi tak ada panggilan ataupun pesan. Sekali lagi ia mencoba menghubungi Sean Arthur, tetapi tetap saja panggilannya terabaikan.Dia menghela napas kasar, mengempaskan benda tipis itu ke atas ranjang. Tangannya menjulur ke atas, memperhatikan jemari polos yang tak tersemat apa pun di sana. Benarkah setiap pernikahan membutuhkan cincin kawin? Alvaro mengatakan bahwa pria miskin pun akan memberikan cincin kepada wanita yang dicintai sebagai tanda pengikat pernikahan mereka. Lantas, apakah benar Sean mencintainya atau hanya sekadar mempermainkan perasaannya saja.Salwa ingin percaya, tetapi bagaimana lelaki itu memaksa dirinya untuk segera pergi meninggalkan penthouse dan kembali pulang ke Indonesia, tak menjawab panggilan ataupun membalas pesannya, cukup membuktikan di mana posisinya berada. Jika hanya sebuah cincin tak diberikan, itu tak jadi soalan. Salwa akan selalu memaklumi hal itu. Akan tetapi, setelah ia menjejakkan kaki di negara kelah
Hanya butuh beberapa menit saja, Salwa sudah bersiap dengan gamis yang ia bawa dari penthouse. Wajah sudah terawat dari sananya, sehingga tak membutuhkan terlalu banyak aplikasi makeup. Meskipun demikian, tak bisa menampik pesona perempuan yang sudah menyandang status istri tersebut."Ayo!"Salwa mengajak Anisa berangkat dan diikuti anggukan oleh gadis berkerudung cokelat. Mereka berjalan beriringan, keluar dari rumah sederhana itu menuju motor Anisa yang telah diparkir di halaman.***Reuni diadakan di sebuah hotel berbintang dengan pesta kolam renang. Seorang DJ asik mengatur ritme lagu dengan beberapa orang tampak berjoget di sana. Alvaro mengatakan semuanya free Alcohol, sehingga memastikan tidak akan terjadi keributan malam ini.Seorang gadis tampak anggun mengenakan gaun malam berdada rendah, menampilkan lekuk tubuh indah semampai baru saja masuk ke area pesta. Menjadi pusat perhatian banyak orang membuat sang gadis populer yang bernama Angela membusungkan dada, menaikkan dagu,
Mata Salwa melebar, terkejut dengan ungkapan cinta Alvaro yang tiba-tiba. Angela yang menyaksikan itu tampak geram, mengepalkan tangan dan berjanji akan mempermalukan Salwa malam ini kepada semua orang. Bagaimanapun caranya.Salwa ingin menjawab, tetapi Alvaro segera mencegahnya. "Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang. Aku akan menunggu sampai kamu memikirkannya dengan benar."Salwa menggeleng. "Aku akan menjawabnya sekarang.""Sssttt!" Telunjuk Alvaro menempel di mulut Salwa, menahan kalimat yang mungkin akan keluar dari bibir ranum itu. "Kita akan membahasnya berdua."Salwa mengangguk. Tak baik rasanya menolak mentah-mentah Alvaro di depan banyak orang, terutama teman-temannya sendiri. Dia menyunggingkan senyum menyetujui setelah jari telunjuk itu terlepas dari bibirnya.Permainan makin terasa seru dan mendebarkan. Semua orang ikut merasakan tantangan atau pengakuan hal yang paling gila semasa hidupnya. Tawa dan canda mereka lakukan, seperti sebuah pertemanan yang terasa kental sete
Salwa gemetar melihat sosok tegap yang memandang dirinya dengan tajam. Seolah sedang menguliti, murka, juga kecewa. Kecewa?Mengapa harus dia yang kecewa? Seharusnya Salwa yang merasakan kecewa kepada lelaki itu, bukan?Di saat Alvaro masih belum sempat bediri dari jatuhnya, lelaki yang tampak murka menghampiri Salwa.Salwa beringsut menjauh. Ada kilat kemarahan yang jelas terlihat dari sorot mata lelaki itu yang membuat dirinya ketakutan. Dia bingung, takut, juga merasa sakit hati. Seolah semua yang terjadi adalah kesalahannya."Tu-an." Salwa berkata lirih, menyadari Sean dalam kondisi emosi yang tidak stabil.Tangan lelaki itu terulur, menyentuh rahang Salwa, lantas menekannya, menimbulkan rasa sakit pada diri perempuan itu. Tatapannya sangat mengerikan, begitu menikam tajam ke kedalaman mata Salwa. "Kau berciuman dengannya?"Salwa menggeleng, dia tidak bermaksud melakukan itu. Dia hanya dipaksa, bahkan sejak tadi ia masih berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Alvaro. "Tidak, i
"Apa? Hamil?"Perkataan Sean tentu menimbulkan banyak tanda tanya. Pasalnya dia telah mendapatkan suntikan kontrasepsi dari Dokter Alan, dan Sean tak menyentuhnya beberapa minggu ini. Lantas, bagaimana dia bisa hamil?Diraihnya kertas itu dari tangan Sean, membaca isi yang tertera di dalamnya. Di sana dengan jelas dinyatakan bahwa dirinya tengah hamil tujuh minggu.Mata Salwa berkaca-kaca, tidak sanggup menyembunyikan rasa perih di hatinya. Pernikahan yang ia jalani dengan penuh luka harus bertahan karena anak yang berada di rahimnya. Dia kembali menenggelamkan wajah di atas lutut dengan kedua telapak tangan dijadikan alas menutupi mukanya."Bagaimana bisa?" Salwa memang mencintai Sean. Akan tetapi, sikap kasar lelaki itu membuatnya muak. Sean tidak pernah mau mendengarkannya, menerima penjelasannya. Dia takut jika pada akhirnya lelaki itu selalu memukulinya jika ada suatu hal yang disalahpahami. Ia sudah lelah, letih untuk bertahan dalam hubungan seperti itu. Ingin segera terbebas a
"Buka mulutmu!"Sean menyendokkan bubur untuk makan pagi Salwa, menyuapkan bubur itu ke mulut sang istri. Langkah awal dalam misi meluluhkan hati Salwa kembali.Salwa menurut, membuka mulutnya dengan patuh, menerima suapan demi suapan Sean untuknya. Sesungguhnya, ia merindukan hal ini. Merindukan sikap lembut Sean kepadanya. Lelaki itu bisa berubah mengerikan, bisa juga menjadi pribadi yang sangat lembut, membuatnya bingung menentukan sikap.Bibir itu diseka lembut, ketika bubur tanpa sengaja mengotori permukaannya. Mata mereka saling bersipandang, menatap dengan pandangan yang entah. Sekelumit rasa yang masih tertanam di hati, tak bisa menampik keinginan untuk tetap bersama.Salwa masih diam, tak berkutik ketika bibir lelaki itu menyentuh bibirnya, membasahi permukaannya lembut. Ciuman itu adalah ciuman pertama setelah lelaki itu bertemu kembali dengannya. Bibir itu masih bertahan di sana, menjelajah dengan begitu halus, tak sedikit pun membuat Salwa kesakitan atau mengeluh lantaran
"Tuan!"Salwa menahan tubuh Sean ketika lelaki itu hendak melayangkan bogem ke wajah Alvaro. Dia segera berdiri dari kursi roda, mengabaikan tubuhnya yang masih lemah, lalu memeluk Sean dengan erat. "Jangan memukulnya lagi. Dia hanya bercanda."Pelukan itu mengerat, dengan Salwa menenggelamkan wajahnya di dada lelaki itu. Entah mengapa, pelukan hangat perempuan tersebut, ternyata mampu mendinginkan hatinya yang memanas. Seolah api yang sempat membara dalam hati dipadamkan dengan cepat begitu Salwa memeluknya.Tangannya mengusap lembut kepala Salwa, membuat perempuan itu menengadah menatapnya. Bola mata bulat nan hitam menatapnya dengan sendu, menunjukkan sebuah permohonan agar tidak memperpanjang masalah. Lagi pun, tujuannya datang hanya untuk memastikan Alvaro baik-baik saja. Jika Sean kembali menyerang lelaki itu, sudah pasti urusannya semakin panjang, bukan?Tatapan yang tajam meredup, melabuhkan semua perhatian kepada perempuan di depannya. Dia menguraikan pelukan Salwa di tubuhny
Suara keributan di kamar Salwa membuat hampir seluruh anggota keluarga terusik tidurnya, hingga sebuah ketukan terdengar menggebu di pintu, membuat Sean maupun Salwa terperanjat. Posisi mereka sedang tidak aman, mencari-cari di mana pakaian yang tadi dilemparkan. Kamar yang semula gelap, hanya cahaya rembulan yang menyinari, mengintip di balik jendela, mendadak terang setelah Salwa menghidupkan sakelar lampu.Mengawasi situasi, setelah keduanya berpakaian kembali, ia membukakan pintu kamarnya. Di sana ada Pak Samsul dan Bu Darmini berdiri menatap dengan cemas anak dan menantunya."Apa yang terjadi?" Pak Samsul melongok ke dalam, melihat apa yang membuat mereka berteriak.Salwa menggaruk tengkuk yang mendadak gatal tanpa sebab, meringis dengan memamerkan deretan gigi putihnya. "Ranjangnya ambruk, Pak!""Hah? Bagaimana bisa?" Pak Samsul merangsek masuk, melihat ranjang yang sudah miring dengan kasur busa menjorok ke lantai. Matanya beralih menatap Sean dan Salwa secara bergantian, lalu