Sementara itu di benua lain, Jina membelalak kaget, mulutnya bahkan sampai menganga lebar melihat sosok pria yang diatur untuk Liera baru turun dari mobil taxi.
"Tunggu, kau baru sampai?!!"
Pria itu tertawa, menggosok kepalanya yang gundul halus bercahaya. "Ahaha, aku tersesat lagi tadi. Sudah kubuka maps tapi ternyata jalur yang kuambil jalur khusus busway. Aku berurusan agak lama dengan polisi tadi." Jina mengepal tangan kuat. Sedikitpun tak ada ekspresi yang coba ia sembunyikan saat itu. "Lalu, lalu siapa yang ada di dalam?!" "Hm?" "Dasar bodoh! Kau mengacaukan segalanya!" Padahal Jina sudah membayar wartawan kemari, menyusupkan mereka ke hotel diam-diam, memberi uang tutup mulut pada beberapa staf hotel. Tapi apa gunanya semua itu bila ternyata tidak ada siapapun kecuali Liera yang didalam sana?!!! "Aku, aku sudah menghabiskan hampir seluruh tabunganku untuk ini." Jina frustasi. Mau dipikir bagaimanapun dia tidak boleh berhenti sampai disini. Dia sudah kehilangan banyak uang! Untuk itu Jina naik ke lantai 5. Tapi para wartawan tampak lebih senang dari sebelumnya. Suasana yang lebih ramai dari perkiraannya dan... "Lihat bagaimana wanita itu digagahi." Hanya mendengar kalimat lalu itu dari wartawan wanita yang lewat, senyumnya merekah bahagia. Benar, dia baru ingat. Dia tidak mengunci pintu kamar itu.Tentu saja akan ada pria lain yang masuk kedalam.
Mungkin pria tua dan gemuk yang bahkan bentukannya sangat menjijikan?
Intinya, usaha Jina tidak sia-sia!
Gadis itu tersenyum puas karena keesokan harinya, Jina melihat seluruh karyawan membenci Liera--sama seperti dirinya.
Meski belum tahu siapa pria yang meniduri Liera.
"Hei lihat siapa yang datang." Beberapa karyawan wanita berkumpul begitu Liera datang ke kantor.
"Bukannya dia jalang tuan muda Exvander?"
"Hahaha, paling juga habis dipakai ya dibuang. Oh atau sekarang posisinya memang sudah dibuang ya?" Mereka tertawa dengan suara besar. Tujuannya sudah jelas untuk memicu kritikan lainnya yang mungkin belum tersampaikan. "Kelihatannya seperti karyawan teladan, memang ya hati orang tidak ada yang tau." Wanita berambut ikal panjang menghampiri meja Liera, dia adalah sahabat Jina—Malis. "Kau dibayar berapa sama tuan muda?" "Dibayar apanya?" Yang lain menyahut. "Palingan dianya aja yang berusaha naik ke atas ranjang tuan muda." "Itu benar. Tuan muda Exvander dengan dia?? Tidak masuk akal. Para kekasihnya saja setara artis dan pengusaha wanita, sementara dia? Hanya karyawan biasa yang tidak pernah naik jabatan." Malis tersenyum miring. "Dasar murahan, aku tidak percaya bekerja di kantor yang sama dengan orang sepertimu." "Teman-teman hentikan." Jina datang dari arah ruangan manajer. Lipstiknya sedikit berantakan dan pakaiannya tampak kusut. "Kak Liera hanya kesepian, jangan terlalu menyalahkannya." "Heh, merasa kesepian? Apa kau mau kukenalkan dengan seseorang? Meskipun penampilannya jauh dibawah rata-rata, tapi dia cocok untukmu dia juga bisa memelukmu sepanjang malam untuk mengusir rasa kesepianmu." Malis menunjuk-nunjuk. "Aku tidak paham mengapa kau sampai semarah ini karna masalahku, Malis. Kau menghampiriku lebih dulu di mejaku dan mencercaku ini itu, jangan bilang kau cemburu karna wanita yang bersama tuan muda Exvander adalah aku bukan dirimu Malis." "Sembarangan! Aku tidak sepertimu yang naik keatas tempat tidur orang lain dengan tidak tahu malu. Kenapa aku marah? Bukannya sudah jelas? Aku marah karna aku bekerja di kantor yang sama dengan orang murahan sepertimu." "Seperti perusahaan ini milikmu saja." "Apa?" "Aku bilang, kau setantrum ini seperti beranggapan bahwa kaulah pemilik perusahaan ini. Biar ku ingatkan sekali lagi padamu Malis, perusahaan ini milik keluarga Exvander. Bukan milik seorang Malis Tiffany. Jadi jangan terlalu sok, kau hanyalah karyawan yang datang setelah aku." "Dasar wanita jalang!" Liera dengan cepat menahan pergelangan tangan yang akan menamparnya itu. "Hati-hati dengan ucapanmu, Malis. Karna tidak ada yang tau, bisa saja orang yang kau sebut sebagai jalang tuan muda Exvander ini menjadi istrinya tuan muda." "Liera Fareeda, datang keruangan Kepala Bagian Pemasaran." Seorang wanita lain datang memanggil. Liera kembali menatap Malis, menghempaskan tangannya kemudian pergi. "Malis, apa kau baik-baik saja?" "Aku tidak apa-apa Jina. Wanita jalang itu, aku pasti akan membalasnya, huh!" Malis kembali ke tempatnya. Sementara itu Jina yang masih berdiri disana menatap nyalang tempat Liera. Wanita itu, bermimpi menjadi istri seorang tuan muda??? Yang benar saja. Kemarin, setelah keberhasilannya menjebak Liera, dia tidur sambil berharap dihampiri mimpi indah akan kehancuran Liera. Namun boro-boro hancur, di mimpinya Liera hidup bahagia dengan kekayaan yang tak terhitung banyaknya. Dia pikir itu hanya sebuah mimpi. Tapi melihat berita pagi ini, Jina syok sampai terjatuh ke lantai. Pria yang bersama dengan Liera malam itu bukanlah pria sembarangan melainkan seorang tuan muda dari keluarga Exvander. Pria yang menjadi idaman abad ini oleh hampir seluruh dunia. Baik dalam segi kekayaan, ketampanan, dan... Keperkasaan tentunya. Ah, Jina sudah meminta foto aslinya pada temannya dan kehadiran Liera disana sangat mengganggu fantasi nakalnya. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, mana mungkin Liera menjadi seorang Nyonya muda?Dia bahkan jauh dibawah standar Tuan muda yang sering berkencan dengan artis-artis idola.
Ya, Liera mana mungkin jadi Nyonya muda!Kalau Liera sampai menjadi Nyonya muda Exvander, maka dia tidak akan berani mengangkat wajahnya seumur hidup!
"Silahkan duduk Liera."Liera tertegun sejenak. Duduk? Dimana? Hanya ada satu kursi terdekat disini, dan itu tidak lain tidak bukan kursi yang sedang diduduki Gian sekarang. Sementara sofa berada jauh disana, dan lagi Gian tampak tidak berniat untuk pindah bersama kesana.Gian memundurkan kursinya kebelakang lalu kakinya dibuka lebar. "Liera?" Satu alisnya terangkat.Ah, Liera mengerti sekarang. Tempat dimana ia duduk ialah dipangkuan Gian. Dia diminta untuk itu.Bersikap pura-pura tidak tau, Liera mengembangkan senyumnya. "Saya berdiri saja, Pak." Tolaknya.Gian tidak menunjukan ekspresi apa-apa mendengarnya. Mereka saling menatap satu sama lain selama beberapa detik hingga kemudian Gian menarik sudut bibirnya.Gian berdiri, memutari meja kerjanya, melangkah hingga ke samping Liera. Was-was, Liera tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan Gian. Meski ia tau bahwa Gian akan melakukan hal yang jelas tidak membuatnya senang, Liera tidak tau kapan tepatnya hal itu terjadi. Tidak mungkin
Drrt!Nomor tidak dikenal: [Ayo bertemu di villa] Liera termenung, membaca pesan itu sekali lagi. Orang tidak dikenal, tanpa sopan santun, meminta bertemu di villa. Ah tidak, ini sepertinya bukan permintaan tapi perintah. "Villa... " Liera berpikir. "Villa yang tadi pagi?" Dia bangun dari ranjangnya dan menghubungi nomor itu. Tetapi yang dia dapatkan ialah fakta bahwa nomor itu memblokirnya. Sehingga hanya nomor sepihak itulah yang bisa mengirim pesan dan menelponnya. "Terserah. Dia menyuruhku kesana bukan berarti aku harus menurutinya." Liera meletakan ponselnya dinakas dan pergi mengambil laptop diatas meja. Malam ini Liera akan mengirimkan CV nya secara daring ke berbagai perusahaan yang sedang buka lowongan berharap besok atau mungkin dalam satu minggu kedepan akan ada panggilan wawancara untuknya. *** "Bung, kau yakin dia akan datang?" "Ya?" "Atas dasar apa?" "Karna dia akan datang." Liam menepuk menghela nafas panjang dengan kepala tertunduk. Tak percaya
Adam tidak bisa menyembunyikan ekspresi marahnya sejak keluar dari ruang rapat yang dihadiri oleh para Direktur lainnya. "Apakah ini akhir dari Exvander Group?" Kalimat itu terbayang-bayang di kepalanya. Putranya sudah berkali-kali membuat masalah yang hampir mirip dengan ini, namun konsekuensi yang didapat tidak pernah separah ini. Sudah jelas, saat ini ada yang sedang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Hanan Group. Perusahaan rivalnya itu sedang naik-naiknya sekarang. Bukan tanpa dasar Adam menerka bahwa Hanan Group lah yang menjadi bensinnya, sebab bukan sekali dua kali juga Hanan melakukan hal yang sama. "Panggil Jovan sekarang!" Suara Adam menggema diruangan yang berkesan dingin itu. Segera asistennya berbalik badan untuk menghubungi sang Tuan muda yang sudah beberapa hari ini tidak tinggal di kediaman. "Kuberi satu menit dari sekarang." Suasana hati Jovan disana juga tampak sedang tidak baik. "Tuan muda, anda dipanggil untuk menghadap Tuan besar sekarang di k
"What the hell man, wajahmu sungguh berseni saat ini. Izinkan aku mengambil foto denganmu." Namun Jovan tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya diam dengan kepala yang sedikit menunduk. Melihat itu, Liam mengusap ujung hidungnya dan duduk disamping Jovan. "Ambil sisi positifnya, ayahmu hanya ingin sedikit memperbudakmu."Jovan menatap Liam dengan sinis. Lalu mengeluarkan suara dengusan risih dari bibirnya. "Kalau saja kau langsung kembali ke rumahmu begitu ayahmu memanggil, kau tidak akan mendapatkan bogem mentah darinya. Lihat, aku bahkan sampai tidak mengenalmu. Jika saja kau tidak memakai kaos hitam kesayanganmu ini, aku tidak akan tau jika itu kau. Tapi kalau dipikir-pikir untung saja aku sedang tidak di villa mu tadi, haha maksudku meski kau itu sahabatku aku tidak ingin mati bersamamu. Itu agak menjijikan haha... "Jovan melihatnya lagi, lebih tajam dari sebelumnya. "Apa? Kenapa melihatku begitu bung? Coba kau pikir, dua orang pria mati bersama setelah berusaha melindungi satu s
"Kau terlambat." Liam memutar matanya jengah, malas membalas Jovan. Setelahnya dia melihat Jovan dari bawah ke atas lalu dari atas ke bawah. "Kenapa kau baik-baik saja?" Tanyanya. "Kau berharap kondisiku bagaimana?" Jovan menatap sinis. "Hahaha, tentu saja aku selalu mengharapkan kesehatanmu. Kalau begitu... Kenapa kau berada disini? Dan kenapa kau memanggilku kemari?" "Itu—" "Aaah, aku tau!" Liam tertawa mengejek. Wajahnya seolah menyiratkan kata 'muak' pada kasus Jovan ini "Kau datang kemari bersama dengan seorang wanita kan?" "Dari mana kau tau?" Liam menarik ke atas sudut bibir kirinya. "Cih, dari mana aku tau? Kau itu binatang yang selalu birahi." "Hei!" "Kutebak lagi, kau dan wanita itu datang kemari karna dia mengaku hamil anakmu, dan setelah dokter bilang dia benar-benar hamil kau memanggilku kemari untuk menanggung kesalahanmu. Jovan, kau itu mudah sekali ditebak. Kau mungkin bisa saja menyuruhnya ab0rsi sekarang tetapi dia mengancammu akan menyebarkan i
“Lia, berbaringlah diatas tempat tidur.” “Y,Ya?!” “Lia, apa kau tidak mau? Aku hanya tidak ingin kau melihat wajahku. Mana mungkin aku membiarkanmu terus berdiri seperti ini.” Lagi, nada memelas itu dipakai Liam untuk menaklukan Roselia. “Aku akan naik!” Roselia dengan sigap menuju tempat tidur, naik, lalu berbaring membelakangi Tuannya. Hahah, Liam merasa bangga sendiri. Dia tau itu, cara menaklukan hati wanita ada banyak. Dan teknik yang paling ampuh ialah dengan memohon seperti ini. Setelah Roselia berbaring. Liam mengambil selimut lain di dalam lemari kemudian menyelimuti Roselia dengan lembut. Dari ujung kaki sampai ujung rambut. “Tu-Tuan, saya sesak.” Liam tersadar bahwa bukan hanya sekedar menyelimuti, ia juga melilitkan selimut itu di leher Roselia. Ah, ini pasti disebabkan oleh kekhawatiran takut akan ketahuan. “Maaf,” Ujarnya. “Aku hanya takut kau akan meninggalkanku.” Ia melonggarkannya. Hmmm, melihat Roselia terbungkus sepenuhnya seperti jenazah, Liam
“Sudah kuputuskan! Jovan, kau akan menikahi wanita ini!” Pernyataan Adam membuat para pelayan kaget. Bahkan Roselia sendiri, ia tiba-tiba berhenti menangis. “Jangan bercanda, apa kau tau apa yang saat ini sedang kau katakan?!” Jovan meninggikan suaranya dengan berani. Tidak, bukan sekedar berani, tetapi marah. Emosinya melesat naik keatas secara drastis. “Setelah kau menyuruhku untuk menikahi wanita yang terlibat denganku difoto itu, sekarang kau ingin aku menikah dengan wanita ini?! Aku tidak ada hubungannya dengan wanita ini, aku baru pulang dan kalian sudah menungguku disini dengan persepsi kalian!” “Diam! Kau tidak diberikan hak untuk membantah!” “Kenapa tidak, ini tentang hidupku!” “Justru karna ini menyangkut hidupmu, kau tidak boleh membantah! Aku sudah membiarkanmu selama ini untuk memilih jalan hidupmu. Kubiarkan kau memutuskan apa yang ingin kau makan, apa yang ingin kau pakai, apa yang kau pelajari, dimana kau ingin bersekolah, dan kepada siapa kau ingin bergau
Sudah satu jam berlalu, sudah bosan pula Adam menunggu. Ketika beliau sudah menghembuskan nafas berat yang panjang, Jovan langsung tau bahwa waktunya sudah habis. “Aku akan menjemputnya.” Kata Jovan begitu ayahnya baru saja berdiri. Menatap kedalam mata anaknya. Adam berbalik sambil menggelengkan kepala. “Jangan biarkan Jovan keluar selangkahpun dari kediaman ini.” Jatuhnya perintah Adam merupakan sesuatu yang mutlak. Para penjaga langsung bergerak melakukan tugasnya, memperketat keamanan di sekeliling rumah termasuk didepan pintu kamar Tuan muda mereka. Jovan sudah tau kurang lebih apa yang akan terjadi padanya, karena itu ia dengan patuh berjalan masuk sendiri ke kamarnya tanpa diminta. “Jovan,” Panggil Felicia. Jovan berhenti. “Cukup sampai disini, turuti perkataan ayahmu.” Ucapnya berpesan. Sebagai seorang ibu yang tahu tabiat anaknya, Felicia kembali memperingati Jovan. Suara tawa terdengar dari Jovan. Tawa yang mengandung kekecewaan terhadap orang tuanya. Yah, betul