"Aku bisa melihatnya," Adam membuka pembicaraan selagi menunggu pintu dihadapan mereka terbuka.
Liera yang digenggam tangannya oleh Adam, memandang penuh tanya. Apa yang dia maksud? pikirnya dalam hati. Detak jantungnya berpacu. Mungkinkah Adam sudah tahu tentang kontrak itu?Adam tersenyum, balas menatap Liera. "Putraku, dia menyukaimu lebih dari yang dia kira."Liera dengan sigap merapatkan mulutnya. Ia tidak boleh tertawa, tidak boleh!Ayolah, Adam mengatakan hal itu karena ia tidak tahu bila ada kontrak tertulis di balik pernikahan ini. Ia tidak tahu bila Liera dan Jovan akan segera bercerai dan ia tidak tahu bahwa calon menantunya ini ikut berkontribusi sebab dibutakan oleh uang."Ngomong-ngomong, kau pintar juga memanfaatkan posisimu."Liera kembali dibikin penasaran. Kenapa juga Adam harus berbicara setengah-setengah."Tadi sebelum kesini aku mendapat laporan bahwa banyak tamu tidak diundang memaksa masuk keda"Hei, kapan kita sampainya? Sudah berapa lama ini?" tanya Asni, suaranya bergetar sedikit. Ia menengok ke luar jendela, matanya membulat saat menyadari mereka melewati papan penunjuk jalan yang sama untuk ketiga kalinya. Sopir menoleh kebelakang, matanya menyipit. "Sabar! Kau pikir berkendara selama ini gampang?? Aku juga sedang mencari jalan alternatif agar kalian bisa cepat sampai!" Balas sopir. "Tapi sepertinya kita sudah lewat taman ini sebelumnya, apa kau memang tau jalan ke gedung X?"Koldi terbangun dari tidurnya. Bukan karena suara Asni yang berisik, namun karena ia merasa harus mengeluarkan sesuatu saat ini juga. "Toilet! Cari toilet dulu!"Sopir menyunggingkan senyum, segera meminggirkan mobil. "Di Sekitar sini ada toilet umum, pergilah." Kata sopir. Koldi dengan cepat keluar. Ia pergi namun tak lama kembali lagi. "Dimana toiletnya!""Ada diujung sana!""Antar aku cepat!""Enak s
Mobil mewah berhiaskan bunga indah itu berhenti. Liera terbangun dari lamunan panjangnya dan melihat keluar jendela. Sebuah rumah besar yang sangat megah terpampang di hadapannya. Sayangnya, Liera bisa melihat betapa sunyinya rumah itu, yang membuatnya tampak mati meskipun banyak lampu dinyalakan. Tapi tak apa. Liera terbiasa oleh kesunyian. Dia lebih nyaman hidup sendiri. Bahkan jika orang-orang mengatakan bahwa hidupnya begitu hampa, Liera hanya bisa mengatakan bahwa ia nyaman pada kehampaan itu. Yah, meskipun sekarang ia akan memiliki teman serumah... Tok tok tok "Tidak mau turun?" Tanya Jovan setelah mengetuk jendela mobil dari luar. Liera menghela nafas, mengambil tas kecilnya yang lebih mahal dari rumah pribadinya disamping. Ia membuka pintu. Jovan sudah lebih dulu berjalan masuk kedalam rumah. Mengikuti Jovan, Liera tak ingin banyak bicara. Pikirannya mengalir pada tempat tidur yang dimiliki rumah mewah ini. Mungkinkah kapasnya terbuat dari benang-benang emas yang
"Tapi... Kenapa mereka kemari?" Sebab umumnya malam ini adalah malam pertama bagi suami-istri. Jadi seharusnya tidak ada yang datang untuk mengganggu malam itu. Yah... Meskipun Liera dan Jovan memang tidak melakukan apapun. Tapi kan— Sesuatu tiba-tiba melintas di benak Liera. Sesuatu yang mengerikan dan tak bisa ia bayangkan kronologinya lebih jauh. Segera Liera berlari ke arah pintu kamarnya, gaun pengantinnya yang berat ia angkat susah payah untuk mempercepat langkahnya. Sampai disana, Liera buru-buru menutup pintu buka dua itu. Sayangnya, ketika baru akan tertutup, sebuah tangan masuk di sela-sela, mengganjal pintu. "Ugh!" Erang orang dibalik pintu. Itu suara Jovan. Liera mengenalinya dengan jelas tetapi saat ini ia tidak ada niat melepas tangan yang mengganjal itu dari jepitan pintu. "Kenapa?!" Suara Liera sedikit membentak. "Saya mau tidur, jangan mengganggu!" Jovan, dibalik pintu, menahan pintu agar tid
"Tidak, tunggu! Jangan semuanya!" "Ssst, tenanglah." Kata Jovan pelan dengan suaranya yang rendah. "Ada sesuatu yang harus kuperiksa." Liera menahan napas. Tubuhnya menegang. Mau itu nafas Jovan yang menyapu halus kulit lehernya ataupun sentuhan tangannya yang sensual, keduanya sama-sama menyengat. Liera memejamkan mata begitu merasakan tangan besar itu bersentuhan dengan pinggang polosnya, kedua tangannya meremas sprei dengan kuat, ia menggigit bibir bawahnya, tubuhnya sedikit maju ke depan, lalu lenguhan naif itu lolos begitu saja. Jovan tiba-tiba menghentikan aktivitasnya, nafasnya pun tercekat dan pupil matanya melebar. Irisnya bergerak, melihat Liera lewat ujung matanya. Jakunnya bergerak, menelan ludah. Ia kembali melihat apa yang baru saja ia lakukan. Terkejutlah ia dengan apa yang ia lakukan. Tangannya bahkan masih berada disana dengan tujuan dan visi misi yang jelas, yakni terus merambat ke bawah dan ke bawahnya lagi menc
"Aku akan menikah besok." Penuturan George membuat semua orang yang disana menghela nafas lelah. "Untuk membuat buku perceraian yang baru?" Tanya yang lain. "Ini adalah yang terakhir, yang akan menemaniku hingga aku tua. Kami sudah saling berjanji untuk itu." Kata George bangga. Mereka yang mendengar hanya mengangguk-angguk. Yah, biarkan George melakukan apa yang dia mau. Sementara itu, Liam sudah mempersiapkan segalanya untuk malam ini. Musik terdengar, langsung dengan opening yang memecah. Lampu diredupkan, botol minuman dikeluarkan dari tempat penyimpanan. Mereka tidak akan tidur malam ini. *** Liera membekap telinganya. Sejak beberapa jam yang lalu berusaha untuk tidur tetapi selalu saja tidak bisa. Degungan musik dari lantai satu masih setia mengganggunya. Pintu kamarnya diketuk. Liera langsung terduduk diatas tempat tidur, melihat pintu kamarnya disana. Ketukan kembali terdengar, tetapi tak sedikitpun Liera ingin beranjak membukakan pintu. Ia hanya melihatnya da
Mereka saling bersi pandang, wanita yang sudah diduga Liera sebagai wanita panggilan itu dengan angkuh melewati Liera begitu saja tak lupa mengibaskan rambutnya hingga terkena diwajah Liera. "Si-sialan...." Liera. Tangannya berpegang kuat pada pegangan tangga. Menarik napas dalam-dalam, Liera menghembuskannya dengan pelan. Sudahlah, ayo cari makan saja. Begitu turun di lantai satu, lagi-lagi ada wanita yang baru saja keluar dari sebuah kamar. Hanya seorang wanita dengan gaun minim bahan berwarna merah, rambutnya kusut dan langkah kakinya tak normal. Wanita itu dan Liera saling melihat. Kali ini, wanita itu berjalan mendekat kearah Liera. Berhenti, ia melihat Liera dari atas hingga bawah menatapnya dengan angkuh. Lalu berdecak tertawa. "Lebih besar punyaku." Kata wanita itu. Ia mengangkat kedua gundukannya keatas, memamerkannya. Liera saking syoknya, menutup mulut dengan telapak tangannya. Baru kali ini ia melihat wanit
Liera perlahan berhenti mengunyah, sendok ia letakan diatas meja, kemudian diambilnya segelas jus disampingnya untuk diminum. "Aku belum mengizinkan kalian bergabung." Kata Liera begitu Gian dan Beni hendak duduk. Merasa jengkel, Gian tertawa, mencoba untuk tidak memperlihatkan kekesalannya. Dengan tangan disaku celana, Gian berucap, "Liera, kami disini karena merasa kasihan denganmu. Lihat bagaimana kau makan sendiri tanpa suamimu?" Ia menggeleng sembari berdecak menyayangkan. Beni menyambung, "Coba lihat sekelilingmu, Liera." Sambil menyapu semua orang dengan telunjuknya, namun sedikitpun Liera tak menoleh melihat ke arah lain. Hanya melihat kedua orang itu dengan nanar. "Mereka semua berpasangan bahkan lebih, tapi lihat dirimu?" Beni tertawa. Gian menghela nafas panjang, menarik keluar kursi di depan Liera dan langsung duduk. "Sudahlah, jangan mempermalukan dirimu terlalu jauh. Aku tau kau orangnya sok jual mahal, tetapi kau harus tau kalau kepribadianmu itu akan menjatuhkanmu
"Itu benar, Pak! Jina sangat berkontribusi besar dalam keberhasilan proyek ini." Mendengar pernyataan palsu itu, Liera menahan senyum.Ia meminum alkohol secara perlahan sambil memikirkan apa saja yang harus dia beli untuk pembelanjaan bulan ini. Faktanya, Liera lah yang berperan besar dalam keberhasilan proyek itu. Dia yang mengambil hati klien sombong dengan berusaha merendah. Liera juga yang menyusun strategi pemasaran beserta laporannya.Tetapi, Jina--rekan kerjanya--mendapat pujian.Padahal, dia selalu menghilang. Baik itu saat jam kerja ataupun istirahat.Tidak ada yang mempermasalahkannya, karena hampir semua orang tau Jina ada di ruang Manajer Brais yang saat ini sibuk memuji Jina di depan Gian--Kepala Bagian Departemen Pemasaran.Sayangnya, mata Liera tak sengaja bertemu dengan Gian. Kepala Bagian Departemen Pemasaran itu tersenyum penuh nafsu yang membuat Liera bergidik ngeri.Dia tidak suka dengan senyuman itu! Tak hanya Liera, Jina juga melihatnya dengan rasa iri.