Mereka saling bersi pandang, wanita yang sudah diduga Liera sebagai wanita panggilan itu dengan angkuh melewati Liera begitu saja tak lupa mengibaskan rambutnya hingga terkena diwajah Liera. "Si-sialan...." Liera. Tangannya berpegang kuat pada pegangan tangga. Menarik napas dalam-dalam, Liera menghembuskannya dengan pelan. Sudahlah, ayo cari makan saja. Begitu turun di lantai satu, lagi-lagi ada wanita yang baru saja keluar dari sebuah kamar. Hanya seorang wanita dengan gaun minim bahan berwarna merah, rambutnya kusut dan langkah kakinya tak normal. Wanita itu dan Liera saling melihat. Kali ini, wanita itu berjalan mendekat kearah Liera. Berhenti, ia melihat Liera dari atas hingga bawah menatapnya dengan angkuh. Lalu berdecak tertawa. "Lebih besar punyaku." Kata wanita itu. Ia mengangkat kedua gundukannya keatas, memamerkannya. Liera saking syoknya, menutup mulut dengan telapak tangannya. Baru kali ini ia melihat wanit
Liera perlahan berhenti mengunyah, sendok ia letakan diatas meja, kemudian diambilnya segelas jus disampingnya untuk diminum. "Aku belum mengizinkan kalian bergabung." Kata Liera begitu Gian dan Beni hendak duduk. Merasa jengkel, Gian tertawa, mencoba untuk tidak memperlihatkan kekesalannya. Dengan tangan disaku celana, Gian berucap, "Liera, kami disini karena merasa kasihan denganmu. Lihat bagaimana kau makan sendiri tanpa suamimu?" Ia menggeleng sembari berdecak menyayangkan. Beni menyambung, "Coba lihat sekelilingmu, Liera." Sambil menyapu semua orang dengan telunjuknya, namun sedikitpun Liera tak menoleh melihat ke arah lain. Hanya melihat kedua orang itu dengan nanar. "Mereka semua berpasangan bahkan lebih, tapi lihat dirimu?" Beni tertawa. Gian menghela nafas panjang, menarik keluar kursi di depan Liera dan langsung duduk. "Sudahlah, jangan mempermalukan dirimu terlalu jauh. Aku tau kau orangnya sok jual mahal, tetapi kau harus tau kalau kepribadianmu itu akan menjatuhkanmu
"Itu benar, Pak! Jina sangat berkontribusi besar dalam keberhasilan proyek ini." Mendengar pernyataan palsu itu, Liera menahan senyum.Ia meminum alkohol secara perlahan sambil memikirkan apa saja yang harus dia beli untuk pembelanjaan bulan ini. Faktanya, Liera lah yang berperan besar dalam keberhasilan proyek itu. Dia yang mengambil hati klien sombong dengan berusaha merendah. Liera juga yang menyusun strategi pemasaran beserta laporannya.Tetapi, Jina--rekan kerjanya--mendapat pujian.Padahal, dia selalu menghilang. Baik itu saat jam kerja ataupun istirahat.Tidak ada yang mempermasalahkannya, karena hampir semua orang tau Jina ada di ruang Manajer Brais yang saat ini sibuk memuji Jina di depan Gian--Kepala Bagian Departemen Pemasaran.Sayangnya, mata Liera tak sengaja bertemu dengan Gian. Kepala Bagian Departemen Pemasaran itu tersenyum penuh nafsu yang membuat Liera bergidik ngeri.Dia tidak suka dengan senyuman itu! Tak hanya Liera, Jina juga melihatnya dengan rasa iri.
"Peluk... Aku mau peluk..." Wanita itu mengatakan hal yang lain untuk pertama kalinya. Jovan membelalakan matanya melihat bagaimana adiknya langsung mengeras tegang hanya dengan mendengar kata-kata itu. "Calm down bung, jaga harga dirimu!""Hng....h~""Shit!" Mau tidak mau Jovan harus mengeluarkan miliknya. Dia membuka gespernya, pengait, lalu menurunkan resleting celananya yang sesak menahan ketegangan di bawah sana."Kau benar-benar tidak punya harga diri." Meskipun itu jelas-jelas bagian dari dirinya sendiri. Jovan tetap tidak suka akan fakta bahwa bila miliknya langsung berdiri hanya karna beberapa kata dari seorang wanita yang terpengaruh obat perangsang. Baginya, hal itu sungguh tidak jantan!"Baiklah, mari lakukan ini dengan cepat." Jovan menyesap dalam mulut wanita itu. Gerakan lidah keduanya semakin sensual. "Kau..." Jovan tak lagi bisa berpikir jernih. Padahal dia hanya ingin melakukannya sendiri untuk dirinya. Tapi kalau sudah begini, siapa yang harus disalahkan?! "Ja
Sementara itu di benua lain, Jina membelalak kaget, mulutnya bahkan sampai menganga lebar melihat sosok pria yang diatur untuk Liera baru turun dari mobil taxi."Tunggu, kau baru sampai?!!" Pria itu tertawa, menggosok kepalanya yang gundul halus bercahaya. "Ahaha, aku tersesat lagi tadi. Sudah kubuka maps tapi ternyata jalur yang kuambil jalur khusus busway. Aku berurusan agak lama dengan polisi tadi."Jina mengepal tangan kuat. Sedikitpun tak ada ekspresi yang coba ia sembunyikan saat itu. "Lalu, lalu siapa yang ada di dalam?!""Hm?" "Dasar bodoh! Kau mengacaukan segalanya!" Padahal Jina sudah membayar wartawan kemari, menyusupkan mereka ke hotel diam-diam, memberi uang tutup mulut pada beberapa staf hotel. Tapi apa gunanya semua itu bila ternyata tidak ada siapapun kecuali Liera yang didalam sana?!!! "Aku, aku sudah menghabiskan hampir seluruh tabunganku untuk ini." Jina frustasi. Mau dipikir bagaimanapun dia tidak boleh berhenti sampai disini. Dia sudah kehilangan banyak uang!U
"Silahkan duduk Liera."Liera tertegun sejenak. Duduk? Dimana? Hanya ada satu kursi terdekat disini, dan itu tidak lain tidak bukan kursi yang sedang diduduki Gian sekarang. Sementara sofa berada jauh disana, dan lagi Gian tampak tidak berniat untuk pindah bersama kesana.Gian memundurkan kursinya kebelakang lalu kakinya dibuka lebar. "Liera?" Satu alisnya terangkat.Ah, Liera mengerti sekarang. Tempat dimana ia duduk ialah dipangkuan Gian. Dia diminta untuk itu.Bersikap pura-pura tidak tau, Liera mengembangkan senyumnya. "Saya berdiri saja, Pak." Tolaknya.Gian tidak menunjukan ekspresi apa-apa mendengarnya. Mereka saling menatap satu sama lain selama beberapa detik hingga kemudian Gian menarik sudut bibirnya.Gian berdiri, memutari meja kerjanya, melangkah hingga ke samping Liera. Was-was, Liera tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan Gian. Meski ia tau bahwa Gian akan melakukan hal yang jelas tidak membuatnya senang, Liera tidak tau kapan tepatnya hal itu terjadi. Tidak mungkin
Drrt!Nomor tidak dikenal: [Ayo bertemu di villa] Liera termenung, membaca pesan itu sekali lagi. Orang tidak dikenal, tanpa sopan santun, meminta bertemu di villa. Ah tidak, ini sepertinya bukan permintaan tapi perintah. "Villa... " Liera berpikir. "Villa yang tadi pagi?" Dia bangun dari ranjangnya dan menghubungi nomor itu. Tetapi yang dia dapatkan ialah fakta bahwa nomor itu memblokirnya. Sehingga hanya nomor sepihak itulah yang bisa mengirim pesan dan menelponnya. "Terserah. Dia menyuruhku kesana bukan berarti aku harus menurutinya." Liera meletakan ponselnya dinakas dan pergi mengambil laptop diatas meja. Malam ini Liera akan mengirimkan CV nya secara daring ke berbagai perusahaan yang sedang buka lowongan berharap besok atau mungkin dalam satu minggu kedepan akan ada panggilan wawancara untuknya. *** "Bung, kau yakin dia akan datang?" "Ya?" "Atas dasar apa?" "Karna dia akan datang." Liam menepuk menghela nafas panjang dengan kepala tertunduk. Tak percaya
Adam tidak bisa menyembunyikan ekspresi marahnya sejak keluar dari ruang rapat yang dihadiri oleh para Direktur lainnya. "Apakah ini akhir dari Exvander Group?" Kalimat itu terbayang-bayang di kepalanya. Putranya sudah berkali-kali membuat masalah yang hampir mirip dengan ini, namun konsekuensi yang didapat tidak pernah separah ini. Sudah jelas, saat ini ada yang sedang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Hanan Group. Perusahaan rivalnya itu sedang naik-naiknya sekarang. Bukan tanpa dasar Adam menerka bahwa Hanan Group lah yang menjadi bensinnya, sebab bukan sekali dua kali juga Hanan melakukan hal yang sama. "Panggil Jovan sekarang!" Suara Adam menggema diruangan yang berkesan dingin itu. Segera asistennya berbalik badan untuk menghubungi sang Tuan muda yang sudah beberapa hari ini tidak tinggal di kediaman. "Kuberi satu menit dari sekarang." Suasana hati Jovan disana juga tampak sedang tidak baik. "Tuan muda, anda dipanggil untuk menghadap Tuan besar sekarang di k