"Peluk... Aku mau peluk..." Wanita itu mengatakan hal yang lain untuk pertama kalinya. Jovan membelalakan matanya melihat bagaimana adiknya langsung mengeras tegang hanya dengan mendengar kata-kata itu.
"Calm down bung, jaga harga dirimu!"
"Hng....h~"
"Shit!" Mau tidak mau Jovan harus mengeluarkan miliknya. Dia membuka gespernya, pengait, lalu menurunkan resleting celananya yang sesak menahan ketegangan di bawah sana.
"Kau benar-benar tidak punya harga diri." Meskipun itu jelas-jelas bagian dari dirinya sendiri. Jovan tetap tidak suka akan fakta bahwa bila miliknya langsung berdiri hanya karna beberapa kata dari seorang wanita yang terpengaruh obat perangsang.
Baginya, hal itu sungguh tidak jantan!
"Baiklah, mari lakukan ini dengan cepat." Jovan menyesap dalam mulut wanita itu.
Gerakan lidah keduanya semakin sensual.
"Kau..."
Jovan tak lagi bisa berpikir jernih. Padahal dia hanya ingin melakukannya sendiri untuk dirinya. Tapi kalau sudah begini, siapa yang harus disalahkan?!
"Jangan salahkan aku girl, salahkan dirimu sendiri." Jovan naik ke atasnya. Bersiap membuka atasan wanita itu. Tetapi baru akan melakukannya, para wartawan sudah masuk dan mengambil banyak gambar.
Termasuk gambar.... adik kesayangan Jovan!
***
"Wow bro! Aku hanya menyuruhmu mengirimkan gambarnya padaku, kenapa malah kau publikasikan? Hahaha, apa-apaan itu, seorang Jovan Exvander mencoba meniduri wanita yang tak sadarkan diri??? Haha—"
Jovan lantas memutuskan sambungan telepon itu. Melemparkan ponselnya begitu saja diatas meja kaca.
Bertepatan dengan itu, beberapa orang datang dari berbagai arah, berkumpul bersama. Kini, bukan hanya Jovan saja yang ada disana melainkan ayahnya, ibunya, paman, bibi, sampai sepupunya juga ada disana.
Jovan hanya bisa berdecak dalam hati melihat keramaian itu. Ayolah, bukan masalah ini bukan hanya sekali dua kali muncul di media?
Dengan judul: Casanova Exvander beraksi lagi!
Jovan yang bersangkutan saja bosan dengan tingkah para wartawan yang melebih-lebihkan berbagai hal. Kenapa keluarganya juga ikut-ikutan.
"Foto yang bagus, Jovan." Arvis, sepupu Jovan yang seumuran dengannya memecah keheningan dengan hal yang bagus yang mana hal itu sukses membuat wajah para wanita yang hadir memerah seperti tomat.
Meskipun Jovan sudah mengurus masalah foto adik kesayangannya yang ikut terpublikasikan di media, bukan berarti sampai keakar-akarnya beres. Akan ada pertinggal, akan ada yang namanya jejak digital, dan ada lebih dari seribu orang didunia ini yang bisa memulihkan foto adik kesayangannya yang sempat terhapus.
Apalagi sepupunya ini adalah lulusan terbaik sebagai mahasiswa IT. Mana mungkin dia tidak punya foto aslinya???
"Untuk apa kau menyimpan foto diriku? Apa kau berniat mastrubasi dengan itu?"
Arvis mempertahankan senyum khas terpelajarnya. "Jika kau mau, aku bisa."
"Bangsat!"
"Diam!" Adam—ayah Jovan menyela. Beliau adalah sosok yang mewarisi Exvander Group disaat orang-orang mengatakan bahwa perusahaan itu akan gulung tikar. Dia mengangkatnya dengan tinggi hingga sejauh ini hanya untuk dijatuhkan berkali-kali oleh putra satu-satunya.
"Jovan sepertinya kau masih tidak paham kondisimu saat ini." Ujar Adam dengan nada tegasnya. Tak lupa sorot matanya yang dingin dan mengintimidasi ikut serta menekan suasana.
"Apa? Memangnya separah apa kondisi ku sampai aku harus membiarkan dia mastrubasi dengan fotoku."
"Jovan..." Felicia—ibu Jovan menegur sambil menepuk jidat. Beliau menghela nafas panjang beberapa kali untuk menenangkan dirinya yang memiliki riwayat penyakit darah tinggi.
"Apa kau berpikir kau masih anak remaja yang masih sibuk tawuran, hah?!" Suara Adam meninggi. "Bukan sekali-dua kali kau melakukan ini dan bukan sekali-dua kali juga kami memperingatkanmu untuk berhenti. Kau pikir gara-gara ini hanya kau saja yang jatuh dalam masalah?! Berkatmu harga saham turun drastis!"
"Lihat dirimu, masih bisa duduk santai disini tanpa memikirkan kerugian perusahaan. Anak-anak seumuranmu bahkan yang lebih muda darimu ada yang mulai merintis usahanya, ada yang mulai membantu orangtuanya di perusahaan dan ada yang bahkan sampai saat ini mati-matian mencari pekerjaan yang layak. Tapi kau! Apa kau tidak pernah bercermin Jovan!"
Jovan hanya memalingkan wajah, menatap kearah lain yang penting bukan wajah apalagi mata ayahnya. Meski begitu hanya matanya yang bisa lari, tidak dengan kupingnya yang selalu terbuka. Dia mendengar setiap kata yang diucapkan ayahnya dengan jelas, dan itu cukup menjengkelkan. Dia tidak suka perasaan menyesakan di dadanya. Rasanya tercekik.
"Selama ini aku memperhatikanmu, dan sepertinya kau tidak akan berubah. Bahkan jika kau berubah dari sikapmu ini, bukan berarti kau tidak akan mengulanginya lagi dilain hari. Jadi intinya tidak akan ada perbaikan pada sifatmu itu." Adam berdiri.
"Jovan, kali ini Exvander benar-benar tidak bisa membantumu lagi. Kau akan dikeluarkan dari Exvander."
"Apa?!" Felicia terkejut. Keputusan ini tidak ada dalam skrip mereka.
Sama halnya dengan Felicia, paman-bibi, dan kedua sepupu juga terkejut. Apalagi dengan Jovan. Jovan menatap netra ayahnya tak percaya.
Sementara itu adam tanpa melemaskan ekspresi wajahnya sedikit pun, melanjutkan dialognya. "Kecuali jika kau menikahi wanita di foto itu."
Sementara itu di benua lain, Jina membelalak kaget, mulutnya bahkan sampai menganga lebar melihat sosok pria yang diatur untuk Liera baru turun dari mobil taxi."Tunggu, kau baru sampai?!!" Pria itu tertawa, menggosok kepalanya yang gundul halus bercahaya. "Ahaha, aku tersesat lagi tadi. Sudah kubuka maps tapi ternyata jalur yang kuambil jalur khusus busway. Aku berurusan agak lama dengan polisi tadi."Jina mengepal tangan kuat. Sedikitpun tak ada ekspresi yang coba ia sembunyikan saat itu. "Lalu, lalu siapa yang ada di dalam?!""Hm?" "Dasar bodoh! Kau mengacaukan segalanya!" Padahal Jina sudah membayar wartawan kemari, menyusupkan mereka ke hotel diam-diam, memberi uang tutup mulut pada beberapa staf hotel. Tapi apa gunanya semua itu bila ternyata tidak ada siapapun kecuali Liera yang didalam sana?!!! "Aku, aku sudah menghabiskan hampir seluruh tabunganku untuk ini." Jina frustasi. Mau dipikir bagaimanapun dia tidak boleh berhenti sampai disini. Dia sudah kehilangan banyak uang!U
"Silahkan duduk Liera."Liera tertegun sejenak. Duduk? Dimana? Hanya ada satu kursi terdekat disini, dan itu tidak lain tidak bukan kursi yang sedang diduduki Gian sekarang. Sementara sofa berada jauh disana, dan lagi Gian tampak tidak berniat untuk pindah bersama kesana.Gian memundurkan kursinya kebelakang lalu kakinya dibuka lebar. "Liera?" Satu alisnya terangkat.Ah, Liera mengerti sekarang. Tempat dimana ia duduk ialah dipangkuan Gian. Dia diminta untuk itu.Bersikap pura-pura tidak tau, Liera mengembangkan senyumnya. "Saya berdiri saja, Pak." Tolaknya.Gian tidak menunjukan ekspresi apa-apa mendengarnya. Mereka saling menatap satu sama lain selama beberapa detik hingga kemudian Gian menarik sudut bibirnya.Gian berdiri, memutari meja kerjanya, melangkah hingga ke samping Liera. Was-was, Liera tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan Gian. Meski ia tau bahwa Gian akan melakukan hal yang jelas tidak membuatnya senang, Liera tidak tau kapan tepatnya hal itu terjadi. Tidak mungkin
Drrt!Nomor tidak dikenal: [Ayo bertemu di villa] Liera termenung, membaca pesan itu sekali lagi. Orang tidak dikenal, tanpa sopan santun, meminta bertemu di villa. Ah tidak, ini sepertinya bukan permintaan tapi perintah. "Villa... " Liera berpikir. "Villa yang tadi pagi?" Dia bangun dari ranjangnya dan menghubungi nomor itu. Tetapi yang dia dapatkan ialah fakta bahwa nomor itu memblokirnya. Sehingga hanya nomor sepihak itulah yang bisa mengirim pesan dan menelponnya. "Terserah. Dia menyuruhku kesana bukan berarti aku harus menurutinya." Liera meletakan ponselnya dinakas dan pergi mengambil laptop diatas meja. Malam ini Liera akan mengirimkan CV nya secara daring ke berbagai perusahaan yang sedang buka lowongan berharap besok atau mungkin dalam satu minggu kedepan akan ada panggilan wawancara untuknya. *** "Bung, kau yakin dia akan datang?" "Ya?" "Atas dasar apa?" "Karna dia akan datang." Liam menepuk menghela nafas panjang dengan kepala tertunduk. Tak percaya
Adam tidak bisa menyembunyikan ekspresi marahnya sejak keluar dari ruang rapat yang dihadiri oleh para Direktur lainnya. "Apakah ini akhir dari Exvander Group?" Kalimat itu terbayang-bayang di kepalanya. Putranya sudah berkali-kali membuat masalah yang hampir mirip dengan ini, namun konsekuensi yang didapat tidak pernah separah ini. Sudah jelas, saat ini ada yang sedang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Hanan Group. Perusahaan rivalnya itu sedang naik-naiknya sekarang. Bukan tanpa dasar Adam menerka bahwa Hanan Group lah yang menjadi bensinnya, sebab bukan sekali dua kali juga Hanan melakukan hal yang sama. "Panggil Jovan sekarang!" Suara Adam menggema diruangan yang berkesan dingin itu. Segera asistennya berbalik badan untuk menghubungi sang Tuan muda yang sudah beberapa hari ini tidak tinggal di kediaman. "Kuberi satu menit dari sekarang." Suasana hati Jovan disana juga tampak sedang tidak baik. "Tuan muda, anda dipanggil untuk menghadap Tuan besar sekarang di k
"What the hell man, wajahmu sungguh berseni saat ini. Izinkan aku mengambil foto denganmu." Namun Jovan tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya diam dengan kepala yang sedikit menunduk. Melihat itu, Liam mengusap ujung hidungnya dan duduk disamping Jovan. "Ambil sisi positifnya, ayahmu hanya ingin sedikit memperbudakmu."Jovan menatap Liam dengan sinis. Lalu mengeluarkan suara dengusan risih dari bibirnya. "Kalau saja kau langsung kembali ke rumahmu begitu ayahmu memanggil, kau tidak akan mendapatkan bogem mentah darinya. Lihat, aku bahkan sampai tidak mengenalmu. Jika saja kau tidak memakai kaos hitam kesayanganmu ini, aku tidak akan tau jika itu kau. Tapi kalau dipikir-pikir untung saja aku sedang tidak di villa mu tadi, haha maksudku meski kau itu sahabatku aku tidak ingin mati bersamamu. Itu agak menjijikan haha... "Jovan melihatnya lagi, lebih tajam dari sebelumnya. "Apa? Kenapa melihatku begitu bung? Coba kau pikir, dua orang pria mati bersama setelah berusaha melindungi satu s
"Kau terlambat." Liam memutar matanya jengah, malas membalas Jovan. Setelahnya dia melihat Jovan dari bawah ke atas lalu dari atas ke bawah. "Kenapa kau baik-baik saja?" Tanyanya. "Kau berharap kondisiku bagaimana?" Jovan menatap sinis. "Hahaha, tentu saja aku selalu mengharapkan kesehatanmu. Kalau begitu... Kenapa kau berada disini? Dan kenapa kau memanggilku kemari?" "Itu—" "Aaah, aku tau!" Liam tertawa mengejek. Wajahnya seolah menyiratkan kata 'muak' pada kasus Jovan ini "Kau datang kemari bersama dengan seorang wanita kan?" "Dari mana kau tau?" Liam menarik ke atas sudut bibir kirinya. "Cih, dari mana aku tau? Kau itu binatang yang selalu birahi." "Hei!" "Kutebak lagi, kau dan wanita itu datang kemari karna dia mengaku hamil anakmu, dan setelah dokter bilang dia benar-benar hamil kau memanggilku kemari untuk menanggung kesalahanmu. Jovan, kau itu mudah sekali ditebak. Kau mungkin bisa saja menyuruhnya ab0rsi sekarang tetapi dia mengancammu akan menyebarkan i
“Lia, berbaringlah diatas tempat tidur.” “Y,Ya?!” “Lia, apa kau tidak mau? Aku hanya tidak ingin kau melihat wajahku. Mana mungkin aku membiarkanmu terus berdiri seperti ini.” Lagi, nada memelas itu dipakai Liam untuk menaklukan Roselia. “Aku akan naik!” Roselia dengan sigap menuju tempat tidur, naik, lalu berbaring membelakangi Tuannya. Hahah, Liam merasa bangga sendiri. Dia tau itu, cara menaklukan hati wanita ada banyak. Dan teknik yang paling ampuh ialah dengan memohon seperti ini. Setelah Roselia berbaring. Liam mengambil selimut lain di dalam lemari kemudian menyelimuti Roselia dengan lembut. Dari ujung kaki sampai ujung rambut. “Tu-Tuan, saya sesak.” Liam tersadar bahwa bukan hanya sekedar menyelimuti, ia juga melilitkan selimut itu di leher Roselia. Ah, ini pasti disebabkan oleh kekhawatiran takut akan ketahuan. “Maaf,” Ujarnya. “Aku hanya takut kau akan meninggalkanku.” Ia melonggarkannya. Hmmm, melihat Roselia terbungkus sepenuhnya seperti jenazah, Liam
“Sudah kuputuskan! Jovan, kau akan menikahi wanita ini!” Pernyataan Adam membuat para pelayan kaget. Bahkan Roselia sendiri, ia tiba-tiba berhenti menangis. “Jangan bercanda, apa kau tau apa yang saat ini sedang kau katakan?!” Jovan meninggikan suaranya dengan berani. Tidak, bukan sekedar berani, tetapi marah. Emosinya melesat naik keatas secara drastis. “Setelah kau menyuruhku untuk menikahi wanita yang terlibat denganku difoto itu, sekarang kau ingin aku menikah dengan wanita ini?! Aku tidak ada hubungannya dengan wanita ini, aku baru pulang dan kalian sudah menungguku disini dengan persepsi kalian!” “Diam! Kau tidak diberikan hak untuk membantah!” “Kenapa tidak, ini tentang hidupku!” “Justru karna ini menyangkut hidupmu, kau tidak boleh membantah! Aku sudah membiarkanmu selama ini untuk memilih jalan hidupmu. Kubiarkan kau memutuskan apa yang ingin kau makan, apa yang ingin kau pakai, apa yang kau pelajari, dimana kau ingin bersekolah, dan kepada siapa kau ingin bergau
Liera perlahan berhenti mengunyah, sendok ia letakan diatas meja, kemudian diambilnya segelas jus disampingnya untuk diminum. "Aku belum mengizinkan kalian bergabung." Kata Liera begitu Gian dan Beni hendak duduk. Merasa jengkel, Gian tertawa, mencoba untuk tidak memperlihatkan kekesalannya. Dengan tangan disaku celana, Gian berucap, "Liera, kami disini karena merasa kasihan denganmu. Lihat bagaimana kau makan sendiri tanpa suamimu?" Ia menggeleng sembari berdecak menyayangkan. Beni menyambung, "Coba lihat sekelilingmu, Liera." Sambil menyapu semua orang dengan telunjuknya, namun sedikitpun Liera tak menoleh melihat ke arah lain. Hanya melihat kedua orang itu dengan nanar. "Mereka semua berpasangan bahkan lebih, tapi lihat dirimu?" Beni tertawa. Gian menghela nafas panjang, menarik keluar kursi di depan Liera dan langsung duduk. "Sudahlah, jangan mempermalukan dirimu terlalu jauh. Aku tau kau orangnya sok jual mahal, tetapi kau harus tau kalau kepribadianmu itu akan menjatuhkanmu
Mereka saling bersi pandang, wanita yang sudah diduga Liera sebagai wanita panggilan itu dengan angkuh melewati Liera begitu saja tak lupa mengibaskan rambutnya hingga terkena diwajah Liera. "Si-sialan...." Liera. Tangannya berpegang kuat pada pegangan tangga. Menarik napas dalam-dalam, Liera menghembuskannya dengan pelan. Sudahlah, ayo cari makan saja. Begitu turun di lantai satu, lagi-lagi ada wanita yang baru saja keluar dari sebuah kamar. Hanya seorang wanita dengan gaun minim bahan berwarna merah, rambutnya kusut dan langkah kakinya tak normal. Wanita itu dan Liera saling melihat. Kali ini, wanita itu berjalan mendekat kearah Liera. Berhenti, ia melihat Liera dari atas hingga bawah menatapnya dengan angkuh. Lalu berdecak tertawa. "Lebih besar punyaku." Kata wanita itu. Ia mengangkat kedua gundukannya keatas, memamerkannya. Liera saking syoknya, menutup mulut dengan telapak tangannya. Baru kali ini ia melihat wanit
"Aku akan menikah besok." Penuturan George membuat semua orang yang disana menghela nafas lelah. "Untuk membuat buku perceraian yang baru?" Tanya yang lain. "Ini adalah yang terakhir, yang akan menemaniku hingga aku tua. Kami sudah saling berjanji untuk itu." Kata George bangga. Mereka yang mendengar hanya mengangguk-angguk. Yah, biarkan George melakukan apa yang dia mau. Sementara itu, Liam sudah mempersiapkan segalanya untuk malam ini. Musik terdengar, langsung dengan opening yang memecah. Lampu diredupkan, botol minuman dikeluarkan dari tempat penyimpanan. Mereka tidak akan tidur malam ini. *** Liera membekap telinganya. Sejak beberapa jam yang lalu berusaha untuk tidur tetapi selalu saja tidak bisa. Degungan musik dari lantai satu masih setia mengganggunya. Pintu kamarnya diketuk. Liera langsung terduduk diatas tempat tidur, melihat pintu kamarnya disana. Ketukan kembali terdengar, tetapi tak sedikitpun Liera ingin beranjak membukakan pintu. Ia hanya melihatnya da
"Tidak, tunggu! Jangan semuanya!" "Ssst, tenanglah." Kata Jovan pelan dengan suaranya yang rendah. "Ada sesuatu yang harus kuperiksa." Liera menahan napas. Tubuhnya menegang. Mau itu nafas Jovan yang menyapu halus kulit lehernya ataupun sentuhan tangannya yang sensual, keduanya sama-sama menyengat. Liera memejamkan mata begitu merasakan tangan besar itu bersentuhan dengan pinggang polosnya, kedua tangannya meremas sprei dengan kuat, ia menggigit bibir bawahnya, tubuhnya sedikit maju ke depan, lalu lenguhan naif itu lolos begitu saja. Jovan tiba-tiba menghentikan aktivitasnya, nafasnya pun tercekat dan pupil matanya melebar. Irisnya bergerak, melihat Liera lewat ujung matanya. Jakunnya bergerak, menelan ludah. Ia kembali melihat apa yang baru saja ia lakukan. Terkejutlah ia dengan apa yang ia lakukan. Tangannya bahkan masih berada disana dengan tujuan dan visi misi yang jelas, yakni terus merambat ke bawah dan ke bawahnya lagi menc
"Tapi... Kenapa mereka kemari?" Sebab umumnya malam ini adalah malam pertama bagi suami-istri. Jadi seharusnya tidak ada yang datang untuk mengganggu malam itu. Yah... Meskipun Liera dan Jovan memang tidak melakukan apapun. Tapi kan— Sesuatu tiba-tiba melintas di benak Liera. Sesuatu yang mengerikan dan tak bisa ia bayangkan kronologinya lebih jauh. Segera Liera berlari ke arah pintu kamarnya, gaun pengantinnya yang berat ia angkat susah payah untuk mempercepat langkahnya. Sampai disana, Liera buru-buru menutup pintu buka dua itu. Sayangnya, ketika baru akan tertutup, sebuah tangan masuk di sela-sela, mengganjal pintu. "Ugh!" Erang orang dibalik pintu. Itu suara Jovan. Liera mengenalinya dengan jelas tetapi saat ini ia tidak ada niat melepas tangan yang mengganjal itu dari jepitan pintu. "Kenapa?!" Suara Liera sedikit membentak. "Saya mau tidur, jangan mengganggu!" Jovan, dibalik pintu, menahan pintu agar tid
Mobil mewah berhiaskan bunga indah itu berhenti. Liera terbangun dari lamunan panjangnya dan melihat keluar jendela. Sebuah rumah besar yang sangat megah terpampang di hadapannya. Sayangnya, Liera bisa melihat betapa sunyinya rumah itu, yang membuatnya tampak mati meskipun banyak lampu dinyalakan. Tapi tak apa. Liera terbiasa oleh kesunyian. Dia lebih nyaman hidup sendiri. Bahkan jika orang-orang mengatakan bahwa hidupnya begitu hampa, Liera hanya bisa mengatakan bahwa ia nyaman pada kehampaan itu. Yah, meskipun sekarang ia akan memiliki teman serumah... Tok tok tok "Tidak mau turun?" Tanya Jovan setelah mengetuk jendela mobil dari luar. Liera menghela nafas, mengambil tas kecilnya yang lebih mahal dari rumah pribadinya disamping. Ia membuka pintu. Jovan sudah lebih dulu berjalan masuk kedalam rumah. Mengikuti Jovan, Liera tak ingin banyak bicara. Pikirannya mengalir pada tempat tidur yang dimiliki rumah mewah ini. Mungkinkah kapasnya terbuat dari benang-benang emas yang
"Hei, kapan kita sampainya? Sudah berapa lama ini?" tanya Asni, suaranya bergetar sedikit. Ia menengok ke luar jendela, matanya membulat saat menyadari mereka melewati papan penunjuk jalan yang sama untuk ketiga kalinya. Sopir menoleh kebelakang, matanya menyipit. "Sabar! Kau pikir berkendara selama ini gampang?? Aku juga sedang mencari jalan alternatif agar kalian bisa cepat sampai!" Balas sopir. "Tapi sepertinya kita sudah lewat taman ini sebelumnya, apa kau memang tau jalan ke gedung X?"Koldi terbangun dari tidurnya. Bukan karena suara Asni yang berisik, namun karena ia merasa harus mengeluarkan sesuatu saat ini juga. "Toilet! Cari toilet dulu!"Sopir menyunggingkan senyum, segera meminggirkan mobil. "Di Sekitar sini ada toilet umum, pergilah." Kata sopir. Koldi dengan cepat keluar. Ia pergi namun tak lama kembali lagi. "Dimana toiletnya!""Ada diujung sana!""Antar aku cepat!""Enak s
"Aku bisa melihatnya," Adam membuka pembicaraan selagi menunggu pintu dihadapan mereka terbuka. Liera yang digenggam tangannya oleh Adam, memandang penuh tanya. Apa yang dia maksud? pikirnya dalam hati. Detak jantungnya berpacu. Mungkinkah Adam sudah tahu tentang kontrak itu? Adam tersenyum, balas menatap Liera. "Putraku, dia menyukaimu lebih dari yang dia kira."Liera dengan sigap merapatkan mulutnya. Ia tidak boleh tertawa, tidak boleh! Ayolah, Adam mengatakan hal itu karena ia tidak tahu bila ada kontrak tertulis di balik pernikahan ini. Ia tidak tahu bila Liera dan Jovan akan segera bercerai dan ia tidak tahu bahwa calon menantunya ini ikut berkontribusi sebab dibutakan oleh uang. "Ngomong-ngomong, kau pintar juga memanfaatkan posisimu."Liera kembali dibikin penasaran. Kenapa juga Adam harus berbicara setengah-setengah."Tadi sebelum kesini aku mendapat laporan bahwa banyak tamu tidak diundang memaksa masuk keda
"Keparat ini! Jika tidak mau naik maka tidak usah, brengsek!" Bentak sang supir, wajahnya memerah menahan amarah. Napasnya memburu, urat-urat lehernya menegang. Koldi terdiam sejenak, matanya membulat ketakutan. Ia tak menyangka akan berhadapan dengan orang sekasar ini. "Ka-kau! Kau tidak tau siapa aku, hah? Aku adalah besan keluarga Exvander!" ucapnya, suaranya bergetar. Namun, melihat tatapan menantang sang supir, ia merasa ucapannya itu sia-sia. "Cuih! Orang sepertimu adalah besan dari keluarga besar? Beraninya kau membual padaku?" Mata sopir itu melotot. "Sayang, kita sudah terlambat. Bagaimana kalau kita naik taksi ini saja? Nanti kalau sampai kita turunnya sembunyi-sembunyi saja," bujuk Asni dengan gelisah. "Ih, apaan sih? Aku tidak sudi! Mau ditaruh dimana wajahku nanti?" Desi menghentak-hentakan kakinya. Berpikir, Koldi melihat ke arah jalan. Anehnya, sejak tadi memang tak ada mobil lewat. Bahkan jika ada, itu hanyalah mob