"Silahkan duduk Liera."
Liera tertegun sejenak. Duduk? Dimana? Hanya ada satu kursi terdekat disini, dan itu tidak lain tidak bukan kursi yang sedang diduduki Gian sekarang. Sementara sofa berada jauh disana, dan lagi Gian tampak tidak berniat untuk pindah bersama kesana. Gian memundurkan kursinya kebelakang lalu kakinya dibuka lebar. "Liera?" Satu alisnya terangkat. Ah, Liera mengerti sekarang. Tempat dimana ia duduk ialah dipangkuan Gian. Dia diminta untuk itu. Bersikap pura-pura tidak tau, Liera mengembangkan senyumnya. "Saya berdiri saja, Pak." Tolaknya. Gian tidak menunjukan ekspresi apa-apa mendengarnya. Mereka saling menatap satu sama lain selama beberapa detik hingga kemudian Gian menarik sudut bibirnya. Gian berdiri, memutari meja kerjanya, melangkah hingga ke samping Liera. Was-was, Liera tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan Gian. Meski ia tau bahwa Gian akan melakukan hal yang jelas tidak membuatnya senang, Liera tidak tau kapan tepatnya hal itu terjadi. Tidak mungkin ia menampar Gian sekarang sementara Gian saja baru akan menghampirinya. "Liera, apa kau lebih suka posisi yang seperti ini?" Gian mengungkungnya dari belakang. Merapatkan dadanya pada punggung Liera yang sedikit gemetar. "Malam itu, harusnya kau tetap bersamaku. Beginilah jadinya jika kau ikut pada teman wanitamu." "Saya tidak mengerti apa yang sedang anda katakan, pak Kepala. Lebih dari itu, tolong biarkan saya pergi." "Kenapa buru-buru sekali?" Gian sudah memegang pinggang Liera, menahannya. "Pak, tangan anda!" "Hei hei hei, tenanglah... Desahanmu terdengar sampai diluar. Atau kau memang lebih suka memamerkan dirimu? Seperti di foto itu?" "Itu salah paham! Saya dijebak!" "Tidak akan ada yang percaya Liera. Meski yang kamu katakan benar, tapi pria yang berada di foto denganmu adalah tuan muda Exvander. Dia bukanlah orang sembarangan yang akan tidur dengan karyawan wanita sepertimu. Kecuali jika kau mati-matian berusaha untuk naik ke atas ranjangnya. Baru semuanya masuk akal." Liera terdiam. Yang dikatakan Gian ada benarnya. Orang-orang juga mengatakan hal yang hampir sama padanya. Orang kantor, tetangga, dan hampir semua komentar negatif itu. Hanya karena dia seorang karyawan kecil dan orang yang ada difoto merupakan seorang Tuan muda. Dia disalahkan akan itu semua. Padahal malam itu, jangankan menggoda, dia bahkan tidak tau kapan masuknya orang lain ke dalam kamar setelah kepergian Jina. Bahkan ketika dia sudah mendapatkan kesadarannya kembali, dia sudah tidak dikamar hotel melainkan di sebuah villa yang jauh dari jalan raya. Tapi kenapa mereka berbicara seolah tau seluruh kehidupanku dan caraku berpikir? Ini menjijikan. Sangat menjijikan. "Liera jika kau berhasil memuaskanku hari ini, aku berjanji akan langsung merekomendasikanmu menjadi pengganti Manajer Brais. Bagaimana?" "... Mau," "Hm? Apa? Kau mau?" "Saya bilang saya tidak mau!!" Liera berbalik dan menampar Gian. Tamparan yang sangat keras sampai membuat darah keluar di sudut bibir pria itu. "Kau! Kau pikir kau akan lolos setelah ini hah?!" "Saya tidak peduli, anda berniat melecehkan saya jadi anda pantas menerimanya!" "Melecehkan?? Hanya karna aku sedikit bersikap baik padamu, kau menganggap itu sebagai pelecehan?!" Liera tersentak. Bukannya memang begitu? "Beni! Beni kemari!" Gian memanggil, tak lama seorang pria masuk dan melihat kekacauan ini. "Pak Kepala Bagian, ada apa dengan bibir anda?" Beni dengan wajah khawatir menghampiri. Sudah seperti anjing penjilat pikir Liera. Padahal pria yang namanya Beni ini bukanlah asistennya. Gian menunjuk Liera. "Ini semua gara-gara wanita jalang itu, hanya karna aku sedikit bersikap baik padanya dia menuduhku telah melecehkannya dan mengancam untuk melaporkanku." "Apa?!" Sepasang mata Beni dengan nyalang mengarah pada Liera. "Sialan, berani-beraninya kau pada pak Kepala Bagian. Sebelum kau melapor, aku yang akan melaporkanmu lebih dulu. Tenang saja pak Kepala Bagian, saya yang akan menjadi saksi anda!" "Huh, wanita ini setelah dibuang oleh Tuan muda datang untuk berusaha merayuku. Untung saja aku tidak mudah jatuh dalam tipuannya." Gian berkata bijak sembari menyibakan rambutnya ke belakang. Dia kembali duduk di kursinya dan melipat tangan didepan dada. "Liera, atas kelancanganmu ini saya akan mengeluarkanmu dari perusahaan. Selain karna perilakumu tadi, kau juga telah mencoreng nama baik perusahaan karna berusaha naik ke atas ranjang Tuan muda Exvander." Namun Liera tidak menunjukan respon apapun. Jauh dari pikiran Gian akan menjebaknya seperti ini, Liera sudah memperkirakan bahwasanya dia akan dikeluarkan dengan alasan mencoreng nama baik perusahaan. Apa lagi mengingat dia hanyalah karyawan kecil, kemungkinan ini akan terjadi sangatlah besar. "Hmph! Lihat dirimu, kau sama sekali tidak merasa menyesal. Jika aku jadi kau, aku akan berlutut pada Pak Kepala Bagian." Beni berbicara. Liera sedikit tertawa, "Berlutut? Ah ya, wajarsih kata-kata itu keluar dari mulutmu, itukan kebiasaanmu ya. Kau juga bahkan sanggup menjilat bokong orang lain." "Apa katamu?!" Liera berbalik pergi. "Pecat ya pecat, tidak perlu menunjukan kebinalanmu pada orang lain." Katanya pada Gian. "Seperti binatang saja." "Kembali kau jalang!" Brak! Sengaja Liera membanting pintu dengan kuat. "Yang satu binatang, yang satu penjilat. Apa mereka anjing?" Dia mendengus kasar, ingin meludah didepan pintu namun urung dia lakukan. Kembalinya dia di mejanya, orang-orang serentak melihat ke arahnya. Ada yang merasa senang ada juga yang menatapnya dingin. Ah, sepertinya kabar bahwa dia dipecat sudah tersebar. "Setelah dibuang Tuan muda, kau mencoba menggoda pak Kepala Bagian ya?" Malis menyilangkan tangan didepan dada. "Gatal sekali." "Tutup mulutmu Malis, tanganku juga sedang gatal sekarang untuk merobek mulut seseorang." Malis tergidik, tak percaya bila Liera bisa mengeluarkan aura mengintimidasi seperti itu. Kenapa juga Liera langsung menjawab? Bukannya dia biasanya akan diam sementara waktu lalu berbicara saat dia sudah benar-benar tersudut? Liera melewati Malis, dengan sengaja menyenggol bahunya. Sampai ketempatnya, Liera cukup terkesan akan kehadiran Jina. Mungkin dia juga sudah mendengar kabar itu, sehingga dia yang biasanya ada di ruang Manajer Brais sekarang duduk di tempatnya berpura-pura bekerja bak karyawan teladan yang manis. "Kak Liera, kenapa kau mengemas barang-barangmu?" Jina bertanya dengan polos. Liera hanya menatapnya sesaat dan kembali mengemas barangnya. Jangan berbicara dengan mereka, jangan buang waktumu pada orang seperti mereka. Dia mengulang kalimat itu dalam hati. Pikirannya sekarang ialah ia keluar, pulang, beristirahat sejenak dan pergi melamar pekerjaan ke perusahaan lain. Namun Jina seperti dengan sikap bebalnya kembali mengusik. "Kak Liera, aku tau kakak terlalu menyukai Pak Kepala Bagian karenanya bersikap demikian. Tenang saja kak, meski kakak pergi aku akan berusaha membantu hubungan kakak terhadap bapak Kepala Bagian agar tidak segera membaik." Plak! "Diam. Sepertinya aku sudah menyuruh kalian untuk menutup mulut tadi." Bekas tangan Liera tertera jelas di pipi Jina. Jina syok. Dia merasa mendengar suara dengungan di otaknya ketika Liera menamparnya. Terlalu cepat, membuat pipinya kebas tapi juga mulai perih. "Ya Tuhan! Bibirmu berdarah Jina!" Malis menghampiri sahabatnya. "Jalang ini, jalang ini sudah gila!" Liera mengangkat tangannya lagi, Malis melihat itu langsung meringkuk menyembunyikan wajahnya. Namun setelah beberapa saat tak ada rasa sakit diterimanya. Dia mendongak, tetapi Liera sudah tidak ada. Begitu dia berbalik, dia hanya melihat punggung Liera yang kemudian menghilang di balik pintu. Liera pergi.Drrt!Nomor tidak dikenal: [Ayo bertemu di villa] Liera termenung, membaca pesan itu sekali lagi. Orang tidak dikenal, tanpa sopan santun, meminta bertemu di villa. Ah tidak, ini sepertinya bukan permintaan tapi perintah. "Villa... " Liera berpikir. "Villa yang tadi pagi?" Dia bangun dari ranjangnya dan menghubungi nomor itu. Tetapi yang dia dapatkan ialah fakta bahwa nomor itu memblokirnya. Sehingga hanya nomor sepihak itulah yang bisa mengirim pesan dan menelponnya. "Terserah. Dia menyuruhku kesana bukan berarti aku harus menurutinya." Liera meletakan ponselnya dinakas dan pergi mengambil laptop diatas meja. Malam ini Liera akan mengirimkan CV nya secara daring ke berbagai perusahaan yang sedang buka lowongan berharap besok atau mungkin dalam satu minggu kedepan akan ada panggilan wawancara untuknya. *** "Bung, kau yakin dia akan datang?" "Ya?" "Atas dasar apa?" "Karna dia akan datang." Liam menepuk menghela nafas panjang dengan kepala tertunduk. Tak percaya
Adam tidak bisa menyembunyikan ekspresi marahnya sejak keluar dari ruang rapat yang dihadiri oleh para Direktur lainnya. "Apakah ini akhir dari Exvander Group?" Kalimat itu terbayang-bayang di kepalanya. Putranya sudah berkali-kali membuat masalah yang hampir mirip dengan ini, namun konsekuensi yang didapat tidak pernah separah ini. Sudah jelas, saat ini ada yang sedang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Hanan Group. Perusahaan rivalnya itu sedang naik-naiknya sekarang. Bukan tanpa dasar Adam menerka bahwa Hanan Group lah yang menjadi bensinnya, sebab bukan sekali dua kali juga Hanan melakukan hal yang sama. "Panggil Jovan sekarang!" Suara Adam menggema diruangan yang berkesan dingin itu. Segera asistennya berbalik badan untuk menghubungi sang Tuan muda yang sudah beberapa hari ini tidak tinggal di kediaman. "Kuberi satu menit dari sekarang." Suasana hati Jovan disana juga tampak sedang tidak baik. "Tuan muda, anda dipanggil untuk menghadap Tuan besar sekarang di k
"What the hell man, wajahmu sungguh berseni saat ini. Izinkan aku mengambil foto denganmu." Namun Jovan tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya diam dengan kepala yang sedikit menunduk. Melihat itu, Liam mengusap ujung hidungnya dan duduk disamping Jovan. "Ambil sisi positifnya, ayahmu hanya ingin sedikit memperbudakmu."Jovan menatap Liam dengan sinis. Lalu mengeluarkan suara dengusan risih dari bibirnya. "Kalau saja kau langsung kembali ke rumahmu begitu ayahmu memanggil, kau tidak akan mendapatkan bogem mentah darinya. Lihat, aku bahkan sampai tidak mengenalmu. Jika saja kau tidak memakai kaos hitam kesayanganmu ini, aku tidak akan tau jika itu kau. Tapi kalau dipikir-pikir untung saja aku sedang tidak di villa mu tadi, haha maksudku meski kau itu sahabatku aku tidak ingin mati bersamamu. Itu agak menjijikan haha... "Jovan melihatnya lagi, lebih tajam dari sebelumnya. "Apa? Kenapa melihatku begitu bung? Coba kau pikir, dua orang pria mati bersama setelah berusaha melindungi satu s
"Kau terlambat." Liam memutar matanya jengah, malas membalas Jovan. Setelahnya dia melihat Jovan dari bawah ke atas lalu dari atas ke bawah. "Kenapa kau baik-baik saja?" Tanyanya. "Kau berharap kondisiku bagaimana?" Jovan menatap sinis. "Hahaha, tentu saja aku selalu mengharapkan kesehatanmu. Kalau begitu... Kenapa kau berada disini? Dan kenapa kau memanggilku kemari?" "Itu—" "Aaah, aku tau!" Liam tertawa mengejek. Wajahnya seolah menyiratkan kata 'muak' pada kasus Jovan ini "Kau datang kemari bersama dengan seorang wanita kan?" "Dari mana kau tau?" Liam menarik ke atas sudut bibir kirinya. "Cih, dari mana aku tau? Kau itu binatang yang selalu birahi." "Hei!" "Kutebak lagi, kau dan wanita itu datang kemari karna dia mengaku hamil anakmu, dan setelah dokter bilang dia benar-benar hamil kau memanggilku kemari untuk menanggung kesalahanmu. Jovan, kau itu mudah sekali ditebak. Kau mungkin bisa saja menyuruhnya ab0rsi sekarang tetapi dia mengancammu akan menyebarkan i
“Lia, berbaringlah diatas tempat tidur.” “Y,Ya?!” “Lia, apa kau tidak mau? Aku hanya tidak ingin kau melihat wajahku. Mana mungkin aku membiarkanmu terus berdiri seperti ini.” Lagi, nada memelas itu dipakai Liam untuk menaklukan Roselia. “Aku akan naik!” Roselia dengan sigap menuju tempat tidur, naik, lalu berbaring membelakangi Tuannya. Hahah, Liam merasa bangga sendiri. Dia tau itu, cara menaklukan hati wanita ada banyak. Dan teknik yang paling ampuh ialah dengan memohon seperti ini. Setelah Roselia berbaring. Liam mengambil selimut lain di dalam lemari kemudian menyelimuti Roselia dengan lembut. Dari ujung kaki sampai ujung rambut. “Tu-Tuan, saya sesak.” Liam tersadar bahwa bukan hanya sekedar menyelimuti, ia juga melilitkan selimut itu di leher Roselia. Ah, ini pasti disebabkan oleh kekhawatiran takut akan ketahuan. “Maaf,” Ujarnya. “Aku hanya takut kau akan meninggalkanku.” Ia melonggarkannya. Hmmm, melihat Roselia terbungkus sepenuhnya seperti jenazah, Liam
“Sudah kuputuskan! Jovan, kau akan menikahi wanita ini!” Pernyataan Adam membuat para pelayan kaget. Bahkan Roselia sendiri, ia tiba-tiba berhenti menangis. “Jangan bercanda, apa kau tau apa yang saat ini sedang kau katakan?!” Jovan meninggikan suaranya dengan berani. Tidak, bukan sekedar berani, tetapi marah. Emosinya melesat naik keatas secara drastis. “Setelah kau menyuruhku untuk menikahi wanita yang terlibat denganku difoto itu, sekarang kau ingin aku menikah dengan wanita ini?! Aku tidak ada hubungannya dengan wanita ini, aku baru pulang dan kalian sudah menungguku disini dengan persepsi kalian!” “Diam! Kau tidak diberikan hak untuk membantah!” “Kenapa tidak, ini tentang hidupku!” “Justru karna ini menyangkut hidupmu, kau tidak boleh membantah! Aku sudah membiarkanmu selama ini untuk memilih jalan hidupmu. Kubiarkan kau memutuskan apa yang ingin kau makan, apa yang ingin kau pakai, apa yang kau pelajari, dimana kau ingin bersekolah, dan kepada siapa kau ingin bergau
Sudah satu jam berlalu, sudah bosan pula Adam menunggu. Ketika beliau sudah menghembuskan nafas berat yang panjang, Jovan langsung tau bahwa waktunya sudah habis. “Aku akan menjemputnya.” Kata Jovan begitu ayahnya baru saja berdiri. Menatap kedalam mata anaknya. Adam berbalik sambil menggelengkan kepala. “Jangan biarkan Jovan keluar selangkahpun dari kediaman ini.” Jatuhnya perintah Adam merupakan sesuatu yang mutlak. Para penjaga langsung bergerak melakukan tugasnya, memperketat keamanan di sekeliling rumah termasuk didepan pintu kamar Tuan muda mereka. Jovan sudah tau kurang lebih apa yang akan terjadi padanya, karena itu ia dengan patuh berjalan masuk sendiri ke kamarnya tanpa diminta. “Jovan,” Panggil Felicia. Jovan berhenti. “Cukup sampai disini, turuti perkataan ayahmu.” Ucapnya berpesan. Sebagai seorang ibu yang tahu tabiat anaknya, Felicia kembali memperingati Jovan. Suara tawa terdengar dari Jovan. Tawa yang mengandung kekecewaan terhadap orang tuanya. Yah, betul
Jovan terjaga karena suara ketukan dari luar balkon. Ketukan yang tak begitu kuat namun juga tak bisa dikata pelan seiring Jovan mengabaikannya. “Oy, pssst! Pssst! Jovan, apa kau babi? Buka pintunya!” Biasanya pintu balkon selalu dibiarkan Jovan tak terkunci, namun sekarang ceritanya berbeda. “Hei, bodoh! Aku tau kau belum tidur. Dengar, aku akan membantumu jadi buka ini sialan. Jangan seperti remaja puber!” “Apa kau benar-benar ingin menikah dengan pelayan dirumahmu?” Jovan masih tidak menjawab. Didalam sana, ia malah mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. Membukanya untuk melihat sesuatu yang mungkin seru. Namun tak sengaja dia menekan notifikasi pesan Liam yang bertengger di atas layarnya. Terhitung sudah sejaman Liam diluar balkon. Dia datang kesini dengan buru-buru, menerobos penjagaan yang semakin ketat di sekitar kediaman Exvander, tanpa jaket dan tanpa makan malam. Seharusnya dia tidak melewatkan penjual jagung bakar yang tadi memang sempat membuatnya terhenti. H