Adam tidak bisa menyembunyikan ekspresi marahnya sejak keluar dari ruang rapat yang dihadiri oleh para Direktur lainnya.
"Apakah ini akhir dari Exvander Group?" Kalimat itu terbayang-bayang di kepalanya. Putranya sudah berkali-kali membuat masalah yang hampir mirip dengan ini, namun konsekuensi yang didapat tidak pernah separah ini. Sudah jelas, saat ini ada yang sedang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Hanan Group. Perusahaan rivalnya itu sedang naik-naiknya sekarang. Bukan tanpa dasar Adam menerka bahwa Hanan Group lah yang menjadi bensinnya, sebab bukan sekali dua kali juga Hanan melakukan hal yang sama. "Panggil Jovan sekarang!" Suara Adam menggema diruangan yang berkesan dingin itu. Segera asistennya berbalik badan untuk menghubungi sang Tuan muda yang sudah beberapa hari ini tidak tinggal di kediaman. "Kuberi satu menit dari sekarang." Suasana hati Jovan disana juga tampak sedang tidak baik. "Tuan muda, anda dipanggil untuk menghadap Tuan besar sekarang di kediaman." Vobi menyeka buliran tetes keringat di pelipisnya. "Katakan padanya aku tidak punya waktu." Tidak punya waktu? Apa yang sedang kau lakukan Tuan muda? Merintis usahamu sendiri? _Andaikan Vobi bisa mengatakan itu secara langsung, ia rela gajinya untuk bulan ini tidak dibayarkan. "Suasana hati Tuan besar sedang tidak baik saat ini, mohon Tuan muda datang segera." "Dia bukan anak-anak, kenapa kau menyuruhku untuk memperhatikan suasana hatinya?!" "Tuan muda saya mohon, bagaimana saya mengatakan ini pada Tuan besar." "Katakan saja padanya aku sibuk!" "Tuan—" "Waktumu habis." Dan sambungan terputus. "Haish... Padahal baru 52 detik." Vobi mengelap keringatnya lagi. Dia berbalik, menarik nafas panjang dan hembuskan perlahan. "Dalam namamu aku berserah ya Tuhanku." *** Liera spontan terbangun, begitu mendengar suara kaca pecah di rumahnya. Segera dia mencari asal suara itu dan menemukan jendela kacanya pecah. Ada sebuah batu yang dibungkus kertas HVS disana. "Wooo!" Liera terkejut melihat pelakunya kembali melintas di depan rumahnya. Dua orang dengan kendaraan motor. Dengan hati-hati Liera membereskan kekacauan itu, namun disaat batu yang dibungkus kertas itu diambil Liera melihat adanya tulisan bertinta merah. (Betina tidak tahu malu! Sudah ab0rsi berapa kali hahaha!!!!) Liera meremas kertas itu, air matanya pun jatuh begitu saja. Ah, seharusnya Liera tidak membukanya. Dia harusnya tau, bila di momen ini banyak hujatan yang dia terima. Mana mungkin ia membuka kertas ini dengan harapan adanya kata-kata penghiburan disana? Belum selesai sampai disana. Tiba-tiba sebuah mobil putih masuk ke halaman rumahnya. Mobil yang sangat dia kenal milik siapa. "Gawat." Segera Liera masuk ke kamarnya untuk mencuci muka sekaligus menyembunyikan kertas makian itu. Sementara itu, pintunya terus digedor-gedor. "Kenapa kau membuka pintunya lama sekali?!" Liera terpaku di tempat, masih tak percaya bahwa keluarga palsunya datang ke tempatnya. Darimana mereka tahu alamat ini? Ah, benar. Sekarang Liera sangat terkenal. Jadi baik latar belakang, pekerjaan bahkan alamat rumahnya pun sudah dicari tahu. "Hei!" Desi kini menabrak bahunya, kemudian masuk begitu saja tanpa izin. Lalu disusul ibu dan ayah tirinya. "Ada apa dengan kekacauan ini?" Ayahnya—Koldi, memicingkan matanya melihat pecahan kaca di lantai beserta jendela yang sudah pecah. "Huh, apa yang aneh? Ini semua gara-gara wanita itu, orang-orang jadi tidak nyaman dengan keberadaannya." Asni—istrinya menjawab. Koldi mengangguk-angguk. Ia kemudian memandang seisi rumah, melihat kanan, kiri, bahkan langit-langit rumah. "Melihat rumah yang cukup luas ini pertama kali, aku bertanya-tanya dimana kau mendapatkan uangnya. Tapi kalau dipikir lagi... " Koldi melihat Liera dari bawah ke atas. "Kau menggunakan tubuhmu dengan baik rupanya." Liera mengernyitkan alis, secara terang-terangan melotot pada Koldi. Namun Koldi hanya tersenyum mengejek dan ber lenggang duduk disofa. "Apanya yang bagus dari rumah kecil ini? Sudah sempit, panas, kotor, warnanya pun merusak pemandangan. Benar-benar mirip dengan pemiliknya." Kata Desi. Tetapi berbeda dengan apa yang keluar dari mulutnya, gelagatnya terlihat begitu nyaman berada disana. Duduk diatas sofa Liera dengan iris mata yang tidak tenang melirik kekanan-kiri, pun tanpa ia sadari kepalanya mengangguk-angguk wah. "Kenapa hanya berdiri saja? Dimana minuman dan camilan nya? Apa kau tidak tahu bagaimana caranya menjamu tamu?!" Asni ternyata sudah duduk, kakinya disilang dan tangannya dilipat di depan dada. Sudah seperti pemilik rumah. Merenung sejenak, Liera melihat kearah dapurnya. Dia tidak men-stok biskuit kering atau kue apapun di rumahnya saat ini. Dia juga belum belanja kebutuhan bulanan mengingat ia belum mendapatkan pekerjaan tetap sehingga tak ada kopi maupun teh dirumah. Ada sih... Tapi jika dia memberi itu pada mereka, dimana untuknya nanti? Dia sedang berhemat. "Hanya ada air putih. Mau ku ambilkan? " "Hah, air putih?! Rumah sebesar ini tapi kau hanya punya air putih?!" Gusar Desi. "Rumahku tidak sebesar itu, kau kan tadi bilang rumah ini sempit dan kotor. Kenapa kau mengharapkan sesuatu yang wah dari sini." Liera menjawab. "Kau sudah berani menjawab ya?!" Asni berdiri menghampiri Liera. "Kenapa? Karna kau sudah tidak tinggal dirumah kami lagi?! Atau karna kau sekarang sudah jadi jalangnya Tuan Muda Exvander?" "Jika hal buruk itu tentangku, ibu akan selalu percaya." Plak!! "Ibu? Panggil aku Nyonya! Aku bukan ibumu, aku tidak sudi menjadi ibu seorang jalang menjijikkan sepertimu." Liera memegang pipinya. Kebas dan panas, dia merasa pipinya besar sebelah hanya dengan satu tamparan dari ibu tirinya itu. "Kami membesarkanmu dengan baik selama ini, dan lihat bagaimana caramu berterima kasih? Membuat malu saja!" "Kalau aku membuat kalian malu, kalian tidak perlu datang kemari!" Plak! "Masih berani menjawab ya rupanya. Desi, pegang dia." Desi dengan senang berdiri dan akan menahan Liera. Tetapi baru menyentuh Liera sedikit, Liera langsung mendorong Desi dengan kuat jatuh ke lantai." "Ibu!" Asni dengan cepat membantu anaknya bangun. "Jalang ini, beraninya kau menyakiti putriku?!" Koldi ikut berdiri. "Kalian tidak berhak memukulku, kalian bukan orang tuaku dan aku tidak meminta kalian untuk mengambilku dari panti asuhan." Liera sudah memegang satu pecahan kaca besar di tangannya dengan kuat, membuat tangannya meneteskan darah satu demi satu. Hanya dengan melihat, Koldi dan dua lainnya merasa ngilu sendiri. Darah Liera menetes semakin banyak namun sedikitpun dia tidak melepaskan genggamannya dari kaca itu. "Keluar! Keluar dari rumahku sekarang juga atau aku akan membunuh kalian!" "A-apa yang wanita gila ini lakukan?" Koldi mundur dua langkah begitu Liera maju mendekatinya. "Sayang, kita pergi saja ayo!" Asni menarik tangan suaminya. "Tapi kita belum selesai dengannya!" "Sudah ayah, wanita itu sudah benar-benar gila!" Desi sendiri sudah berada di pintu keluar. Menyelamatkan dirinya sendiri lebih dulu. "Aku bilang keluar!" Liera melemparkan kaca itu ke arah Koldi, untungnya Koldi dengan cepat menghindar namun tersungkur ke lantai. Kini Liera beralih mengambil vas yang cukup besar. Melihat itu, tanpa pikir panjang Koldi berlari keluar meninggalkan istrinya. Dilemparkan disamping Asni, vas itu pecah dan mengenai betisnya. "Kyaaa!" Liera mendekat. "Tolong, tolong! Aku akan keluar, aku akan keluar!" Dia berusaha berdiri, namun kakinya sudah terlanjur lemas hingga mau tak mau ia harus merangkak untuk menjauhi Liera yang terus mendekat. "Desi, suamiku! Tolong aku!" Tetapi dua orang itu tak ada yang masuk. "Aku hitung sampai tiga, jika kau masih berada di depanku, aku akan menusukmu dengan ini." Asni melebarkan mata melihat apa yang ada digenggaman Liera. Sebuah pisau untuk memotong daging. "A-aku, aku—" "Satu," "Aaaa!" Asni dengan sigap merangkak cepat keluar. "Wanita gila, wanita gila!" Setelah Asni berhasil keluar dari pintu. Suaminya turun dari mobil membantu dirinya masuk ke mobil. "Keluar sampah." Liera menjatuhkan pisau itu begitu saja tanpa takut akan mengenai kakinya. Kini ia baru merasakan betapa perihnya luka di tangannya. Sayangnya ada yang lebih sakit dari itu. Liera menyeka air matanya dengan lengan bajunya. Lagi dan lagi. Hari ini ia banyak menangis. Disaat dia memikirkan betapa buruknya jalan hidupnya sejak terjerat skandal dengan sang Tuan Muda Exvander, dunia terasa berputar untuknya, dia merasa dirinya melayang kemudian jatuh. Ia tau kepalanya terbentur, tetapi dia tidak merasakan sakitnya. Ia hanya mendengar suara ketika kepalanya membentur lantai lalu kegelapan menghampirinya dalam sekejap. "Tolong... ""What the hell man, wajahmu sungguh berseni saat ini. Izinkan aku mengambil foto denganmu." Namun Jovan tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya diam dengan kepala yang sedikit menunduk. Melihat itu, Liam mengusap ujung hidungnya dan duduk disamping Jovan. "Ambil sisi positifnya, ayahmu hanya ingin sedikit memperbudakmu."Jovan menatap Liam dengan sinis. Lalu mengeluarkan suara dengusan risih dari bibirnya. "Kalau saja kau langsung kembali ke rumahmu begitu ayahmu memanggil, kau tidak akan mendapatkan bogem mentah darinya. Lihat, aku bahkan sampai tidak mengenalmu. Jika saja kau tidak memakai kaos hitam kesayanganmu ini, aku tidak akan tau jika itu kau. Tapi kalau dipikir-pikir untung saja aku sedang tidak di villa mu tadi, haha maksudku meski kau itu sahabatku aku tidak ingin mati bersamamu. Itu agak menjijikan haha... "Jovan melihatnya lagi, lebih tajam dari sebelumnya. "Apa? Kenapa melihatku begitu bung? Coba kau pikir, dua orang pria mati bersama setelah berusaha melindungi satu s
"Kau terlambat." Liam memutar matanya jengah, malas membalas Jovan. Setelahnya dia melihat Jovan dari bawah ke atas lalu dari atas ke bawah. "Kenapa kau baik-baik saja?" Tanyanya. "Kau berharap kondisiku bagaimana?" Jovan menatap sinis. "Hahaha, tentu saja aku selalu mengharapkan kesehatanmu. Kalau begitu... Kenapa kau berada disini? Dan kenapa kau memanggilku kemari?" "Itu—" "Aaah, aku tau!" Liam tertawa mengejek. Wajahnya seolah menyiratkan kata 'muak' pada kasus Jovan ini "Kau datang kemari bersama dengan seorang wanita kan?" "Dari mana kau tau?" Liam menarik ke atas sudut bibir kirinya. "Cih, dari mana aku tau? Kau itu binatang yang selalu birahi." "Hei!" "Kutebak lagi, kau dan wanita itu datang kemari karna dia mengaku hamil anakmu, dan setelah dokter bilang dia benar-benar hamil kau memanggilku kemari untuk menanggung kesalahanmu. Jovan, kau itu mudah sekali ditebak. Kau mungkin bisa saja menyuruhnya ab0rsi sekarang tetapi dia mengancammu akan menyebarkan i
“Lia, berbaringlah diatas tempat tidur.” “Y,Ya?!” “Lia, apa kau tidak mau? Aku hanya tidak ingin kau melihat wajahku. Mana mungkin aku membiarkanmu terus berdiri seperti ini.” Lagi, nada memelas itu dipakai Liam untuk menaklukan Roselia. “Aku akan naik!” Roselia dengan sigap menuju tempat tidur, naik, lalu berbaring membelakangi Tuannya. Hahah, Liam merasa bangga sendiri. Dia tau itu, cara menaklukan hati wanita ada banyak. Dan teknik yang paling ampuh ialah dengan memohon seperti ini. Setelah Roselia berbaring. Liam mengambil selimut lain di dalam lemari kemudian menyelimuti Roselia dengan lembut. Dari ujung kaki sampai ujung rambut. “Tu-Tuan, saya sesak.” Liam tersadar bahwa bukan hanya sekedar menyelimuti, ia juga melilitkan selimut itu di leher Roselia. Ah, ini pasti disebabkan oleh kekhawatiran takut akan ketahuan. “Maaf,” Ujarnya. “Aku hanya takut kau akan meninggalkanku.” Ia melonggarkannya. Hmmm, melihat Roselia terbungkus sepenuhnya seperti jenazah, Liam
“Sudah kuputuskan! Jovan, kau akan menikahi wanita ini!” Pernyataan Adam membuat para pelayan kaget. Bahkan Roselia sendiri, ia tiba-tiba berhenti menangis. “Jangan bercanda, apa kau tau apa yang saat ini sedang kau katakan?!” Jovan meninggikan suaranya dengan berani. Tidak, bukan sekedar berani, tetapi marah. Emosinya melesat naik keatas secara drastis. “Setelah kau menyuruhku untuk menikahi wanita yang terlibat denganku difoto itu, sekarang kau ingin aku menikah dengan wanita ini?! Aku tidak ada hubungannya dengan wanita ini, aku baru pulang dan kalian sudah menungguku disini dengan persepsi kalian!” “Diam! Kau tidak diberikan hak untuk membantah!” “Kenapa tidak, ini tentang hidupku!” “Justru karna ini menyangkut hidupmu, kau tidak boleh membantah! Aku sudah membiarkanmu selama ini untuk memilih jalan hidupmu. Kubiarkan kau memutuskan apa yang ingin kau makan, apa yang ingin kau pakai, apa yang kau pelajari, dimana kau ingin bersekolah, dan kepada siapa kau ingin bergau
Sudah satu jam berlalu, sudah bosan pula Adam menunggu. Ketika beliau sudah menghembuskan nafas berat yang panjang, Jovan langsung tau bahwa waktunya sudah habis. “Aku akan menjemputnya.” Kata Jovan begitu ayahnya baru saja berdiri. Menatap kedalam mata anaknya. Adam berbalik sambil menggelengkan kepala. “Jangan biarkan Jovan keluar selangkahpun dari kediaman ini.” Jatuhnya perintah Adam merupakan sesuatu yang mutlak. Para penjaga langsung bergerak melakukan tugasnya, memperketat keamanan di sekeliling rumah termasuk didepan pintu kamar Tuan muda mereka. Jovan sudah tau kurang lebih apa yang akan terjadi padanya, karena itu ia dengan patuh berjalan masuk sendiri ke kamarnya tanpa diminta. “Jovan,” Panggil Felicia. Jovan berhenti. “Cukup sampai disini, turuti perkataan ayahmu.” Ucapnya berpesan. Sebagai seorang ibu yang tahu tabiat anaknya, Felicia kembali memperingati Jovan. Suara tawa terdengar dari Jovan. Tawa yang mengandung kekecewaan terhadap orang tuanya. Yah, betul
Jovan terjaga karena suara ketukan dari luar balkon. Ketukan yang tak begitu kuat namun juga tak bisa dikata pelan seiring Jovan mengabaikannya. “Oy, pssst! Pssst! Jovan, apa kau babi? Buka pintunya!” Biasanya pintu balkon selalu dibiarkan Jovan tak terkunci, namun sekarang ceritanya berbeda. “Hei, bodoh! Aku tau kau belum tidur. Dengar, aku akan membantumu jadi buka ini sialan. Jangan seperti remaja puber!” “Apa kau benar-benar ingin menikah dengan pelayan dirumahmu?” Jovan masih tidak menjawab. Didalam sana, ia malah mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. Membukanya untuk melihat sesuatu yang mungkin seru. Namun tak sengaja dia menekan notifikasi pesan Liam yang bertengger di atas layarnya. Terhitung sudah sejaman Liam diluar balkon. Dia datang kesini dengan buru-buru, menerobos penjagaan yang semakin ketat di sekitar kediaman Exvander, tanpa jaket dan tanpa makan malam. Seharusnya dia tidak melewatkan penjual jagung bakar yang tadi memang sempat membuatnya terhenti. H
Masalah datang secara beruntun akhir-akhir ini, jadi bukannya tidak kepikiran bagi Adam bila Jovan akan kabur dari kamarnya. Padahal kejadian kemarin cukup dramatis dan penuh haru menurut Adam, namun tetap saja, putranya dengan kekeraskepalaan miliknya. Sangat mirip dengan Adam. “Haish... tapi tetap saja di umur segitu aku membuat perkembangan diri.” Lirih Adam. Vobi yang berdiri di sebelah Adam memilih untuk pura-pura tak mendengar apapun. Kendati demikian ia sepertinya tau kurang lebih apa yang sedang diresahkan Adam. Merasa ponselnya bergetar, Vobi dengan cepat memeriksanya. Sebuah pesan dari penjaga gerbang depan yang memberitahukan bahwa Tuan muda mereka kembali. “Tuan muda sudah pulang Tuan. Haruskah saya memanggilkannya untuk anda?” Adam berpikir sejenak. Melihat ke arah berkas diatas meja dengan intens, padahal sebenarnya tidak benar-benar melihatnya. “Biarkan dia.” Vobi mengangguk, “Baik Tuan.” Namun belum berselang lama, pintu dibuka begitu saja tanpa satu ketukan at
"Apalagi ini pak tua?!" Jovan tak sadar melontarkan panggilan yang cukup kasar pada ayahnya. Yang benar saja ayahnya ini, setelah memaksanya menikah sekarang melarang. Sejak kapan ayahnya se plin-plan ini. "Jangan salah paham, maksudku aku tidak akan menganggap pernikahan ini jika hanya berdasar pada kepentingan pribadi. Bukankah aku sudah bilang? Meskipun tidak pada wanita ini, kau harus menikahi pelayan barusan. Kau pikir untuk apa aku mengatakan itu? Menjadikan mereka bahan percobaan semata-mata agar kau bisa berubah lebih baik? Tidak Jovan. Sejak kau berpikir bahwa pernikahan ini hanya untuk kepentingan politik, kau sudah berada dijalan yang salah dan kau membawa orang lain untuk berjalan bersamamu di jalur itu." "Jadi aku harus membangun rumah tangga yang sesungguhnya pada wanita ini?" "Ya, jika kau masih menganggapku sebagai orang tuamu." Jovan berdecak, mengambil ponselnya di atas meja kerja adam. Pria itu keluar dari ruangan