"Apalagi ini pak tua?!" Jovan tak sadar melontarkan panggilan yang cukup kasar pada ayahnya. Yang benar saja ayahnya ini, setelah memaksanya menikah sekarang melarang. Sejak kapan ayahnya se plin-plan ini. "Jangan salah paham, maksudku aku tidak akan menganggap pernikahan ini jika hanya berdasar pada kepentingan pribadi. Bukankah aku sudah bilang? Meskipun tidak pada wanita ini, kau harus menikahi pelayan barusan. Kau pikir untuk apa aku mengatakan itu? Menjadikan mereka bahan percobaan semata-mata agar kau bisa berubah lebih baik? Tidak Jovan. Sejak kau berpikir bahwa pernikahan ini hanya untuk kepentingan politik, kau sudah berada dijalan yang salah dan kau membawa orang lain untuk berjalan bersamamu di jalur itu." "Jadi aku harus membangun rumah tangga yang sesungguhnya pada wanita ini?" "Ya, jika kau masih menganggapku sebagai orang tuamu." Jovan berdecak, mengambil ponselnya di atas meja kerja adam. Pria itu keluar dari ruangan
"Kak Liera, apa yang terjadi denganmu? Kenapa keningmu diperban seperti itu?" Jina bertanya dengan wajah yang terlalu dilebih-lebihkan untuk seseorang yang sedang khawatir. "Oh, apa mungkin kakak merasa tertekan karena terlibat skandal dengan Tuan Muda Exvander?" Suaranya pun sengaja dibesar-besarkan. Orang lewat yang mendengar nama Tuan Muda Exvander disebut, berhenti untuk mendengar lebih jauh. Mereka semakin bertambah ramai ketika menyadari bahwa wajah Liera mirip dengan yang difoto skandal itu. "Tunggu, apa maksudmu dia wanita yang terlibat dengan Tuan Muda Exvander?" Tanya salah seorang. Jina dengan wajah sok polosnya berkata, "Ah ya... Itu benar. Kak Liera memang sudah lama menyukai Tuan Muda." Yang mana artinya, Liera memang sengaja membuat dirinya terlibat skandal dengan Jovan. "Hah, dasar, aku sudah menebaknya sejak pertama kali melihatnya, dia memang wanita penggoda!" Kata yang lainnya. Ia adalah seorang perawat wanita di
Jina tertawa seperti orang gila. Orang-orang melihatnya dengan tatapan aneh. Adapun yang tertawa lucu melihatnya. "Wa-wanita gila! Cepat, siapapun hubungi pihak rumah sakit jiwa!"Tapi tak seorangpun mengindahkan perintah Brais. Bagi mereka tontonan ini terlalu seru untuk di lerai cepat. Jina mengambil tasnya di lantai. Membuka dan mengeluarkan ponselnya. Meskipun tidak tahu apa yang sedang dilakukan Jina. Brais bisa merasakan ombak lain yang jauh lebih besar akan datang padanya. Jadi dia berniat mengambil ponsel Jina.Namun, Liera yang menyadari itu langsung mencegah Brais. Ia menarik rantai di leher Brais agar sedikit menjauh dari Jina. "Manajer Brais, apa yang akan anda lakukan?" Kata Liera didepan Brais. Ia menghadangnya. "Minggir, aku tidak punya urusan denganmu!"Liera memiringkan kepalanya, memasang wajah lugu. "Loh kok gitu? Bukankah masalah ini
Liera menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang. Hari ini adalah hari yang sangat dinanti sekaligus ditakuti. Ia akan bertemu dengan orang tua dari calon suaminya, Jovan, untuk pertama kalinya. Bayangan-bayangan tentang bagaimana pertemuan itu akan berlangsung terus menghantuinya. "Tenang, Liera, tenang. Kau tidak mau uang ya?" gumamnya pada diri sendiri sambil menatap cermin. Ia memeriksa penampilannya sekali lagi. Gaun berwarna pastel yang dipilihnya terasa sedikit terlalu formal, tapi ia ingin memberikan kesan terbaik. Bukan agar ia dapat disenangi, namun agar harga dirinya tidak jatuh. Berpikir bahwa ia akan menyandang marga Exvander di masa depan membuat Liera malah semakin frustasi. Sesampainya di kediaman Exvander yang megah, jantung Liera seakan mau copot dari tempatnya. "Mereka tidak menggigit, Liera! Ayolah, jangan seperti ini." Didepan mansion, sudah berjejer banyaknya pelayan untuk menyambutnya. Keluarlah Jovan, ia menyambut
Tiba saatnya pengumuman pernikahan sang Tuan muda disebarluaskan. Adam bahkan sempat membahas hal ini pada acara pers Exvander Group bahwa ia akan mengadakan pesta yang sangat megah untuk putra dan calon menantunya. Pun dengan surat undangan yang tak kalah mewah. Orang-orang hebat dan para relasinya di seluruh penjuru dunia akan diundang untuk memeriahkan, bagi yang ingin menginap akan difasilitasi, bagi yang tak bisa datang karena kendala transportasi akan dijemput.Demikianlah berita tersebut sampai ke telinga Koldi, Asni dan Desi.Segera mereka datang menemui Liera. Awalnya, mereka ingin ke kediaman Exvander, namun karena beberapa kendala, mereka urung melakukannya. Pertama, mereka tidak tahu dimana kediaman Exvander. Kedua, ketika mereka mengatakan pada supir taxi akan kesana, mereka malah ditertawakan dan dianggap gila, alhasil tak ada yang mau mengantar dan memberitahu pasti alamat itu.“Jadi, apa yang kalian inginkan?” Liera jengkel setengah mati hanya karena melihat wajah mere
“Dia yang seorang jalang rendahan disamakan denganku?!" Suara Desi melengking, penuh amarah dan tak percaya.Plak!Tamparan keras mendarat di pipi Desi. Suaranya memecah keheningan yang mencekam. Desi terhuyung ke belakang, tangannya otomatis meraih pipinya yang terasa panas dan perih. Mata mereka bertemu, penuh kebencian dan luka.“Kau... kau...”Liera tersenyum kecut, air mata mulai menetes di sudut matanya. "Aku kecewa padamu, Desi. Bagaimana bisa kau mengatakan itu padaku, kakakmu sendiri?""Kau bukan kak—" Desi mencoba membalas, namun kata-katanya terhenti saat Koldi memotongnya dengan nada tinggi, "Diam!"Koldi, sang ayah, berdiri dengan wajah merah padam. Tangannya mengepal erat, urat-urat di lehernya tampak menonjol. "Cukup!" raungnya, suaranya bergetar karena amarah. "Ini memalukan!"Liera diam-diam tersenyum dalam hati. Menunggu kepada siapa Koldi akan melampiaskan kemarahannya. Yang jelas, siapapun yang akan dijadikan Koldi sebagai pelampiasannya disini tidak akan membuat L
Liera tidak menyangka, dirinya akan menjadi seorang pengantin wanita yang merasa gugup sendiri di ruang tunggunya. Padahal jelas-jelas pernikahan ini hanyalah pernikahan sementara tanpa adanya cinta. Pernikahan yang terjadi untuk menyelamatkan wajah satu sama lain. Tapi ada apa dengan debaran jantungnya ini? Liera benar-benar tidak nyaman. Tok tok tokLiera buru-buru memperbaiki ekspresi gelisah di wajahnya. Dengan hati-hati, ia membetulkan letak poni yang sedikit berantakan, lalu memaksakan sebuah senyuman tipis. "Silahkan masuk."Pintu berderit pelan, memecah keheningan ruangan. Sosok menjulang dengan setelan hitam elegan dan dasi kupu-kupu mencolok di lehernya melangkah masuk. Senyum tipisnya merekah, memperlihatkan deretan gigi putih yang teratur. Namun, di balik senyum itu tersimpan ketegangan yang tak tersembunyikan. Tatapan matanya yang coklat menyapu ruangan, berhenti sejenak pada Liera. Seketika, senyumnya membeku, digantikan oleh ekspr
"Keparat ini! Jika tidak mau naik maka tidak usah, brengsek!" Bentak sang supir, wajahnya memerah menahan amarah. Napasnya memburu, urat-urat lehernya menegang. Koldi terdiam sejenak, matanya membulat ketakutan. Ia tak menyangka akan berhadapan dengan orang sekasar ini. "Ka-kau! Kau tidak tau siapa aku, hah? Aku adalah besan keluarga Exvander!" ucapnya, suaranya bergetar. Namun, melihat tatapan menantang sang supir, ia merasa ucapannya itu sia-sia. "Cuih! Orang sepertimu adalah besan dari keluarga besar? Beraninya kau membual padaku?" Mata sopir itu melotot. "Sayang, kita sudah terlambat. Bagaimana kalau kita naik taksi ini saja? Nanti kalau sampai kita turunnya sembunyi-sembunyi saja," bujuk Asni dengan gelisah. "Ih, apaan sih? Aku tidak sudi! Mau ditaruh dimana wajahku nanti?" Desi menghentak-hentakan kakinya. Berpikir, Koldi melihat ke arah jalan. Anehnya, sejak tadi memang tak ada mobil lewat. Bahkan jika ada, itu hanyalah mob