Tiba saatnya pengumuman pernikahan sang Tuan muda disebarluaskan. Adam bahkan sempat membahas hal ini pada acara pers Exvander Group bahwa ia akan mengadakan pesta yang sangat megah untuk putra dan calon menantunya. Pun dengan surat undangan yang tak kalah mewah. Orang-orang hebat dan para relasinya di seluruh penjuru dunia akan diundang untuk memeriahkan, bagi yang ingin menginap akan difasilitasi, bagi yang tak bisa datang karena kendala transportasi akan dijemput.Demikianlah berita tersebut sampai ke telinga Koldi, Asni dan Desi.Segera mereka datang menemui Liera. Awalnya, mereka ingin ke kediaman Exvander, namun karena beberapa kendala, mereka urung melakukannya. Pertama, mereka tidak tahu dimana kediaman Exvander. Kedua, ketika mereka mengatakan pada supir taxi akan kesana, mereka malah ditertawakan dan dianggap gila, alhasil tak ada yang mau mengantar dan memberitahu pasti alamat itu.“Jadi, apa yang kalian inginkan?” Liera jengkel setengah mati hanya karena melihat wajah mere
“Dia yang seorang jalang rendahan disamakan denganku?!" Suara Desi melengking, penuh amarah dan tak percaya.Plak!Tamparan keras mendarat di pipi Desi. Suaranya memecah keheningan yang mencekam. Desi terhuyung ke belakang, tangannya otomatis meraih pipinya yang terasa panas dan perih. Mata mereka bertemu, penuh kebencian dan luka.“Kau... kau...”Liera tersenyum kecut, air mata mulai menetes di sudut matanya. "Aku kecewa padamu, Desi. Bagaimana bisa kau mengatakan itu padaku, kakakmu sendiri?""Kau bukan kak—" Desi mencoba membalas, namun kata-katanya terhenti saat Koldi memotongnya dengan nada tinggi, "Diam!"Koldi, sang ayah, berdiri dengan wajah merah padam. Tangannya mengepal erat, urat-urat di lehernya tampak menonjol. "Cukup!" raungnya, suaranya bergetar karena amarah. "Ini memalukan!"Liera diam-diam tersenyum dalam hati. Menunggu kepada siapa Koldi akan melampiaskan kemarahannya. Yang jelas, siapapun yang akan dijadikan Koldi sebagai pelampiasannya disini tidak akan membuat L
Liera tidak menyangka, dirinya akan menjadi seorang pengantin wanita yang merasa gugup sendiri di ruang tunggunya. Padahal jelas-jelas pernikahan ini hanyalah pernikahan sementara tanpa adanya cinta. Pernikahan yang terjadi untuk menyelamatkan wajah satu sama lain. Tapi ada apa dengan debaran jantungnya ini? Liera benar-benar tidak nyaman. Tok tok tokLiera buru-buru memperbaiki ekspresi gelisah di wajahnya. Dengan hati-hati, ia membetulkan letak poni yang sedikit berantakan, lalu memaksakan sebuah senyuman tipis. "Silahkan masuk."Pintu berderit pelan, memecah keheningan ruangan. Sosok menjulang dengan setelan hitam elegan dan dasi kupu-kupu mencolok di lehernya melangkah masuk. Senyum tipisnya merekah, memperlihatkan deretan gigi putih yang teratur. Namun, di balik senyum itu tersimpan ketegangan yang tak tersembunyikan. Tatapan matanya yang coklat menyapu ruangan, berhenti sejenak pada Liera. Seketika, senyumnya membeku, digantikan oleh ekspr
"Keparat ini! Jika tidak mau naik maka tidak usah, brengsek!" Bentak sang supir, wajahnya memerah menahan amarah. Napasnya memburu, urat-urat lehernya menegang. Koldi terdiam sejenak, matanya membulat ketakutan. Ia tak menyangka akan berhadapan dengan orang sekasar ini. "Ka-kau! Kau tidak tau siapa aku, hah? Aku adalah besan keluarga Exvander!" ucapnya, suaranya bergetar. Namun, melihat tatapan menantang sang supir, ia merasa ucapannya itu sia-sia. "Cuih! Orang sepertimu adalah besan dari keluarga besar? Beraninya kau membual padaku?" Mata sopir itu melotot. "Sayang, kita sudah terlambat. Bagaimana kalau kita naik taksi ini saja? Nanti kalau sampai kita turunnya sembunyi-sembunyi saja," bujuk Asni dengan gelisah. "Ih, apaan sih? Aku tidak sudi! Mau ditaruh dimana wajahku nanti?" Desi menghentak-hentakan kakinya. Berpikir, Koldi melihat ke arah jalan. Anehnya, sejak tadi memang tak ada mobil lewat. Bahkan jika ada, itu hanyalah mob
"Aku bisa melihatnya," Adam membuka pembicaraan selagi menunggu pintu dihadapan mereka terbuka. Liera yang digenggam tangannya oleh Adam, memandang penuh tanya. Apa yang dia maksud? pikirnya dalam hati. Detak jantungnya berpacu. Mungkinkah Adam sudah tahu tentang kontrak itu? Adam tersenyum, balas menatap Liera. "Putraku, dia menyukaimu lebih dari yang dia kira."Liera dengan sigap merapatkan mulutnya. Ia tidak boleh tertawa, tidak boleh! Ayolah, Adam mengatakan hal itu karena ia tidak tahu bila ada kontrak tertulis di balik pernikahan ini. Ia tidak tahu bila Liera dan Jovan akan segera bercerai dan ia tidak tahu bahwa calon menantunya ini ikut berkontribusi sebab dibutakan oleh uang. "Ngomong-ngomong, kau pintar juga memanfaatkan posisimu."Liera kembali dibikin penasaran. Kenapa juga Adam harus berbicara setengah-setengah."Tadi sebelum kesini aku mendapat laporan bahwa banyak tamu tidak diundang memaksa masuk keda
"Hei, kapan kita sampainya? Sudah berapa lama ini?" tanya Asni, suaranya bergetar sedikit. Ia menengok ke luar jendela, matanya membulat saat menyadari mereka melewati papan penunjuk jalan yang sama untuk ketiga kalinya. Sopir menoleh kebelakang, matanya menyipit. "Sabar! Kau pikir berkendara selama ini gampang?? Aku juga sedang mencari jalan alternatif agar kalian bisa cepat sampai!" Balas sopir. "Tapi sepertinya kita sudah lewat taman ini sebelumnya, apa kau memang tau jalan ke gedung X?"Koldi terbangun dari tidurnya. Bukan karena suara Asni yang berisik, namun karena ia merasa harus mengeluarkan sesuatu saat ini juga. "Toilet! Cari toilet dulu!"Sopir menyunggingkan senyum, segera meminggirkan mobil. "Di Sekitar sini ada toilet umum, pergilah." Kata sopir. Koldi dengan cepat keluar. Ia pergi namun tak lama kembali lagi. "Dimana toiletnya!""Ada diujung sana!""Antar aku cepat!""Enak s
Mobil mewah berhiaskan bunga indah itu berhenti. Liera terbangun dari lamunan panjangnya dan melihat keluar jendela. Sebuah rumah besar yang sangat megah terpampang di hadapannya. Sayangnya, Liera bisa melihat betapa sunyinya rumah itu, yang membuatnya tampak mati meskipun banyak lampu dinyalakan. Tapi tak apa. Liera terbiasa oleh kesunyian. Dia lebih nyaman hidup sendiri. Bahkan jika orang-orang mengatakan bahwa hidupnya begitu hampa, Liera hanya bisa mengatakan bahwa ia nyaman pada kehampaan itu. Yah, meskipun sekarang ia akan memiliki teman serumah... Tok tok tok "Tidak mau turun?" Tanya Jovan setelah mengetuk jendela mobil dari luar. Liera menghela nafas, mengambil tas kecilnya yang lebih mahal dari rumah pribadinya disamping. Ia membuka pintu. Jovan sudah lebih dulu berjalan masuk kedalam rumah. Mengikuti Jovan, Liera tak ingin banyak bicara. Pikirannya mengalir pada tempat tidur yang dimiliki rumah mewah ini. Mungkinkah kapasnya terbuat dari benang-benang emas yang
"Tapi... Kenapa mereka kemari?" Sebab umumnya malam ini adalah malam pertama bagi suami-istri. Jadi seharusnya tidak ada yang datang untuk mengganggu malam itu. Yah... Meskipun Liera dan Jovan memang tidak melakukan apapun. Tapi kan— Sesuatu tiba-tiba melintas di benak Liera. Sesuatu yang mengerikan dan tak bisa ia bayangkan kronologinya lebih jauh. Segera Liera berlari ke arah pintu kamarnya, gaun pengantinnya yang berat ia angkat susah payah untuk mempercepat langkahnya. Sampai disana, Liera buru-buru menutup pintu buka dua itu. Sayangnya, ketika baru akan tertutup, sebuah tangan masuk di sela-sela, mengganjal pintu. "Ugh!" Erang orang dibalik pintu. Itu suara Jovan. Liera mengenalinya dengan jelas tetapi saat ini ia tidak ada niat melepas tangan yang mengganjal itu dari jepitan pintu. "Kenapa?!" Suara Liera sedikit membentak. "Saya mau tidur, jangan mengganggu!" Jovan, dibalik pintu, menahan pintu agar tid