Share

5. Dia Bukan Urusanku

Drrt!

Nomor tidak dikenal: [Ayo bertemu di villa]

Liera termenung, membaca pesan itu sekali lagi.

Orang tidak dikenal, tanpa sopan santun, meminta bertemu di villa. Ah tidak, ini sepertinya bukan permintaan tapi perintah.

"Villa... " Liera berpikir. "Villa yang tadi pagi?" Dia bangun dari ranjangnya dan menghubungi nomor itu.

Tetapi yang dia dapatkan ialah fakta bahwa nomor itu memblokirnya. Sehingga hanya nomor sepihak itulah yang bisa mengirim pesan dan menelponnya.

"Terserah. Dia menyuruhku kesana bukan berarti aku harus menurutinya."

Liera meletakan ponselnya dinakas dan pergi mengambil laptop diatas meja. Malam ini Liera akan mengirimkan CV nya secara daring ke berbagai perusahaan yang sedang buka lowongan berharap besok atau mungkin dalam satu minggu kedepan akan ada panggilan wawancara untuknya.

***

"Bung, kau yakin dia akan datang?"

"Ya?"

"Atas dasar apa?"

"Karna dia akan datang."

Liam menepuk menghela nafas panjang dengan kepala tertunduk. Tak percaya dengan sikap sahabatnya ini.

"Kalau aku jadi kau, aku akan memastikan dia akan datang. Daripada mengirim pesan singkat [Ayo bertemu di villa] aku akan menelponnya dan memintanya datang dengan nada lembut, menjemputnya, atau mengirimkan dia tumpangan."

"Hm."

"Hm?"

"Ya."

"Apanya yang ya?! Pastikan dia datang Jovan, setidaknya jika kau tidak menelponnya jangan memblokir nomornya!"

"Tutup mulutmu Liam, ini semua karnamu."

"Aku? Memangnya kenapa denganku? Aku memberimu saran yang masuk akal!"

"Kalau saja kau tidak mengatakan omong kosong tentang bunga mawar, gaun malam atau lain semacamnya malam itu aku akan berbalik pergi dan tidak masuk kesana. Kau membuat aku penasaran dengan apa yang dilakukan wanita itu di dalam dan lihat apa yang terjadi. Aku diancam akan dikeluarkan dari kartu keluarga."

"Kau yang salah kamar! Kau! Yang! Salah masuk kamar!" Liam mengejanya dengan wajah frustasi. "Jelas-jelas dipesanku aku bilang kamar 046, kenapa kau malah berhenti didepan pintu kamar 045?!"

"Itu gara-gara font nya, bukan aku. Siapapun yang melihat juga akan salah lihat."

"Wah, kau benar-benar tidak mau disalahkan ya. Lalu bagaimana kau menjelaskan tentang foto itu? Seorang Jovan Exvander memegang miliknya diatas tubuh wanita yang tidak sadarkan diri."

"Salahkan wanita itu, dia... Suaranya..." Jovan tidak jadi melanjutkan dan malah membuang muka.

"Apa? Kenapa? Jangan buat aku penasaran sialan!"

"Hah~ sudahlah, aku mau tidur. Tutup mulutmu dan pergilah dari villaku."

"Haaa?" Liam adalah seseorang yang tidak bisa ditinggalkan dengan rasa penasaran. Dia akan membuat Jovan mengatakan yang sebenarnya padanya, namun langkahnya terhenti melihat Jovan yang menaiki tangga. Entah kenapa, matanya langsung tertuju di bagian 'itu'.

"Benar-benar gila, jangan bilang dia langsung berdiri hanya karna memikirkan wanita itu?" Liam tercengang.

"Wanita itu, aku harus bertemu dengannya."

***

Tidak bisa dipungkiri bahwa reputasi buruk Liera saat ini memang menjadi suatu masalah dalam mendapatkan pekerjaan baru. Dia sudah menduganya sejak ia keluar dari salah satu cabang perusahaan Exvander Group. Hanya saja, dia tidak menyangka akan ditolak seperti ini.

Setelah kemarin malam mengirimkan lebih dari 50 CV keberbagai perusahaan, restoran, hotel, bahkan sampai keusaha menengah kebawah yang sedang membutuhkan karyawan, Liera langsung mendapatkan semua jawaban dari lamarannya siang ini.

Bukan hanya dia ditolak, dia dikirimkan tangkapan layar mengenai berita tentangnya seolah berkata "Lihat dirimu terlebih dahulu."

Ada yang menolak sambil mengirim pesan makian. Dan ada pula yang menerimanya tapi dengan jobdesk lain yang dia inginkan. Yakni menjual dirinya sendiri.

"Huft!" Liera mendengus gusar. Matanya memerah dan itu terasa sangat pedih. Dia tidak menangis, dia kuat, itu hanyalah kata-kata dari beberapa orang tidak berguna yang hidupnya jauh lebih buruk dari pada sampah.

Namun...

Kenapa harus sekasar itu?

Bukankah cukup dengan tidak membalas emailnya. Bukankah cukup menolaknya dengan mengabaikan CV nya?

Kenapa... Harus seperti itu?

Liera membekap mulutnya. Rasanya dia akan mengeluarkan suara tangisan histeris seperti anak-anak. Dan dia tidak suka bila itu terjadi. Tapi semakin dia mengatakan bahwa dia kuat dalam hatinya, diwaktu bersamaan hatinya juga akan terasa sakit.

Sakit karna memang dia menyadari dia tidak sekuat itu. Sakit karna dia tau kata "Kuat" itu hanyalah sebuah kebohongan yang dibuat-buat karna dia sadar bahwa dia tidak memiliki siapapun untuk bersandar selain dirinya sendiri.

Ah... Darah.

Liera bertanya-tanya mengapa hidungnya juga ikut perih. Ternyata darah mengalir dari sana.

"Sudah cukup! Aku tidak punya waktu untuk ini, aku bisa mati." Liera berdiri dan mengambil kotak P3K miliknya. Menyumpal kedua hidungnya dengan kapas dan berencana untuk tidur sebentar.

Tapi baru dia naik keatas ranjangnya, ponselnya berbunyi. Berbunyi sebanyak 3 kali berturut-turut. Membuat Liera penasaran.

Mungkinkah makian lainnya?

Liera urung mengambil ponselnya dan memilih tidur.

Sementara itu disisi lain dengan suasana yang berbanding terbalik, Jovan membuang ponselnya ke kolam renang.

"Sudahlah kawan, terima saja kesalahanmu. Bukannya sudah kukatakan ya jangan hanya mengirim pesan singkat dan jangan memblokir nomornya,"

"Aku sudah membukanya malam tadi!"

"Maksudmu segera setelah kau masuk ke kamarmu?"

"Itu—" Jovan menggantung ucapannya. Dia tidak akan mengatakan yang sebenarnya pada Liam bahwa dia baru membuka blokiran Liera pada pukul 2 malam.

"Apa?"

"Berisik! Dia bahkan tidak membaca pesanku, apa kau pikir dia masih manusia?!"

Liam diam-diam mendecih. Jika seseorang yang tidak membalas pesan bukanlah manusia, lalu apa kabar dengan Jovan yang mengabaikan hampir seluruh pesannya?

"Mungkin dia sibuk. Lagipula kau baru mengirimkan pesan padanya 10 menit yang lalu, dia tidak punya kewajiban untuk langsung membalas pesan yang masuk."

"Huh!"

"Lagipula kenapa juga kau tidak menelponnya duluan, semahal apa suaramu ha??"

Tidak ada jawaban dari Jovan. Dia malah pergi mengambil sekaleng bir untuk dirinya sendiri.

Lelah menasehati Jovan, Liam juga memilih untuk diam saja. Lelaki itu membuka ponselnya, melihat berita terbaru. Sayangnya, yang masih tenar hingga kini ialah berita tentang sahabatnya itu.

"Hah... bisa-bisa dia dijadikan sebagai pengalihan isu. "

Tangan Liam berhenti bergulir sesaat ketika teringat sesuatu. Disaat yang bersamaan Jovan kembali, meletakan beberapa bir lainnya diatas meja.

"Hei Jovan, bukankah kau sedang kesulitan sekarang gara-gara berita ini?"

"Apa kau tidak punya mata?" Jovan mendengus.

"Lalu bagaimana dengan wanita itu sekarang?"

Jovan terdiam.

"Katanya dia bekerja sebagai karyawan kalian diperusahaan cabang dan dia sudah dipecat."

Jovan masih terdiam. Dia juga hanya memegang kaleng bir nya.

"Jovan?"

"Bukan urusan ku."

"Dan kau berharap dia akan membantumu dengan kau yang seperti ini?"

Jovan menatap tajam.

"Jovan, ini saranku sebagai sahabatmu. Temui wanita itu. Kondisinya jauh lebih buruk darimu yang sedang meminum bir di cuaca panas seperti ini."

Brak! Jovan menghentakan bir nya diatas meja dengan kuat. "Berhenti mengoceh Liam. Wanita itu bukan urusanku!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status