Drrt!
Nomor tidak dikenal: [Ayo bertemu di villa]
Liera termenung, membaca pesan itu sekali lagi. Orang tidak dikenal, tanpa sopan santun, meminta bertemu di villa. Ah tidak, ini sepertinya bukan permintaan tapi perintah. "Villa... " Liera berpikir. "Villa yang tadi pagi?" Dia bangun dari ranjangnya dan menghubungi nomor itu. Tetapi yang dia dapatkan ialah fakta bahwa nomor itu memblokirnya. Sehingga hanya nomor sepihak itulah yang bisa mengirim pesan dan menelponnya. "Terserah. Dia menyuruhku kesana bukan berarti aku harus menurutinya." Liera meletakan ponselnya dinakas dan pergi mengambil laptop diatas meja. Malam ini Liera akan mengirimkan CV nya secara daring ke berbagai perusahaan yang sedang buka lowongan berharap besok atau mungkin dalam satu minggu kedepan akan ada panggilan wawancara untuknya. *** "Bung, kau yakin dia akan datang?" "Ya?" "Atas dasar apa?" "Karna dia akan datang." Liam menepuk menghela nafas panjang dengan kepala tertunduk. Tak percaya dengan sikap sahabatnya ini. "Kalau aku jadi kau, aku akan memastikan dia akan datang. Daripada mengirim pesan singkat [Ayo bertemu di villa] aku akan menelponnya dan memintanya datang dengan nada lembut, menjemputnya, atau mengirimkan dia tumpangan." "Hm." "Hm?" "Ya." "Apanya yang ya?! Pastikan dia datang Jovan, setidaknya jika kau tidak menelponnya jangan memblokir nomornya!" "Tutup mulutmu Liam, ini semua karnamu." "Aku? Memangnya kenapa denganku? Aku memberimu saran yang masuk akal!" "Kalau saja kau tidak mengatakan omong kosong tentang bunga mawar, gaun malam atau lain semacamnya malam itu aku akan berbalik pergi dan tidak masuk kesana. Kau membuat aku penasaran dengan apa yang dilakukan wanita itu di dalam dan lihat apa yang terjadi. Aku diancam akan dikeluarkan dari kartu keluarga." "Kau yang salah kamar! Kau! Yang! Salah masuk kamar!" Liam mengejanya dengan wajah frustasi. "Jelas-jelas dipesanku aku bilang kamar 046, kenapa kau malah berhenti didepan pintu kamar 045?!" "Itu gara-gara font nya, bukan aku. Siapapun yang melihat juga akan salah lihat." "Wah, kau benar-benar tidak mau disalahkan ya. Lalu bagaimana kau menjelaskan tentang foto itu? Seorang Jovan Exvander memegang miliknya diatas tubuh wanita yang tidak sadarkan diri." "Salahkan wanita itu, dia... Suaranya..." Jovan tidak jadi melanjutkan dan malah membuang muka. "Apa? Kenapa? Jangan buat aku penasaran sialan!" "Hah~ sudahlah, aku mau tidur. Tutup mulutmu dan pergilah dari villaku." "Haaa?" Liam adalah seseorang yang tidak bisa ditinggalkan dengan rasa penasaran. Dia akan membuat Jovan mengatakan yang sebenarnya padanya, namun langkahnya terhenti melihat Jovan yang menaiki tangga. Entah kenapa, matanya langsung tertuju di bagian 'itu'. "Benar-benar gila, jangan bilang dia langsung berdiri hanya karna memikirkan wanita itu?" Liam tercengang. "Wanita itu, aku harus bertemu dengannya." *** Tidak bisa dipungkiri bahwa reputasi buruk Liera saat ini memang menjadi suatu masalah dalam mendapatkan pekerjaan baru. Dia sudah menduganya sejak ia keluar dari salah satu cabang perusahaan Exvander Group. Hanya saja, dia tidak menyangka akan ditolak seperti ini. Setelah kemarin malam mengirimkan lebih dari 50 CV keberbagai perusahaan, restoran, hotel, bahkan sampai keusaha menengah kebawah yang sedang membutuhkan karyawan, Liera langsung mendapatkan semua jawaban dari lamarannya siang ini. Bukan hanya dia ditolak, dia dikirimkan tangkapan layar mengenai berita tentangnya seolah berkata "Lihat dirimu terlebih dahulu." Ada yang menolak sambil mengirim pesan makian. Dan ada pula yang menerimanya tapi dengan jobdesk lain yang dia inginkan. Yakni menjual dirinya sendiri. "Huft!" Liera mendengus gusar. Matanya memerah dan itu terasa sangat pedih. Dia tidak menangis, dia kuat, itu hanyalah kata-kata dari beberapa orang tidak berguna yang hidupnya jauh lebih buruk dari pada sampah. Namun... Kenapa harus sekasar itu? Bukankah cukup dengan tidak membalas emailnya. Bukankah cukup menolaknya dengan mengabaikan CV nya? Kenapa... Harus seperti itu? Liera membekap mulutnya. Rasanya dia akan mengeluarkan suara tangisan histeris seperti anak-anak. Dan dia tidak suka bila itu terjadi. Tapi semakin dia mengatakan bahwa dia kuat dalam hatinya, diwaktu bersamaan hatinya juga akan terasa sakit. Sakit karna memang dia menyadari dia tidak sekuat itu. Sakit karna dia tau kata "Kuat" itu hanyalah sebuah kebohongan yang dibuat-buat karna dia sadar bahwa dia tidak memiliki siapapun untuk bersandar selain dirinya sendiri. Ah... Darah. Liera bertanya-tanya mengapa hidungnya juga ikut perih. Ternyata darah mengalir dari sana. "Sudah cukup! Aku tidak punya waktu untuk ini, aku bisa mati." Liera berdiri dan mengambil kotak P3K miliknya. Menyumpal kedua hidungnya dengan kapas dan berencana untuk tidur sebentar. Tapi baru dia naik keatas ranjangnya, ponselnya berbunyi. Berbunyi sebanyak 3 kali berturut-turut. Membuat Liera penasaran. Mungkinkah makian lainnya? Liera urung mengambil ponselnya dan memilih tidur. Sementara itu disisi lain dengan suasana yang berbanding terbalik, Jovan membuang ponselnya ke kolam renang. "Sudahlah kawan, terima saja kesalahanmu. Bukannya sudah kukatakan ya jangan hanya mengirim pesan singkat dan jangan memblokir nomornya," "Aku sudah membukanya malam tadi!" "Maksudmu segera setelah kau masuk ke kamarmu?" "Itu—" Jovan menggantung ucapannya. Dia tidak akan mengatakan yang sebenarnya pada Liam bahwa dia baru membuka blokiran Liera pada pukul 2 malam. "Apa?" "Berisik! Dia bahkan tidak membaca pesanku, apa kau pikir dia masih manusia?!" Liam diam-diam mendecih. Jika seseorang yang tidak membalas pesan bukanlah manusia, lalu apa kabar dengan Jovan yang mengabaikan hampir seluruh pesannya? "Mungkin dia sibuk. Lagipula kau baru mengirimkan pesan padanya 10 menit yang lalu, dia tidak punya kewajiban untuk langsung membalas pesan yang masuk." "Huh!" "Lagipula kenapa juga kau tidak menelponnya duluan, semahal apa suaramu ha??" Tidak ada jawaban dari Jovan. Dia malah pergi mengambil sekaleng bir untuk dirinya sendiri. Lelah menasehati Jovan, Liam juga memilih untuk diam saja. Lelaki itu membuka ponselnya, melihat berita terbaru. Sayangnya, yang masih tenar hingga kini ialah berita tentang sahabatnya itu. "Hah... bisa-bisa dia dijadikan sebagai pengalihan isu. " Tangan Liam berhenti bergulir sesaat ketika teringat sesuatu. Disaat yang bersamaan Jovan kembali, meletakan beberapa bir lainnya diatas meja. "Hei Jovan, bukankah kau sedang kesulitan sekarang gara-gara berita ini?" "Apa kau tidak punya mata?" Jovan mendengus. "Lalu bagaimana dengan wanita itu sekarang?" Jovan terdiam. "Katanya dia bekerja sebagai karyawan kalian diperusahaan cabang dan dia sudah dipecat." Jovan masih terdiam. Dia juga hanya memegang kaleng bir nya. "Jovan?" "Bukan urusan ku." "Dan kau berharap dia akan membantumu dengan kau yang seperti ini?" Jovan menatap tajam. "Jovan, ini saranku sebagai sahabatmu. Temui wanita itu. Kondisinya jauh lebih buruk darimu yang sedang meminum bir di cuaca panas seperti ini." Brak! Jovan menghentakan bir nya diatas meja dengan kuat. "Berhenti mengoceh Liam. Wanita itu bukan urusanku!"Adam tidak bisa menyembunyikan ekspresi marahnya sejak keluar dari ruang rapat yang dihadiri oleh para Direktur lainnya. "Apakah ini akhir dari Exvander Group?" Kalimat itu terbayang-bayang di kepalanya. Putranya sudah berkali-kali membuat masalah yang hampir mirip dengan ini, namun konsekuensi yang didapat tidak pernah separah ini. Sudah jelas, saat ini ada yang sedang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Hanan Group. Perusahaan rivalnya itu sedang naik-naiknya sekarang. Bukan tanpa dasar Adam menerka bahwa Hanan Group lah yang menjadi bensinnya, sebab bukan sekali dua kali juga Hanan melakukan hal yang sama. "Panggil Jovan sekarang!" Suara Adam menggema diruangan yang berkesan dingin itu. Segera asistennya berbalik badan untuk menghubungi sang Tuan muda yang sudah beberapa hari ini tidak tinggal di kediaman. "Kuberi satu menit dari sekarang." Suasana hati Jovan disana juga tampak sedang tidak baik. "Tuan muda, anda dipanggil untuk menghadap Tuan besar sekarang di k
"What the hell man, wajahmu sungguh berseni saat ini. Izinkan aku mengambil foto denganmu." Namun Jovan tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya diam dengan kepala yang sedikit menunduk. Melihat itu, Liam mengusap ujung hidungnya dan duduk disamping Jovan. "Ambil sisi positifnya, ayahmu hanya ingin sedikit memperbudakmu."Jovan menatap Liam dengan sinis. Lalu mengeluarkan suara dengusan risih dari bibirnya. "Kalau saja kau langsung kembali ke rumahmu begitu ayahmu memanggil, kau tidak akan mendapatkan bogem mentah darinya. Lihat, aku bahkan sampai tidak mengenalmu. Jika saja kau tidak memakai kaos hitam kesayanganmu ini, aku tidak akan tau jika itu kau. Tapi kalau dipikir-pikir untung saja aku sedang tidak di villa mu tadi, haha maksudku meski kau itu sahabatku aku tidak ingin mati bersamamu. Itu agak menjijikan haha... "Jovan melihatnya lagi, lebih tajam dari sebelumnya. "Apa? Kenapa melihatku begitu bung? Coba kau pikir, dua orang pria mati bersama setelah berusaha melindungi satu s
"Kau terlambat." Liam memutar matanya jengah, malas membalas Jovan. Setelahnya dia melihat Jovan dari bawah ke atas lalu dari atas ke bawah. "Kenapa kau baik-baik saja?" Tanyanya. "Kau berharap kondisiku bagaimana?" Jovan menatap sinis. "Hahaha, tentu saja aku selalu mengharapkan kesehatanmu. Kalau begitu... Kenapa kau berada disini? Dan kenapa kau memanggilku kemari?" "Itu—" "Aaah, aku tau!" Liam tertawa mengejek. Wajahnya seolah menyiratkan kata 'muak' pada kasus Jovan ini "Kau datang kemari bersama dengan seorang wanita kan?" "Dari mana kau tau?" Liam menarik ke atas sudut bibir kirinya. "Cih, dari mana aku tau? Kau itu binatang yang selalu birahi." "Hei!" "Kutebak lagi, kau dan wanita itu datang kemari karna dia mengaku hamil anakmu, dan setelah dokter bilang dia benar-benar hamil kau memanggilku kemari untuk menanggung kesalahanmu. Jovan, kau itu mudah sekali ditebak. Kau mungkin bisa saja menyuruhnya ab0rsi sekarang tetapi dia mengancammu akan menyebarkan i
“Lia, berbaringlah diatas tempat tidur.” “Y,Ya?!” “Lia, apa kau tidak mau? Aku hanya tidak ingin kau melihat wajahku. Mana mungkin aku membiarkanmu terus berdiri seperti ini.” Lagi, nada memelas itu dipakai Liam untuk menaklukan Roselia. “Aku akan naik!” Roselia dengan sigap menuju tempat tidur, naik, lalu berbaring membelakangi Tuannya. Hahah, Liam merasa bangga sendiri. Dia tau itu, cara menaklukan hati wanita ada banyak. Dan teknik yang paling ampuh ialah dengan memohon seperti ini. Setelah Roselia berbaring. Liam mengambil selimut lain di dalam lemari kemudian menyelimuti Roselia dengan lembut. Dari ujung kaki sampai ujung rambut. “Tu-Tuan, saya sesak.” Liam tersadar bahwa bukan hanya sekedar menyelimuti, ia juga melilitkan selimut itu di leher Roselia. Ah, ini pasti disebabkan oleh kekhawatiran takut akan ketahuan. “Maaf,” Ujarnya. “Aku hanya takut kau akan meninggalkanku.” Ia melonggarkannya. Hmmm, melihat Roselia terbungkus sepenuhnya seperti jenazah, Liam
“Sudah kuputuskan! Jovan, kau akan menikahi wanita ini!” Pernyataan Adam membuat para pelayan kaget. Bahkan Roselia sendiri, ia tiba-tiba berhenti menangis. “Jangan bercanda, apa kau tau apa yang saat ini sedang kau katakan?!” Jovan meninggikan suaranya dengan berani. Tidak, bukan sekedar berani, tetapi marah. Emosinya melesat naik keatas secara drastis. “Setelah kau menyuruhku untuk menikahi wanita yang terlibat denganku difoto itu, sekarang kau ingin aku menikah dengan wanita ini?! Aku tidak ada hubungannya dengan wanita ini, aku baru pulang dan kalian sudah menungguku disini dengan persepsi kalian!” “Diam! Kau tidak diberikan hak untuk membantah!” “Kenapa tidak, ini tentang hidupku!” “Justru karna ini menyangkut hidupmu, kau tidak boleh membantah! Aku sudah membiarkanmu selama ini untuk memilih jalan hidupmu. Kubiarkan kau memutuskan apa yang ingin kau makan, apa yang ingin kau pakai, apa yang kau pelajari, dimana kau ingin bersekolah, dan kepada siapa kau ingin bergau
Sudah satu jam berlalu, sudah bosan pula Adam menunggu. Ketika beliau sudah menghembuskan nafas berat yang panjang, Jovan langsung tau bahwa waktunya sudah habis. “Aku akan menjemputnya.” Kata Jovan begitu ayahnya baru saja berdiri. Menatap kedalam mata anaknya. Adam berbalik sambil menggelengkan kepala. “Jangan biarkan Jovan keluar selangkahpun dari kediaman ini.” Jatuhnya perintah Adam merupakan sesuatu yang mutlak. Para penjaga langsung bergerak melakukan tugasnya, memperketat keamanan di sekeliling rumah termasuk didepan pintu kamar Tuan muda mereka. Jovan sudah tau kurang lebih apa yang akan terjadi padanya, karena itu ia dengan patuh berjalan masuk sendiri ke kamarnya tanpa diminta. “Jovan,” Panggil Felicia. Jovan berhenti. “Cukup sampai disini, turuti perkataan ayahmu.” Ucapnya berpesan. Sebagai seorang ibu yang tahu tabiat anaknya, Felicia kembali memperingati Jovan. Suara tawa terdengar dari Jovan. Tawa yang mengandung kekecewaan terhadap orang tuanya. Yah, betul
Jovan terjaga karena suara ketukan dari luar balkon. Ketukan yang tak begitu kuat namun juga tak bisa dikata pelan seiring Jovan mengabaikannya. “Oy, pssst! Pssst! Jovan, apa kau babi? Buka pintunya!” Biasanya pintu balkon selalu dibiarkan Jovan tak terkunci, namun sekarang ceritanya berbeda. “Hei, bodoh! Aku tau kau belum tidur. Dengar, aku akan membantumu jadi buka ini sialan. Jangan seperti remaja puber!” “Apa kau benar-benar ingin menikah dengan pelayan dirumahmu?” Jovan masih tidak menjawab. Didalam sana, ia malah mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. Membukanya untuk melihat sesuatu yang mungkin seru. Namun tak sengaja dia menekan notifikasi pesan Liam yang bertengger di atas layarnya. Terhitung sudah sejaman Liam diluar balkon. Dia datang kesini dengan buru-buru, menerobos penjagaan yang semakin ketat di sekitar kediaman Exvander, tanpa jaket dan tanpa makan malam. Seharusnya dia tidak melewatkan penjual jagung bakar yang tadi memang sempat membuatnya terhenti. H
Masalah datang secara beruntun akhir-akhir ini, jadi bukannya tidak kepikiran bagi Adam bila Jovan akan kabur dari kamarnya. Padahal kejadian kemarin cukup dramatis dan penuh haru menurut Adam, namun tetap saja, putranya dengan kekeraskepalaan miliknya. Sangat mirip dengan Adam. “Haish... tapi tetap saja di umur segitu aku membuat perkembangan diri.” Lirih Adam. Vobi yang berdiri di sebelah Adam memilih untuk pura-pura tak mendengar apapun. Kendati demikian ia sepertinya tau kurang lebih apa yang sedang diresahkan Adam. Merasa ponselnya bergetar, Vobi dengan cepat memeriksanya. Sebuah pesan dari penjaga gerbang depan yang memberitahukan bahwa Tuan muda mereka kembali. “Tuan muda sudah pulang Tuan. Haruskah saya memanggilkannya untuk anda?” Adam berpikir sejenak. Melihat ke arah berkas diatas meja dengan intens, padahal sebenarnya tidak benar-benar melihatnya. “Biarkan dia.” Vobi mengangguk, “Baik Tuan.” Namun belum berselang lama, pintu dibuka begitu saja tanpa satu ketukan at