“Sudah kuputuskan! Jovan, kau akan menikahi wanita ini!” Pernyataan Adam membuat para pelayan kaget. Bahkan Roselia sendiri, ia tiba-tiba berhenti menangis. “Jangan bercanda, apa kau tau apa yang saat ini sedang kau katakan?!” Jovan meninggikan suaranya dengan berani. Tidak, bukan sekedar berani, tetapi marah. Emosinya melesat naik keatas secara drastis. “Setelah kau menyuruhku untuk menikahi wanita yang terlibat denganku difoto itu, sekarang kau ingin aku menikah dengan wanita ini?! Aku tidak ada hubungannya dengan wanita ini, aku baru pulang dan kalian sudah menungguku disini dengan persepsi kalian!” “Diam! Kau tidak diberikan hak untuk membantah!” “Kenapa tidak, ini tentang hidupku!” “Justru karna ini menyangkut hidupmu, kau tidak boleh membantah! Aku sudah membiarkanmu selama ini untuk memilih jalan hidupmu. Kubiarkan kau memutuskan apa yang ingin kau makan, apa yang ingin kau pakai, apa yang kau pelajari, dimana kau ingin bersekolah, dan kepada siapa kau ingin bergau
Sudah satu jam berlalu, sudah bosan pula Adam menunggu. Ketika beliau sudah menghembuskan nafas berat yang panjang, Jovan langsung tau bahwa waktunya sudah habis. “Aku akan menjemputnya.” Kata Jovan begitu ayahnya baru saja berdiri. Menatap kedalam mata anaknya. Adam berbalik sambil menggelengkan kepala. “Jangan biarkan Jovan keluar selangkahpun dari kediaman ini.” Jatuhnya perintah Adam merupakan sesuatu yang mutlak. Para penjaga langsung bergerak melakukan tugasnya, memperketat keamanan di sekeliling rumah termasuk didepan pintu kamar Tuan muda mereka. Jovan sudah tau kurang lebih apa yang akan terjadi padanya, karena itu ia dengan patuh berjalan masuk sendiri ke kamarnya tanpa diminta. “Jovan,” Panggil Felicia. Jovan berhenti. “Cukup sampai disini, turuti perkataan ayahmu.” Ucapnya berpesan. Sebagai seorang ibu yang tahu tabiat anaknya, Felicia kembali memperingati Jovan. Suara tawa terdengar dari Jovan. Tawa yang mengandung kekecewaan terhadap orang tuanya. Yah, betul
Jovan terjaga karena suara ketukan dari luar balkon. Ketukan yang tak begitu kuat namun juga tak bisa dikata pelan seiring Jovan mengabaikannya. “Oy, pssst! Pssst! Jovan, apa kau babi? Buka pintunya!” Biasanya pintu balkon selalu dibiarkan Jovan tak terkunci, namun sekarang ceritanya berbeda. “Hei, bodoh! Aku tau kau belum tidur. Dengar, aku akan membantumu jadi buka ini sialan. Jangan seperti remaja puber!” “Apa kau benar-benar ingin menikah dengan pelayan dirumahmu?” Jovan masih tidak menjawab. Didalam sana, ia malah mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. Membukanya untuk melihat sesuatu yang mungkin seru. Namun tak sengaja dia menekan notifikasi pesan Liam yang bertengger di atas layarnya. Terhitung sudah sejaman Liam diluar balkon. Dia datang kesini dengan buru-buru, menerobos penjagaan yang semakin ketat di sekitar kediaman Exvander, tanpa jaket dan tanpa makan malam. Seharusnya dia tidak melewatkan penjual jagung bakar yang tadi memang sempat membuatnya terhenti. H
Masalah datang secara beruntun akhir-akhir ini, jadi bukannya tidak kepikiran bagi Adam bila Jovan akan kabur dari kamarnya. Padahal kejadian kemarin cukup dramatis dan penuh haru menurut Adam, namun tetap saja, putranya dengan kekeraskepalaan miliknya. Sangat mirip dengan Adam. “Haish... tapi tetap saja di umur segitu aku membuat perkembangan diri.” Lirih Adam. Vobi yang berdiri di sebelah Adam memilih untuk pura-pura tak mendengar apapun. Kendati demikian ia sepertinya tau kurang lebih apa yang sedang diresahkan Adam. Merasa ponselnya bergetar, Vobi dengan cepat memeriksanya. Sebuah pesan dari penjaga gerbang depan yang memberitahukan bahwa Tuan muda mereka kembali. “Tuan muda sudah pulang Tuan. Haruskah saya memanggilkannya untuk anda?” Adam berpikir sejenak. Melihat ke arah berkas diatas meja dengan intens, padahal sebenarnya tidak benar-benar melihatnya. “Biarkan dia.” Vobi mengangguk, “Baik Tuan.” Namun belum berselang lama, pintu dibuka begitu saja tanpa satu ketukan at
"Apalagi ini pak tua?!" Jovan tak sadar melontarkan panggilan yang cukup kasar pada ayahnya. Yang benar saja ayahnya ini, setelah memaksanya menikah sekarang melarang. Sejak kapan ayahnya se plin-plan ini. "Jangan salah paham, maksudku aku tidak akan menganggap pernikahan ini jika hanya berdasar pada kepentingan pribadi. Bukankah aku sudah bilang? Meskipun tidak pada wanita ini, kau harus menikahi pelayan barusan. Kau pikir untuk apa aku mengatakan itu? Menjadikan mereka bahan percobaan semata-mata agar kau bisa berubah lebih baik? Tidak Jovan. Sejak kau berpikir bahwa pernikahan ini hanya untuk kepentingan politik, kau sudah berada dijalan yang salah dan kau membawa orang lain untuk berjalan bersamamu di jalur itu." "Jadi aku harus membangun rumah tangga yang sesungguhnya pada wanita ini?" "Ya, jika kau masih menganggapku sebagai orang tuamu." Jovan berdecak, mengambil ponselnya di atas meja kerja adam. Pria itu keluar dari ruangan
"Kak Liera, apa yang terjadi denganmu? Kenapa keningmu diperban seperti itu?" Jina bertanya dengan wajah yang terlalu dilebih-lebihkan untuk seseorang yang sedang khawatir. "Oh, apa mungkin kakak merasa tertekan karena terlibat skandal dengan Tuan Muda Exvander?" Suaranya pun sengaja dibesar-besarkan. Orang lewat yang mendengar nama Tuan Muda Exvander disebut, berhenti untuk mendengar lebih jauh. Mereka semakin bertambah ramai ketika menyadari bahwa wajah Liera mirip dengan yang difoto skandal itu. "Tunggu, apa maksudmu dia wanita yang terlibat dengan Tuan Muda Exvander?" Tanya salah seorang. Jina dengan wajah sok polosnya berkata, "Ah ya... Itu benar. Kak Liera memang sudah lama menyukai Tuan Muda." Yang mana artinya, Liera memang sengaja membuat dirinya terlibat skandal dengan Jovan. "Hah, dasar, aku sudah menebaknya sejak pertama kali melihatnya, dia memang wanita penggoda!" Kata yang lainnya. Ia adalah seorang perawat wanita di
Jina tertawa seperti orang gila. Orang-orang melihatnya dengan tatapan aneh. Adapun yang tertawa lucu melihatnya. "Wa-wanita gila! Cepat, siapapun hubungi pihak rumah sakit jiwa!"Tapi tak seorangpun mengindahkan perintah Brais. Bagi mereka tontonan ini terlalu seru untuk di lerai cepat. Jina mengambil tasnya di lantai. Membuka dan mengeluarkan ponselnya. Meskipun tidak tahu apa yang sedang dilakukan Jina. Brais bisa merasakan ombak lain yang jauh lebih besar akan datang padanya. Jadi dia berniat mengambil ponsel Jina.Namun, Liera yang menyadari itu langsung mencegah Brais. Ia menarik rantai di leher Brais agar sedikit menjauh dari Jina. "Manajer Brais, apa yang akan anda lakukan?" Kata Liera didepan Brais. Ia menghadangnya. "Minggir, aku tidak punya urusan denganmu!"Liera memiringkan kepalanya, memasang wajah lugu. "Loh kok gitu? Bukankah masalah ini
Liera menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang. Hari ini adalah hari yang sangat dinanti sekaligus ditakuti. Ia akan bertemu dengan orang tua dari calon suaminya, Jovan, untuk pertama kalinya. Bayangan-bayangan tentang bagaimana pertemuan itu akan berlangsung terus menghantuinya. "Tenang, Liera, tenang. Kau tidak mau uang ya?" gumamnya pada diri sendiri sambil menatap cermin. Ia memeriksa penampilannya sekali lagi. Gaun berwarna pastel yang dipilihnya terasa sedikit terlalu formal, tapi ia ingin memberikan kesan terbaik. Bukan agar ia dapat disenangi, namun agar harga dirinya tidak jatuh. Berpikir bahwa ia akan menyandang marga Exvander di masa depan membuat Liera malah semakin frustasi. Sesampainya di kediaman Exvander yang megah, jantung Liera seakan mau copot dari tempatnya. "Mereka tidak menggigit, Liera! Ayolah, jangan seperti ini." Didepan mansion, sudah berjejer banyaknya pelayan untuk menyambutnya. Keluarlah Jovan, ia menyambut
Liera perlahan berhenti mengunyah, sendok ia letakan diatas meja, kemudian diambilnya segelas jus disampingnya untuk diminum. "Aku belum mengizinkan kalian bergabung." Kata Liera begitu Gian dan Beni hendak duduk. Merasa jengkel, Gian tertawa, mencoba untuk tidak memperlihatkan kekesalannya. Dengan tangan disaku celana, Gian berucap, "Liera, kami disini karena merasa kasihan denganmu. Lihat bagaimana kau makan sendiri tanpa suamimu?" Ia menggeleng sembari berdecak menyayangkan. Beni menyambung, "Coba lihat sekelilingmu, Liera." Sambil menyapu semua orang dengan telunjuknya, namun sedikitpun Liera tak menoleh melihat ke arah lain. Hanya melihat kedua orang itu dengan nanar. "Mereka semua berpasangan bahkan lebih, tapi lihat dirimu?" Beni tertawa. Gian menghela nafas panjang, menarik keluar kursi di depan Liera dan langsung duduk. "Sudahlah, jangan mempermalukan dirimu terlalu jauh. Aku tau kau orangnya sok jual mahal, tetapi kau harus tau kalau kepribadianmu itu akan menjatuhkanmu
Mereka saling bersi pandang, wanita yang sudah diduga Liera sebagai wanita panggilan itu dengan angkuh melewati Liera begitu saja tak lupa mengibaskan rambutnya hingga terkena diwajah Liera. "Si-sialan...." Liera. Tangannya berpegang kuat pada pegangan tangga. Menarik napas dalam-dalam, Liera menghembuskannya dengan pelan. Sudahlah, ayo cari makan saja. Begitu turun di lantai satu, lagi-lagi ada wanita yang baru saja keluar dari sebuah kamar. Hanya seorang wanita dengan gaun minim bahan berwarna merah, rambutnya kusut dan langkah kakinya tak normal. Wanita itu dan Liera saling melihat. Kali ini, wanita itu berjalan mendekat kearah Liera. Berhenti, ia melihat Liera dari atas hingga bawah menatapnya dengan angkuh. Lalu berdecak tertawa. "Lebih besar punyaku." Kata wanita itu. Ia mengangkat kedua gundukannya keatas, memamerkannya. Liera saking syoknya, menutup mulut dengan telapak tangannya. Baru kali ini ia melihat wanit
"Aku akan menikah besok." Penuturan George membuat semua orang yang disana menghela nafas lelah. "Untuk membuat buku perceraian yang baru?" Tanya yang lain. "Ini adalah yang terakhir, yang akan menemaniku hingga aku tua. Kami sudah saling berjanji untuk itu." Kata George bangga. Mereka yang mendengar hanya mengangguk-angguk. Yah, biarkan George melakukan apa yang dia mau. Sementara itu, Liam sudah mempersiapkan segalanya untuk malam ini. Musik terdengar, langsung dengan opening yang memecah. Lampu diredupkan, botol minuman dikeluarkan dari tempat penyimpanan. Mereka tidak akan tidur malam ini. *** Liera membekap telinganya. Sejak beberapa jam yang lalu berusaha untuk tidur tetapi selalu saja tidak bisa. Degungan musik dari lantai satu masih setia mengganggunya. Pintu kamarnya diketuk. Liera langsung terduduk diatas tempat tidur, melihat pintu kamarnya disana. Ketukan kembali terdengar, tetapi tak sedikitpun Liera ingin beranjak membukakan pintu. Ia hanya melihatnya da
"Tidak, tunggu! Jangan semuanya!" "Ssst, tenanglah." Kata Jovan pelan dengan suaranya yang rendah. "Ada sesuatu yang harus kuperiksa." Liera menahan napas. Tubuhnya menegang. Mau itu nafas Jovan yang menyapu halus kulit lehernya ataupun sentuhan tangannya yang sensual, keduanya sama-sama menyengat. Liera memejamkan mata begitu merasakan tangan besar itu bersentuhan dengan pinggang polosnya, kedua tangannya meremas sprei dengan kuat, ia menggigit bibir bawahnya, tubuhnya sedikit maju ke depan, lalu lenguhan naif itu lolos begitu saja. Jovan tiba-tiba menghentikan aktivitasnya, nafasnya pun tercekat dan pupil matanya melebar. Irisnya bergerak, melihat Liera lewat ujung matanya. Jakunnya bergerak, menelan ludah. Ia kembali melihat apa yang baru saja ia lakukan. Terkejutlah ia dengan apa yang ia lakukan. Tangannya bahkan masih berada disana dengan tujuan dan visi misi yang jelas, yakni terus merambat ke bawah dan ke bawahnya lagi menc
"Tapi... Kenapa mereka kemari?" Sebab umumnya malam ini adalah malam pertama bagi suami-istri. Jadi seharusnya tidak ada yang datang untuk mengganggu malam itu. Yah... Meskipun Liera dan Jovan memang tidak melakukan apapun. Tapi kan— Sesuatu tiba-tiba melintas di benak Liera. Sesuatu yang mengerikan dan tak bisa ia bayangkan kronologinya lebih jauh. Segera Liera berlari ke arah pintu kamarnya, gaun pengantinnya yang berat ia angkat susah payah untuk mempercepat langkahnya. Sampai disana, Liera buru-buru menutup pintu buka dua itu. Sayangnya, ketika baru akan tertutup, sebuah tangan masuk di sela-sela, mengganjal pintu. "Ugh!" Erang orang dibalik pintu. Itu suara Jovan. Liera mengenalinya dengan jelas tetapi saat ini ia tidak ada niat melepas tangan yang mengganjal itu dari jepitan pintu. "Kenapa?!" Suara Liera sedikit membentak. "Saya mau tidur, jangan mengganggu!" Jovan, dibalik pintu, menahan pintu agar tid
Mobil mewah berhiaskan bunga indah itu berhenti. Liera terbangun dari lamunan panjangnya dan melihat keluar jendela. Sebuah rumah besar yang sangat megah terpampang di hadapannya. Sayangnya, Liera bisa melihat betapa sunyinya rumah itu, yang membuatnya tampak mati meskipun banyak lampu dinyalakan. Tapi tak apa. Liera terbiasa oleh kesunyian. Dia lebih nyaman hidup sendiri. Bahkan jika orang-orang mengatakan bahwa hidupnya begitu hampa, Liera hanya bisa mengatakan bahwa ia nyaman pada kehampaan itu. Yah, meskipun sekarang ia akan memiliki teman serumah... Tok tok tok "Tidak mau turun?" Tanya Jovan setelah mengetuk jendela mobil dari luar. Liera menghela nafas, mengambil tas kecilnya yang lebih mahal dari rumah pribadinya disamping. Ia membuka pintu. Jovan sudah lebih dulu berjalan masuk kedalam rumah. Mengikuti Jovan, Liera tak ingin banyak bicara. Pikirannya mengalir pada tempat tidur yang dimiliki rumah mewah ini. Mungkinkah kapasnya terbuat dari benang-benang emas yang
"Hei, kapan kita sampainya? Sudah berapa lama ini?" tanya Asni, suaranya bergetar sedikit. Ia menengok ke luar jendela, matanya membulat saat menyadari mereka melewati papan penunjuk jalan yang sama untuk ketiga kalinya. Sopir menoleh kebelakang, matanya menyipit. "Sabar! Kau pikir berkendara selama ini gampang?? Aku juga sedang mencari jalan alternatif agar kalian bisa cepat sampai!" Balas sopir. "Tapi sepertinya kita sudah lewat taman ini sebelumnya, apa kau memang tau jalan ke gedung X?"Koldi terbangun dari tidurnya. Bukan karena suara Asni yang berisik, namun karena ia merasa harus mengeluarkan sesuatu saat ini juga. "Toilet! Cari toilet dulu!"Sopir menyunggingkan senyum, segera meminggirkan mobil. "Di Sekitar sini ada toilet umum, pergilah." Kata sopir. Koldi dengan cepat keluar. Ia pergi namun tak lama kembali lagi. "Dimana toiletnya!""Ada diujung sana!""Antar aku cepat!""Enak s
"Aku bisa melihatnya," Adam membuka pembicaraan selagi menunggu pintu dihadapan mereka terbuka. Liera yang digenggam tangannya oleh Adam, memandang penuh tanya. Apa yang dia maksud? pikirnya dalam hati. Detak jantungnya berpacu. Mungkinkah Adam sudah tahu tentang kontrak itu? Adam tersenyum, balas menatap Liera. "Putraku, dia menyukaimu lebih dari yang dia kira."Liera dengan sigap merapatkan mulutnya. Ia tidak boleh tertawa, tidak boleh! Ayolah, Adam mengatakan hal itu karena ia tidak tahu bila ada kontrak tertulis di balik pernikahan ini. Ia tidak tahu bila Liera dan Jovan akan segera bercerai dan ia tidak tahu bahwa calon menantunya ini ikut berkontribusi sebab dibutakan oleh uang. "Ngomong-ngomong, kau pintar juga memanfaatkan posisimu."Liera kembali dibikin penasaran. Kenapa juga Adam harus berbicara setengah-setengah."Tadi sebelum kesini aku mendapat laporan bahwa banyak tamu tidak diundang memaksa masuk keda
"Keparat ini! Jika tidak mau naik maka tidak usah, brengsek!" Bentak sang supir, wajahnya memerah menahan amarah. Napasnya memburu, urat-urat lehernya menegang. Koldi terdiam sejenak, matanya membulat ketakutan. Ia tak menyangka akan berhadapan dengan orang sekasar ini. "Ka-kau! Kau tidak tau siapa aku, hah? Aku adalah besan keluarga Exvander!" ucapnya, suaranya bergetar. Namun, melihat tatapan menantang sang supir, ia merasa ucapannya itu sia-sia. "Cuih! Orang sepertimu adalah besan dari keluarga besar? Beraninya kau membual padaku?" Mata sopir itu melotot. "Sayang, kita sudah terlambat. Bagaimana kalau kita naik taksi ini saja? Nanti kalau sampai kita turunnya sembunyi-sembunyi saja," bujuk Asni dengan gelisah. "Ih, apaan sih? Aku tidak sudi! Mau ditaruh dimana wajahku nanti?" Desi menghentak-hentakan kakinya. Berpikir, Koldi melihat ke arah jalan. Anehnya, sejak tadi memang tak ada mobil lewat. Bahkan jika ada, itu hanyalah mob