Ayudia Kalyna Prameswari, lulusan magister Manajemen salah satu universitas di Bandung, bercita-cita untuk bekerja di bidang seni rupa karena kecintaannya pada karya-karya lukis, kerjainan, tapestri, patung, maupun fotografi.
Sayang beribu sayang, meskipun Kalyna—begitu ia disapa—sangat mencintai seni, ia tidak memiliki kemampuan di dalamnya. Sebagaimana kebanyakan orang, mahakarya terbaiknya adalah gambar dua gunung dengan sawah dan matahari di tengah-tengahnya.
Kalyna pernah mencoba untuk membuat sebuah lukisan abstrak semasa kuliah, saat itu ia diajak oleh salah satu temannya dari jurusan seni untuk ikut merayakan acara pekan seni di kampus.
Kalyna masih ingat begitu jelas ekspresi wajah Nusa, temannya itu, saat melihat hasil akhir lukisan yang ia buat. Nampak jelas Nusa menatap lukisan Kalyna dengan pandangan ngeri bercampur heran, tapi cowok baik hati itu masih berbaik hati mengatakan bahwa lukisan Kalyna tidak begitu buruk.
Tentu saja Kalyna tidak sebodoh itu untuk percaya kalimat basa-basi Nusa, temannya itu hanya ingin ia tidak berkecil hati dengan karyanya. Setelah kejadian itu, Kalyna memilih untuk menjadi penikmat karya seni saja dengan mengunjungi pameran, galeri seni, atau acara pekan seni kampusnya.
Setelah lulus sarjana, melanjutkan ke jenjang magister, kemudian mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan penerbitan di ibu kota, kecintaan Kalyna akan seni rupa belum luntur.
Ia beberapa kali menyempatkan untuk berkunjung jika ada acara-acara bertema seni yang diadakan di Jakarta. Seperti saat ini, Kalyna tengah bersiap untuk mengunjungi Mall Taman Anggrek, tempat Pameran Van Gogh Alive sedang diadakan.
Ia sudah lama menjadi penikmat karya seni Vincent Van Gogh, dan saat mendengar salah satu mall di Jakarta akan kedapatan kesempatan menggelar pameran karya-karya pelukis itu, Kalyna benar-benar bersemangat untuk datang.
Kalyna sekali lagi mematut dirinya di depan cermin, memastikan tidak ada yang kurang atau terlihat aneh pada dirinya. Kalyna memiliki postur yang terbilang tinggi dari rata-rata perempuan di Indonesia, tingginya pas berada di angka 170 cm. Dengan perawakan kurus, Kalyna lebih suka menggunakan celana kulot atau baggy saat bepergian agar ia tidak terlihat terlalu kurus.
Seperti saat ini, Kalyna memutuskan untuk memakai celana kulot putih yang dipadukan dengan sweater turtle neck berwarna mocha. Ia memilih sepasang flatshoes putih yang nyaman digunakan untuk berjalan-jalan dan totebag hitam kesayangannya untuk menaruh barang bawaannya yang cukup banyak.
Usai menyemprotkan parfum, Kalyna bergegas keluar kamar kosnya, mengunci pintu, dan berjalan menuju halte bus terdekat. Ia memutuskan untuk menaiki busway, karena anak kos tidak boleh boros, meskipun gaji perbulannya lumayan besar tetap saja hemat itu pangkal kaya, itu prinsip Kalyna sejak awal ia memulai kehidupan perkantorannya di Jakarta.
Salah satu tujuan Kalyna mencari pekerjaan di ibu kota adalah upah yang ditawarkan oleh berbagai perusahaan lumayan tinggi, setidaknya lebih tinggi dibanding tempat asalnya dulu. Sepeninggal orang tuanya lima tahun lalu, Kalyna mulai mengerti betapa berharganya uang dan betapa sulit menghasilkannya.
Mulai saat itu, Kalyna belajar mengatur harta peninggalan orang tuanya yang tidak seberapa, dan berusaha menggunakan harta warisan dari mereka secara bijak sampai dirinya bisa menghasilkan pendapatan sendiri.
Sekitar 45 menit kemudian, Kalyna berhasil sampai ke tempat tujuan. Matanya langsung berbinar-binar saat sudah masuk ke area pameran. Mulutnya juga sudah sibuk berdecak kagum dan bergumam kata ‘wow’ berulang kali.
Pameran ini adalah pameran terbaik yang didatanginya sejauh ini, karena baru kali ini Kalyna menikmati karya seni lukisan yang dipadukan dengan teknologi terkini dalam penyajiannya.
Ruang utama pameran bertemakan pameran multisensori, di mana seluruh dinding ruangan dan lantainya dapat menampilkan lukisan-lukisan Van Gogh yang terus berganti setiap sekian detik atau sekian menit.
Musik klasik yang diputar dalam ruang pameran menambah suasana megah dalam pameran. Kalyna bisa merasakan jantungnya berdebar antusias dan matanya berkaca-kaca selama mengamati mahakarya Van Gogh dalam pameran.
Selesai menikmati pameran, Kalyna memutuskan untuk makan siang di salah satu restoran ramen yang dipilihnya secara acak. Hari sudah siang dan ia kelaparan setelah berjalan berkeliling cukup lama.
Kalyna merasa hari itu adalah hari baiknya, ia menikmati pameran yang luar biasa dan secara kebetulan ramen yang dipesannya terasa enak dan sesuai dengan seleranya.
Beres dengan makan siangnya, Kalyna berjalan menuju salah satu toko buku yang ada di sana, ia akan membeli dua buah buku yang baru pekan lalu diterbitkan oleh perusahaan penerbit tempat ia bekerja, sebuah novel dan komik.
Meski bekerja di bagian manajemen dan administrasi, Kalyna cukup update soal cerita-cerita apa saja yang masuk ke penerbitan untuk dibukukan. Ia biasanya akan membeli beberapa buku yang ceritanya menarik dan disukainya.
Tak jarang ia mendapatkan spoiler tentang cerita apa saja yang akan naik cetak dari rekan kerjanya di divisi editorial. Tentu bukan bocoran mengenai keseluruhan cerita, hanya bagian sinopsisnya saja, sehingga Kalyna tau mana buku yang benar-benar menarik untuk dibaca.
Usai membayar dua buku di kasir, Kalyna memutuskan untuk pulang. Ia akan menghabiskan sisa hari liburnya untuk membaca buku baru itu. Hatinya senang, perut kenyang, saatnya pulang dengan riang. Jika biasanya ia akan bosan dan menggerutu saat menunggu busnya datang, kali ini ia merasa santai dan bahkan bisa bersenandung.
Beruntungnya, karena hari masih siang, bus tidak terlalu ramai sehingga Kalyna dapat duduk dengan tenang selama perjalanan menuju kos-kosannya. Saat turun di halte bus tujuannya, Kalyna sudah merasa tidak sabar untuk cepat sampai di kamar kos. Ia ingin segera mengunggah foto-foto selama di pameran tadi ke laman media sosialnya dan membaca novel barunya sampai malam nanti.
Kalyna jadi teringat kembali pada satu lukisan Van Gogh yang ia pandangi cukup lama tadi. Lukisan dengan judul “Irises”, salah satu lukisan terakhir karya sang pelukis sebelum menemui ajalnya. Lukisan yang diciptakan Van Gogh dalam hari-harinya di Rumah Sakit Jiwa Saint Paul de Mausole, tentang sekumpulan bunga iris biru yang cantik.
Mengingatnya hati Kalyna menghangat, langkahnya menjadi ringan saat berjalan menyebrangi jalan raya menuju gang tempat indekosnya berada. Senyum Kalyna masih terkembang sebelum…
TIIINN!
BRAAKK!
Kalyna merasa tubuhnya berada satu meter di atas aspal sebelum sekejap kemudian ia tersungkur di atasnya. Matanya buram, tapi bisa dilihatnya sekelebat bayangan bagian depan mobil truk kuning tak begitu jauh di sana.
Bayangan beberapa pasang kaki orang yang terburu-buru berlari ke arahnya juga nampak di mata Kalyna, meskipun semakin dirasa memburam. Telinganya berdengung dengan denging yang keras, kepalanya berdentum sakit, dan badannya mati rasa.
Seseorang membalikkan badannya menjadi telentang, Kalyna menatap langit biru di atasnya, matanya mulai berat, tubuhnya terasa sakit luar biasa. Kalyna merasa ia akan kehabisan napas, ia merintih dan mulai menangis.
Semuanya terasa begitu menyiksa dan menyakitkan sebelum kemudian dalam sentakan kilat ia ditarik dalam kegelapan yang terasa pekat dan dalam.
***
Kalyna merasakan kesadarannya berangsur-angsur kembali. Ia mencoba membuka matanya yang terasa berat, dan begitu berhasil membuka sedikit kedua kelopak matanya ia langsung didera pusing yang sangat hebat karena cahaya terang yang dilihatnya. Perutnya serasa diaduk, ia mulai merasa mual, dan tanpa aba-aba langsung memuntahkan isi lambungnya. Kalyna bisa mendengar samar-samar suara gaduh di sekitarnya, orang-orang berbicara dengan cepat, pintu digeser, dan badannya yang dituntun untuk kembali berbaring. “Ibu Kaluna?” panggil seseorang yang terasa berada di samping kiri Kalyna. “Ibu Kaluna?” orang itu kembali memanggil. Kalyna kembali mencoba membuka matanya, kini dengan pengelihatan yang lebih baik, matanya mulai menyesuaikan dengan cahaya di ruangan. Ia mencoba berkedip beberapa kali, pandangannya yang buram mulai tampak jelas. Kalyna mendapati seorang pria peruh baya dengan wajah serius tengah menatapnya. Ingin bertanya, tapi tenggorokannya terasa perih, jadi ia memilih berkedip den
Komik berjudul “Lily Princess” merupakan cerita romansa klise zaman ini dengan konflik yang klise pula. Ringan, mudah dinikmati. Tapi, faktor utama yang membuat Kalyna begitu menyukai komik tersebut adalah karena gambarnya yang sangat cantik dan memukau. Ia bisa betah memandangi satu panel dalam komik itu bermenit-menit, memperhatikan detail gambar dan mengaguminya. Tokoh utama dalam cerita “Lily Princess” bernama Liliana Revalina Johnson, mahasiswi jurusan Manajemen Bisnis di salah satu universitas yang cukup terkenal di Jakarta. Ya, komik itu merupakan karya asli anak bangsa dan sangat populer di kalangan pembaca. Lili, begitu ia disapa—sesuai dengan judul ceritanya, memiliki kepribadian positif, baik hati, dan menyenangkan. Lili pandai mengambil perhatian dan simpati publik, selayaknya tokoh protagonis utama dalam cerita-cerita. Sosok Lili digambarkan sebagai perempuan dengan tubuh mungil, mata bulat yang selalu tampak berbinar, wajah oval yang sempurna, dan rambut lurus panjang
Note: Penyebutan tokoh Kalyna sekarang telah berubah menjadi Kaluna. Kaluna melirik Edgar dan Liliana yang kini duduk di kursi samping ranjang. Kursi itu memang cukup panjang dan muat untuk diduduki dua orang. Tapi karena postur tubuh Edgar cukup kekar, mereka tampak duduk menempel layaknya perangko dan kertas, rapat sekali. Kaluna tidak bisa mengelak bahwa pemandangan di sampingnya sedikit membuat jengah. Please deh, itu di sisi ranjang seberang masih ada satu kursi single satu. Kenapa pula dua-duanya harus duduk di sana. Kaluna melemparkan pandangan tidak nyaman pada kedekatan Edgar dan Liliana. Meskipun jiwanya telah berganti, tapi sepertinya perasaan jiwa Kaluna yang asli masih banyak tertinggal, itu mengapa ia merasa tidak senang dengan kedekatan keduanya. Edgar sepertinya menyadari tatapan Kaluna dan memutuskan untuk pindah ke kursi di sisi lain ranjang. Mengamati ekspresi wajah Kaluna yang berangsur tenang, Edgar mulai berbicara. “Lili bilang ingin menjengukmu, jadi kubaw
Sudah beberapa hari terlewat dari kunjungan kejutan Damian, Lavanya, Edgar, juga Liliana. Kaluna berdoa agar Liliana tidak lagi memiliki niatan untuk menjenguknya karena ia belum merasa siap berhadapan lagi dengan sang tokoh utama. Kedatangan Liliana bersama Edgar waktu itu meninggalkan perasaan tidak nyaman yang cukup mengganggu. Kaluna tahu kalau jiwanya tidak pernah mengenal sosok Liliana sejauh jiwa asli yang selama ini berperan dalam melakukan segala tindakannya pada mahasiswi Edgar itu. Meskipun begitu, Kaluna terus-terusan merasakan ujung jari-jarinya terasa gatal untuk meremas sesuatu saat bayangan wajah lugu Liliana tidak sengaja terlintas di benaknya. Hari ini, Kaluna membuat otaknya bekerja keras untuk memikirkan seluruh fakta yang sejauh ini berhasil ia dapatkan. Wanita muda itu mencoba mencari tahu sampai mana alur cerita komik “Lily Princess” ini sudah berlangsung melalui orang-orang di sekitarnya. Sejauh ini semua informasi yang didapat Kaluna dari dokter dan para pe
Esok paginya, ia mendapati seorang wanita paruh baya yang dikirim Edgar melalui asistennya untuk membantu mengurus keperluannya selama dirawat di rumah sakit. Selama membantu Kaluna, wanita yang dipanggil Bu Rini itu terlihat sangat terampil dan berpengalaman. Kaluna menjadi salut pada kerja keras asisten Edgar dalam menemukan dan merekrut orang seahli itu dalam hitungan jam. Tentu saja Kaluna yakin uang yang tidak sedikit banyak berperan di dalamnya. Kaluna berdecak, hidup orang kaya memang enak, asal uang terus mengalir, aku minta dibangunkan seribu candi dalam semalam pun sepertinya akan terkabul, batinnya ngawur. Hari-hari Kaluna selanjutnya hanya berisi kegiatan pemulihannya. Edgar tak lagi datang berkunjung, mungkin sedang sibuk dengan berkas-berkas perusahaan, atau sibuk menyenangkan hati mahasiswi favoritnya. Ia refleks mendengus begitu teringat pertemuan pertamanya dengan Liliana, sikap gadis itu terasa terlalu janggal bagi Kaluna. M
Saat mobil memasuki kawasan perumahan tempat rumah utama keluarga Mahawira berada, Kaluna tidak berhenti untuk membuka mulutnya takjub. Ia mengetahui jika di dunianya dulu ada beberapa perumahan elit di daerah Jakarta yang mirip seperti kawasan perumahan ini. Meski tidak seratus persen sama, tapi sepertinya penulis cerita memang mengambil referensi dari salah satu kompleks perumahan elit yang cukup terkenal akan kemewahannya di dunia nyata. Untuk mencapai area perumahan, mobil yang dinaiki Kaluna harus melewati gerbang dengan keamanan yang cukup ketat. Orang yang ingin masuk ke area perumahan itu harus memiliki kartu akses khusus, kartu dengan barcode itu akan discan pada bagian security untuk membuka gerbang. Satu hal itu saja sudah membuat Kaluna takjub, tetapi saat mobil mulai memasuki area dalam gerbang, ia merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Setelah gerbang utama, ada jalan dua arah sepanjang tiga ratus met
Edgar memperhatikan suasana ruang makan yang lebih ramai dan hangat dari biasanya. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak makan bersama di ruang makan ini. Sejak Elvina pergi, rumah ini terasa jauh lebih kosong dan sepi, setidaknya bagi Edgar. Ia jarang berada di rumah dan lebih suka menyibukkan diri di kantor pusat maupun ruang dosennya di kampus. Edgar semakin merasa enggan menginjakkan kaki di rumah semenjak sikap Kaluna yang berubah terhadapnya. Wanita muda yang memutuskan menetap di rumahnya itu semakin bertindak seolah-olah ia telah menjadi nyonya rumah menggantikan sang kakak. Awalnya Edgar membiarkan, ia berpikir jika anak-anaknya tidak akan terlalu bersedih dan kesepian dengan kehadiran Kaluna setelah Elvina tiada. Selama istrinya masih hidup, adik iparnya itu sudah sering menginap untuk membantu Elvina mengurus Damian. Kesibukan Kaluna memang tidak sepadat Elvina yang mengurus galeri perhiasan keluarga mereka. Orang tua Elvina dan Kaluna sudah lama berpulang, meninggalk
Selepas kepergian Edgar dan Liliana, Kaluna memutuskan untuk istirahat. Awalnya ia ingin menemani Damian dan Lavanya bermain, tetapi Damian bersikeras agar ia beristirahat di kamar, anak itu keukeuh jika Kaluna tidak boleh banyak-banyak beraktivitas agar lekas sembuh.Selain itu, pengasuh Damian juga Lavanya—yang bernama Mbak Lala dan Mbak Mara—juga mengatakan kalau kedua anak itu harus tidur siang, jadilah Kaluna mengalah untuk istirahat.Bu Rini mengantar Kaluna menuju kamarnya di lantai dua. Semua kamar penghuni rumah ini memang terletak di lantai dua, kecuali kamar tamu yang terletak di lantai dasar, sedangkan para pekerja memiliki kamar masing-masing di paviliun khusus yang dibangun tidak jauh dari rumah utama, tepatnya di belakang kebun rumah."Kalau di lantai tiga ada ruangan apa aja, Bu?" tanya Kaluna saat mereka keluar dari ruang makan.Meski sedikit heran dengan pertanyaan nyonya rumahnya, Bu Rini tetap menjawab sopan. "Ada ruang ker