Saat mobil memasuki kawasan perumahan tempat rumah utama keluarga Mahawira berada, Kaluna tidak berhenti untuk membuka mulutnya takjub. Ia mengetahui jika di dunianya dulu ada beberapa perumahan elit di daerah Jakarta yang mirip seperti kawasan perumahan ini.
Meski tidak seratus persen sama, tapi sepertinya penulis cerita memang mengambil referensi dari salah satu kompleks perumahan elit yang cukup terkenal akan kemewahannya di dunia nyata.
Untuk mencapai area perumahan, mobil yang dinaiki Kaluna harus melewati gerbang dengan keamanan yang cukup ketat. Orang yang ingin masuk ke area perumahan itu harus memiliki kartu akses khusus, kartu dengan barcode itu akan discan pada bagian security untuk membuka gerbang.
Satu hal itu saja sudah membuat Kaluna takjub, tetapi saat mobil mulai memasuki area dalam gerbang, ia merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Setelah gerbang utama, ada jalan dua arah sepanjang tiga ratus meter untuk menuju gerbang dalam yang pengamanannya tidak seketat gerbang utama.
Memasuki gerbang dalam, mata Kaluna disuguhkan dengan pemandangan taman asri yang sangat luas. Mobil mereka melintasi taman itu dan memasuki kawasan golf yang tidak disangka ada di sana oleh Kaluna.
Ia kira ini hanya kompleks perumahan orang kaya pada umumnya, rupanya ekspektasinya terlalu rendah. Keluar dari area golf, mereka melalui satu taman lagi yang tidak seluas taman di awal, sebelum akhirnya memasuki jalan dengan jajaran rumah mewah yang menjulang.
Kaluna merasa dirinya sedang memasuki area perumahan untuk bangsawan seperti dalam drama Korea.
Tata letak perumahan itu juga tidak seperti perumahan pada umumnya. Sepertinya hanya ada kurang dari sepuluh rumah di dalamnya, dengan jarak masing-masing antarrumah kurang lebih dua ratus meter.
Fix lah, ini Edgar sama Kaluna sekaya apa sampai perumahannya eksklusif begini? Kaluna membatin takjub.
Mobil berhenti di depan gerbang rumah urutan kedua dari depan. Tidak sampai sepuluh detik, gerbang rumah yang terlihat sangat tinggi dan berat itu bergerak terbuka secara otomatis. Kaluna nyaris menjerit saat mobil mulai memasuki halaman rumah.
Benar-benar seperti kediaman bangsawan yang selama ini dilihat Kaluna dalam film.
Ada satu pos keamanan di dekat gerbang, jalan memutar dari gerbang menuju pintu utama yang cukup dilalui dua buah mobil, air mancur yang tampak terawat di tengah jalan memutar itu, dan halaman depan berupa taman penuh dengan pohon rindang serta bunga-bunga cantik.
Mobil berhenti di depan pintu utama rumah. Lihat, bagian depan rumah saja sudah seperti lobi hotel mewah. Terdapat ruang cukup luas yang dapat memuat dua mobil di depan teras dan pintu utama untuk menurunkan maupun menjemput orang.
Bu Rini keluar terlebih dahulu dan membukakan pintu di sisi Kaluna duduk. Sedangkan seorang perempuan muda, mungkin seusianya, datang dari teras rumah sambil mendorong sebuah kursi roda.
Rupanya sudah ada beberapa orang yang menunggu kedatangannya di teras rumah. Mereka semua menggunakan seragam berwarna abu-abu layaknya staf hotel.
Kaluna duduk di kursi roda dibantu Bu Rini dan perempuan muda tadi. Pak Rudi menyerahkan dua koper Kaluna pada salah satu pria yang dengan sigap mengambil alih, kemudian kembali menjalankan mobil menuju garasi.
Wanita itu sekali lagi terbengong saat menyadari Pak Rudi mengemudikan mobil menuju sebuah ruangan yang terlihat berada di bawah rumah.
Nggak cukup garasi di halaman yang hampir seluas lapangan basket, ada juga garasi bawah tanahnya? Edan! Kaluna sudah speechless sendiri membayangkan berapa total mobil yang ada di rumah ini jika semua digabungkan.
“Selamat atas kesembuhannya, Nyonya,” seorang pria cukup berumur dengan rambut yang nyaris memutih seluruhnya menyapa Kaluna sebelum memasuki rumah.
Perkiraan Kaluna, pria tua itu pasti salah satu pengurus rumah yang sudah senior.
“Semua orang sudah menunggu kepulangan Anda,” lanjutnya sambil membuka pintu dan tersenyum.
"Terima kasih, senang mendengarnya," Kaluna tersenyum membalas sambutan pria tua itu, membuat beberapa pekerja yang ikut menyambut di sana sejenak terpana.
Nyonya muda mereka tersenyum membalas sapaan Pak Bastian sang kepala pelayan? Perlu ditegaskan, sambil tersenyum, ter.se.nyum! Astaga, apakah tadi pagi matahari terbit bukan dari arah timur?
Tidak menyadari raut-raut terkejut di sekelilingnya, Kaluna mulai memasuki rumah dengan bantuan Bu Rini.
Dua kata yang sanggup menggambarkan suasana dan interior dalam rumah ini adalah mewah dan megah. Benar-benar khas orang kaya yang digambarkan dalam film, sinetron, maupun komik.
“Mamiiii,” pekikan khas Lavanya mengalihkan atensi Kaluna dari keterkagumannya pada desain rumah itu. Dilihatnya ada sosok Damian, Lavanya, Edgar, dan… em, Liliana?
Mereka semua tampak menunggu kedatangannya di ruang tamu.
Lavanya yang pertama kali menyambut Kaluna dalam pelukan. Gadis kecil itu bahkan nyaris tersandung kakinya sendiri karena terlalu bersemangat menghampiri sosok maminya. Kaluna memebalas pelukan Lavanya, membawa anak itu ke pangkuan dan menciumi seluruh wajah Lavanya, membuat anak itu terkikik geli.
"Dah, dah, geliii... hihihi," tangan mungil Lavanya berusaha menjauhkan wajah Kaluna dari wajahnya sendiri.
Selanjutnya Damian ikut berjalan menghampiri dengan senyuman lebar. Ia turut memeluk Kaluna dan berjinjit untuk mengecup pipinya. “Welcome home, Mam,” ujarnya lembut.
Kaluna terharu sekali mendapat sambutan hangat dari dua anak paling menggemaskan yang pernah ia temui itu.
Dengan mata berkaca-kaca, Kaluna menatap wajah Damian dan mengusap pipinya lembut. “Makasih, Sayang.”
Dua orang lainnya, yang sedari awal kedatangan Kaluna duduk berdampingan pada sebuah sofa, memperhatikan pemandangan di hadapan mereka dengan kaku. Satunya merasakan hatinya menghangat dan gamang, sedangkan satu lagi menyaksikan dengan penuh kecemburuan.
Edgar tanpa sadar bangkit dari duduknya dan ikut berjalan menghampiri Kaluna, membuat Liliana yang duduk di samping pria itu tersentak.
Edgar berhenti dua langkah di samping kursi roda Kaluna dan menepuk kepala gadis itu ringan. “Selamat atas kesembuhanmu,” katanya pelan.
Kaluna yang memutuskan untuk tidak ambil pusing dengan perubahan sikap Edgar membalas dengan senyuman manis.
“Thanks,” wanita itu tersenyum sangat tulus, tanpa kepura-puraan maupun maksud tersembunyi, seperti senyuman-senyuman sebelumnya yang sempat dibenci Edgar.
Liliana yang sepertinya mulai merasa terabaikan, ikut bergabung dengan sebuket besar bunga lili di pelukannya.
“Selamat atas kepulangannya, Kak. Semoga Kakak selalu sehat ke depannya, jadi kami semua tidak perlu khawatir,” diangsurkannya buket bunga itu pada Kaluna, sambil tersenyum lebar.
Meski kalimatnya tampak wajar, Kaluna dapat menangkap sindirian yang coba disisipkan oleh Liliana. Secara halus gadis itu mencoba mengatakan bahwa Kaluna membuat semua orang repot dengan kecelakaan yang menimpanya.
Yah, terserah gadis itu saja mau memandang Kaluna seperti apa, dirinya tidak peduli.
“Terima kasih, Lili. Bunganya cantik sekali, sesuai dengan namamu, ya,” Kaluna menerima buket itu dan langsung menyerahkannya pada Bu Rini, tidak mau repot-repot mencium baunya walau sekejap.
Lili yang menyadari jika Kaluna balas menyindirnya hanya tersenyum dengan tangan mengepal.
Edgar mengajak mereka semua menuju ruang makan, karena waktu sudah cukup siang. Kaluna lagi-lagi dibuat melongo saat melihat berbagai sajian mewah yang tersedia di meja makan.
Mereka hanya berlima, tapi ada begitu banyak jenis makanan tersusun rapi di sana. Tidak mungkin mereka menghabiskan semuanya, kan?
Kaluna diarahkan untuk duduk di samping kanan Edgar yang duduk di kursi bagian meja paling ujung. Liliana mengambil tempat duduk di seberangnya, tepat di sisi kiri Edgar. Sedangkan anak-anak memilih duduk di samping Kaluna.
“Hari ini Abang minta Chef Hardy buat masak semua makanan kesukaan Mami. Jadi, Mami harus makan yang banyak,” dengan cekatan anak itu mengambilkan beberapa jenis makanan untuk Kaluna, menaruhnya dengan jumlah cukup banyak pada piring sang mami.
Kaluna terkekeh melihat kelakuan Damian. “Ini banyak banget lho, Abang. Mami nggak akan habis, nih.”
“No! You have to eat a lot, Mam,” Damian menggeleng tegas sembari menggeser piring Kaluna lebih dekat untuk segera dimakan.
“Mami keliatan kurus sekarang, Abang nggak suka,” lanjut anak itu dengan wajah sedih.
Kaluna begitu tersentuh dengan perhatian Damian. Ia mengusap-usap kepala anak itu penuh sayang, “Okay, kalau gitu sekarang Mami akan makan yang banyak. Abang temenin Mami makan yang banyak juga, ya.”
“Ade ughaaa!” Lavanya berseru begitu mendengar perkataan Kaluna. Tangan kecilnya mengangkat sendok bayi tinggi-tinggi, berusaha mengintip sosok Kaluna yang sedikit terhalang badan kakaknya. Wajah Lavanya sudah belepotan dengan bubur yang menjadi menu makanan siangnya.
“Iya, Adek juga makan yang banyak, ya,” Kaluna mengacungkan jempol pada Lavanya yang langsung dibalas pekikan gembira sang anak.
Kini gantian Kaluna yang mengambilkan makanan untuk Damian, “Abang mau makan apa?”
“Mau semua yang sama kayak Mami,” katanya.
Kaluna mengambilkan makanan yang sama dengan yang diambilkan oleh Damian untuknya, namun dengan porsi lebih sedikit. Melihat itu Damian kembali cemberut.
“Kurang, Mam. Abang mau makan sebanyak Mami,” ujarnya merajuk sambil menunjuk piring Kaluna yang cukup penuh.
Melihat itu Kaluna jadi gemas sendiri, ia menahan keinginannya kuat-kuat untuk mencubit pipi berisi Damian yang terlihat makin tembam karena anak itu memajukan bibirnya. Lucu banget, pingin gigit!
“Secukupnya aja, Abang,” Kaluna mencoba memberi pengertian.
“Kalau Abang makan sebanyak Mami, pasti nggak akan habis. Mami juga nggak bisa bantu habiskan nanti. Jadi, daripada makanannya nanti sisa, terus dibuang, Abang bisa ambil secukupnya, biar nggak mubadzir.”
"Okay," Damian akhirnya menangguk setengah hati, nampaknya anak sulung Edgar itu masih merasa ingin makan jenis makanan dengan jumlah yang persis seperti Kaluna.
Edgar tiba-tiba saja angkat suara, membuat Damian langsung menatap papanya itu dengan mata penuh binar.
“Biarkan saja, Luna. Kalau Abang tidak habis, biar saya yang habiskan makanannya nanti,” kata pria itu kalem.
Damian langsung bersorak dan mulai menambah makanan ke dalam priringnya. Sementara itu, Kaluna sudah melirik Edgar kesal. Pria itu balas menatap Kaluna penuh tanya sebelum melanjutkan makannya dengan tenang.
Nggak peka bener si Bapak. Lagi ngajarin anaknya buat nggak buang-buang makanan lho, ini!
Kaluna mengalah dan mulai memakan makan siangnya. Baru di suapan pertama saja, Kaluna menutup mulutnya terkejut. Dan rupanya tingkahnya disalahartikan oleh Liliana, gadis itu langsung berseru dengan suara yang cukup keras.
“Makanannya nggak enak ya, Kak? Nggak sesuai selera Kakak?” seru Liliana dengan nada khawatir.
Kaluna langsung gelagapan dan buru-buru menormalkan ekspresinya. “Nggak, bukan gitu. Mungkin karena aku lumayan lama di rumah sakit, jadi makanan ini rasanya jadi berkali lipat lebih enak dari yang aku ingat.”
Bohong, ini sih, enak banget, banget, banget! Mana pernah aku makan makanan seenak ini dulu. Batin Kaluna sibuk bersorak-sorai menikmati daging sapi black pepper yang terasa lumer di mulutnya.
“O-oh, gitu. Aku kira makanannya nggak enak di lidah Kakak,” Liliana berdehem canggung sebelum menyuap salad sayur di piringnya.
"Nggak, justru ini enak banget. Kamu juga, ayo dicoba makanan yang lain, masa cuma makan salad aja," memasang senyum ramah, Kaluna mengedarkan sebelah tangannya pada piring-piring penuh hidangan di atas meja makan.
"Aku cukup makan salad aja udah kenyang kok, Kak. Kak Luna aja yang makan banyak, biar cepet sembuh," tak mau kalah, Liliana ikut melempar senyuman super manis.
Sekejap, mata Kaluna tampak mengerling, seringai kecil menghiasi bibirnya. Tak sampai lima detik ekspresi itu hilang digantikan raut tenang.
"Ah, begitu. Sayang sekali," Kaluna membiarkan kata-katanya menggantung tak selesai. Ia menyuap sepotong daging ke dalam mulut tanpa mempedulikan reaksi Liliana di depannya.
Baru akan membalas perkataan Kaluna, suara Liliana tertelan kembali saat Edgar berdehem singkat.
"Kita habiskan makanannya dulu, mengobrolnya bisa dilanjutkan nanti."
Menyimpan kekesalannya, Liliana menusuk sayuran di piringnya cukup kuat. Tidak ada lagi yang bersuara, semua orang makan menghabiskan isi piring masing-masing dalam diam.
Saat makanan di pringnya sudah tak bersisa, Kaluna menoleh ke arah seorang pelayan perempuan yang berdiri tak jauh di belakangnya. Pelayan itu segera mendekat dan menundukkan badannya guna mendengar permintaan Kaluna.
Edgar yang melihat itu mengernyitkan alis, sedikit penasaran dengan pembicaraan Kaluna yang tidak terdengar olehnya. Ia buru-buru mengalihkan pandangan ketika Kaluna selesai berbicara.
Kenapa Edgar tiba-tiba jadi sangat penasaran tentang pembicaraan Kaluna dengan si pelayan? Wanita itu tidak sedang merencanakan sesuatu yang buruk, kan?
***
Edgar memperhatikan suasana ruang makan yang lebih ramai dan hangat dari biasanya. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak makan bersama di ruang makan ini. Sejak Elvina pergi, rumah ini terasa jauh lebih kosong dan sepi, setidaknya bagi Edgar. Ia jarang berada di rumah dan lebih suka menyibukkan diri di kantor pusat maupun ruang dosennya di kampus. Edgar semakin merasa enggan menginjakkan kaki di rumah semenjak sikap Kaluna yang berubah terhadapnya. Wanita muda yang memutuskan menetap di rumahnya itu semakin bertindak seolah-olah ia telah menjadi nyonya rumah menggantikan sang kakak. Awalnya Edgar membiarkan, ia berpikir jika anak-anaknya tidak akan terlalu bersedih dan kesepian dengan kehadiran Kaluna setelah Elvina tiada. Selama istrinya masih hidup, adik iparnya itu sudah sering menginap untuk membantu Elvina mengurus Damian. Kesibukan Kaluna memang tidak sepadat Elvina yang mengurus galeri perhiasan keluarga mereka. Orang tua Elvina dan Kaluna sudah lama berpulang, meninggalk
Selepas kepergian Edgar dan Liliana, Kaluna memutuskan untuk istirahat. Awalnya ia ingin menemani Damian dan Lavanya bermain, tetapi Damian bersikeras agar ia beristirahat di kamar, anak itu keukeuh jika Kaluna tidak boleh banyak-banyak beraktivitas agar lekas sembuh.Selain itu, pengasuh Damian juga Lavanya—yang bernama Mbak Lala dan Mbak Mara—juga mengatakan kalau kedua anak itu harus tidur siang, jadilah Kaluna mengalah untuk istirahat.Bu Rini mengantar Kaluna menuju kamarnya di lantai dua. Semua kamar penghuni rumah ini memang terletak di lantai dua, kecuali kamar tamu yang terletak di lantai dasar, sedangkan para pekerja memiliki kamar masing-masing di paviliun khusus yang dibangun tidak jauh dari rumah utama, tepatnya di belakang kebun rumah."Kalau di lantai tiga ada ruangan apa aja, Bu?" tanya Kaluna saat mereka keluar dari ruang makan.Meski sedikit heran dengan pertanyaan nyonya rumahnya, Bu Rini tetap menjawab sopan. "Ada ruang ker
Edgar pulang ke rumah lebih cepat dari perkiraan jadwalnya. Dia berjalan santai memasuki area ruang keluarga sambil menikmati cahaya keemasan matahari sore yang masuk dari jendela-jendela besar di sekeliling ruang keluarga. Dua orang pelayan tak sengaja berpapasan dengan Edgar dan berhenti sejenak untuk memberi salam. “Untuk siapa itu?” tanya Edgar menunjuk nampan berisi beberapa jenis kue, seteko besar minuman infused water dingin, dan tiga buah gelas pada nampan lainnya. “Untuk Nyonya, Tuan Muda, dan Nona, Tuan,” jawab satu dari mereka sopan. Edgar mengernyit, “Kaluna yang memintanya sendiri? Atau anak-anak?” “Bukan, Tuan. Selepas makan siang tadi Nyonya menemui kepala koki untuk berterima kasih atas menu makan siang yang enak. Chef Hardy sangat senang dan bersyukur jika Nyonya menyukai masakannya, jadi dia membuatkan beberapa kue untuk menemani waktu sore Nyonya sebagai ungkapan terima kasih.” Mendengar penjelasan
Kaluna duduk di depan meja riasnya sambil mengeringkan rambut, matanya tak lepas dari bayangan dirinya sendiri di cermin. Ia mengagumi bagaimana sosok tokoh fiksi yang selama ini dilihatnya pada gambar dua dimensi kini menjadi nyata, dengan visual berkali lipat lebih menawan dari yang dapat digambarkan oleh tangan manusia. Kaluna menyentuh rambutnya yang sudah setengah kering. Jika dilihat secara seksama dan disentuh, rambut ini memang rambut alami Kaluna karena kondisinya sangat sehat dan bagus. Ia yakin, jika rambut warna ash brown ini hasil pewarnaan maka tidak akan sebaik itu kondisinya, mau semahal apapun perawatan rambut yang digunakan. Dulu, saat membaca komik“Lily Princess” Kaluna beranggapan warna rambutnya adalah coklat gelap, karena warna itulah yang tampak dalam matanya. Tak disangka ternyata rambut aslinya lebih cantik dari yang selama ini ia bayangkan. Seperti rambut para aktris Hollywood yang ser
“Selamat istirahat, Nyonya,” Sarah membungkuk sebelum menutup pintu kamar Kaluna.Si pemilik kamar langsung merebahkan diri di tengah-tengah ranjang, menatap langit-langit kamarnya yang bersih dari sarang laba-laba, bahkan sepertinya tidak ada debu yang menempel di sana.“Besok aku harus apa, ya?” Kaluna bergumam, memikirkan hal apa yang harus dilakukannya selain menemani Lavanya dan menjemput Damian pulang sekolah.Dikeluarkannya ponsel yang tadi diberikan oleh Sarah. Kaluna melupakan benda itu selama makan malam tadi.Ponsel berwarna lavender itu berlapis sebuah hardcase bening dengan warna-warna hologram yang muncul saat terkena cahaya.Kaluna menekan tombol power di sisi kanan badan ponsel dan layarnya langsung menyala, menampilkan wallpaper lockscreen berupa potret Elvina dengan summer dress berwarna violet bersama Damian dan Lavanya yang mengenakan pakaian senada dengan mama
Kaluna bangun lebih pagi dari dugaannya. Entah mengapa meskipun tidur larut malam, ia merasa tidurnya sangat lelap dan merasa segar saat bangun. Kaluna menuntaskan mandinya dan memilih satu set pakaian knit nyaman berlengan pendek dengan celana tiga perempat. Keluar dari walk in closet, Kaluna meraih kembali tongkat bantunya. Selama mandi dan berpakaian ia memang tidak menggunakan tongkat itu, selain untuk melatihnya berjalan tanpa tongkat, Kaluna juga takut kalau ia terpeleset karena tongkat tersebut saat berada di kamar mandi. Sebelum keluar, Kaluna sudah menyelesaikan ritual perawatan kulit paginya dan memutuskan untuk menggulung rambutnya menjadi sebuah cepolan, sedikit berantakan tapi cukup kuat. Kaluna tidak mempermasalahkannya. Toh, ia tidak akan keluar rumah pagi ini. Mungkin rambutnya akan ia rapikan sedikit saat menjemput Damian pulang sekolah siang nanti. Sarah sudah menunggu di luar pintu kamar Kaluna, nyaris memb
Mbak Mara memindahkan Lavanya ke atas kasur karena anak itu sudah tidur nyenyak di atas karpet kamarnya setelah puas bermain dengan Kaluna. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, memang sudah waktu tidur siang untuk Lavanya. Anak itu biasanya akan terbangun pukul dua siang dan kembali bermain bersama abangnya yang sudah pulang dari sekolah. Kaluna menyalakan AC ruangan dan menyetelnya pada suhu yang cukup rendah. Cuaca akhir-akhir ini sedang panas-panasnya, apalagi kalau hari sudah menjelang siang. Setelah memastikan suhu kamar Lavanya cukup sejuk, Kaluna beranjak keluar bersama Mbak Mara dan berpisah di dekat tangga. Kaluna memutuskan untuk mengunjungi studio lukisnya sejenak sebelum bersiap menjemput Damian. Hal pertama di lantai tiga yang dilihat saat Kaluna melangkah keluar dari lift adalah ruangan terbuka yang cukup luas dengan sofa berbentuk huruf ‘L’ warna cream, karpet bulu lebar dengan warna senada, dan sebuah meja marme
Edgar mendapati rumah dalam keadaan sepi saat dirinya sampai. Ia mengangkat tangan kirinya, memastikan pukul berapa saat ini pada jam tangannya. Hari ini lagi-lagi ia pulang cepat, seingatnya ia sudah meninggalkan kantor jam setengah enam sore, dan saat ini baru jam setengah tujuh malam. Jarak kantor dan rumah yang dekat memangkas perjalanan pulang Edgar menjadi satu jam, tentu saja karena jalanan ibu kota yang selalu padat saat jam pulang kantor. Biasanya hanya dibutuhkan waktu tiga puluh menit untuk sampai ke kediamannya, itu kalau ia pulang di atas jam sembilan malam. Edgar mencoba mengecek keadaan ruang makan. Kosong. Bahkan tidak ada makanan yang tersaji di atas meja marmer itu. Dahi pria itu mengernyit. Bukankah sebentar lagi waktunya makan malam? Saat berbalik hendak menuju kamar, secara kebetulan Edgar melihat Sarah berjalan dari arah dapur belakang sambil mendorong sebuah rak makanan kecil. Edgar bisa melihat ada beberapa piring berisi makanan yang dilapisi tutup bening
"Abang, Kak Lava, tolong bantu Arlo cari sepatu yang udah Mami siapin kemarin, ya. Mami mau urus Adek Sean dulu," Kaluna melongok ke ruang bersantai di lantai dua tempat Damian dan Lavanya berada."Okay, Mam," Damian meninggalkan tabletnya di atas sofa dan menarik tangan Lavanya yang masih asyik menonton tayangan televisi di depan."Abang! Nanggung ini, bentar lagi selesai acaranya!" Lavanya bersungut, berusaha menarik tangannya dari tarikan Damian."Mami udah capek-capek ke sini buat minta tolong, lho, Va," Damian tetap tidak melepaskan tangan sang adik dan semakin berusaha menariknya, meski tidak kuat. "Ayo, ah. Itu tontonan besok juga bisa diulang lagi."Akhirnya dengan ogah-ogahan Lavanya bangkit dari posisi nyamannya dan mengikuti sang abang menuju kamar adik mereka di lantai yang sama."Arlooo," Lavanya memanggil saat Damian membuka pintu kamar Arlo di samping kamar orang tua mereka.Tampak seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang sudah rapi dengan setelan tuxedo-nya sedan
"Kau yakin tidak ingin tinggal di sini saja, Dear?" Benedict menatap Kaluna penuh harapan.Sudah beberapa hari berlalu sejak lamaran tidak romantis Edgar pada Kaluna. Setelah itu mereka berdiskusi dengan serius tentang rencana kepulangan Kaluna dan anak-anak. Sebagai seseorang yang paling memahami tentang kondisi Damian juga Lavanya, Kaluna mengajukan beberapa pertimbangan pada Edgar.Meski selama satu tahun ini terapi Damian dan Lavanya berjalan baik di tangan Luca, tapi tidak menutup kemungkinan trauma mereka dapat muncul kembali saat dihadapkan dengan situasi atau lokasi tertentu. Seperti kolam renang di rumah mereka misalnya.Kaluna tidak ingin kepulangan mereka berbalik menjadi hal yang menyulitkan bagi Damian maupun Lavanya. Dengan segala kekhawatiran tersebut, Kaluna jadi banyak berpikir ulang tentang kembalinya mereka.Di tengah dilemma yang melanda, Edgar menggenggam kedua tangan Kaluna dan meyakinkan wanita itu, bahwa semua akan baik-baik saja. Edgar berjanji akan mengurus s
Langit sudah gelap meski jam dinding masih menunjuk pada pukul setengah lima petang. Udara di luar menjadi jauh lebih dingin dari siang tadi. Rumah Kaluna sudah temaram, suasana yang sebelumnya ramai kini berubah tenang.Di kamar utama, Damian juga Lavanya sudah lelap dalam tidur. Bergelung nyaman di balik selimut tebal yang membungkus tubuh keduanya. Sisa hari ini mereka habiskan untuk bermain, bercerita, dan menempel pada sang papa.Selepas menghabiskan makan malam yang Kaluna berikan lebih awal, rasa kantuk langsung menyergap dua anak tersebut dengan cepat. Alhasil, Damian dan Lavanya tidur tiga jam lebih awal dari biasanya.Berbeda dengan suasana kamar yang sudah gelap dan sunyi, lampu di dapur masih menyala terang. Di sana tampak Kaluna yang sedang memasak makan malam sederhana, ditemani Edgar yang betah berlama-lama menatap punggung sang wanita dari kursipantry.Makan malam Damian dan Lavanya tadi hanyalah sisa dari menu makan s
Udara di luar semakin dingin, Damian dan Lavanya sudah berhenti bermain salju sejak beberapa menit yang lalu. Keduanya kini bergabung dengan Luca yang menggantikan Kaluna untuk mengawasi mereka bermain."Kenapa Uncle kemari?" tanya Damian dengan nada kesal setelah menyesap cokelat hangat dari tumblr miliknya."Kenapa? Tentu saja karena aku merindukan kalian," Luca menebar senyuman ramahnya. "Teganya kalian berlibur tanpa mengajakku ikut serta," sambungnya pura-pura merajuk.Damian langsung mengernyitkan dahinya mendengar gaya bicara Luca yang diimut-imutkan. Ekspresi tidak senang kentara sekali terlihat di wajahnya."Kalau Uncle ikut, semuanya jadi nggak seru. Iya, kan, Dek? No Uncle, more fun, right?" Damian menole pada Lavanya, meminta dukungan sang adik.Dan tentunya Lavanya langsung mengangguk setuju tanpa berpikir lebih lama. "No Uncle, more fun!" sahutnya dengan senyuman lebar.Luca seketika mencebik. Susah sekali mengambil dua hati anak itu."Mami mana? Kenapa tidak kembali-kem
Mulut Kaluna terbuka sebelum akhirnya tertutup kembali. Ia terlalu terkejut dengan keberadaan Edgar di balik pintu rumahnya. Kaluna tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun.Tidak. Lebih tepatnya, Kaluna bingung harus mengatakan apa pada Edgar.Buongiorno? Halo? Lama tak jumpa?Semuanya tidak ada yang terasa tepat. Terlebih dengan adanya masalah yang belum juga selesai di antara keduanya.Jadi, Kaluna hanya diam, memandangi wajah Edgar lurus-lurus. Pria itu tampak lebih kurus dari terakhir kali Kaluna mengingatnya. Gurat letih tampak jelas di garis-garis wajahnya. Kaluna juga dapat melihat dengan jelas kantung mata Edgar yang menghitam juga tebal.Edgar bahkan membiarkan rambut-rambut tumbuh di sekitar mulut dan dagunya. Pria itu sekarang memiliki brewok tipis yang entah mengapa membuatnya tampak berkali lipat lebih berkharisma.Kaluna buru-buru mengerjap dan berdehem, mengalihkan pandangannya dari wajah Edgar yang masih dipenuhi sen
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu oleh Edgar akhirnya tiba.Pagi tadi, James memberi kabar kalau Benedict akan kembali dan tiba di kediaman sore ini. Jadi begitu mobil pria tua tersebut memasuki halaman, Edgar sudah berdiri di samping James, siap menyambut kedatangan Benedict di teras."Oho! Lihat siapa yang menyambutku di sini!" sahut Benedict terkesan, begitu dirinya keluar dari mobil dan mendapati putranya bersandar di pilar teras dengan kedua tangan bersedekap di dada."You've really tested my patience these past few days," Edgar menyorot Benedict dengan tatapan tidak bersahabat.Benedict hanya tertawa sambil menepuk-nepuk pundak sang anak, lalu dirinya melenggang masuk begitu saja. Edgar menghembuskan napas lelah sebelum menyusul sang ayah ke dalam."Di mana Kaluna sama anak-anak saya?" tanya Edgar tidak sabar."Seriously, Son?" masih tetap melanjutkan langkahnya menuju kamar utama, Benedict menanggapi sang ana
Meskipun merasa luar biasa lelah setelah terbang lebih dari dua puluh jam menuju Italia, Edgar tidak mau membuang waktunya lebih banyak lagi. Pria itu memilih langsung memesan taksi di bandara, bergegas untuk menyambangi rumah sang ayah.Harusnya dulu Edgar mempercayai instingnya saja dan mengabaikan amarah Benedict. Kalau begitu, kan, sudah lama ia bertemu dengan Kaluna, Damian, juga Lavanya. Ia tidak perlu susah payah mencari keberadaan mereka di seluruh dunia.Hari sudah sore saat Edgar sampai di kediaman Benedict. James, kepala pelayan rumah ayahnya, menyambut kedatangan Edgar."Di mana ayahku?" tanya Edgar tanpa basa-basi, mengabaikan sapaan James.Lelaki pertengahan empat puluh tahun tersebut tidak menjawab segera pertanyaan Edgar, James lebih dulu menginstruksikan dua pelayan yang ikut bersamanya untuk membongkar koper dan tas sang tuan muda dan membawanya ke dalam rumah."Tuan Benedict sedang tidak ada di kediaman saat ini, Tuan Muda," jawab James akhirnya, mengiringi langkah E
Pagi ini Benedict mengajak Kaluna dan cucu-cucunya untuk sarapan bersama di rumahnya. Berbagai macam hidangan yang lebih banyak dan fancy dari biasanya terhidang di meja makan luas itu. Suasanya ramai membuat ruang makan Benedict yang biasanya lengang menjadi terasa lebih hidup."Tell mei, Mio Nipote (Cucuku), kau ingin hadiah apa dari Nonno (Kakek) atas kelulusanmu?" Benedict memandang Damian penuh minat di sela sarapan mereka."Nggak perlu berlebihan, Pa. Lagi pula Damian baru lulus TK," timpal Kaluna sebelum si sulung menjawab pertanyaan kakeknya."No, no. Biarkan aku memberi hadiah. Anggap saja sebagai ganti hadiah ulang tahunnya kemarin yang tidak bisa kuberi karena kalian lupa mengundangku," tangkas Benedict dengan sindiran di akhir ucapannya, membuat Kaluna tidak lagi bisa membalas."Come on, Nipote. Kau ingin apa dari Nonno?" ulang Benedict pada Damian."Aku mau lihat pantai, Nonno! Boleh tidak?" sahut Damian setelah melihat maminya mengangguk."Kau ingin ke pantai?" Benedict
Hari ini menandai satu tahun setelah Kaluna, Damian, dan Lavanya menghilang. Dalam kurun waktu tersebut, Edgar tidak pernah putus dan lelah mencari keberadaan mereka. Sudah ia lakukan berbagai macam cara, tapi orang-orang yang sangat dirindukannya itu tak kunjung ia temukan.Sudah Edgar coba bertanya pada sang ayah yang kebetulan juga sudah lama memilih tinggal di Italia sejak pensiun. Tapi yang pria itu dapat hanya bentakan marah saat Benedict Emiliano Mahawira mengetahui kalau kedua cucu tersayangnya hilang dari pengawasan sang anak.Nada jengkel kentara sekali dari suara Benedict saat mereka bertemu sejenak di salah satu restoranfine diningdi pusat ibukota Italia. Edgar saat itu sedang ada urusan bisnis di sana, berniat memperluas cabang perusahaan.Karena dirinya sudah ada di negara tempat Kaluna dan anak-anaknya pertama menghilang tanpa jejak, Edgar memanfaatkan kedatangannya kali itu untuk mencari sekali lagi dalam waktu yang hanya seb