“Selamat istirahat, Nyonya,” Sarah membungkuk sebelum menutup pintu kamar Kaluna.
Si pemilik kamar langsung merebahkan diri di tengah-tengah ranjang, menatap langit-langit kamarnya yang bersih dari sarang laba-laba, bahkan sepertinya tidak ada debu yang menempel di sana.
“Besok aku harus apa, ya?” Kaluna bergumam, memikirkan hal apa yang harus dilakukannya selain menemani Lavanya dan menjemput Damian pulang sekolah.
Dikeluarkannya ponsel yang tadi diberikan oleh Sarah. Kaluna melupakan benda itu selama makan malam tadi.
Ponsel berwarna lavender itu berlapis sebuah hardcase bening dengan warna-warna hologram yang muncul saat terkena cahaya.
Kaluna menekan tombol power di sisi kanan badan ponsel dan layarnya langsung menyala, menampilkan wallpaper lockscreen berupa potret Elvina dengan summer dress berwarna violet bersama Damian dan Lavanya yang mengenakan pakaian senada dengan mama
Kaluna bangun lebih pagi dari dugaannya. Entah mengapa meskipun tidur larut malam, ia merasa tidurnya sangat lelap dan merasa segar saat bangun. Kaluna menuntaskan mandinya dan memilih satu set pakaian knit nyaman berlengan pendek dengan celana tiga perempat. Keluar dari walk in closet, Kaluna meraih kembali tongkat bantunya. Selama mandi dan berpakaian ia memang tidak menggunakan tongkat itu, selain untuk melatihnya berjalan tanpa tongkat, Kaluna juga takut kalau ia terpeleset karena tongkat tersebut saat berada di kamar mandi. Sebelum keluar, Kaluna sudah menyelesaikan ritual perawatan kulit paginya dan memutuskan untuk menggulung rambutnya menjadi sebuah cepolan, sedikit berantakan tapi cukup kuat. Kaluna tidak mempermasalahkannya. Toh, ia tidak akan keluar rumah pagi ini. Mungkin rambutnya akan ia rapikan sedikit saat menjemput Damian pulang sekolah siang nanti. Sarah sudah menunggu di luar pintu kamar Kaluna, nyaris memb
Mbak Mara memindahkan Lavanya ke atas kasur karena anak itu sudah tidur nyenyak di atas karpet kamarnya setelah puas bermain dengan Kaluna. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, memang sudah waktu tidur siang untuk Lavanya. Anak itu biasanya akan terbangun pukul dua siang dan kembali bermain bersama abangnya yang sudah pulang dari sekolah. Kaluna menyalakan AC ruangan dan menyetelnya pada suhu yang cukup rendah. Cuaca akhir-akhir ini sedang panas-panasnya, apalagi kalau hari sudah menjelang siang. Setelah memastikan suhu kamar Lavanya cukup sejuk, Kaluna beranjak keluar bersama Mbak Mara dan berpisah di dekat tangga. Kaluna memutuskan untuk mengunjungi studio lukisnya sejenak sebelum bersiap menjemput Damian. Hal pertama di lantai tiga yang dilihat saat Kaluna melangkah keluar dari lift adalah ruangan terbuka yang cukup luas dengan sofa berbentuk huruf ‘L’ warna cream, karpet bulu lebar dengan warna senada, dan sebuah meja marme
Edgar mendapati rumah dalam keadaan sepi saat dirinya sampai. Ia mengangkat tangan kirinya, memastikan pukul berapa saat ini pada jam tangannya. Hari ini lagi-lagi ia pulang cepat, seingatnya ia sudah meninggalkan kantor jam setengah enam sore, dan saat ini baru jam setengah tujuh malam. Jarak kantor dan rumah yang dekat memangkas perjalanan pulang Edgar menjadi satu jam, tentu saja karena jalanan ibu kota yang selalu padat saat jam pulang kantor. Biasanya hanya dibutuhkan waktu tiga puluh menit untuk sampai ke kediamannya, itu kalau ia pulang di atas jam sembilan malam. Edgar mencoba mengecek keadaan ruang makan. Kosong. Bahkan tidak ada makanan yang tersaji di atas meja marmer itu. Dahi pria itu mengernyit. Bukankah sebentar lagi waktunya makan malam? Saat berbalik hendak menuju kamar, secara kebetulan Edgar melihat Sarah berjalan dari arah dapur belakang sambil mendorong sebuah rak makanan kecil. Edgar bisa melihat ada beberapa piring berisi makanan yang dilapisi tutup bening
Hari-hari Kaluna berjalan dengan lancar. Sudah lewat satu bulan sejak kepulangannya dari rumah sakit. Kakinya sudah sembuh, dan ia dapat berjalan dengan normal. Dokter masih menyarankannya untuk tidak memakai sepatu hak tinggi, setidaknya sampai dua bulan ke depan saat kakinya benar-benar sudah kuat seperti semula. Kaluna tidak mempermasalahkan itu, ia sebenarnya juga tidak begitu suka mengenakan sepatu hak tinggi runcing yang membuat kaki pegal. Perihal perintah Edgar yang mengharuskan Kaluna menggunakan kursi roda selama seminggu tempo lalu, tidak benar-benar terlaksana. Pasalnya, Kaluna sudah merasa kakinya baikan setelah tiga hari dan berdebat dengan Edgar untuk tidak menggunakan kursi rodanya lagi. Akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke rumah sakit untuk memeriksa kondisi kaki Kaluna. Biarkan dokter yang menilai, katanya. Sepulangnya dari rumah sakit wajah Kaluna berseri-seri sedangkan Edgar memasang wajah masam. Ternyata dokter m
Dugaan Kaluna sepanjang jalan menuju salah satu ruang pertemuan di gedung Fakultas Bahasa, Seni, dan Budaya (FBSB) ini ternyata benar. Bapak Edgar Mahawira itu ternyata adalah dosen tamu di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Aditama, mengajar salah satu mata kuliah untuk para mahasiswa penghuni gedung pertama yang mereka lewati tadi. Pantas saja semua orang mengenalnya dan menyapa dengan sopan. Kaluna juga tidak menyangka ternyata Edgar cukup populer di kampus ini, karena bahkan banyak mahasiswa dari fakultas lain yang mengenalinya, termasuk di FBSB ini. Edgar meninggalkannya setelah menyapa Pak Galih yang ternyata sudah menunggu kedatangan Kaluna bersama jajaran panitia inti dan beberapa dosen lainnya di ruang pertemuan. Pak Galih ini merupakan Dekan FBSB yang secara khusus merekomendasikan Kaluna sebagai salah satu pemateri untuk acara workshop besok. Pak Galih mengungkapkan bahwa dia adalah salah satu penggemar karya-karya Kaluna.
Di luar perkiraan, pembahasan mengenai detail acara besok selesai lima belas menit lebih cepat dari waktu yang Kaluna sebutkan pada Edgar. Fara, Kalula, dan Mutiara mengajaknya untuk singgah sebentar di kantin. Katanya mereka ingin Kaluna mencoba batagor yang terkenal sebagai salah satu makanan terenak di kampus mereka. Kaluna tentu dengan senang hati menerima ajakan mereka, sudah lama sekali lidahnya tidak merasakan makanan seperti itu, karena tentu saja koki rumah keluarga Mahawira lebih senang menghidangkan menu makanan kelas hotel daripada jajanan kaki lima. Mereka berjalan menuju area kantin yang ternyata terletak di antara gedung FBSB dan gedung FEB, tepatnya di bagian timur taman yang menjadi pemisah kedua fakultas tersebut. Fara mengatakan kalau kampus mereka memiliki lima kantin besar dan masing-masing satu kantin kecil di setiap fakultas. Kantin yang mereka tuju sekarang adalah salah satu kantin besar yang cukup terkenal karena makanannya banyak yang merupakan jajanan kh
Area lobi taman kanak-kanak Alexandra International School mendadak ramai akan bisik-bisik para ibu-ibu muda yang menunggu anaknya keluar dari kelas. Berpasang-pasang mata saling sibuk melirik, siku sibuk beradu untuk saling sikut. Sebuah pemandangan yang belum pernah mereka saksikan sekarang berada di depan mata. Seorang Edgar Mahawira, salah satu taipan muda di dunia bisnis paling diminati di tanah air, tampak sedang menunggu kepulangan anaknya bersama seorang wanita muda yang tak kalah mengesankan, Kaluna Osmond. Ibu-ibu di sana, yang tentunya merupakan para ibu muda dari kaum sosialita ibu kota, sudah cukup familiar dengan sosok Kaluna karena wanita itu tidak hanya satu-dua kali terlihat menjemput cucu pertama keluarga Mahawira. Yang membuat mereka asyik berbisik juga bukan karena kehadiran sosok Edgar, karena pria itu pernah beberapa kali menyempatkan diri menjemput sang anak sebelumnya. Tapi sekarang, kedua orang itu, yang sebelumnya ti
Kaluna menatap lobisalah satu hotel milik Edgar dengan penuh kagum. Ini kali pertama Kaluna mengunjungi lobihotel semewah itu. Sebelumnya ia hanya pernah melihat lobihotel-hotel mewah melalui majalah, artikel, dan video review hotel yang banyak ditontonnya di media sosial. Kalau dipikir-pikir, desain interior hotel ini cukup mirip dengan salah satu hotel bintang lima di dunia Kaluna dulu. Ah, iya. Cukup mirip dengan The Langham Hotels and Resorts di pusat perkantoran ibu kota. Kaluna ingat dengan hotel itu karena dulu ada salah satu grup idola populer asal Korea Selatan yang pernah menginap di sana dan menyebabkan orang-orang dengan uang berlebih berlomba untuk menginap di sana pula. Untuk beberapa saat hotel itu ramai dibicarakan dan diliput, sehingga Kaluna lumayan ingat dengan beberapa desain interior hotel yang sering dilihatnya di ponsel. Hotel milik Edgar ini merupakan salah