Edgar memperhatikan suasana ruang makan yang lebih ramai dan hangat dari biasanya. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak makan bersama di ruang makan ini.
Sejak Elvina pergi, rumah ini terasa jauh lebih kosong dan sepi, setidaknya bagi Edgar. Ia jarang berada di rumah dan lebih suka menyibukkan diri di kantor pusat maupun ruang dosennya di kampus.
Edgar semakin merasa enggan menginjakkan kaki di rumah semenjak sikap Kaluna yang berubah terhadapnya.
Wanita muda yang memutuskan menetap di rumahnya itu semakin bertindak seolah-olah ia telah menjadi nyonya rumah menggantikan sang kakak.
Awalnya Edgar membiarkan, ia berpikir jika anak-anaknya tidak akan terlalu bersedih dan kesepian dengan kehadiran Kaluna setelah Elvina tiada.
Selama istrinya masih hidup, adik iparnya itu sudah sering menginap untuk membantu Elvina mengurus Damian.
Kesibukan Kaluna memang tidak sepadat Elvina yang mengurus galeri perhiasan keluarga mereka. Orang tua Elvina dan Kaluna sudah lama berpulang, meninggalkan dua kakak-adik itu saat mereka masih begitu belia.
Untung saja masih ada kakek mereka yang merawat sampai Elvina cukup umur untuk mewarisi galeri perhiasan keluarga Osmond.
Orang tua Elvina dan Kaluna merupakan anak tunggal dari masing-masing keluarganya. Kakek dan nenek dari pihak ibu mereka sudah meninggal sejak lama, disusul nenek dari pihak ayah mereka. Dan setelah kakek dari pihak ayah mereka, satu-satunya kerabat terakhir, menyusul istri dan anaknya, Elvina dan Kaluna benar-benar sebatang kara.
Rentang usia Elvina dan Kaluna tidak begitu jauh, mereka hanya terpaut tiga tahun. Tapi bagi Kaluna, Elvina adalah sosok kakak, teman, dan orang tua.
Kaluna sangat menghormati dan menyayangi Elvina lebih dari siapapun. Elvina sendiri juga begitu mencintai sang adik layaknya harta paling berharga, dan Edgar sangat mengetahui hal itu.
Makanya, Edgar merasa begitu kecewa pada perubahan sikap Kaluna setelah satu tahun peringatan kematian istrinya itu. Sosok Elvina tidak akan pernah terganti dalam diri Edgar, tapi sepertinya Kaluna mencoba untuk menggesernya.
Usaha Kaluna yang begitu keras untuk menggantikan sosok kakaknya membuat Edgar lama-lama menjadi muak.
Memang, setelah wanita itu tersadar dari komanya, perilakunya banyak berubah. Edgar seperti melihat kembali sosok Kaluna sebelum kematian Elvina.
Ada perasaan lega yang diam-diam terasa dalam hatinya saat menyadari Kaluna tidak lagi berusaha memaksakan hubungan mereka melebihi batas yang Edgar tetapkan.
Sejujurnya Edgar merasa sangat bersalah pada Kaluna karena insiden yang menimpa wanita itu terjadi saat mereka bertengkar hebat.
Edgar yang kala itu marah besar karena Kaluna lagi-lagi mencoba mencelakai Liliana, bergegas pulang ke rumah pada jam makan siang.
Mereka bertemu di ujung tangga atas lantai dua, Edgar yang hendak mencari wanita itu di kamarnya atau di studio lukisnya, dan Kaluna yang bersiap untuk menjemput Damian pulang sekolah.
Edgar ingat menarik lengan wanita itu begitu kuat saat Kaluna seperti mengabaikan kehadirannya dan lanjut menuruni anak tangga, seolah-olah ia tidak melakukan kesalahan apapun.
Itulah kali pertama mereka bertengkar begitu hebat, dan Edgar menyesalinya sampai detik ini.
"Jangan mentang-mentang kamu adik Elvina lalu bisa berbuat sesukanya!"
Edgar ingat itu kalimat pertama yang ia ucapkan dengan nada paling tinggi untuk Kaluna.
"Kalau gitu, buka matamu lebar-lebar dan lihat serendah apa gadis macam Liliana itu!"
Edgar juga masih ingat seruan marah Kaluna saat membalasnya.
"Berhenti mencampuri urusan pribadi saya, Luna. Siapa kamu berani menilai orang lebih rendah, padahal mungkin kamulah yang lebih rendah dari dia?!"
Saat itu wajah Kaluna memerah, bahkan riasannya tidak dapat menutupi amarahnya yang sudah siap meledak.
"Kamu memang sudah gila dan buta! Kamu bahkan udah nggak bisa liat kebenaran yang jelas-jelas ada di depan mata."
"Bukan saya, tapi kamu yang gila! Membenci Liliana sedemikian rupa, sampai tega berbuat licik berulang kali."
"Itu karena dia pantas menerimanya!"
"Begitupun kamu! Kalau tau adiknya bisa bertingkah sepicik ini, saya yakin Elvina sangat kecewa di atas sana."
"Jangan bawa-bawa Kak Elvina dalam urusan kita."
"Elvina pasti juga membencimu atas kelakuan jahat yang kamu perbuat. Ia mungkin tidak mau lagi menganggap dirimu seorang adik."
Edgar dibutakan rasa marah dan membentak Kaluna dengan kata-kata menyakitkan. Setelah amarahnya mulai reda, ia baru menyadari tatapan terluka Kaluna yang entah mengapa menyakiti hatinya.
Tidak kuasa menatap kedua mata Kaluna yang mulai diselimuti selaput bening, Edgar berbalik untuk melanjutkan langkah.
Yang tidak Edgar sangka, Kaluna mencoba mengejarnya dengan terburu-buru, namun wanita itu tergelincir saat kakinya hendak menapaki anak tangga teratas.
Edgar tidak mendengar jeritan atau erangan apapun, tapi ia langsung berbalik saat mendengar suara tas juga sepatu Kaluna yang terlepas dan menabrak teralis tangga.
Edgar bersumpah separuh jiwanya terasa dicabut paksa saat mendapati sosok Kaluna tergeletak tak sadarkan diri pada bagian tengah tangga dengan luka di mana-mana.
Badannya seketika kaku dan napasnya tertahan di tenggororkan.
"Astaga, Nyonyaaa!"
"Ya Tuhan, cepat panggil ambulans!"
"Tidak, suruh sopir menyiapkan mobil segera!"
Gambaran para pelayan yang mulai berteriak dan menghampiri tubuh lemas Kaluna masih begitu segar di otaknya.
Rasanya kejadian itu baru terjadi kemarin. Edgar juga ingat, ia baru menguasai dirinya sendiri saat salah satu pelayan meneriakkan namanya untuk yang kesekian kali.
Bagai mendapat tenaga baru, secepat kilat Edgar menggendong tubuh Kaluna dan berteriak pada orang-orang untuk menyiapkan mobil.
Badan Edgar tak berhenti bergetar sampai mereka tiba di rumah sakit dan Dokter Rahadi selesai menangani Kaluna. Kemudian, tubuh besarnya langsung lemas saat wanita itu dinyatakan koma.
Saat Kaluna akhirnya sadar setelah satu minggu tidak membuka mata, tanpa semua orang sadari maupun lihat, Edgar menangis cukup lama sambil menggenggam tangan kurus Kaluna ketika perempuan itu tertidur karena pengaruh obat.
Edgar menggumamkan terus kalimat maaf dan terima kasih pada Tuhan yang masih memberi kesempatan pada Kaluna untuk bertahan.
Kembali pada pemandangan di hadapannya, Edgar tersenyum tipis saat melihat Damian sedang memamerkan piringnya yang bersih pada sang mami.
"Abang bisa habisin makanannya kan, Mam. Nih, lihat, bersih!" anak itu mengangkat piringnya dengan cengiran lebar.
"Good job! Pinter Abang, bisa sampai mengkilat gini lho, piringnya," Kaluna mengacak rambut Damian sayang.
"Ade, ughaaa," seperti biasa, Lavanya menyahut tidak mau kalah. Kali ini ia ikutan mengangkat mangkuk buburnya yang juga sudah kosong.
Kaluna tertawa melihat kelucuan dua keponakannya itu. Mereka memang sedang gemas-gemasnya bagi orang dewasa. Ia menghadiahi Lavanya dua acungan jempol, membuat gadis kecil itu bersorak.
Pandangan Edgar beralih saat dirasakannya seseorang menyentuh punggung tangannya di atas meja. Wajah Liliana terlihat dengan senyum tipis. Edgar mengangkat alis kanannya bertanya ada apa.
“Selesai makan, Bapak bisa tolong antar saya kembali ke rumah?” tanya gadis itu penuh harap.
Edgar terdiam sejenak, mencoba mengingat jadwalnya hari ini. Hanya ada satu sesi rapat jam tiga sore nanti, sepertinya ia cukup luang.
Alih-alih memberikan jawaban pada Liliana, Edgar malah bertanya pada Kaluna, seolah-olah sedang meminta izin pada wanita itu untuk mengantar Liliana pulang, hal yang tak pernah sekalipun ia lakukan.
“Luna, selepas ini saya akan mengantar Liliana pulang lebih dulu,” Edgar menjeda kalimatnya, menunggu respon Kaluna. Dilihatnya wanita itu tampak kebingungan.
“Okay,” Kaluna akhirnya mengangguk saja, ia bingung kenapa Edgar mengatakan hal tersebut padanya.
Kalau mau nganter ya, anter aja sana, ngapain laporan ke aku?
Edgar berdehem canggung mendengar tanggapan Kaluna, menyadari kebodohannya sendiri. Sedangkan Liliana di tempat duduknya sudah jengkel setengah mampus.
Kenapa seolah-olah Edgar bersikap layaknya suami yang sedang meminta izin pada istrinya? Lalu apa posisi Liliana di sini?
Yah, walaupun dosennya itu tidak pernah mengungkapkan kata cinta atau meresmikan hubungan mereka menjadi sepasang kekasih, tetapi Edgar selalu memperlakukan dirinya lebih dari orang lain, terutama dari kalangan perempuan.
Bukankah hal tersebut sudah menegaskan posisi Liliana sebagai pemilik hati pria itu dan calon utama pendampingnya kelak?
Liliana keluar kediaman Mahawira bersama Edgar dengan hati berantakan. Padahal tujuan utamanya ikut menyambut kepulangan Kaluna adalah membuat wanita itu kembali meradang dan melukainya, atau sekedar mencacimakinya di hadapan Edgar.
Liliana ingin Edgar semakin membenci dan menjauh dari Kaluna sejauh-jauhnya. Tapi, lihat saja tadi, Kaluna bahkan tidak terpengaruh oleh provokasinya sama sekali. Bahkan, Kaluna bersikap seolah-olah keberadaan Liliana tidak ada di sana, ia benar-benar diacuhkan!
Bukan tanpa alasan jika Liliana tidak menyukai Kaluna. Yah, perempuan mana yang tahan untuk tidak membenci orang dengan kelakuan seperti Kaluna?
Wanita itu sering sekali merendahkannya, terkait statusnya yang masih menjadi mahasiswi, juga status sosialnya yang tidak berasal dari keluarga kaya.
Meski tidak pernah melukai Liliana secara langsung dengan kedua tangannya, Kaluna pandai menggiring orang lain untuk melakukan tindakan itu.
Dalam pandangan orang-orang, Kaluna adalah sosok paling tepat untuk mendampingi Edgar yang nyaris tanpa cela.
Sedangkan Liliana bahkan dianggap tidak sampai selevel di bawah Kaluna, semua orang menganggapnya jauh lebih rendah dari itu.
Kedekatan Liliana dan Edgar memang tidak disembunyikan, tapi tidak juga diumbar untuk jadi konsumsi publik.
Teman-teman kampusnya juga tidak merundung Liliana secara terang-terangan, mereka semua bermain dengan cara ‘halus’, dan Liliana yakin semua itu karena hasutan dari perempuan iblis bernama Kaluna.
Setiap kali Liliana terluka karena ‘tidak sengaja’ tersandung kaki temannya, ‘tidak sengaja’ ketumpahan kuah bakso di kantin jurusan, ‘tidak sengaja’ terkunci di kamar mandi, dan banyak kejadian ‘tidak sengaja’ lainnya, gadis itu pasti akan menemui Edgar dengan wajah banjir air mata.
Selanjutnya, sudah dipastikan, Edgar akan menemui Kaluna untuk memberi teguran dan peringatan, karena Liliana selalu yakin jika otak di balik musibah yang selalu menimpanya berasal dari wanita ular itu.
Tunggu saja sampai Edgar melamar dan menikahinya, hal pertama yang akan Liliana lakukan adalah mengusir Kaluna dari rumah utama keluarga Mahawira.
Liliana sudah tidak sabar menunggu saat-saat itu terjadi dan menyaksikan ketidakberdayaan Kaluna di bawah kakinya.
***
Halo, teman-teman! Salam kenal, saya Vin, dan ini cerita pertama saya yang berani saya tayangkan di sini. Sejauh ini, semoga kalian bisa menikmati perjalanan awal Kaluna di dunia baru ini, ya. Terima kasih sudah mau tinggal untuk membaca. Mohon dimaklumi kalau sampai sekarang masih banyak narasi yang muncul daripada dialog antartokoh. Saya sedang mencoba menjelaskan situasi Kaluna dan belum menunjukkan interaksi para tokoh. Saya masih banyak belajar, dan akan dengan senang hati menerima masukan dari teman-teman semua ^^ Salam, Vin
Selepas kepergian Edgar dan Liliana, Kaluna memutuskan untuk istirahat. Awalnya ia ingin menemani Damian dan Lavanya bermain, tetapi Damian bersikeras agar ia beristirahat di kamar, anak itu keukeuh jika Kaluna tidak boleh banyak-banyak beraktivitas agar lekas sembuh.Selain itu, pengasuh Damian juga Lavanya—yang bernama Mbak Lala dan Mbak Mara—juga mengatakan kalau kedua anak itu harus tidur siang, jadilah Kaluna mengalah untuk istirahat.Bu Rini mengantar Kaluna menuju kamarnya di lantai dua. Semua kamar penghuni rumah ini memang terletak di lantai dua, kecuali kamar tamu yang terletak di lantai dasar, sedangkan para pekerja memiliki kamar masing-masing di paviliun khusus yang dibangun tidak jauh dari rumah utama, tepatnya di belakang kebun rumah."Kalau di lantai tiga ada ruangan apa aja, Bu?" tanya Kaluna saat mereka keluar dari ruang makan.Meski sedikit heran dengan pertanyaan nyonya rumahnya, Bu Rini tetap menjawab sopan. "Ada ruang ker
Edgar pulang ke rumah lebih cepat dari perkiraan jadwalnya. Dia berjalan santai memasuki area ruang keluarga sambil menikmati cahaya keemasan matahari sore yang masuk dari jendela-jendela besar di sekeliling ruang keluarga. Dua orang pelayan tak sengaja berpapasan dengan Edgar dan berhenti sejenak untuk memberi salam. “Untuk siapa itu?” tanya Edgar menunjuk nampan berisi beberapa jenis kue, seteko besar minuman infused water dingin, dan tiga buah gelas pada nampan lainnya. “Untuk Nyonya, Tuan Muda, dan Nona, Tuan,” jawab satu dari mereka sopan. Edgar mengernyit, “Kaluna yang memintanya sendiri? Atau anak-anak?” “Bukan, Tuan. Selepas makan siang tadi Nyonya menemui kepala koki untuk berterima kasih atas menu makan siang yang enak. Chef Hardy sangat senang dan bersyukur jika Nyonya menyukai masakannya, jadi dia membuatkan beberapa kue untuk menemani waktu sore Nyonya sebagai ungkapan terima kasih.” Mendengar penjelasan
Kaluna duduk di depan meja riasnya sambil mengeringkan rambut, matanya tak lepas dari bayangan dirinya sendiri di cermin. Ia mengagumi bagaimana sosok tokoh fiksi yang selama ini dilihatnya pada gambar dua dimensi kini menjadi nyata, dengan visual berkali lipat lebih menawan dari yang dapat digambarkan oleh tangan manusia. Kaluna menyentuh rambutnya yang sudah setengah kering. Jika dilihat secara seksama dan disentuh, rambut ini memang rambut alami Kaluna karena kondisinya sangat sehat dan bagus. Ia yakin, jika rambut warna ash brown ini hasil pewarnaan maka tidak akan sebaik itu kondisinya, mau semahal apapun perawatan rambut yang digunakan. Dulu, saat membaca komik“Lily Princess” Kaluna beranggapan warna rambutnya adalah coklat gelap, karena warna itulah yang tampak dalam matanya. Tak disangka ternyata rambut aslinya lebih cantik dari yang selama ini ia bayangkan. Seperti rambut para aktris Hollywood yang ser
“Selamat istirahat, Nyonya,” Sarah membungkuk sebelum menutup pintu kamar Kaluna.Si pemilik kamar langsung merebahkan diri di tengah-tengah ranjang, menatap langit-langit kamarnya yang bersih dari sarang laba-laba, bahkan sepertinya tidak ada debu yang menempel di sana.“Besok aku harus apa, ya?” Kaluna bergumam, memikirkan hal apa yang harus dilakukannya selain menemani Lavanya dan menjemput Damian pulang sekolah.Dikeluarkannya ponsel yang tadi diberikan oleh Sarah. Kaluna melupakan benda itu selama makan malam tadi.Ponsel berwarna lavender itu berlapis sebuah hardcase bening dengan warna-warna hologram yang muncul saat terkena cahaya.Kaluna menekan tombol power di sisi kanan badan ponsel dan layarnya langsung menyala, menampilkan wallpaper lockscreen berupa potret Elvina dengan summer dress berwarna violet bersama Damian dan Lavanya yang mengenakan pakaian senada dengan mama
Kaluna bangun lebih pagi dari dugaannya. Entah mengapa meskipun tidur larut malam, ia merasa tidurnya sangat lelap dan merasa segar saat bangun. Kaluna menuntaskan mandinya dan memilih satu set pakaian knit nyaman berlengan pendek dengan celana tiga perempat. Keluar dari walk in closet, Kaluna meraih kembali tongkat bantunya. Selama mandi dan berpakaian ia memang tidak menggunakan tongkat itu, selain untuk melatihnya berjalan tanpa tongkat, Kaluna juga takut kalau ia terpeleset karena tongkat tersebut saat berada di kamar mandi. Sebelum keluar, Kaluna sudah menyelesaikan ritual perawatan kulit paginya dan memutuskan untuk menggulung rambutnya menjadi sebuah cepolan, sedikit berantakan tapi cukup kuat. Kaluna tidak mempermasalahkannya. Toh, ia tidak akan keluar rumah pagi ini. Mungkin rambutnya akan ia rapikan sedikit saat menjemput Damian pulang sekolah siang nanti. Sarah sudah menunggu di luar pintu kamar Kaluna, nyaris memb
Mbak Mara memindahkan Lavanya ke atas kasur karena anak itu sudah tidur nyenyak di atas karpet kamarnya setelah puas bermain dengan Kaluna. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, memang sudah waktu tidur siang untuk Lavanya. Anak itu biasanya akan terbangun pukul dua siang dan kembali bermain bersama abangnya yang sudah pulang dari sekolah. Kaluna menyalakan AC ruangan dan menyetelnya pada suhu yang cukup rendah. Cuaca akhir-akhir ini sedang panas-panasnya, apalagi kalau hari sudah menjelang siang. Setelah memastikan suhu kamar Lavanya cukup sejuk, Kaluna beranjak keluar bersama Mbak Mara dan berpisah di dekat tangga. Kaluna memutuskan untuk mengunjungi studio lukisnya sejenak sebelum bersiap menjemput Damian. Hal pertama di lantai tiga yang dilihat saat Kaluna melangkah keluar dari lift adalah ruangan terbuka yang cukup luas dengan sofa berbentuk huruf ‘L’ warna cream, karpet bulu lebar dengan warna senada, dan sebuah meja marme
Edgar mendapati rumah dalam keadaan sepi saat dirinya sampai. Ia mengangkat tangan kirinya, memastikan pukul berapa saat ini pada jam tangannya. Hari ini lagi-lagi ia pulang cepat, seingatnya ia sudah meninggalkan kantor jam setengah enam sore, dan saat ini baru jam setengah tujuh malam. Jarak kantor dan rumah yang dekat memangkas perjalanan pulang Edgar menjadi satu jam, tentu saja karena jalanan ibu kota yang selalu padat saat jam pulang kantor. Biasanya hanya dibutuhkan waktu tiga puluh menit untuk sampai ke kediamannya, itu kalau ia pulang di atas jam sembilan malam. Edgar mencoba mengecek keadaan ruang makan. Kosong. Bahkan tidak ada makanan yang tersaji di atas meja marmer itu. Dahi pria itu mengernyit. Bukankah sebentar lagi waktunya makan malam? Saat berbalik hendak menuju kamar, secara kebetulan Edgar melihat Sarah berjalan dari arah dapur belakang sambil mendorong sebuah rak makanan kecil. Edgar bisa melihat ada beberapa piring berisi makanan yang dilapisi tutup bening
Hari-hari Kaluna berjalan dengan lancar. Sudah lewat satu bulan sejak kepulangannya dari rumah sakit. Kakinya sudah sembuh, dan ia dapat berjalan dengan normal. Dokter masih menyarankannya untuk tidak memakai sepatu hak tinggi, setidaknya sampai dua bulan ke depan saat kakinya benar-benar sudah kuat seperti semula. Kaluna tidak mempermasalahkan itu, ia sebenarnya juga tidak begitu suka mengenakan sepatu hak tinggi runcing yang membuat kaki pegal. Perihal perintah Edgar yang mengharuskan Kaluna menggunakan kursi roda selama seminggu tempo lalu, tidak benar-benar terlaksana. Pasalnya, Kaluna sudah merasa kakinya baikan setelah tiga hari dan berdebat dengan Edgar untuk tidak menggunakan kursi rodanya lagi. Akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke rumah sakit untuk memeriksa kondisi kaki Kaluna. Biarkan dokter yang menilai, katanya. Sepulangnya dari rumah sakit wajah Kaluna berseri-seri sedangkan Edgar memasang wajah masam. Ternyata dokter m