Selepas kepergian Edgar dan Liliana, Kaluna memutuskan untuk istirahat. Awalnya ia ingin menemani Damian dan Lavanya bermain, tetapi Damian bersikeras agar ia beristirahat di kamar, anak itu keukeuh jika Kaluna tidak boleh banyak-banyak beraktivitas agar lekas sembuh.
Selain itu, pengasuh Damian juga Lavanya—yang bernama Mbak Lala dan Mbak Mara—juga mengatakan kalau kedua anak itu harus tidur siang, jadilah Kaluna mengalah untuk istirahat.
Bu Rini mengantar Kaluna menuju kamarnya di lantai dua. Semua kamar penghuni rumah ini memang terletak di lantai dua, kecuali kamar tamu yang terletak di lantai dasar, sedangkan para pekerja memiliki kamar masing-masing di paviliun khusus yang dibangun tidak jauh dari rumah utama, tepatnya di belakang kebun rumah.
"Kalau di lantai tiga ada ruangan apa aja, Bu?" tanya Kaluna saat mereka keluar dari ruang makan.
Meski sedikit heran dengan pertanyaan nyonya rumahnya, Bu Rini tetap menjawab sopan. "Ada ruang ker
Edgar pulang ke rumah lebih cepat dari perkiraan jadwalnya. Dia berjalan santai memasuki area ruang keluarga sambil menikmati cahaya keemasan matahari sore yang masuk dari jendela-jendela besar di sekeliling ruang keluarga. Dua orang pelayan tak sengaja berpapasan dengan Edgar dan berhenti sejenak untuk memberi salam. “Untuk siapa itu?” tanya Edgar menunjuk nampan berisi beberapa jenis kue, seteko besar minuman infused water dingin, dan tiga buah gelas pada nampan lainnya. “Untuk Nyonya, Tuan Muda, dan Nona, Tuan,” jawab satu dari mereka sopan. Edgar mengernyit, “Kaluna yang memintanya sendiri? Atau anak-anak?” “Bukan, Tuan. Selepas makan siang tadi Nyonya menemui kepala koki untuk berterima kasih atas menu makan siang yang enak. Chef Hardy sangat senang dan bersyukur jika Nyonya menyukai masakannya, jadi dia membuatkan beberapa kue untuk menemani waktu sore Nyonya sebagai ungkapan terima kasih.” Mendengar penjelasan
Kaluna duduk di depan meja riasnya sambil mengeringkan rambut, matanya tak lepas dari bayangan dirinya sendiri di cermin. Ia mengagumi bagaimana sosok tokoh fiksi yang selama ini dilihatnya pada gambar dua dimensi kini menjadi nyata, dengan visual berkali lipat lebih menawan dari yang dapat digambarkan oleh tangan manusia. Kaluna menyentuh rambutnya yang sudah setengah kering. Jika dilihat secara seksama dan disentuh, rambut ini memang rambut alami Kaluna karena kondisinya sangat sehat dan bagus. Ia yakin, jika rambut warna ash brown ini hasil pewarnaan maka tidak akan sebaik itu kondisinya, mau semahal apapun perawatan rambut yang digunakan. Dulu, saat membaca komik“Lily Princess” Kaluna beranggapan warna rambutnya adalah coklat gelap, karena warna itulah yang tampak dalam matanya. Tak disangka ternyata rambut aslinya lebih cantik dari yang selama ini ia bayangkan. Seperti rambut para aktris Hollywood yang ser
“Selamat istirahat, Nyonya,” Sarah membungkuk sebelum menutup pintu kamar Kaluna.Si pemilik kamar langsung merebahkan diri di tengah-tengah ranjang, menatap langit-langit kamarnya yang bersih dari sarang laba-laba, bahkan sepertinya tidak ada debu yang menempel di sana.“Besok aku harus apa, ya?” Kaluna bergumam, memikirkan hal apa yang harus dilakukannya selain menemani Lavanya dan menjemput Damian pulang sekolah.Dikeluarkannya ponsel yang tadi diberikan oleh Sarah. Kaluna melupakan benda itu selama makan malam tadi.Ponsel berwarna lavender itu berlapis sebuah hardcase bening dengan warna-warna hologram yang muncul saat terkena cahaya.Kaluna menekan tombol power di sisi kanan badan ponsel dan layarnya langsung menyala, menampilkan wallpaper lockscreen berupa potret Elvina dengan summer dress berwarna violet bersama Damian dan Lavanya yang mengenakan pakaian senada dengan mama
Kaluna bangun lebih pagi dari dugaannya. Entah mengapa meskipun tidur larut malam, ia merasa tidurnya sangat lelap dan merasa segar saat bangun. Kaluna menuntaskan mandinya dan memilih satu set pakaian knit nyaman berlengan pendek dengan celana tiga perempat. Keluar dari walk in closet, Kaluna meraih kembali tongkat bantunya. Selama mandi dan berpakaian ia memang tidak menggunakan tongkat itu, selain untuk melatihnya berjalan tanpa tongkat, Kaluna juga takut kalau ia terpeleset karena tongkat tersebut saat berada di kamar mandi. Sebelum keluar, Kaluna sudah menyelesaikan ritual perawatan kulit paginya dan memutuskan untuk menggulung rambutnya menjadi sebuah cepolan, sedikit berantakan tapi cukup kuat. Kaluna tidak mempermasalahkannya. Toh, ia tidak akan keluar rumah pagi ini. Mungkin rambutnya akan ia rapikan sedikit saat menjemput Damian pulang sekolah siang nanti. Sarah sudah menunggu di luar pintu kamar Kaluna, nyaris memb
Mbak Mara memindahkan Lavanya ke atas kasur karena anak itu sudah tidur nyenyak di atas karpet kamarnya setelah puas bermain dengan Kaluna. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, memang sudah waktu tidur siang untuk Lavanya. Anak itu biasanya akan terbangun pukul dua siang dan kembali bermain bersama abangnya yang sudah pulang dari sekolah. Kaluna menyalakan AC ruangan dan menyetelnya pada suhu yang cukup rendah. Cuaca akhir-akhir ini sedang panas-panasnya, apalagi kalau hari sudah menjelang siang. Setelah memastikan suhu kamar Lavanya cukup sejuk, Kaluna beranjak keluar bersama Mbak Mara dan berpisah di dekat tangga. Kaluna memutuskan untuk mengunjungi studio lukisnya sejenak sebelum bersiap menjemput Damian. Hal pertama di lantai tiga yang dilihat saat Kaluna melangkah keluar dari lift adalah ruangan terbuka yang cukup luas dengan sofa berbentuk huruf ‘L’ warna cream, karpet bulu lebar dengan warna senada, dan sebuah meja marme
Edgar mendapati rumah dalam keadaan sepi saat dirinya sampai. Ia mengangkat tangan kirinya, memastikan pukul berapa saat ini pada jam tangannya. Hari ini lagi-lagi ia pulang cepat, seingatnya ia sudah meninggalkan kantor jam setengah enam sore, dan saat ini baru jam setengah tujuh malam. Jarak kantor dan rumah yang dekat memangkas perjalanan pulang Edgar menjadi satu jam, tentu saja karena jalanan ibu kota yang selalu padat saat jam pulang kantor. Biasanya hanya dibutuhkan waktu tiga puluh menit untuk sampai ke kediamannya, itu kalau ia pulang di atas jam sembilan malam. Edgar mencoba mengecek keadaan ruang makan. Kosong. Bahkan tidak ada makanan yang tersaji di atas meja marmer itu. Dahi pria itu mengernyit. Bukankah sebentar lagi waktunya makan malam? Saat berbalik hendak menuju kamar, secara kebetulan Edgar melihat Sarah berjalan dari arah dapur belakang sambil mendorong sebuah rak makanan kecil. Edgar bisa melihat ada beberapa piring berisi makanan yang dilapisi tutup bening
Hari-hari Kaluna berjalan dengan lancar. Sudah lewat satu bulan sejak kepulangannya dari rumah sakit. Kakinya sudah sembuh, dan ia dapat berjalan dengan normal. Dokter masih menyarankannya untuk tidak memakai sepatu hak tinggi, setidaknya sampai dua bulan ke depan saat kakinya benar-benar sudah kuat seperti semula. Kaluna tidak mempermasalahkan itu, ia sebenarnya juga tidak begitu suka mengenakan sepatu hak tinggi runcing yang membuat kaki pegal. Perihal perintah Edgar yang mengharuskan Kaluna menggunakan kursi roda selama seminggu tempo lalu, tidak benar-benar terlaksana. Pasalnya, Kaluna sudah merasa kakinya baikan setelah tiga hari dan berdebat dengan Edgar untuk tidak menggunakan kursi rodanya lagi. Akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke rumah sakit untuk memeriksa kondisi kaki Kaluna. Biarkan dokter yang menilai, katanya. Sepulangnya dari rumah sakit wajah Kaluna berseri-seri sedangkan Edgar memasang wajah masam. Ternyata dokter m
Dugaan Kaluna sepanjang jalan menuju salah satu ruang pertemuan di gedung Fakultas Bahasa, Seni, dan Budaya (FBSB) ini ternyata benar. Bapak Edgar Mahawira itu ternyata adalah dosen tamu di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Aditama, mengajar salah satu mata kuliah untuk para mahasiswa penghuni gedung pertama yang mereka lewati tadi. Pantas saja semua orang mengenalnya dan menyapa dengan sopan. Kaluna juga tidak menyangka ternyata Edgar cukup populer di kampus ini, karena bahkan banyak mahasiswa dari fakultas lain yang mengenalinya, termasuk di FBSB ini. Edgar meninggalkannya setelah menyapa Pak Galih yang ternyata sudah menunggu kedatangan Kaluna bersama jajaran panitia inti dan beberapa dosen lainnya di ruang pertemuan. Pak Galih ini merupakan Dekan FBSB yang secara khusus merekomendasikan Kaluna sebagai salah satu pemateri untuk acara workshop besok. Pak Galih mengungkapkan bahwa dia adalah salah satu penggemar karya-karya Kaluna.