Esok paginya, ia mendapati seorang wanita paruh baya yang dikirim Edgar melalui asistennya untuk membantu mengurus keperluannya selama dirawat di rumah sakit. Selama membantu Kaluna, wanita yang dipanggil Bu Rini itu terlihat sangat terampil dan berpengalaman.
Kaluna menjadi salut pada kerja keras asisten Edgar dalam menemukan dan merekrut orang seahli itu dalam hitungan jam. Tentu saja Kaluna yakin uang yang tidak sedikit banyak berperan di dalamnya.
Kaluna berdecak, hidup orang kaya memang enak, asal uang terus mengalir, aku minta dibangunkan seribu candi dalam semalam pun sepertinya akan terkabul, batinnya ngawur.
Hari-hari Kaluna selanjutnya hanya berisi kegiatan pemulihannya. Edgar tak lagi datang berkunjung, mungkin sedang sibuk dengan berkas-berkas perusahaan, atau sibuk menyenangkan hati mahasiswi favoritnya.
Ia refleks mendengus begitu teringat pertemuan pertamanya dengan Liliana, sikap gadis itu terasa terlalu janggal bagi Kaluna. Meski sekilas tampak ramah, baik hati, dan polos, Kaluna bisa merasakan ada kepura-puraan di setiap ekspresi lugu tokoh utama itu.
"Perasaanku aja, atau memang si Liliana itu keliatan manipulatif?" tanpa sadar Kaluna menggumamkan pemikirannya.
"Gimana, Bu? Perlu saya ambilkan sesuatu?" Bu Rini rupanya menangkap gumaman tak jelas Kaluna saat keluar dari kamar mandi.
"Oh, eh, nggak Bu, saya cuma bicara sendiri tadi," buru-buru Kaluna mengibaskan tangannya heboh. Semoga aja Bu Rini nggak denger ucapanku tadi, kalau iya bisa berabe urusannya sampai si Edgar itu dapet laporan aku jelek-jelekin mahasiswi kesayangannya.
Bu Rini mengangguk kecil, tak memperpanjang persoalan gumaman Kaluna. "Kalau butuh apa-apa Ibu bisa minta ke saya langsung, ya."
"Iya, Bu, makasih banyak," Kaluna mengangguk patah-patah.
"Saya mau keluar sebentar buat konfirmasi ke asisten Pak Edgar soal keperluan Ibu yang sudah habis. Ibu nggak apa-apa saya tinggal sebentar?"
"Nggak masalah Bu, saya bisa sendiri, kok," Kaluna tersenyum sungkan, mengizinkan Bu Rini meninggalkan ruang kamar inapnya.
Selepas kepergian Bu Rini, Kaluna baru bisa melemaskan punggungnya. Meski wanita paruh baya itu memperlakukannya dengan baik selama beberapa hari ini dan selalu membantu seluruh keperluannya, tapi ia masih merasa cukup canggung. Mungkin karena pembawaan Bu Rini cukup kaku dan profesional. Bu Rini bahkan menolak tawaran Kaluna untuk memanggilnya hanya dengan nama tanpa embel-embel 'Bu' atau 'Mbak'.
"Sampai mana otakku berpikir tadi?" seakan tidak jera walau nyaris ketahuan sedang memikirkan Liliana, Kaluna tetap gatal berteori tentang beberapa kejanggalan sikap Edgar dan Liliana yang ditemuinya beberapa hari lalu.
Cukup lama Kaluna melamun, sibuk dengan segala kata 'mungkin' di otaknya. Semakin dipikirkan semakin tidak ketemu jawabannya.
"Apa gara-gara aku belum keluar sama sekali dari rumah sakit, ya? Jadi nggak bisa tau jauh tentang mereka," kali ini Kaluna menemukan alasan yang cukup akal.
"Lah, iya juga! Gimana aku mau cari tau alasan sikap aneh mereka kalau ketemu aja nggak sampai lima kali dari kemarin-kemarin," Kaluna merutuki kebodohannya.
Kalau ada dokter atau perawat yang melihatnya bicara sendiri sedari tadi, mereka mungkin menganggap Kaluna perlu perawatan tambahan di bangsal psikiatris. Tapi sepertinya Kaluna memang butuh bimbingan konseling dari psikolog, mengingat dirinya terdampar di dalam dunia komik ini saja sudah membuat ia nyaris gila.
Apalagi mencoba memahami segala hubungan Edgar, Liliana, dan dirinya. Kaluna sudah double stress dan gila sekarang.
Ah, sudahlah! Kaluna tidak ingin terlalu memikirkannya. Ia memutuskan untuk tidak akan ikut campur lagi (karena sudah dipastikan Kaluna yang sebelumnya sudah banyak melakukan itu) pada hubungan asmara antara Edgar dan Liliana. Kaluna akan hidup tenang, melukis, menulis, dan bersenang-senang bersama Damian juga Lavanya.
Satu hal yang membuat Kalyna bersyukur ia menjadi Kaluna saat ini adalah karena bakat seni Kaluna yang diimpikan Kalyna untuk dimiliki. Ingat, Kalyna sangat mencintai seni dan sangat ingin berkecimpung secara langsung dalam dunia itu, tapi ketiadaan bakat menghentikannya.
Sedangkan kini ia menjadi seorang Kaluna Hermione Osmond, salah satu pelukis kebanggaan Indonesia, yang mungkin coretan asalnya di atas kanvas dapat dinilai sebagai karya seni. Kaluna jadi tidak sabar untuk mencoba bakat seninya saat ia keluar dari rumah sakit nanti.
Sebenarnya ada satu hal yang membuat Kaluna sedikit bingung. Biasanya, pada cerita-cerita transmigrasi dan reinkarnasi yang dulu pernah ia baca, tokoh yang mengalami fenomena itu akan mendapatkan ingatan masa lalu dari tubuh yang dirasukinya.
Tetapi sejauh ini Kaluna tidak merasa mendapat ingatan apapun kecuali tentang ingatannya sebagai Kalyna. Satu waktu, Kaluna merasa ia telah bermimpi tentang sesuatu, pada hari di mana ia bertemu Liliana untuk pertama kali.
Namun saat terbangun, ia tidak dapat mengingat mimpi itu. Mau diingat sekeras apapun, hanya bayangan buram dan samar yang muncul di otaknya. Kaluna akhirnya menyerah karena kepalanya serasa akan pecah jika dipaksa untuk mengingat.
Kalau pun ia tidak mendapatkan ingatan Kaluna yang asli, tidak masalah, malah sepertinya lebih baik. Ia bisa melanjutkan hidup sebagai dirinya sendiri, menerima sosoknya yang dulu adalah seorang Kalyna Prameswari, kini menjadi seorang Kaluna.
Dia tidak akan ambil pusing soal keheranan orang-orang tentang perubahan sikapnya. Sosok Kaluna yang dulu dikenal orang adalah wanita angkuh, menjunjung tinggi statusnya sebagai orang kalangan atas, dan memiliki aura kuat yang membuat orang segan mendekat.
Kaluna yang sekarang tampak lebih tenang, auranya masih kuat tetapi tidak terasa menekan, malahan, ia terkesan lebih anggun dan elegan. Sepertinya karakter asli Kaluna dengan Kalyna saling bercampur dan menyesuaikan. Karena sosok Kalyna dulu dikenal sebagai wanita tegas, tenang, tetapi ramah pada semua orang.
Satu sifat yang Kaluna rasakan tidak berubah dan sesuai dengan sifat aslinya sebagai Kalyna dulu adalah kesukaannya pada anak kecil, selain dari kecintaannya terhadap seni tentu saja. Kaluna merasakan jika jiwa Kaluna yang asli benar-benar menyayangi kedua keponakannya.
Hatinya langsung terasa menghangat dan ringan setiap melihat kedua anak itu. Ia ingat jika hubungan para tokoh cerita dengan Damian dan Lavanya tidak digambarkan secara detail. Interaksi mereka hanya pernah muncul sekitar lima kali secara singkat. Jadi, Kaluna tidak memiliki clue sama sekali tentang situasi hubungan mereka dengan kedua anak itu.
Kaluna jadi tidak sabar untuk memulai kehidupan barunya. Ia sudah bosan setengah mati dan sangat jenuh berada di lingkungan rumah sakit. Makanya Kaluna berusaha keras untuk memperpendek waktu tinggalnya di rumah sakit. Ia menuruti seluruh perkataan Dokter Rahadi, meminum obat dengan teratur, semuanya demi pemulihan yang cepat agar ia segera dipulangkan.
**
Satu bulan berlalu dengan cepat. Kondisi Kaluna sudah jauh lebih baik dan Dokter Rahadi sudah memperbolehkannya kembali ke rumah. Meski sudah boleh pulang, nyatanya kaki Kaluna belum pulih sempurna. Ia masih harus menggunakan kruk atau kursi roda untuk sementara waktu.
Kaluna kini duduk dengan tenang di kursi roda sambil menunggu Bu Rini membereskan barang-barangnya. Kaluna awalnya ingin membantu, tetapi langsung ditolak dengan halus oleh Bu Rini.
"Bu, beneran nggak perlu saya bantu beres-beres? Barang saya lumayan banyak itu," Kaluna mencoba merayu sekali lagi agar diperbolehkan membantu.
Ia merasa tidak enak hanya duduk memperhatikan Bu Rini yang mondar-mandir memasukkan barang-barangnya ke dua buah koper besar.
"Tidak perlu, Bu. Ini memang tugas saya. Ibu tunggu saja sebentar, ini sudah mau selesai," rayuannya ternyata tetap tidak mempan, Bu Rini keukeuh menolak.
Akhirnya selama hampir sepuluh menit, Kaluna hanya memperhatikan Bu Rini memasukkan barang-barangnya ke dua buah koper ukuran sedang yang ternyata disimpan di pojok ruangan.
Selesai beberes, Bu Rini mendorong kursi roda keluar kamar menuju mobil jemputan yang sudah menunggu. Kedua koper Kaluna dibawakan oleh seorang laki-laki paruh baya yang beberapa kali Kaluna lihat mengantar Damian dan Lavanya saat mereka berkunjung.
Sepanjang perjalanan menuju mobil jemputan, Kaluna bertemu beberapa perawat dan dokter yang sedang berjaga, mereka menyapa Kaluna hormat dan mengucapkan selamat atas kepulangannya.
Tidak biasa mendapat perlakuan seperti itu, Kaluna hanya membalas semua sapaan dan ucapan selamat dengan senyum canggung dan kalimat terima kasih.
Meski cukup bingung dengan sikap Kaluna yang tak biasanya menanggapi ucapan basa-basi orang lain yang dianggap berada di bawahnya, para perawat dan dokter itu terlihat tak terlalu ambil pusing.
Pikir mereka, nona muda Osmond mendapat hikmah setelah mengalami kecelakaan. Mereka tidak tahu saja kalau bukan jiwa Kaluna asli yang sedang menebar senyum canggung itu.
Sebuah mobil sedan Rolls Royce Ghost berwarna hitam sudah siap di area penjemputan. Kaluna masuk pada kursi penumpang dibantu Bu Rini, sedangkan Pak Rudi—supir keluarga Mahawira yang membantu menjemput Kaluna—memasukkan koper ke bagasi dan bergegas menuju kursi kemudi.
Bu Rini akan ikut tinggal di kediaman Mahawira sementara waktu, sampai Kaluna benar-benar sembuh. Mobil mulai berjalan meninggalkan Kawasan rumah sakit dan melaju dengan kecepatan normal memasuki jalan raya menuju kediaman utama Mahawira.
***
Saat mobil memasuki kawasan perumahan tempat rumah utama keluarga Mahawira berada, Kaluna tidak berhenti untuk membuka mulutnya takjub. Ia mengetahui jika di dunianya dulu ada beberapa perumahan elit di daerah Jakarta yang mirip seperti kawasan perumahan ini. Meski tidak seratus persen sama, tapi sepertinya penulis cerita memang mengambil referensi dari salah satu kompleks perumahan elit yang cukup terkenal akan kemewahannya di dunia nyata. Untuk mencapai area perumahan, mobil yang dinaiki Kaluna harus melewati gerbang dengan keamanan yang cukup ketat. Orang yang ingin masuk ke area perumahan itu harus memiliki kartu akses khusus, kartu dengan barcode itu akan discan pada bagian security untuk membuka gerbang. Satu hal itu saja sudah membuat Kaluna takjub, tetapi saat mobil mulai memasuki area dalam gerbang, ia merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Setelah gerbang utama, ada jalan dua arah sepanjang tiga ratus met
Edgar memperhatikan suasana ruang makan yang lebih ramai dan hangat dari biasanya. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak makan bersama di ruang makan ini. Sejak Elvina pergi, rumah ini terasa jauh lebih kosong dan sepi, setidaknya bagi Edgar. Ia jarang berada di rumah dan lebih suka menyibukkan diri di kantor pusat maupun ruang dosennya di kampus. Edgar semakin merasa enggan menginjakkan kaki di rumah semenjak sikap Kaluna yang berubah terhadapnya. Wanita muda yang memutuskan menetap di rumahnya itu semakin bertindak seolah-olah ia telah menjadi nyonya rumah menggantikan sang kakak. Awalnya Edgar membiarkan, ia berpikir jika anak-anaknya tidak akan terlalu bersedih dan kesepian dengan kehadiran Kaluna setelah Elvina tiada. Selama istrinya masih hidup, adik iparnya itu sudah sering menginap untuk membantu Elvina mengurus Damian. Kesibukan Kaluna memang tidak sepadat Elvina yang mengurus galeri perhiasan keluarga mereka. Orang tua Elvina dan Kaluna sudah lama berpulang, meninggalk
Selepas kepergian Edgar dan Liliana, Kaluna memutuskan untuk istirahat. Awalnya ia ingin menemani Damian dan Lavanya bermain, tetapi Damian bersikeras agar ia beristirahat di kamar, anak itu keukeuh jika Kaluna tidak boleh banyak-banyak beraktivitas agar lekas sembuh.Selain itu, pengasuh Damian juga Lavanya—yang bernama Mbak Lala dan Mbak Mara—juga mengatakan kalau kedua anak itu harus tidur siang, jadilah Kaluna mengalah untuk istirahat.Bu Rini mengantar Kaluna menuju kamarnya di lantai dua. Semua kamar penghuni rumah ini memang terletak di lantai dua, kecuali kamar tamu yang terletak di lantai dasar, sedangkan para pekerja memiliki kamar masing-masing di paviliun khusus yang dibangun tidak jauh dari rumah utama, tepatnya di belakang kebun rumah."Kalau di lantai tiga ada ruangan apa aja, Bu?" tanya Kaluna saat mereka keluar dari ruang makan.Meski sedikit heran dengan pertanyaan nyonya rumahnya, Bu Rini tetap menjawab sopan. "Ada ruang ker
Edgar pulang ke rumah lebih cepat dari perkiraan jadwalnya. Dia berjalan santai memasuki area ruang keluarga sambil menikmati cahaya keemasan matahari sore yang masuk dari jendela-jendela besar di sekeliling ruang keluarga. Dua orang pelayan tak sengaja berpapasan dengan Edgar dan berhenti sejenak untuk memberi salam. “Untuk siapa itu?” tanya Edgar menunjuk nampan berisi beberapa jenis kue, seteko besar minuman infused water dingin, dan tiga buah gelas pada nampan lainnya. “Untuk Nyonya, Tuan Muda, dan Nona, Tuan,” jawab satu dari mereka sopan. Edgar mengernyit, “Kaluna yang memintanya sendiri? Atau anak-anak?” “Bukan, Tuan. Selepas makan siang tadi Nyonya menemui kepala koki untuk berterima kasih atas menu makan siang yang enak. Chef Hardy sangat senang dan bersyukur jika Nyonya menyukai masakannya, jadi dia membuatkan beberapa kue untuk menemani waktu sore Nyonya sebagai ungkapan terima kasih.” Mendengar penjelasan
Kaluna duduk di depan meja riasnya sambil mengeringkan rambut, matanya tak lepas dari bayangan dirinya sendiri di cermin. Ia mengagumi bagaimana sosok tokoh fiksi yang selama ini dilihatnya pada gambar dua dimensi kini menjadi nyata, dengan visual berkali lipat lebih menawan dari yang dapat digambarkan oleh tangan manusia. Kaluna menyentuh rambutnya yang sudah setengah kering. Jika dilihat secara seksama dan disentuh, rambut ini memang rambut alami Kaluna karena kondisinya sangat sehat dan bagus. Ia yakin, jika rambut warna ash brown ini hasil pewarnaan maka tidak akan sebaik itu kondisinya, mau semahal apapun perawatan rambut yang digunakan. Dulu, saat membaca komik“Lily Princess” Kaluna beranggapan warna rambutnya adalah coklat gelap, karena warna itulah yang tampak dalam matanya. Tak disangka ternyata rambut aslinya lebih cantik dari yang selama ini ia bayangkan. Seperti rambut para aktris Hollywood yang ser
“Selamat istirahat, Nyonya,” Sarah membungkuk sebelum menutup pintu kamar Kaluna.Si pemilik kamar langsung merebahkan diri di tengah-tengah ranjang, menatap langit-langit kamarnya yang bersih dari sarang laba-laba, bahkan sepertinya tidak ada debu yang menempel di sana.“Besok aku harus apa, ya?” Kaluna bergumam, memikirkan hal apa yang harus dilakukannya selain menemani Lavanya dan menjemput Damian pulang sekolah.Dikeluarkannya ponsel yang tadi diberikan oleh Sarah. Kaluna melupakan benda itu selama makan malam tadi.Ponsel berwarna lavender itu berlapis sebuah hardcase bening dengan warna-warna hologram yang muncul saat terkena cahaya.Kaluna menekan tombol power di sisi kanan badan ponsel dan layarnya langsung menyala, menampilkan wallpaper lockscreen berupa potret Elvina dengan summer dress berwarna violet bersama Damian dan Lavanya yang mengenakan pakaian senada dengan mama
Kaluna bangun lebih pagi dari dugaannya. Entah mengapa meskipun tidur larut malam, ia merasa tidurnya sangat lelap dan merasa segar saat bangun. Kaluna menuntaskan mandinya dan memilih satu set pakaian knit nyaman berlengan pendek dengan celana tiga perempat. Keluar dari walk in closet, Kaluna meraih kembali tongkat bantunya. Selama mandi dan berpakaian ia memang tidak menggunakan tongkat itu, selain untuk melatihnya berjalan tanpa tongkat, Kaluna juga takut kalau ia terpeleset karena tongkat tersebut saat berada di kamar mandi. Sebelum keluar, Kaluna sudah menyelesaikan ritual perawatan kulit paginya dan memutuskan untuk menggulung rambutnya menjadi sebuah cepolan, sedikit berantakan tapi cukup kuat. Kaluna tidak mempermasalahkannya. Toh, ia tidak akan keluar rumah pagi ini. Mungkin rambutnya akan ia rapikan sedikit saat menjemput Damian pulang sekolah siang nanti. Sarah sudah menunggu di luar pintu kamar Kaluna, nyaris memb
Mbak Mara memindahkan Lavanya ke atas kasur karena anak itu sudah tidur nyenyak di atas karpet kamarnya setelah puas bermain dengan Kaluna. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, memang sudah waktu tidur siang untuk Lavanya. Anak itu biasanya akan terbangun pukul dua siang dan kembali bermain bersama abangnya yang sudah pulang dari sekolah. Kaluna menyalakan AC ruangan dan menyetelnya pada suhu yang cukup rendah. Cuaca akhir-akhir ini sedang panas-panasnya, apalagi kalau hari sudah menjelang siang. Setelah memastikan suhu kamar Lavanya cukup sejuk, Kaluna beranjak keluar bersama Mbak Mara dan berpisah di dekat tangga. Kaluna memutuskan untuk mengunjungi studio lukisnya sejenak sebelum bersiap menjemput Damian. Hal pertama di lantai tiga yang dilihat saat Kaluna melangkah keluar dari lift adalah ruangan terbuka yang cukup luas dengan sofa berbentuk huruf ‘L’ warna cream, karpet bulu lebar dengan warna senada, dan sebuah meja marme