Sudah beberapa hari terlewat dari kunjungan kejutan Damian, Lavanya, Edgar, juga Liliana. Kaluna berdoa agar Liliana tidak lagi memiliki niatan untuk menjenguknya karena ia belum merasa siap berhadapan lagi dengan sang tokoh utama.
Kedatangan Liliana bersama Edgar waktu itu meninggalkan perasaan tidak nyaman yang cukup mengganggu. Kaluna tahu kalau jiwanya tidak pernah mengenal sosok Liliana sejauh jiwa asli yang selama ini berperan dalam melakukan segala tindakannya pada mahasiswi Edgar itu.
Meskipun begitu, Kaluna terus-terusan merasakan ujung jari-jarinya terasa gatal untuk meremas sesuatu saat bayangan wajah lugu Liliana tidak sengaja terlintas di benaknya.
Hari ini, Kaluna membuat otaknya bekerja keras untuk memikirkan seluruh fakta yang sejauh ini berhasil ia dapatkan. Wanita muda itu mencoba mencari tahu sampai mana alur cerita komik
“Lily Princess” ini sudah berlangsung melalui orang-orang di sekitarnya.Sejauh ini semua informasi yang didapat Kaluna dari dokter dan para perawat yang rutin mengunjungi kamarnya untuk pemeriksaan rutin tidak begitu berguna. Hal-hal yang mereka bicarakan hanya seputar proses kesembuhan Kaluna, atau hanya sekedar gosip-gosip artis tanah air yang tidak diketahui sama sekali namanya oleh Kaluna.
Ia semakin yakin kalau dunia ini bukanlah dunianya yang dulu karena tidak satupun nama artis yang disebut oleh para perawat yang terkadang berbincang dengannya terdengar familiar. Bahkan nama presiden dan wakil presiden di dunai ini juga berbeda. Padahal jelas-jelas Kaluna menempati negara yang sama-sama bernama Indonesia dengan kota Jakarta sebagai pusat pemerintahannya.
Saat mencoba mencari informasi dari berita-berita televisi, acara infotainment siang hari, maupun tayangan sinetron harian yang setiap hari tayang, Kaluna selalu mendapatkan informasi baru yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan alur cerita komik.
Seperti hari ini, Kaluna sedari pagi sudah rajin membaca puluhan koran, majalah bisnis, dan tabloid fashion yang dimintanya dari para perawat, sampai otaknya terasa berasap. Satu-dua artikel tentang Edgar berhasil ia dapatkan.
Di sana dibahas secara singkat profil sang direktur muda pemilik kekuasaan tertinggi seluruh bisnis keluarga Mahawira. Kemudian sebagian besar isi artikel memuat pandangan Edgar tentang dunia bisnis, dan sisanya yang tak seberapa membahas posisinya sebagai dosen tamu di salah satu universitas swasta.
Semua informasi itu terasa sia-sia karena Kaluna sudah mengetahui semuanya melalui cerita komik
saat tokoh Edgar pertama kali dikenalkan pada para pembaca.Kaluna menutup harinya dengan kelada pening dan tubuh lelah karena terlalu banyak melihat deretan huruf yang tidak menguntungkannya. Ia menggerutu sebelum tidur karena tidak menemukan segala macam gadget di kamarnya selama ia menetap di sana.
Tidak ada laptop, tablet, maupun ponsel yang dapat ia temukan. Sepertinya benda-benda itu disimpan oleh Edgar di suatu tempat. Jadi mau sampai Kaluna kayang untuk menemukan benda-benda tersebut, wujudnya tidak akan pernah muncul di sudut mata.
Kaluna memutuskan untuk tidur setelah dirasa kepalanya semakin berat dan pundaknya pegal luar biasa. Ia merapikan tumpukan koran dan majalah yang berserakan di ranjang dan meletakkannya di lantai.
Biar saja koran-koran dan majalah itu tidak tertumpuk dengan rapi. Kaluna sudah tidak sabar untuk melepas letihnya dan bermesraan bersama bantal juga selimut.
**
Kaluna merasa kedinginan dan ingin buang air kecil. Ia membuka matanya yang terasa berat dan mendapati ruangannya terasa remang-remang dengan cahaya yang redup. Sepertinya sudah tengah malam.
Dengan perlahan, Kaluna turun dari ranjang dan meraih tiang infusnya. Ia melupakan tulang kakinya yang retak dan nyaris terjatuh ketika seseorang menangkap bahunya dengan cepat. Kaluna meringis, merasakan kakinya yang belum sembuh total berdenyut nyeri.
Menyadari ada orang lain selain dirinya di ruangan itu, Kaluna buru-buru mendongak untuk melihat siapa pahlawan tengah malam yang menolongnya. Dan Kaluna bukan hanya terkejut, tetapi ia juga merasa heran, saat mendapati sosok tinggi Edgar menyangga pundaknya dengan ekspresi keras.
Sedang apa pria itu di sini tengah malam begini?
“Ceroboh,” suara Edgar yang dingin dan rendah membuat Kaluna merinding.
Kemudian tanpa kata pria itu mendudukkan Kaluna pada kursi roda, yang sebelumnya keberadaannya tidak disadari oleh wanita itu, dan mulai mendorongnya menuju kamar mandi.
Kaluna merasa begitu malu saat Edgar membantunya untuk membuka tutup kloset duduk dan menggendongnya untuk berpindah tempat. Wajah Kaluna sudah sangat merah, ia menunduk dalam sambil meremas ujung baju tidur pasiennya.
“Aku bisa sendiri,” kata Kaluna pelan.
Edgar yang mendengar perkataan wanita itu karena jarak mereka masih cukup dekat hanya menghela nafas. Pria itu kemudian meninggalkan kamar mandi, membiarkan Kaluna menyelesaikan urusannya.
Di dalam kamar mandi, sambil menyelesaikan panggilan alamnya, Kaluna sibuk menggerutu pada diri sendiri.
“Mampus, malu banget! Astagaaa, boleh nggak sih, aku ikutan kesedot ke dalam kloset?” Kaluna terus mendumal dan mengacak rambutnya dengan tangan kiri.
Dirinya tidak sadar bahwa suaranya cukup keras untuk didengar Edgar yang menunggu di samping pintu kamar mandi. Pria itu mendengus geli, tidak menyangka jika Kaluna bisa menggerutu sedemikian rupa.
Kaluna selesai dengan urusannya dan berusaha untuk meraih kursi rodanya mendekat. Ia mencoba menumpu badannya dengan satu tangan pada lengan kursi. Baru saja berdiri dan hendak memindahkan badannya, kursi roda itu tiba-tiba bergerak mundur. Kaluna yang tidak siap ikut tertarik dan tergelincir.
BRAKK.
“KALUNA!” suara Edgar menggelegar bersamaan dengan pintu kamar mandi yang dibuka kasar.
Pria itu masuk secepat kilat saat mendengar suara gaduh dari dalam. Dilihatnya Kaluna dengan posisi setengah berbaring di lantai kamar mandi, tiang infusnya terjatuh menimpa kursi roda dengan posisi miring, sedangkan tangan kanan wanita itu sudah bersimbah darah karena selang infusnya tercabut.
Kaluna memandang wajah keras Edgar dengan ngeri. Tampak sekali kemarahan pada kedua mata pria itu. Ketakutannya melihat sosok mengerikan Edgar mengalahkan sakit di sekujur tubuhnya karena terjatuh.
"A-aku, bis-saaa," suara terbata Kaluna tercekat di tenggorokan saat Edgar menggendongnya dan membawanya kembali ke tempat tidur. Edgar lalu memanggil perawat melalui tombol darurat untuk membereskan kekacauan yang ada.
Kaluna mengamati kelakuan Edgar dalam diam. Ia merasa takut tapi juga bersalah. Ia bisa melihat sedikit kekhawatiran dan kekalutan dalam mata Edgar, meski tetap saja dominasi amarahnya lebih kuat.
Sambil menunggu perawat datang, Edgar membalut luka akibat selang infus di tangan Kaluna dengan sapu tangannya, mencoba menghentikan darah yang terus keluar.
“Demi Tuhan, Kaluna,” Edgar menatap Kaluna tajam, membuat wanita itu makin menciut takut.
“Tidak bisakah kau…” Edgar mendesah frustasi, sepertinya tidak sanggup melanjutkan kalimatnya karena terlalu emosi dengan hal-hal ceroboh yang dilakukan oleh Kalun sepuluh menit belakangan.
Mulai dari nyaris terjatuh saat akan pergi ke kamar mandi, sampai akhirnya benar-benar terjatuh saat akan meninggalkan kamar mandi. Edgar benar-benar tak habis pikir.
Tiga orang perawat yang sudah tak asing bagi Kaluna akhirnya datang dengan perlengkapan yang dibutuhkan. Kaluna bisa bernapas dengan benar saat Edgar memberikan ruang bagi para perawat untuk menanganinya. Meskipun begitu, Kaluna bisa merasakan tatapan tajam Edgar masih terus mengawasi gerak-geriknya.
Seorang perawat memberinya obat anti nyeri dan mengatakan kalau kondisinya baik-baik saja, tidak ada luka tambahan selain karena selang infus yang terlepas.
“Mungkin ada baiknya ada seseorang yang membantu menemani Ibu Kaluna sampai sehat dan diperbolehkan pulang, Pak Edgar. Dengan begitu ke depannya diharapkan tidak akan terjadi kejadian seperti ini lagi,” seorang perawat menyarankan sebelum pamit undur diri.
Mendapat saran begitu, Edgar langsung mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. “Siapkan seseorang untuk merawat Kaluna selama di rumah sakit, prioritaskan yang sudah berpengalaman. Saya tunggu kedatangannya besok pagi.”
Edgar bahkan tidak repot-repot mengucapkan salam dan menunggu jawaban orang di dihubunginya, ia langsung mematikan sambungan setelah selesai berbicara.
Kaluna hanya bisa melongo. Bisa dibayangkannya orang yang dihubungi Edgar pasti sudah asyik menyumpahi pria itu di tempatnya. Kaluna jadi sedikit merasa tak enak pada orang itu, gara-gara dirinya orang itu tidak bisa melanjutkan istirahat dan malah menjalankan perintah Edgar.
Tatapan bersalah itu ditangkap oleh Edgar, mengira jika Kaluna merasa bersalah pada dirinya.
Padahal sih, bukan.
Edgar mendekat, memperbaiki letak selimut wanita yang berhasil membuat emosinya nyaris meledak di tengah malam begini. “Istirahatlah.”
Kaluna memperhatikan sosok Edgar yang melangkah keluar kamar. Matanya terus mengikuti punggung tegap itu sampai hilang di balik pintu. Kaluna menghela nafas, benar-benar hari yang melelahkan, bahkan sampai dini hari seperti ini.
Sikap Edgar terasa baru dalam pandangan Kaluna. Pria itu, yang dalam w*****n, selalu menjaga jarak dan tidak pernah peduli pada sosok Kaluna, terlihat cukup perhatian padanya selama ia berada di rumah sakit.
Edgar memang tidak mengunjunginya setiap waktu, hari ini saja merupakan kali ketiga Edgar berkunjung ke rumah sakit. Meski tidak berkunjung, Edgar hampir setiap hari mengirimkan buah persik, yang baru diketahui Kaluna kalau itu buah kesukaannya, melalui salah satu supir pribadi keluarga Mahawira.
Pria itu juga seakan memiliki mata-mata di rumah sakit yang melaporkan segala tingkah laku Kaluna, dan jika buah persik kirimannya telah habis maka akan datang sekotak buah persik yang baru sesegera mungkin.
Malas menduga-duga dan memikirkan sikap Edgar lebih lanjut karena obat yang mulai membuatnya mengantuk, Kaluna menyamankan posisinya dan memejamkan mata. Dalam hitungan detik ia sudah terlelap.
***
Esok paginya, ia mendapati seorang wanita paruh baya yang dikirim Edgar melalui asistennya untuk membantu mengurus keperluannya selama dirawat di rumah sakit. Selama membantu Kaluna, wanita yang dipanggil Bu Rini itu terlihat sangat terampil dan berpengalaman. Kaluna menjadi salut pada kerja keras asisten Edgar dalam menemukan dan merekrut orang seahli itu dalam hitungan jam. Tentu saja Kaluna yakin uang yang tidak sedikit banyak berperan di dalamnya. Kaluna berdecak, hidup orang kaya memang enak, asal uang terus mengalir, aku minta dibangunkan seribu candi dalam semalam pun sepertinya akan terkabul, batinnya ngawur. Hari-hari Kaluna selanjutnya hanya berisi kegiatan pemulihannya. Edgar tak lagi datang berkunjung, mungkin sedang sibuk dengan berkas-berkas perusahaan, atau sibuk menyenangkan hati mahasiswi favoritnya. Ia refleks mendengus begitu teringat pertemuan pertamanya dengan Liliana, sikap gadis itu terasa terlalu janggal bagi Kaluna. M
Saat mobil memasuki kawasan perumahan tempat rumah utama keluarga Mahawira berada, Kaluna tidak berhenti untuk membuka mulutnya takjub. Ia mengetahui jika di dunianya dulu ada beberapa perumahan elit di daerah Jakarta yang mirip seperti kawasan perumahan ini. Meski tidak seratus persen sama, tapi sepertinya penulis cerita memang mengambil referensi dari salah satu kompleks perumahan elit yang cukup terkenal akan kemewahannya di dunia nyata. Untuk mencapai area perumahan, mobil yang dinaiki Kaluna harus melewati gerbang dengan keamanan yang cukup ketat. Orang yang ingin masuk ke area perumahan itu harus memiliki kartu akses khusus, kartu dengan barcode itu akan discan pada bagian security untuk membuka gerbang. Satu hal itu saja sudah membuat Kaluna takjub, tetapi saat mobil mulai memasuki area dalam gerbang, ia merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Setelah gerbang utama, ada jalan dua arah sepanjang tiga ratus met
Edgar memperhatikan suasana ruang makan yang lebih ramai dan hangat dari biasanya. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak makan bersama di ruang makan ini. Sejak Elvina pergi, rumah ini terasa jauh lebih kosong dan sepi, setidaknya bagi Edgar. Ia jarang berada di rumah dan lebih suka menyibukkan diri di kantor pusat maupun ruang dosennya di kampus. Edgar semakin merasa enggan menginjakkan kaki di rumah semenjak sikap Kaluna yang berubah terhadapnya. Wanita muda yang memutuskan menetap di rumahnya itu semakin bertindak seolah-olah ia telah menjadi nyonya rumah menggantikan sang kakak. Awalnya Edgar membiarkan, ia berpikir jika anak-anaknya tidak akan terlalu bersedih dan kesepian dengan kehadiran Kaluna setelah Elvina tiada. Selama istrinya masih hidup, adik iparnya itu sudah sering menginap untuk membantu Elvina mengurus Damian. Kesibukan Kaluna memang tidak sepadat Elvina yang mengurus galeri perhiasan keluarga mereka. Orang tua Elvina dan Kaluna sudah lama berpulang, meninggalk
Selepas kepergian Edgar dan Liliana, Kaluna memutuskan untuk istirahat. Awalnya ia ingin menemani Damian dan Lavanya bermain, tetapi Damian bersikeras agar ia beristirahat di kamar, anak itu keukeuh jika Kaluna tidak boleh banyak-banyak beraktivitas agar lekas sembuh.Selain itu, pengasuh Damian juga Lavanya—yang bernama Mbak Lala dan Mbak Mara—juga mengatakan kalau kedua anak itu harus tidur siang, jadilah Kaluna mengalah untuk istirahat.Bu Rini mengantar Kaluna menuju kamarnya di lantai dua. Semua kamar penghuni rumah ini memang terletak di lantai dua, kecuali kamar tamu yang terletak di lantai dasar, sedangkan para pekerja memiliki kamar masing-masing di paviliun khusus yang dibangun tidak jauh dari rumah utama, tepatnya di belakang kebun rumah."Kalau di lantai tiga ada ruangan apa aja, Bu?" tanya Kaluna saat mereka keluar dari ruang makan.Meski sedikit heran dengan pertanyaan nyonya rumahnya, Bu Rini tetap menjawab sopan. "Ada ruang ker
Edgar pulang ke rumah lebih cepat dari perkiraan jadwalnya. Dia berjalan santai memasuki area ruang keluarga sambil menikmati cahaya keemasan matahari sore yang masuk dari jendela-jendela besar di sekeliling ruang keluarga. Dua orang pelayan tak sengaja berpapasan dengan Edgar dan berhenti sejenak untuk memberi salam. “Untuk siapa itu?” tanya Edgar menunjuk nampan berisi beberapa jenis kue, seteko besar minuman infused water dingin, dan tiga buah gelas pada nampan lainnya. “Untuk Nyonya, Tuan Muda, dan Nona, Tuan,” jawab satu dari mereka sopan. Edgar mengernyit, “Kaluna yang memintanya sendiri? Atau anak-anak?” “Bukan, Tuan. Selepas makan siang tadi Nyonya menemui kepala koki untuk berterima kasih atas menu makan siang yang enak. Chef Hardy sangat senang dan bersyukur jika Nyonya menyukai masakannya, jadi dia membuatkan beberapa kue untuk menemani waktu sore Nyonya sebagai ungkapan terima kasih.” Mendengar penjelasan
Kaluna duduk di depan meja riasnya sambil mengeringkan rambut, matanya tak lepas dari bayangan dirinya sendiri di cermin. Ia mengagumi bagaimana sosok tokoh fiksi yang selama ini dilihatnya pada gambar dua dimensi kini menjadi nyata, dengan visual berkali lipat lebih menawan dari yang dapat digambarkan oleh tangan manusia. Kaluna menyentuh rambutnya yang sudah setengah kering. Jika dilihat secara seksama dan disentuh, rambut ini memang rambut alami Kaluna karena kondisinya sangat sehat dan bagus. Ia yakin, jika rambut warna ash brown ini hasil pewarnaan maka tidak akan sebaik itu kondisinya, mau semahal apapun perawatan rambut yang digunakan. Dulu, saat membaca komik“Lily Princess” Kaluna beranggapan warna rambutnya adalah coklat gelap, karena warna itulah yang tampak dalam matanya. Tak disangka ternyata rambut aslinya lebih cantik dari yang selama ini ia bayangkan. Seperti rambut para aktris Hollywood yang ser
“Selamat istirahat, Nyonya,” Sarah membungkuk sebelum menutup pintu kamar Kaluna.Si pemilik kamar langsung merebahkan diri di tengah-tengah ranjang, menatap langit-langit kamarnya yang bersih dari sarang laba-laba, bahkan sepertinya tidak ada debu yang menempel di sana.“Besok aku harus apa, ya?” Kaluna bergumam, memikirkan hal apa yang harus dilakukannya selain menemani Lavanya dan menjemput Damian pulang sekolah.Dikeluarkannya ponsel yang tadi diberikan oleh Sarah. Kaluna melupakan benda itu selama makan malam tadi.Ponsel berwarna lavender itu berlapis sebuah hardcase bening dengan warna-warna hologram yang muncul saat terkena cahaya.Kaluna menekan tombol power di sisi kanan badan ponsel dan layarnya langsung menyala, menampilkan wallpaper lockscreen berupa potret Elvina dengan summer dress berwarna violet bersama Damian dan Lavanya yang mengenakan pakaian senada dengan mama
Kaluna bangun lebih pagi dari dugaannya. Entah mengapa meskipun tidur larut malam, ia merasa tidurnya sangat lelap dan merasa segar saat bangun. Kaluna menuntaskan mandinya dan memilih satu set pakaian knit nyaman berlengan pendek dengan celana tiga perempat. Keluar dari walk in closet, Kaluna meraih kembali tongkat bantunya. Selama mandi dan berpakaian ia memang tidak menggunakan tongkat itu, selain untuk melatihnya berjalan tanpa tongkat, Kaluna juga takut kalau ia terpeleset karena tongkat tersebut saat berada di kamar mandi. Sebelum keluar, Kaluna sudah menyelesaikan ritual perawatan kulit paginya dan memutuskan untuk menggulung rambutnya menjadi sebuah cepolan, sedikit berantakan tapi cukup kuat. Kaluna tidak mempermasalahkannya. Toh, ia tidak akan keluar rumah pagi ini. Mungkin rambutnya akan ia rapikan sedikit saat menjemput Damian pulang sekolah siang nanti. Sarah sudah menunggu di luar pintu kamar Kaluna, nyaris memb