Note: Penyebutan tokoh Kalyna sekarang telah berubah menjadi Kaluna.
Kaluna melirik Edgar dan Liliana yang kini duduk di kursi samping ranjang. Kursi itu memang cukup panjang dan muat untuk diduduki dua orang. Tapi karena postur tubuh Edgar cukup kekar, mereka tampak duduk menempel layaknya perangko dan kertas, rapat sekali.
Kaluna tidak bisa mengelak bahwa pemandangan di sampingnya sedikit membuat jengah.
Please deh, itu di sisi ranjang seberang masih ada satu kursi single satu. Kenapa pula dua-duanya harus duduk di sana.
Kaluna melemparkan pandangan tidak nyaman pada kedekatan Edgar dan Liliana.
Meskipun jiwanya telah berganti, tapi sepertinya perasaan jiwa Kaluna yang asli masih banyak tertinggal, itu mengapa ia merasa tidak senang dengan kedekatan keduanya.
Edgar sepertinya menyadari tatapan Kaluna dan memutuskan untuk pindah ke kursi di sisi lain ranjang. Mengamati ekspresi wajah Kaluna yang berangsur tenang, Edgar mulai berbicara.
“Lili bilang ingin menjengukmu, jadi kubawa dia ke sini selepas kelasnya selesai,” katanya tenang.
Alih-alih menanggapi perkataan Edgar, Kaluna menatap wajah gugup Liliana di sisi kirinya. Tangan gadis itu meremas-remas gagang keranjang buah yang dibawanya sambil sesekali mencuri pandang.
“Em, anu… Kak Luna, ini aku bawa buah-buahan buat Kakak,” Liliana menyodorkan keranjang buah itu.
“Aku pilih sendiri semua buahnya, soalnya aku tau Kak Luna nggak suka makan buah yang nggak bagus atau berkualitas. Tapi maaf, ya Kak, kalau buahnya nggak sesuai selera Kakak, aku cuma bisa beli di toko buah kecil pinggir jalan tadi, bukan di supermarket.”
Ya? Gimana-gimana? Ini anak ngomong apa, sih?
Kaluna masih menatap Liliana, kali ini dengan pandangan heran. Dibiarkannya tangan gadis itu menggantung membawa keranjang buah yang berat.
Edgar yang melihatnya hanya menghela napas dan mengambil alih keranjang buah Liliana untuk diletakkan di meja nakas samping ranjang.
“Kamu harus belajar menghargai apa yang telah diberikan orang lain, Luna,” ujarnya setelah menghela nafas.
“Apalagi Liliana sudah susah payah memilihkannya untukmu,” lanjutnya.
Kaluna makin dibuat heran, perasaan dari tadi dirinya diam saja, kenapa jadi seolah-olah ia habis melakukan kesalahan?
Kaluna menatap Liliana dan Edgar bergantian. Sesungguhnya ia merasa sangat canggung karena baginya ini pertama kali mereka bertiga bertatap muka dan berbincang. Kaluna tidak tahu harus menunjukkan sikap seperti apa.
Kalau sekarang Kaluna asli yang ada di sini, mungkin perempuan itu sudah mengamuk dan mengusir Liliana. Tapi ini Kalyna, ia tidak merasakan dorongan untuk melakukan hal-hal jahat pada mahasiswi Edgar itu.
“Sejak kapan mereka tertidur?” suara Edgar lagi-lagi memecah keheningan karena Kaluna tetap pada sikap diamnya.
“Kayaknya udah dari satu jam yang lalu,” kali ini Kaluna menjawab dengan suaranya yang setipis tisu.
Sepertinya ia butuh minum, tadi dirinya berbincang cukup banyak dengan Damian dan sekarang kerongkongannya baru terasa kering.
Sebelum Kaluna meraih gelas yang tersedia di atas nakas, Edgar mendahuluinya, mengisi gelas kosong itu sampai setengah penuh dan memberikannya pada Kaluna. Setelah menggumamkan terima kasih Kaluna meminum air putih di gelas sampai habis dan meletakkannya kembali di meja nakas.
Ya Tuhan, ini super canggung! Tolong siapa pun, datang dan alihkan perhatian mereka dari aku. Dokter Rahadiii… di mana dirimuuu.
Kaluna benar-benar mati kutu saat tidak ada yang memulai percakapan di antara mereka bertiga. Semua orang hanya saling menatap dan melirik satu sama lain.
Cari topik, Kaluna, cari topik! Ayolah, apa yang bisa kubicarakan? Harga saham? Galeri seni?
Di tengah dialog batinnya, mata Kaluna menangkap pergerakan Lavanya yang mulai terbangun dari tidurnya. Gadis kecil itu terduduk dengan wajah mengantuk, kepalanya menoleh berkeliling ruangan. Tak lama ia mulai merengek saat melihat sosok familiar yang tak jauh dari tempat tidur.
“Papaaa,” Lavanya turun dari ranjang dan berjalan sempoyongan menuju sang Papa. Edgar yang mengetahui anaknya sudah bangun membalikkan badan untuk menyambut Lavanya dalam gendongan.
Gadis kecil itu menyandarkan kepalanya sejenak pada pundak papanya sebelum kemudian memandang wajah Kaluna yang juga menatapnya penuh terima kasih.
“Mamiii, peyuk,” Lavanya mulai meronta dari gendongan Edgar, meminta untuk diturunkan pada pangkuan Kaluna.
“Mamiii,” ia mulai menjerit kecil saat dirasa Edgar tidak akan menuruti kemauannya.
“Adek, Mami masih sakit, belum bisa peluk-peluk sekarang,” Edgar mulai kewalahan dengan sang anak yang terus memberontak ingin turun.
Merasa kasihan melihat wajah Lavanya yang mulai memerah dan siap menangis, Kaluna mengulurkan tangan kirinya yang tidak diinfus.
“Nggak apa, kalau peluk di sebelah kiri ini aku masih bisa. Sini, Adek,” katanya.
Edgar menyerah dan menurunkan Lavanya di sisi sebelah kiri Kaluna. Anaknya itu langsung mendusel pada badan Kaluna dengan nyaman dan mendapat usapan lembut di kepalanya. Kaluna sedikit membungkuk untuk mengecup puncak kepala Lavanya dan anak itu semakin mengeratkan pelukannya.
“Abang juga mau peluk Mami, Pa,” Damian tiba-tiba saja sudah berada di samping Edgar, menatap Kaluna dan Lavanya yang sedang berpelukan penuh harap.
Hendak melarang, tapi Edgar melihat anaknya begitu rindu pada Kaluna, ia tertegun selama beberapa saat. Apakah anak-anaknya selalu sedekat ini dengan Kaluna?
“Sini, Abang juga peluk Mami dari sini,” Kaluna merentangkan tangan kirinya, membuat Damian bergegas pergi ke sisi kiri ranjang. Lili yang menempati kursi di sisi itu terpaksa berdiri dan mundur beberapa langkah agar Damian memiliki ruang untuk lewat.
Damian dengan gembira masuk dalam rangkulan Kaluna, badannya yang belum begitu tinggi merapat ke pinggir ranjang, mencoba memeluk Kaluna dan adiknya sebisa mungkin. Ia bisa merasakan kepalanya yang diusap dan dikecup lembut, membuatnya seketika begitu nyaman.
Di lain sisi, Liliana melihat pemandangan itu dengan sorot iri. Wajah cantiknya yang semula memancarkan aura lembut dan lugu seketika berubah datar dan dingin. Tangannya meremas rok dengan kuat, dan semua itu tertangkap dalam pandangan Kaluna.
Sementara itu, Edgar melihat anak-anaknya yang memeluk Kaluna dengan perasaan gamang. Pria itu baru mengetahui jika anak lelakinya memiliki sisi manja yang ditunjukkan di depan Kaluna.
Sejauh ini, Damian tidak pernah meminta untuk dipeluk oleh orang lain, pada dirinya, pengasuhnya, atau pada Liliana sekalipun. Padahal Edgar menganggap Liliana dan anak-anaknya cukup akrab karena gadis itu tak jarang mengunjungi rumahnya.
Dan lagi, Edgar tidak menyangka jika Kaluna dapat menunjukkan wajah selembut itu. Wajah yang penuh kasih sayang tulus dan keteduhan. Sama seperti… wajah Elvina.
Selesai dengan acara berpelukan, Edgar mengantar Liliana untuk pulang. Ia juga memesankan anak-anaknya beberapa jenis makanan karena hari sudah mulai petang.
Kaluna menghabiskan sorenya untuk menemani Damian dan Lavanya memakan makan malam sambil mendengarkan cerita mereka selama dirinya dirawat di rumah sakit. Pukul tujuh malam, dua orang pengasuh Damian dan Lavanya datang untuk menjemput mereka.
Selepas itu, Kaluna langsung terlelap karena merasa begitu kelelahan. Banyak hal yang terjadi padanya hari ini, otaknya tidak berhenti berpikir keras sejak tadi siang, belum lagi kedatangan Edgar bersama Liliana yang membuatnya tidak nyaman.
Saat tidur, Kaluna merasa tenggelam pada mimpinya dengan begitu dalam, sampai-sampai tidak menyadari bahwa seseorang kembali mengunjungi kamar inapnya dan mengamati wajahnya dalam diam nyaris semalaman.
***
Sudah beberapa hari terlewat dari kunjungan kejutan Damian, Lavanya, Edgar, juga Liliana. Kaluna berdoa agar Liliana tidak lagi memiliki niatan untuk menjenguknya karena ia belum merasa siap berhadapan lagi dengan sang tokoh utama. Kedatangan Liliana bersama Edgar waktu itu meninggalkan perasaan tidak nyaman yang cukup mengganggu. Kaluna tahu kalau jiwanya tidak pernah mengenal sosok Liliana sejauh jiwa asli yang selama ini berperan dalam melakukan segala tindakannya pada mahasiswi Edgar itu. Meskipun begitu, Kaluna terus-terusan merasakan ujung jari-jarinya terasa gatal untuk meremas sesuatu saat bayangan wajah lugu Liliana tidak sengaja terlintas di benaknya. Hari ini, Kaluna membuat otaknya bekerja keras untuk memikirkan seluruh fakta yang sejauh ini berhasil ia dapatkan. Wanita muda itu mencoba mencari tahu sampai mana alur cerita komik “Lily Princess” ini sudah berlangsung melalui orang-orang di sekitarnya. Sejauh ini semua informasi yang didapat Kaluna dari dokter dan para pe
Esok paginya, ia mendapati seorang wanita paruh baya yang dikirim Edgar melalui asistennya untuk membantu mengurus keperluannya selama dirawat di rumah sakit. Selama membantu Kaluna, wanita yang dipanggil Bu Rini itu terlihat sangat terampil dan berpengalaman. Kaluna menjadi salut pada kerja keras asisten Edgar dalam menemukan dan merekrut orang seahli itu dalam hitungan jam. Tentu saja Kaluna yakin uang yang tidak sedikit banyak berperan di dalamnya. Kaluna berdecak, hidup orang kaya memang enak, asal uang terus mengalir, aku minta dibangunkan seribu candi dalam semalam pun sepertinya akan terkabul, batinnya ngawur. Hari-hari Kaluna selanjutnya hanya berisi kegiatan pemulihannya. Edgar tak lagi datang berkunjung, mungkin sedang sibuk dengan berkas-berkas perusahaan, atau sibuk menyenangkan hati mahasiswi favoritnya. Ia refleks mendengus begitu teringat pertemuan pertamanya dengan Liliana, sikap gadis itu terasa terlalu janggal bagi Kaluna. M
Saat mobil memasuki kawasan perumahan tempat rumah utama keluarga Mahawira berada, Kaluna tidak berhenti untuk membuka mulutnya takjub. Ia mengetahui jika di dunianya dulu ada beberapa perumahan elit di daerah Jakarta yang mirip seperti kawasan perumahan ini. Meski tidak seratus persen sama, tapi sepertinya penulis cerita memang mengambil referensi dari salah satu kompleks perumahan elit yang cukup terkenal akan kemewahannya di dunia nyata. Untuk mencapai area perumahan, mobil yang dinaiki Kaluna harus melewati gerbang dengan keamanan yang cukup ketat. Orang yang ingin masuk ke area perumahan itu harus memiliki kartu akses khusus, kartu dengan barcode itu akan discan pada bagian security untuk membuka gerbang. Satu hal itu saja sudah membuat Kaluna takjub, tetapi saat mobil mulai memasuki area dalam gerbang, ia merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Setelah gerbang utama, ada jalan dua arah sepanjang tiga ratus met
Edgar memperhatikan suasana ruang makan yang lebih ramai dan hangat dari biasanya. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak makan bersama di ruang makan ini. Sejak Elvina pergi, rumah ini terasa jauh lebih kosong dan sepi, setidaknya bagi Edgar. Ia jarang berada di rumah dan lebih suka menyibukkan diri di kantor pusat maupun ruang dosennya di kampus. Edgar semakin merasa enggan menginjakkan kaki di rumah semenjak sikap Kaluna yang berubah terhadapnya. Wanita muda yang memutuskan menetap di rumahnya itu semakin bertindak seolah-olah ia telah menjadi nyonya rumah menggantikan sang kakak. Awalnya Edgar membiarkan, ia berpikir jika anak-anaknya tidak akan terlalu bersedih dan kesepian dengan kehadiran Kaluna setelah Elvina tiada. Selama istrinya masih hidup, adik iparnya itu sudah sering menginap untuk membantu Elvina mengurus Damian. Kesibukan Kaluna memang tidak sepadat Elvina yang mengurus galeri perhiasan keluarga mereka. Orang tua Elvina dan Kaluna sudah lama berpulang, meninggalk
Selepas kepergian Edgar dan Liliana, Kaluna memutuskan untuk istirahat. Awalnya ia ingin menemani Damian dan Lavanya bermain, tetapi Damian bersikeras agar ia beristirahat di kamar, anak itu keukeuh jika Kaluna tidak boleh banyak-banyak beraktivitas agar lekas sembuh.Selain itu, pengasuh Damian juga Lavanya—yang bernama Mbak Lala dan Mbak Mara—juga mengatakan kalau kedua anak itu harus tidur siang, jadilah Kaluna mengalah untuk istirahat.Bu Rini mengantar Kaluna menuju kamarnya di lantai dua. Semua kamar penghuni rumah ini memang terletak di lantai dua, kecuali kamar tamu yang terletak di lantai dasar, sedangkan para pekerja memiliki kamar masing-masing di paviliun khusus yang dibangun tidak jauh dari rumah utama, tepatnya di belakang kebun rumah."Kalau di lantai tiga ada ruangan apa aja, Bu?" tanya Kaluna saat mereka keluar dari ruang makan.Meski sedikit heran dengan pertanyaan nyonya rumahnya, Bu Rini tetap menjawab sopan. "Ada ruang ker
Edgar pulang ke rumah lebih cepat dari perkiraan jadwalnya. Dia berjalan santai memasuki area ruang keluarga sambil menikmati cahaya keemasan matahari sore yang masuk dari jendela-jendela besar di sekeliling ruang keluarga. Dua orang pelayan tak sengaja berpapasan dengan Edgar dan berhenti sejenak untuk memberi salam. “Untuk siapa itu?” tanya Edgar menunjuk nampan berisi beberapa jenis kue, seteko besar minuman infused water dingin, dan tiga buah gelas pada nampan lainnya. “Untuk Nyonya, Tuan Muda, dan Nona, Tuan,” jawab satu dari mereka sopan. Edgar mengernyit, “Kaluna yang memintanya sendiri? Atau anak-anak?” “Bukan, Tuan. Selepas makan siang tadi Nyonya menemui kepala koki untuk berterima kasih atas menu makan siang yang enak. Chef Hardy sangat senang dan bersyukur jika Nyonya menyukai masakannya, jadi dia membuatkan beberapa kue untuk menemani waktu sore Nyonya sebagai ungkapan terima kasih.” Mendengar penjelasan
Kaluna duduk di depan meja riasnya sambil mengeringkan rambut, matanya tak lepas dari bayangan dirinya sendiri di cermin. Ia mengagumi bagaimana sosok tokoh fiksi yang selama ini dilihatnya pada gambar dua dimensi kini menjadi nyata, dengan visual berkali lipat lebih menawan dari yang dapat digambarkan oleh tangan manusia. Kaluna menyentuh rambutnya yang sudah setengah kering. Jika dilihat secara seksama dan disentuh, rambut ini memang rambut alami Kaluna karena kondisinya sangat sehat dan bagus. Ia yakin, jika rambut warna ash brown ini hasil pewarnaan maka tidak akan sebaik itu kondisinya, mau semahal apapun perawatan rambut yang digunakan. Dulu, saat membaca komik“Lily Princess” Kaluna beranggapan warna rambutnya adalah coklat gelap, karena warna itulah yang tampak dalam matanya. Tak disangka ternyata rambut aslinya lebih cantik dari yang selama ini ia bayangkan. Seperti rambut para aktris Hollywood yang ser
“Selamat istirahat, Nyonya,” Sarah membungkuk sebelum menutup pintu kamar Kaluna.Si pemilik kamar langsung merebahkan diri di tengah-tengah ranjang, menatap langit-langit kamarnya yang bersih dari sarang laba-laba, bahkan sepertinya tidak ada debu yang menempel di sana.“Besok aku harus apa, ya?” Kaluna bergumam, memikirkan hal apa yang harus dilakukannya selain menemani Lavanya dan menjemput Damian pulang sekolah.Dikeluarkannya ponsel yang tadi diberikan oleh Sarah. Kaluna melupakan benda itu selama makan malam tadi.Ponsel berwarna lavender itu berlapis sebuah hardcase bening dengan warna-warna hologram yang muncul saat terkena cahaya.Kaluna menekan tombol power di sisi kanan badan ponsel dan layarnya langsung menyala, menampilkan wallpaper lockscreen berupa potret Elvina dengan summer dress berwarna violet bersama Damian dan Lavanya yang mengenakan pakaian senada dengan mama
"Abang, Kak Lava, tolong bantu Arlo cari sepatu yang udah Mami siapin kemarin, ya. Mami mau urus Adek Sean dulu," Kaluna melongok ke ruang bersantai di lantai dua tempat Damian dan Lavanya berada."Okay, Mam," Damian meninggalkan tabletnya di atas sofa dan menarik tangan Lavanya yang masih asyik menonton tayangan televisi di depan."Abang! Nanggung ini, bentar lagi selesai acaranya!" Lavanya bersungut, berusaha menarik tangannya dari tarikan Damian."Mami udah capek-capek ke sini buat minta tolong, lho, Va," Damian tetap tidak melepaskan tangan sang adik dan semakin berusaha menariknya, meski tidak kuat. "Ayo, ah. Itu tontonan besok juga bisa diulang lagi."Akhirnya dengan ogah-ogahan Lavanya bangkit dari posisi nyamannya dan mengikuti sang abang menuju kamar adik mereka di lantai yang sama."Arlooo," Lavanya memanggil saat Damian membuka pintu kamar Arlo di samping kamar orang tua mereka.Tampak seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang sudah rapi dengan setelan tuxedo-nya sedan
"Kau yakin tidak ingin tinggal di sini saja, Dear?" Benedict menatap Kaluna penuh harapan.Sudah beberapa hari berlalu sejak lamaran tidak romantis Edgar pada Kaluna. Setelah itu mereka berdiskusi dengan serius tentang rencana kepulangan Kaluna dan anak-anak. Sebagai seseorang yang paling memahami tentang kondisi Damian juga Lavanya, Kaluna mengajukan beberapa pertimbangan pada Edgar.Meski selama satu tahun ini terapi Damian dan Lavanya berjalan baik di tangan Luca, tapi tidak menutup kemungkinan trauma mereka dapat muncul kembali saat dihadapkan dengan situasi atau lokasi tertentu. Seperti kolam renang di rumah mereka misalnya.Kaluna tidak ingin kepulangan mereka berbalik menjadi hal yang menyulitkan bagi Damian maupun Lavanya. Dengan segala kekhawatiran tersebut, Kaluna jadi banyak berpikir ulang tentang kembalinya mereka.Di tengah dilemma yang melanda, Edgar menggenggam kedua tangan Kaluna dan meyakinkan wanita itu, bahwa semua akan baik-baik saja. Edgar berjanji akan mengurus s
Langit sudah gelap meski jam dinding masih menunjuk pada pukul setengah lima petang. Udara di luar menjadi jauh lebih dingin dari siang tadi. Rumah Kaluna sudah temaram, suasana yang sebelumnya ramai kini berubah tenang.Di kamar utama, Damian juga Lavanya sudah lelap dalam tidur. Bergelung nyaman di balik selimut tebal yang membungkus tubuh keduanya. Sisa hari ini mereka habiskan untuk bermain, bercerita, dan menempel pada sang papa.Selepas menghabiskan makan malam yang Kaluna berikan lebih awal, rasa kantuk langsung menyergap dua anak tersebut dengan cepat. Alhasil, Damian dan Lavanya tidur tiga jam lebih awal dari biasanya.Berbeda dengan suasana kamar yang sudah gelap dan sunyi, lampu di dapur masih menyala terang. Di sana tampak Kaluna yang sedang memasak makan malam sederhana, ditemani Edgar yang betah berlama-lama menatap punggung sang wanita dari kursipantry.Makan malam Damian dan Lavanya tadi hanyalah sisa dari menu makan s
Udara di luar semakin dingin, Damian dan Lavanya sudah berhenti bermain salju sejak beberapa menit yang lalu. Keduanya kini bergabung dengan Luca yang menggantikan Kaluna untuk mengawasi mereka bermain."Kenapa Uncle kemari?" tanya Damian dengan nada kesal setelah menyesap cokelat hangat dari tumblr miliknya."Kenapa? Tentu saja karena aku merindukan kalian," Luca menebar senyuman ramahnya. "Teganya kalian berlibur tanpa mengajakku ikut serta," sambungnya pura-pura merajuk.Damian langsung mengernyitkan dahinya mendengar gaya bicara Luca yang diimut-imutkan. Ekspresi tidak senang kentara sekali terlihat di wajahnya."Kalau Uncle ikut, semuanya jadi nggak seru. Iya, kan, Dek? No Uncle, more fun, right?" Damian menole pada Lavanya, meminta dukungan sang adik.Dan tentunya Lavanya langsung mengangguk setuju tanpa berpikir lebih lama. "No Uncle, more fun!" sahutnya dengan senyuman lebar.Luca seketika mencebik. Susah sekali mengambil dua hati anak itu."Mami mana? Kenapa tidak kembali-kem
Mulut Kaluna terbuka sebelum akhirnya tertutup kembali. Ia terlalu terkejut dengan keberadaan Edgar di balik pintu rumahnya. Kaluna tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun.Tidak. Lebih tepatnya, Kaluna bingung harus mengatakan apa pada Edgar.Buongiorno? Halo? Lama tak jumpa?Semuanya tidak ada yang terasa tepat. Terlebih dengan adanya masalah yang belum juga selesai di antara keduanya.Jadi, Kaluna hanya diam, memandangi wajah Edgar lurus-lurus. Pria itu tampak lebih kurus dari terakhir kali Kaluna mengingatnya. Gurat letih tampak jelas di garis-garis wajahnya. Kaluna juga dapat melihat dengan jelas kantung mata Edgar yang menghitam juga tebal.Edgar bahkan membiarkan rambut-rambut tumbuh di sekitar mulut dan dagunya. Pria itu sekarang memiliki brewok tipis yang entah mengapa membuatnya tampak berkali lipat lebih berkharisma.Kaluna buru-buru mengerjap dan berdehem, mengalihkan pandangannya dari wajah Edgar yang masih dipenuhi sen
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu oleh Edgar akhirnya tiba.Pagi tadi, James memberi kabar kalau Benedict akan kembali dan tiba di kediaman sore ini. Jadi begitu mobil pria tua tersebut memasuki halaman, Edgar sudah berdiri di samping James, siap menyambut kedatangan Benedict di teras."Oho! Lihat siapa yang menyambutku di sini!" sahut Benedict terkesan, begitu dirinya keluar dari mobil dan mendapati putranya bersandar di pilar teras dengan kedua tangan bersedekap di dada."You've really tested my patience these past few days," Edgar menyorot Benedict dengan tatapan tidak bersahabat.Benedict hanya tertawa sambil menepuk-nepuk pundak sang anak, lalu dirinya melenggang masuk begitu saja. Edgar menghembuskan napas lelah sebelum menyusul sang ayah ke dalam."Di mana Kaluna sama anak-anak saya?" tanya Edgar tidak sabar."Seriously, Son?" masih tetap melanjutkan langkahnya menuju kamar utama, Benedict menanggapi sang ana
Meskipun merasa luar biasa lelah setelah terbang lebih dari dua puluh jam menuju Italia, Edgar tidak mau membuang waktunya lebih banyak lagi. Pria itu memilih langsung memesan taksi di bandara, bergegas untuk menyambangi rumah sang ayah.Harusnya dulu Edgar mempercayai instingnya saja dan mengabaikan amarah Benedict. Kalau begitu, kan, sudah lama ia bertemu dengan Kaluna, Damian, juga Lavanya. Ia tidak perlu susah payah mencari keberadaan mereka di seluruh dunia.Hari sudah sore saat Edgar sampai di kediaman Benedict. James, kepala pelayan rumah ayahnya, menyambut kedatangan Edgar."Di mana ayahku?" tanya Edgar tanpa basa-basi, mengabaikan sapaan James.Lelaki pertengahan empat puluh tahun tersebut tidak menjawab segera pertanyaan Edgar, James lebih dulu menginstruksikan dua pelayan yang ikut bersamanya untuk membongkar koper dan tas sang tuan muda dan membawanya ke dalam rumah."Tuan Benedict sedang tidak ada di kediaman saat ini, Tuan Muda," jawab James akhirnya, mengiringi langkah E
Pagi ini Benedict mengajak Kaluna dan cucu-cucunya untuk sarapan bersama di rumahnya. Berbagai macam hidangan yang lebih banyak dan fancy dari biasanya terhidang di meja makan luas itu. Suasanya ramai membuat ruang makan Benedict yang biasanya lengang menjadi terasa lebih hidup."Tell mei, Mio Nipote (Cucuku), kau ingin hadiah apa dari Nonno (Kakek) atas kelulusanmu?" Benedict memandang Damian penuh minat di sela sarapan mereka."Nggak perlu berlebihan, Pa. Lagi pula Damian baru lulus TK," timpal Kaluna sebelum si sulung menjawab pertanyaan kakeknya."No, no. Biarkan aku memberi hadiah. Anggap saja sebagai ganti hadiah ulang tahunnya kemarin yang tidak bisa kuberi karena kalian lupa mengundangku," tangkas Benedict dengan sindiran di akhir ucapannya, membuat Kaluna tidak lagi bisa membalas."Come on, Nipote. Kau ingin apa dari Nonno?" ulang Benedict pada Damian."Aku mau lihat pantai, Nonno! Boleh tidak?" sahut Damian setelah melihat maminya mengangguk."Kau ingin ke pantai?" Benedict
Hari ini menandai satu tahun setelah Kaluna, Damian, dan Lavanya menghilang. Dalam kurun waktu tersebut, Edgar tidak pernah putus dan lelah mencari keberadaan mereka. Sudah ia lakukan berbagai macam cara, tapi orang-orang yang sangat dirindukannya itu tak kunjung ia temukan.Sudah Edgar coba bertanya pada sang ayah yang kebetulan juga sudah lama memilih tinggal di Italia sejak pensiun. Tapi yang pria itu dapat hanya bentakan marah saat Benedict Emiliano Mahawira mengetahui kalau kedua cucu tersayangnya hilang dari pengawasan sang anak.Nada jengkel kentara sekali dari suara Benedict saat mereka bertemu sejenak di salah satu restoranfine diningdi pusat ibukota Italia. Edgar saat itu sedang ada urusan bisnis di sana, berniat memperluas cabang perusahaan.Karena dirinya sudah ada di negara tempat Kaluna dan anak-anaknya pertama menghilang tanpa jejak, Edgar memanfaatkan kedatangannya kali itu untuk mencari sekali lagi dalam waktu yang hanya seb