Kalyna merasakan kesadarannya berangsur-angsur kembali. Ia mencoba membuka matanya yang terasa berat, dan begitu berhasil membuka sedikit kedua kelopak matanya ia langsung didera pusing yang sangat hebat karena cahaya terang yang dilihatnya.
Perutnya serasa diaduk, ia mulai merasa mual, dan tanpa aba-aba langsung memuntahkan isi lambungnya. Kalyna bisa mendengar samar-samar suara gaduh di sekitarnya, orang-orang berbicara dengan cepat, pintu digeser, dan badannya yang dituntun untuk kembali berbaring.
“Ibu Kaluna?” panggil seseorang yang terasa berada di samping kiri Kalyna. “Ibu Kaluna?” orang itu kembali memanggil.
Kalyna kembali mencoba membuka matanya, kini dengan pengelihatan yang lebih baik, matanya mulai menyesuaikan dengan cahaya di ruangan. Ia mencoba berkedip beberapa kali, pandangannya yang buram mulai tampak jelas. Kalyna mendapati seorang pria peruh baya dengan wajah serius tengah menatapnya. Ingin bertanya, tapi tenggorokannya terasa perih, jadi ia memilih berkedip dengan pelan.
“Syukurlah Ibu sudah sadar,” pria itu mengangguk dengan senyum tipis dan mulai mengeluarkan benda serupa pena dari jas putihnya serta memasang stetoskop. “Saya periksa sebentar ya, Bu.”
Setelah melakukan pemeriksaan singkat, pria itu tampak berbicara pada beberapa orang di sekitarnya, yang Kalyna duga sebagai perawat. Ia sendiri tak paham apa yang disampaikan oleh pria itu.
Wanita itu memilih untuk mengamati ruangan tempatnya berada saat ini. Dinilai dari bentuk pintu, warna dinding, beberapa peralatan medis, dan orang-orang yang mengelilinginya saat ini, Kalyna yakin ia sedang berada di salah satu ruang rawat inap di rumah sakit.
Pria yang memeriksanya tadi—mungkin dokter yang menangani Kalyna—meninggalkan kamar setelah selesai memberi penjelasan dan instruksi. Seorang perawat perempuan membersihkan sisa-sisa cairan muntah dari sekitar mulut Kalyna, seorang lainnya mulai mengganti selimut yang sudah kotor, dan satu orang perawat terakhir menyuntikkan sesuatu pada cairan infus Kalyna.
Selesai dengan tugas masing-masing, para perawat itu pamit undur diri, mereka membungkuk sopan pada Kalyna dan pada seseorang yang baru disadari keberadaannya oleh gadis itu.
Orang itu berjalan mendekati ranjang, dan Kalyna hanya meliriknya dari ujung mata. Seorang pria, mengenakan setelan jas abu-abu dan jam tangan perak yang terlihat mahal.
Kalyna mencoba mendongak untuk melihat wajah pria itu, tapi matanya semakin terasa berat, sepertinya salah satu perawat menyuntikkan obat yang membuatnya mengantuk pada infusnya.
Sebelum Kalyna kembali tertidur, ia merasakan tangannya digenggam pelan, dan sayup-sayup didengarnya pria itu berkata,
“… syukurlah, Luna, syukurlah…”
**
Selama beberapa hari kemudian, kondisi Kalyna berangsur membaik. Seiring dengan peningkatan itu, Kalyna pelan-pelan mulai menyadari berbagai kejanggalan yang ia alami.
Satu, orang-orang yang ditemuinya terus memanggilnya dengan nama Kaluna dan Osmond, di mana nama itu jelas bukan namanya meskipun terdengar cukup familiar.
Kedua, ia mendapatkan fasilitas dan pelayanan rumah sakit yang luar biasa mewah. Kalyna ingat betul kalau ia bukan berasal dari keluarga yang sanggup mengeluarkan uang sangat-sangat banyak untuk biaya perawatan rumah sakit. Ia saja selalu menggunakan kartu BPJS selama ini saat pergi ke rumah sakit maupun puskesmas.
Seingatnya pula, ia tidak memiliki teman dari kalangan atas yang bisa dengan sukarela membiayai perawatan kesehatannya setara perawatan first class.
Ketiga, setelah ia tersadar dari koma, begitu kata Dokter Rahadi—dokter yang bertanggung jawab menanganinya, Kalyna tidak mendapati orang-orang yang dikenalnya datang menjenguk. Entah itu teman-teman yang dikenalnya di indekos, maupun teman-teman kantornya, tidak ada yang datang.
Keempat, Dokter Rahadi mengatakan bahwa ia mengalami koma karena terjatuh dari tangga lantai dua rumahnya. Selain memar dan lecet, tulang kering kaki kanan yang retak, ia juga mengalami gegar otak berat.
Fakta itu tentu saja membuat Kalyna begitu bingung, karena seingatnya ia tidak memiliki rumah tingkat, kamar kosnya pun berada di lantai dasar, dan ia yakin sebelum kehilangan kesadaran ia ditabrak oleh truk kuning, bukan jatuh berguling dari tangga.
Semua kejadian yang dialaminya beberapa hari ini, termasuk fakta-fakta tidak masuk akal yang diungkap, juga keyakinan akan fakta dalam dirinya sendiri, membuat Kalyna nyaris gila.
Kalau semua orang mengatakan hal-hal yang bertentangan dengan apa yang diyakininya, lalu mana yang merupakan sebuah kebenaran?
Kalau ia bukan Kalyna, lalu siapa Kaluna yang selalu disebut orang sebagai dirinya? Semakin lama memikirkannya semakin ia tidak mendapat jawaban.
Memutuskan untuk berpikir dengan kepala dingin dan tenang, Kalyna akhirnya mencapai kesimpulan bahwa ia sekarang tidak lagi menempati raga seorang Ayudia Kalyna Prameswari, melainkan seseorang dengan identitas Kaluna Osmond, sejauh yang ia ketahui selama beberapa hari terbangun dari komanya.
Tapi hanya itu saja, Kalyna hanya mengetahui nama pemilik tubuhnya dan tidak ada lagi yang lainnya. Ia sudah mencoba bercermin, kalau-kalau wajahnya saat ini dapat ia kenali, tapi nyatanya tidak, wajah itu hanya terasa familiar.
Kulit putih pucat, lesung pipi di sebelah kanan, mata hazel, hidung mungil tapi mancung, dan rambut bergelombang sepunggung yang berwarna ash brown.
Seluruh fitur wajahnya terasa asing, kecuali pada bagian mata. Warna mata gadis bernama Kaluna ini sama dengan warna matanya di raga aslinya.
Dua hari berlalu, dan Kalyna belum juga menemukan informasi baru mengenai siapa Kaluna Osmond ini, siapa keluarganya, dan berada di dimensi dunia mana kini ia berada.
Kurangnya informasi yang dapat dicarinya juga karena keterbatasan Kalyna dalam berkomunikasi selama beberapa hari terakhir. Suaranya seolah-olah menghilang setelah ia tersadar dari koma, tenggorokannya terlalu kering karena cukup lama tidak terkena air.
Mengeluh pun percuma, ia hanya perlu menikmati dan fokus pada proses pemulihannya sehingga dapat kembali sehat dengan cepat. Setelah itu baru ia akan mencari banyak informasi yang dibutuhkan dan mengurai benang kusut dalam otaknya.
Sampai satu hari, pria berjas yang menemaninya di hari pertama ia tersadar, datang lagi untuk menjenguknya setelah beberapa hari tak terlihat. Kali ini pria itu tidak datang sendiri, ada dua anak kecil dengan wajah yang begitu menggemaskan di kanan-kirinya.
Satu anak laki-laki berusia sekitar lima tahun yang menggandeng tangan pria itu, dan satu anak perempuan lebih kecil yang sekiranya berumur dua atau tiga tahun menggandeng tangan si anak lelaki.
Ternyata pria itu hanya mampir sebentar untuk mengantarkan dua anaknya, kemudian pamit untuk kembali ke kantor dan berjanji akan datang lagi malam hari.
Entah kenapa, Kalyna merasakan ikatan yang cukup kuat antara dirinya dengan kedua anak yang diantar pria itu. Keduanya sudah memandangi Kalyna dengan binar kerinduan sejak pertama kali mereka bersitatap. Yang lebih mengejutkan, dua anak itu memanggil Kalyna dengan sebutan Mami Luna.
Perasaan aku belum pernah jebol gawang, deh. Masa udah dipanggil Mami aja sekarang?
Meski masih kebingungan, Kalyna tetap menanggapi kedua anak itu dengan tenang. Mereka mulai berbincang ringan dengan posisi anak laki-laki itu duduk di kursi samping ranjangnya, sedangkan adiknya duduk di ujung ranjang dekat kakinya yang tidak terluka.
“Mam, kapan boleh pulang sama Pak Dokter? Abang sama Adek kangen tidur bareng Mami,” anak laki-laki yang menyebut dirinya ‘Abang’ itu menatap Kalyna penuh harap.
“Sabar ya, nanti kalau Pak Dokter bilang... em, ehm... Mami udah sehat, baru bisa pulang,” Kalyna menjawab dengan ringisan, tidak terbiasa dan merasa geli menyebut dirinya dengan sebutan Mami.
“Sehatnya itu kapan, Mam? Kan, Mami udah lama tinggal di rumah sakitnya. Kenapa belum sehat juga?” si Abang bertanya lagi, seolah benar-benar ingin Kalyna segera pulang ke rumah mereka.
Kalyna sendiri merutuk dalam hati karena pertanyaan pintar anak itu. Meski menyukai anak kecil, ia tidak terlalu sering berinteraksi dengan mereka sehingga terkadang bingung harus bersikap seperti apa atau menjawab bagaimana jika ada anak yang bertanya hal sulit.
Maka saat ini, Kalyna akan menggunakan jawaban andalannya jika ditanya hal yang tidak diketahui, yaitu dengan melemparkan jawaban ke orang lain. “Kalau gitu, kita nanti tanya Papi ya, kapan Mami bisa pulang.”
“Maksudnya Papa?” anak laki-laki itu membetulkan.
“Eh, iya, nanti kita tanya Papa,” Kalyna mengangguk kikuk. Mana tahu ia soal panggilan pria itu, dikiranya kalau ia Mami maka pria itu pasti sang Papi.
“Abang sama Adek selama ditinggal Mami baik, kan?” Kalyna mencoba berbasa-basi setelah beberapa saat tidak ada yang bersuara. Ia menatap anak laki-laki di sampingnya yang asyik memainkan kaki dan anak perempuan di ujung ranjangnya yang sibuk menarik-narik kecil selimut.
“Baik Mam, Abang kemarin dapet bintang paling banyak buat tugas menggambar,” anak laki-laki itu tiba-tiba bersemangat menceritakan hasil gambarannya yang dinilai bagus oleh sang guru.
Kalyna menikmati cerita anak itu dan berbagai ekspresi lucu yang ditunjukkannya saat bercerita.
“Abang, Mami lupa nih, nama lengkap Abang sama Adek siapa, sih?” Kalyna akhirnya tidak bisa menahan penasarannya akan kedua nama anak itu, siapa tahu nama mereka juga terdengar familiar, syukur-syukur memberinya petunjuk akan identitasnya saat ini.
Meskipun merasa heran, anak laki-laki itu tetap menjawab, “Nama Abang Damian Emiliki Mahawira, panggilan Abang kalau di sekolah Damian, kalau dirumah Ian. Nama Adek Lavanya Shaenette Mahawira, panggilannya Lava, kalau nama Papa Edgar Emiliano Mahawira.”
Kalyna terkekeh garing karena merasa anak laki-laki itu sepertinya tau ia tidak mengingat nama ayahnya pula, sehingga ia turut menyebutkannya. Hebat juga anak seusianya dapat menebak jalan pikiran Kalyna, ditambah menyebutkan nama-nama sulit dan panjang itu dengan lancar, pasti otak anak itu cemerlang.
Kalau dipikir-pikir semua nama itu terasa tidak terlalu asing, apalagi nama Edgar, terasa bergema di dalam kepalanya.
“Nama Mami, Kaluna Hermione Osmond. Mami itu adik Mama, Mama Elvina,” secara tak terduga Damian melanjutkan menyebut nama Kaluna dan Mamanya.
“Sebentar, Abang. Mama Abang, Mama Elvina?” Kalyna bertanya saat menemukan kejanggalan. Damian mengangguk mengiyakan.
“Kenapa Mami dipanggil Mami sama Abang? Kan, masih ada Mama Elvina?”
Wajah Damian menjadi murung. “Kan, Maminya Abang sama Adek sekarang Mami Luna. Mama itu udah di surga, udah jadi malaikatnya Tuhan,” jawaban Damian membuat Kalyna seketika tertegun.
Otaknya perlahan mulai kembali bekerja, menghubungkan kejadian, fakta-fakta yang didapatnya selama beberapa hari ini, dengan nama-nama yang baru disebutkan oleh Damian. Ada dua nama yang kini terasa makin jelas dalam ingatannya.
Kaluna Hermione Osmond.
Edgar Emiliano Mahawira.
Kaluna Osmond.
Edgar Mahawira.
Begitu otaknya mencocokkan semua, tubuh Kalyna bersandar lemas pada bagian atas ranjang yang dinaikkan. Matanya menatap langit-langit kamar ruang rawatnya penuh ketidakpercayaan.
“Mustahil,” bisiknya nyaris tak terdengar. Otaknya terus memutar dua nama itu seperti kaset rusak. Tak berapa lama ia terduduk tegak dan mulai mengacak rambutnya frustasi.
Rupanya Kaluna Osmond yang terasa familiar ini adalah salah satu tokoh dari komik
favoritnya semasa kuliah dulu. Komikdengan judul “Lily Princess” yang menemaninya bersantai di tengah badai tugas kuliah yang tidak pernah surut, cerita romansa ringan yang bisa membuatnya tersenyum dan berandai-andai indah tentang kisah cinta.Kisah klise dengan tokoh utama perempuan semurni bunga lili, tokoh utama pria sedingin gunung salju bagi orang lain dan sehangat matahari pagi untuk sang tokoh utama perempuan, serta tokoh utama antagonis yang semenyedihkan bunga sweet pea yang berarti perpisahan.
Dan ia, kini menjadi sosok menyedihkan itu, sang antagonis “Lily Princess”, yang kisahnya digambarkan penuh ironi, campuran antara rasa iri-dengki, obsesi, dan kesepian. Menciptakan tokoh Kaluna Hermione Osmond yang dibenci sekaligus dikasihani.
***
Komik berjudul “Lily Princess” merupakan cerita romansa klise zaman ini dengan konflik yang klise pula. Ringan, mudah dinikmati. Tapi, faktor utama yang membuat Kalyna begitu menyukai komik tersebut adalah karena gambarnya yang sangat cantik dan memukau. Ia bisa betah memandangi satu panel dalam komik itu bermenit-menit, memperhatikan detail gambar dan mengaguminya. Tokoh utama dalam cerita “Lily Princess” bernama Liliana Revalina Johnson, mahasiswi jurusan Manajemen Bisnis di salah satu universitas yang cukup terkenal di Jakarta. Ya, komik itu merupakan karya asli anak bangsa dan sangat populer di kalangan pembaca. Lili, begitu ia disapa—sesuai dengan judul ceritanya, memiliki kepribadian positif, baik hati, dan menyenangkan. Lili pandai mengambil perhatian dan simpati publik, selayaknya tokoh protagonis utama dalam cerita-cerita. Sosok Lili digambarkan sebagai perempuan dengan tubuh mungil, mata bulat yang selalu tampak berbinar, wajah oval yang sempurna, dan rambut lurus panjang
Note: Penyebutan tokoh Kalyna sekarang telah berubah menjadi Kaluna. Kaluna melirik Edgar dan Liliana yang kini duduk di kursi samping ranjang. Kursi itu memang cukup panjang dan muat untuk diduduki dua orang. Tapi karena postur tubuh Edgar cukup kekar, mereka tampak duduk menempel layaknya perangko dan kertas, rapat sekali. Kaluna tidak bisa mengelak bahwa pemandangan di sampingnya sedikit membuat jengah. Please deh, itu di sisi ranjang seberang masih ada satu kursi single satu. Kenapa pula dua-duanya harus duduk di sana. Kaluna melemparkan pandangan tidak nyaman pada kedekatan Edgar dan Liliana. Meskipun jiwanya telah berganti, tapi sepertinya perasaan jiwa Kaluna yang asli masih banyak tertinggal, itu mengapa ia merasa tidak senang dengan kedekatan keduanya. Edgar sepertinya menyadari tatapan Kaluna dan memutuskan untuk pindah ke kursi di sisi lain ranjang. Mengamati ekspresi wajah Kaluna yang berangsur tenang, Edgar mulai berbicara. “Lili bilang ingin menjengukmu, jadi kubaw
Sudah beberapa hari terlewat dari kunjungan kejutan Damian, Lavanya, Edgar, juga Liliana. Kaluna berdoa agar Liliana tidak lagi memiliki niatan untuk menjenguknya karena ia belum merasa siap berhadapan lagi dengan sang tokoh utama. Kedatangan Liliana bersama Edgar waktu itu meninggalkan perasaan tidak nyaman yang cukup mengganggu. Kaluna tahu kalau jiwanya tidak pernah mengenal sosok Liliana sejauh jiwa asli yang selama ini berperan dalam melakukan segala tindakannya pada mahasiswi Edgar itu. Meskipun begitu, Kaluna terus-terusan merasakan ujung jari-jarinya terasa gatal untuk meremas sesuatu saat bayangan wajah lugu Liliana tidak sengaja terlintas di benaknya. Hari ini, Kaluna membuat otaknya bekerja keras untuk memikirkan seluruh fakta yang sejauh ini berhasil ia dapatkan. Wanita muda itu mencoba mencari tahu sampai mana alur cerita komik “Lily Princess” ini sudah berlangsung melalui orang-orang di sekitarnya. Sejauh ini semua informasi yang didapat Kaluna dari dokter dan para pe
Esok paginya, ia mendapati seorang wanita paruh baya yang dikirim Edgar melalui asistennya untuk membantu mengurus keperluannya selama dirawat di rumah sakit. Selama membantu Kaluna, wanita yang dipanggil Bu Rini itu terlihat sangat terampil dan berpengalaman. Kaluna menjadi salut pada kerja keras asisten Edgar dalam menemukan dan merekrut orang seahli itu dalam hitungan jam. Tentu saja Kaluna yakin uang yang tidak sedikit banyak berperan di dalamnya. Kaluna berdecak, hidup orang kaya memang enak, asal uang terus mengalir, aku minta dibangunkan seribu candi dalam semalam pun sepertinya akan terkabul, batinnya ngawur. Hari-hari Kaluna selanjutnya hanya berisi kegiatan pemulihannya. Edgar tak lagi datang berkunjung, mungkin sedang sibuk dengan berkas-berkas perusahaan, atau sibuk menyenangkan hati mahasiswi favoritnya. Ia refleks mendengus begitu teringat pertemuan pertamanya dengan Liliana, sikap gadis itu terasa terlalu janggal bagi Kaluna. M
Saat mobil memasuki kawasan perumahan tempat rumah utama keluarga Mahawira berada, Kaluna tidak berhenti untuk membuka mulutnya takjub. Ia mengetahui jika di dunianya dulu ada beberapa perumahan elit di daerah Jakarta yang mirip seperti kawasan perumahan ini. Meski tidak seratus persen sama, tapi sepertinya penulis cerita memang mengambil referensi dari salah satu kompleks perumahan elit yang cukup terkenal akan kemewahannya di dunia nyata. Untuk mencapai area perumahan, mobil yang dinaiki Kaluna harus melewati gerbang dengan keamanan yang cukup ketat. Orang yang ingin masuk ke area perumahan itu harus memiliki kartu akses khusus, kartu dengan barcode itu akan discan pada bagian security untuk membuka gerbang. Satu hal itu saja sudah membuat Kaluna takjub, tetapi saat mobil mulai memasuki area dalam gerbang, ia merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Setelah gerbang utama, ada jalan dua arah sepanjang tiga ratus met
Edgar memperhatikan suasana ruang makan yang lebih ramai dan hangat dari biasanya. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak makan bersama di ruang makan ini. Sejak Elvina pergi, rumah ini terasa jauh lebih kosong dan sepi, setidaknya bagi Edgar. Ia jarang berada di rumah dan lebih suka menyibukkan diri di kantor pusat maupun ruang dosennya di kampus. Edgar semakin merasa enggan menginjakkan kaki di rumah semenjak sikap Kaluna yang berubah terhadapnya. Wanita muda yang memutuskan menetap di rumahnya itu semakin bertindak seolah-olah ia telah menjadi nyonya rumah menggantikan sang kakak. Awalnya Edgar membiarkan, ia berpikir jika anak-anaknya tidak akan terlalu bersedih dan kesepian dengan kehadiran Kaluna setelah Elvina tiada. Selama istrinya masih hidup, adik iparnya itu sudah sering menginap untuk membantu Elvina mengurus Damian. Kesibukan Kaluna memang tidak sepadat Elvina yang mengurus galeri perhiasan keluarga mereka. Orang tua Elvina dan Kaluna sudah lama berpulang, meninggalk
Selepas kepergian Edgar dan Liliana, Kaluna memutuskan untuk istirahat. Awalnya ia ingin menemani Damian dan Lavanya bermain, tetapi Damian bersikeras agar ia beristirahat di kamar, anak itu keukeuh jika Kaluna tidak boleh banyak-banyak beraktivitas agar lekas sembuh.Selain itu, pengasuh Damian juga Lavanya—yang bernama Mbak Lala dan Mbak Mara—juga mengatakan kalau kedua anak itu harus tidur siang, jadilah Kaluna mengalah untuk istirahat.Bu Rini mengantar Kaluna menuju kamarnya di lantai dua. Semua kamar penghuni rumah ini memang terletak di lantai dua, kecuali kamar tamu yang terletak di lantai dasar, sedangkan para pekerja memiliki kamar masing-masing di paviliun khusus yang dibangun tidak jauh dari rumah utama, tepatnya di belakang kebun rumah."Kalau di lantai tiga ada ruangan apa aja, Bu?" tanya Kaluna saat mereka keluar dari ruang makan.Meski sedikit heran dengan pertanyaan nyonya rumahnya, Bu Rini tetap menjawab sopan. "Ada ruang ker
Edgar pulang ke rumah lebih cepat dari perkiraan jadwalnya. Dia berjalan santai memasuki area ruang keluarga sambil menikmati cahaya keemasan matahari sore yang masuk dari jendela-jendela besar di sekeliling ruang keluarga. Dua orang pelayan tak sengaja berpapasan dengan Edgar dan berhenti sejenak untuk memberi salam. “Untuk siapa itu?” tanya Edgar menunjuk nampan berisi beberapa jenis kue, seteko besar minuman infused water dingin, dan tiga buah gelas pada nampan lainnya. “Untuk Nyonya, Tuan Muda, dan Nona, Tuan,” jawab satu dari mereka sopan. Edgar mengernyit, “Kaluna yang memintanya sendiri? Atau anak-anak?” “Bukan, Tuan. Selepas makan siang tadi Nyonya menemui kepala koki untuk berterima kasih atas menu makan siang yang enak. Chef Hardy sangat senang dan bersyukur jika Nyonya menyukai masakannya, jadi dia membuatkan beberapa kue untuk menemani waktu sore Nyonya sebagai ungkapan terima kasih.” Mendengar penjelasan
"Abang, Kak Lava, tolong bantu Arlo cari sepatu yang udah Mami siapin kemarin, ya. Mami mau urus Adek Sean dulu," Kaluna melongok ke ruang bersantai di lantai dua tempat Damian dan Lavanya berada."Okay, Mam," Damian meninggalkan tabletnya di atas sofa dan menarik tangan Lavanya yang masih asyik menonton tayangan televisi di depan."Abang! Nanggung ini, bentar lagi selesai acaranya!" Lavanya bersungut, berusaha menarik tangannya dari tarikan Damian."Mami udah capek-capek ke sini buat minta tolong, lho, Va," Damian tetap tidak melepaskan tangan sang adik dan semakin berusaha menariknya, meski tidak kuat. "Ayo, ah. Itu tontonan besok juga bisa diulang lagi."Akhirnya dengan ogah-ogahan Lavanya bangkit dari posisi nyamannya dan mengikuti sang abang menuju kamar adik mereka di lantai yang sama."Arlooo," Lavanya memanggil saat Damian membuka pintu kamar Arlo di samping kamar orang tua mereka.Tampak seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang sudah rapi dengan setelan tuxedo-nya sedan
"Kau yakin tidak ingin tinggal di sini saja, Dear?" Benedict menatap Kaluna penuh harapan.Sudah beberapa hari berlalu sejak lamaran tidak romantis Edgar pada Kaluna. Setelah itu mereka berdiskusi dengan serius tentang rencana kepulangan Kaluna dan anak-anak. Sebagai seseorang yang paling memahami tentang kondisi Damian juga Lavanya, Kaluna mengajukan beberapa pertimbangan pada Edgar.Meski selama satu tahun ini terapi Damian dan Lavanya berjalan baik di tangan Luca, tapi tidak menutup kemungkinan trauma mereka dapat muncul kembali saat dihadapkan dengan situasi atau lokasi tertentu. Seperti kolam renang di rumah mereka misalnya.Kaluna tidak ingin kepulangan mereka berbalik menjadi hal yang menyulitkan bagi Damian maupun Lavanya. Dengan segala kekhawatiran tersebut, Kaluna jadi banyak berpikir ulang tentang kembalinya mereka.Di tengah dilemma yang melanda, Edgar menggenggam kedua tangan Kaluna dan meyakinkan wanita itu, bahwa semua akan baik-baik saja. Edgar berjanji akan mengurus s
Langit sudah gelap meski jam dinding masih menunjuk pada pukul setengah lima petang. Udara di luar menjadi jauh lebih dingin dari siang tadi. Rumah Kaluna sudah temaram, suasana yang sebelumnya ramai kini berubah tenang.Di kamar utama, Damian juga Lavanya sudah lelap dalam tidur. Bergelung nyaman di balik selimut tebal yang membungkus tubuh keduanya. Sisa hari ini mereka habiskan untuk bermain, bercerita, dan menempel pada sang papa.Selepas menghabiskan makan malam yang Kaluna berikan lebih awal, rasa kantuk langsung menyergap dua anak tersebut dengan cepat. Alhasil, Damian dan Lavanya tidur tiga jam lebih awal dari biasanya.Berbeda dengan suasana kamar yang sudah gelap dan sunyi, lampu di dapur masih menyala terang. Di sana tampak Kaluna yang sedang memasak makan malam sederhana, ditemani Edgar yang betah berlama-lama menatap punggung sang wanita dari kursipantry.Makan malam Damian dan Lavanya tadi hanyalah sisa dari menu makan s
Udara di luar semakin dingin, Damian dan Lavanya sudah berhenti bermain salju sejak beberapa menit yang lalu. Keduanya kini bergabung dengan Luca yang menggantikan Kaluna untuk mengawasi mereka bermain."Kenapa Uncle kemari?" tanya Damian dengan nada kesal setelah menyesap cokelat hangat dari tumblr miliknya."Kenapa? Tentu saja karena aku merindukan kalian," Luca menebar senyuman ramahnya. "Teganya kalian berlibur tanpa mengajakku ikut serta," sambungnya pura-pura merajuk.Damian langsung mengernyitkan dahinya mendengar gaya bicara Luca yang diimut-imutkan. Ekspresi tidak senang kentara sekali terlihat di wajahnya."Kalau Uncle ikut, semuanya jadi nggak seru. Iya, kan, Dek? No Uncle, more fun, right?" Damian menole pada Lavanya, meminta dukungan sang adik.Dan tentunya Lavanya langsung mengangguk setuju tanpa berpikir lebih lama. "No Uncle, more fun!" sahutnya dengan senyuman lebar.Luca seketika mencebik. Susah sekali mengambil dua hati anak itu."Mami mana? Kenapa tidak kembali-kem
Mulut Kaluna terbuka sebelum akhirnya tertutup kembali. Ia terlalu terkejut dengan keberadaan Edgar di balik pintu rumahnya. Kaluna tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun.Tidak. Lebih tepatnya, Kaluna bingung harus mengatakan apa pada Edgar.Buongiorno? Halo? Lama tak jumpa?Semuanya tidak ada yang terasa tepat. Terlebih dengan adanya masalah yang belum juga selesai di antara keduanya.Jadi, Kaluna hanya diam, memandangi wajah Edgar lurus-lurus. Pria itu tampak lebih kurus dari terakhir kali Kaluna mengingatnya. Gurat letih tampak jelas di garis-garis wajahnya. Kaluna juga dapat melihat dengan jelas kantung mata Edgar yang menghitam juga tebal.Edgar bahkan membiarkan rambut-rambut tumbuh di sekitar mulut dan dagunya. Pria itu sekarang memiliki brewok tipis yang entah mengapa membuatnya tampak berkali lipat lebih berkharisma.Kaluna buru-buru mengerjap dan berdehem, mengalihkan pandangannya dari wajah Edgar yang masih dipenuhi sen
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu oleh Edgar akhirnya tiba.Pagi tadi, James memberi kabar kalau Benedict akan kembali dan tiba di kediaman sore ini. Jadi begitu mobil pria tua tersebut memasuki halaman, Edgar sudah berdiri di samping James, siap menyambut kedatangan Benedict di teras."Oho! Lihat siapa yang menyambutku di sini!" sahut Benedict terkesan, begitu dirinya keluar dari mobil dan mendapati putranya bersandar di pilar teras dengan kedua tangan bersedekap di dada."You've really tested my patience these past few days," Edgar menyorot Benedict dengan tatapan tidak bersahabat.Benedict hanya tertawa sambil menepuk-nepuk pundak sang anak, lalu dirinya melenggang masuk begitu saja. Edgar menghembuskan napas lelah sebelum menyusul sang ayah ke dalam."Di mana Kaluna sama anak-anak saya?" tanya Edgar tidak sabar."Seriously, Son?" masih tetap melanjutkan langkahnya menuju kamar utama, Benedict menanggapi sang ana
Meskipun merasa luar biasa lelah setelah terbang lebih dari dua puluh jam menuju Italia, Edgar tidak mau membuang waktunya lebih banyak lagi. Pria itu memilih langsung memesan taksi di bandara, bergegas untuk menyambangi rumah sang ayah.Harusnya dulu Edgar mempercayai instingnya saja dan mengabaikan amarah Benedict. Kalau begitu, kan, sudah lama ia bertemu dengan Kaluna, Damian, juga Lavanya. Ia tidak perlu susah payah mencari keberadaan mereka di seluruh dunia.Hari sudah sore saat Edgar sampai di kediaman Benedict. James, kepala pelayan rumah ayahnya, menyambut kedatangan Edgar."Di mana ayahku?" tanya Edgar tanpa basa-basi, mengabaikan sapaan James.Lelaki pertengahan empat puluh tahun tersebut tidak menjawab segera pertanyaan Edgar, James lebih dulu menginstruksikan dua pelayan yang ikut bersamanya untuk membongkar koper dan tas sang tuan muda dan membawanya ke dalam rumah."Tuan Benedict sedang tidak ada di kediaman saat ini, Tuan Muda," jawab James akhirnya, mengiringi langkah E
Pagi ini Benedict mengajak Kaluna dan cucu-cucunya untuk sarapan bersama di rumahnya. Berbagai macam hidangan yang lebih banyak dan fancy dari biasanya terhidang di meja makan luas itu. Suasanya ramai membuat ruang makan Benedict yang biasanya lengang menjadi terasa lebih hidup."Tell mei, Mio Nipote (Cucuku), kau ingin hadiah apa dari Nonno (Kakek) atas kelulusanmu?" Benedict memandang Damian penuh minat di sela sarapan mereka."Nggak perlu berlebihan, Pa. Lagi pula Damian baru lulus TK," timpal Kaluna sebelum si sulung menjawab pertanyaan kakeknya."No, no. Biarkan aku memberi hadiah. Anggap saja sebagai ganti hadiah ulang tahunnya kemarin yang tidak bisa kuberi karena kalian lupa mengundangku," tangkas Benedict dengan sindiran di akhir ucapannya, membuat Kaluna tidak lagi bisa membalas."Come on, Nipote. Kau ingin apa dari Nonno?" ulang Benedict pada Damian."Aku mau lihat pantai, Nonno! Boleh tidak?" sahut Damian setelah melihat maminya mengangguk."Kau ingin ke pantai?" Benedict
Hari ini menandai satu tahun setelah Kaluna, Damian, dan Lavanya menghilang. Dalam kurun waktu tersebut, Edgar tidak pernah putus dan lelah mencari keberadaan mereka. Sudah ia lakukan berbagai macam cara, tapi orang-orang yang sangat dirindukannya itu tak kunjung ia temukan.Sudah Edgar coba bertanya pada sang ayah yang kebetulan juga sudah lama memilih tinggal di Italia sejak pensiun. Tapi yang pria itu dapat hanya bentakan marah saat Benedict Emiliano Mahawira mengetahui kalau kedua cucu tersayangnya hilang dari pengawasan sang anak.Nada jengkel kentara sekali dari suara Benedict saat mereka bertemu sejenak di salah satu restoranfine diningdi pusat ibukota Italia. Edgar saat itu sedang ada urusan bisnis di sana, berniat memperluas cabang perusahaan.Karena dirinya sudah ada di negara tempat Kaluna dan anak-anaknya pertama menghilang tanpa jejak, Edgar memanfaatkan kedatangannya kali itu untuk mencari sekali lagi dalam waktu yang hanya seb