Amelia memeluk pinggang suaminya erat, cuaca dingin membuatnya enggan bangun. Tapi bunyi perut memanggil minta di isi.
"Kau lapar sayang?" Tanya Ryan.
"Heem," tapi Amelia malah mengeratkan pelukanya di pinggang suaminya. Sepertinya tubuhnya merasa ingin di manja suaminya.
"Baiklah, aku kan masak sarapan pagi untukmu." ucap Ryan mengecup puncuk kepala Amelia. Terpaksa ia lepaskan pelukanya dan membiarkan suaminya beranjak. Sesekali di layani suami bolehkan? Pikir Amelia.
Ryan beranjak menuju dapur, membuka kulkas. Di dalam masih ada sayuran juga bakso. Terlintas dalam benak Ryan membuat Mie goreng. Bahan- bahan ia racik. Tak butuh waktu satu jam, mie goreng terhidang di meja. Aroma mie goreng mengocok perut Amelia membuatnya ia semakin lapar. Tapi sebelum sarapan ia mandi dulu. Mereka menikmati sarapan bersama.
Mentari mulai menampakan sinarnya, menghangatkan
Ada suara ketukan pintu dari luar, Amelia melangkah menuju pintu. Di bukanya pintu ada amplop warna coklat tergeletak di bawah pintu. Kening Amelia terhenyit. Siapa yang meletakan di sini? Apa ini punya Mas Ryan? Gumam Amelia dalam hati. Ia segera mengambil hp dan menghubungi suaminya. "Mas Ryan, ada amlop coklat di depan pintu. Apa ini berkas kantor?" "Sebentar, aku periksa berkas," ucap Ryan sambil tangan kirinya meneliti berkas di meja kantornya. "Nggak ko , udah ya sayang, sebentar lagi mau meeting dulu sama klien." ucap Ryan kemudian menutup teleponya. Sekertaris udah menunggu untuk meeting dengan klien dari Vietnam. "Hemmm, lagi sibuk ya," gumam Amelia kemudian meletakan hpnya di sofa tempat dirinya duduk. Ia memegangi amlop coklat di tanganya. Tak ada pengirimnya. Tapi Alamatnya tertuju padanya.
Ryan menagkup wajah istrinya, tak tau gerangan apa yang membuatnya menangis. "Mas Ryan makan dulu, ada yang ingin aku tanyakan?" Amelia menyodorkan nasi beserta lauknya. "Mas, tak selera makan sayang, Ada apa matamu sembab seperti habis menangis?" ucap Ryan memegang jemari istrinya. "Mas Ryan, masih mencintaiku kan, walau aku belum bisa memberikan keturunan?" Ryan makin tak mengerti ucapan istrinya, ia mengusap wajahnya sendiri. "Amelia, istriku sayang, kamu kenapa? Ada yang mengangu pikiranmu? Cerita ama mas. sayang," Ryan merangkul Amelia menuju ruang tengah. Mereka duduk berdampingan di sofa. Mata Ryan menangkap amlop yang tadi pagi di tanyakan padanya. Ryan membuka Amlop. Betapa terkejutnya Ryan, saat melihat foto- foto di tanganya. Pasti ini yang membuat Amelia menangis. "Ini foto dari mana? Siapa yang mengi
Lia diam saja tak menghiraukan protes anaknya. Ryan di buat dongkol akan rencana Ibunya. 'Huuh, Ibu ada- ada aja memanggil Tania batin Ryan sewot. Ryan konsentrasi Nyetir, Mamanya fokus melihat jalanan, tak menghiraukan emosi anaknya. Merasa menyesal tak mengajak Amelia bersamanya. Mereka sampai di rumah, Mang ujang udah membukakan pintu gerbang. Tak lupa menyapa kedua majikanya. Ternyata Tania sudah ada di teras depan menunggu sedari tadi. 'Busyet gercep amat datangnya' batin Ryan. "Hallo Tante Lia, sakit apa?" Sapa Tania lebay dan melirik Ryan. Ryan tak ingin memandang tania. Tingkahnya membuat dia eneg, melanjutkan langkah menuju kekamar. "Kenapa Ryan ketus amat, Tante?" "Biarinlah jangan pedulikan dia," balas Lia. "Gimana jalankan aksi kita malam ini?" "Sabar dulu Tania sayang, Tante ben
Tania gelisah tidur di samping Lia, tapi Lia sudah terlelap dalam mimpi indahnya. Mata tak bisa terpejam, padahal waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam. Ia beranjak dari tidurnya. Ingin membangunkan tubuh Lia menemani rencana malam ini, tapi tak tega. Tapi di dalam hatinya ia membulatkan tekad menjalankan rencana malam ini. 'Aku tak boleh gagal, harus berhasil malam ini' batin Tania. Segera beranjak menyingkap selimutnya. Ia turun ke bawah. Masih ada suara televisi menyala. Tania berjalan menyusuri tangga. Melihat dari dekat, siapa gerangan yang masih nonton tv. Ryan yang sedang menikmati acara bola. Pertandingan MU dan Arsenal. 'Ini kesempatan bagus' batin Tania. "Hai Mas Ryan, mau ku temani? Sapa Tania bersikap seramah mungkin serta senyum tak lepas dari bibirnya. Ryan mendongak mendengarkan sumber suara. Tapi matanya segera mengalihkan panda
Ryan tampak frustasi mengacak rambutnya, Ia merasa tidak melakukan apa di tuduhkan padanya. Tapi saat ini tak ada yang percaya padanya. Saat tubuh polos Tania meringkuk di bawah selimut. Itu menjadi sebuah bukti.'Lalu bagaimana perasaan Amelia, dalam sekejap perasaan akan hancur tak bersisa' batin Ryan mengacak rambutnya sendiri.Ia melihat Tania tak merasa sedih kehilangan kegadisanya. Seakan dia telah menang walau mengorbankan sesuatu yang berharga dalam dirinya.Begitu miris Ryan menatap Tania. Rela melakukan apa saja demi mencapai kehendaknya."Aarrrrggghhh ...."Ryan mengacak rambutnya Frustasi. Merasa jijik terhadap dirinya ia melangkah ke kamar mandi. Menguyur tubuhnya dengan air menghilangkan bekas tubuh Tania.Hendri dan Putri mereka hanya saling diam. Tahu perasaan Adiknya. Betapa Ryan sangat mencintai Amelia. Apa ini semua rencana Tania d
Amelia menatap Hp sejenak. Perasaanya tidak enak, ada sesuatu yang menganjal. Entah apa itu. ia mencoba berpikir positif.'Aah ... mungkin ini hanya perasaanku saja' batin Amelia. Segera ia melanjutkan kembali kerjaan. Saat ini untuk mengalihkan pikiranya Amelia menyetrika baju. Setelah itu ia masukan di lemari. Ada Buku kecil terselip di antara pojokan baju Ryan. Note kecil warna hitam.'Ini buku apa ya?' Tangan Amelia berusaha menyibak lembaran kertas. Nama client, juga nama temen ada di situ. Amelia mengembalikan ke tempat semula.Di kediaman Tania.Tania menginjakan kaki di rumahnya, memanggil Ibunya dengan suara lantang."Mama ...." panggil Tania. Tapi tak kunjung muncul mamanya.Bi ijah datang muncul mendengar suara Majikanya."Ibu Arisan Non, mungkin sebentar lagi pulang Non," ucap Bi Ijah berdiri tak jauh dari Tania.
Ryan duduk menunduk sambil mengengam hp miliknya. Tak ada kata yang ingin terucap, bibirnya kelu. 'Apa dosa di masa lalu hingga punya nasib seperti ini?' Ia mencoba menelan salivanya sendiri. Ketika Mamanya begitu heboh dengan pernikahan ini, beda dengan Papanya juga kakak lelaki satu- satunya. Semua tampak sedih. "Kenapa kalian tampak murung semua? Ayo berangkat sekarang keluarga Tania sudah menunggu !" Mendengar ocehan Mamanya yang bak meriam itu, ia beranjak. Menyeret kakinya yang terasa berat. Ingin rasanya masuk ke lubang tanah dari pada harus menjalani pernikahan yang tak di inginkan ini. Sesak di hati membayangkan wajah Amelia ketika mengetahui dirinya di madu. Ryan melangkah gontai menuju mobjl, Hendri mengusap punggung adik satu- satunya. Tanda untuk bersabar menghadapi semua ini. Mereka akhirnya sampai di rumah Tania. Tak banyak anggota keluarga yan
Ryan mengemasi pakaianya, terlihat Tania berdiri mematung di depan pintu. Menatap nanar di depanya."Sayang, kau tak mengajaku," ucap Tania sedih. Sejak menikah seminggu denganya tak sedikitpun Ryan berbasa basi denganya. Menyentuh pun tidak. Padahal dirinya menginginkan anak dari Ryan."Maaf, aku belum siap bicara sama Amelia,"'Amelia terus yang ada di pikiranmu' batin Tania."Apa aku yang harus bicara dengan Amelia, bahwa kau telah menikah denganku? Tanya Tania mencari belas kasihan dari mata teduh Ryan."Jangan Tania, biar aku sendiri yang bicara dengan Tania,"Untuk saat ini ia tak sanggup melihat air mata di wajah Amelia.'Aah, seandainya kejadian itu tak terjadi, mungkin tak meninggal rasa bersalah ini' batin Ryan. Selesai packing ia keluar kamr. Berniat pamitan dengan kedua orang tuanya.Mereka sedang sarapan pag