Ryan menagkup wajah istrinya, tak tau gerangan apa yang membuatnya menangis.
"Mas Ryan makan dulu, ada yang ingin aku tanyakan?"
Amelia menyodorkan nasi beserta lauknya.
"Mas, tak selera makan sayang, Ada apa matamu sembab seperti habis menangis?" ucap Ryan memegang jemari istrinya.
"Mas Ryan, masih mencintaiku kan, walau aku belum bisa memberikan keturunan?"
Ryan makin tak mengerti ucapan istrinya, ia mengusap wajahnya sendiri.
"Amelia, istriku sayang, kamu kenapa? Ada yang mengangu pikiranmu? Cerita ama mas. sayang," Ryan merangkul Amelia menuju ruang tengah. Mereka duduk berdampingan di sofa. Mata Ryan menangkap amlop yang tadi pagi di tanyakan padanya. Ryan membuka Amlop.
Betapa terkejutnya Ryan, saat melihat foto- foto di tanganya. Pasti ini yang membuat Amelia menangis.
"Ini foto dari mana? Siapa yang mengirim kesini? Amelia mengeleng lemah. Air mata terjun bebas dari pelupuk mata Amelia.
"Kenapa menangis, ini tak seperti yang kau bayangkan, sayang."
Amelia menatap manik mata suaminya. Ada kejujuran di sana.
"Kejadian ini udah lama saat Mama bilang mau ke rumah mu , Tapi saat di tengah jalan Mama bilang ke rumah Tania, ternyata Mama menjebaku. Aku otomatis menolak acara lamaran itu."
"Mama sangat tidak menyukaiku, sampai mas di jebak," ucap Amelia sedih. Ryan menarik tubuh Amelia ke dalam dekapanya.
"Sabar sayang, ini hanya soal waktu. Suatu hari nanti beliau pasti akan menerimamu dengan tangan terbuka." ucap Ryan sambil mengelus kepala Istrinya.
"Amiin, semoga saja."
*****
Di kediaman Orang tua Ryan.
Tania tampak frustasi, segala usaha memiliki Ryan menguap begitu saja. Tak ada tanda- tanda mendapatkan hasil.
"Ini gimana Tante, Ryan susah sekali di pengaruhi, segala cara udah ku coba tapi hasilnya nihil!" Keluh Tania pada Lia. Lia yang duduk tak jauh dari Tania juga tampak berpikir. Menghembus nafas pelan sambil memijit keningnya. Memang mereka susah di pisahkan.
"Tante, ko diam? Bantu Tania mikir dong!"
"Iya, ini juga lagi mikir, kamu ko malah perintah Tante sih? Nggak sopan banget!"
"Hehehe ... maaf tante,"
Beberapa menit mereka terdiam, tenggelam dalam pikiranya masing- masing. Apa Tante lia udah menerima si Amel kampung itu? Pikir Tania. Ia melirik Lia yang sedari tadi memijit keningnya sendiri.
'Apa yang harus aku lakukan?' Batin Tania. Ia pun ikut - ikutan Lia memijit keningnya sendiri. Sebuah ide menyelinap dalam pikiran Tania.
"Bagaimana kalau Ryan kita pelet aja, Tante." ucap Tania. Lia mendongak tak percaya ucapan itu muncul dari mulut orang pendidikan macam Tania.
"Yang benar saja kau, Tania. Ryan mau kau pelet?! Emang segitu aja kemampuanmu sebagai anak berpendidikan, kau juga kan pengacara!"
"Aku tak tau harus gimana lagi Tante,"
Tania mulai melow dan mengharap belas kasihan Lia.
"Diamlah! Mending Tante buatkan kopi, agar Tante bisa berpikir!"
"Kan ada Bi sumi, Tante." Tania membantah.
"Jangan membantah, mau Tante nggak membantu lagi buat mendapatkan Ryan!"
"Iya , Tania buatkan kopi untuk Tante. Kopi yang paling enak!"
Tania kemudian beranjak menuju dapur. Mencari biji kopi dan di gilingnya. Tania tahu cara meracik kopi karena mereka sering membuat kopi bareng. Aroma kopi menyeruak menusuk hidung membuat siapa pun ingin menyesapnya.
Tania menghidangkan di hadapan Lia.
"Ini Tante, kopinya enak banget spesial buat Tante Lia tersayang." Kata Tania lebay.
"Makasih, Tania sayang." Lia menyesap kopi buatan Tania dan memujinya.
"Ini enak, kau pantas menjadi istrinya Ryan!"
"Makasih , aku juga tak sabar jadi menantu Tante." ucap Tania mengelayut di lengan Lia.
"Hemmm,"
Seketika ide di pikiran Lia berjalan, ia membisikan sesuatu ke kuping Tania.
"Bagus juga ide Tante," ucap Tania tersenyum licik.
Lia kemudian menghubungi Ryan, menyuruh pulang tapi sendiri.
****
Ryan merasa keberatan meninggalkan Amelia sendiri di Singapore. Tapi dengan alasan minta cek up ke dokter, juga berkat rayuan maut Ibunya, Ryan menyetujui pulang sendiri tanpa di dampingi Istrinya.
Sebenarnya Amelia merasa punya perasaan tidak enak ketika Ryan bilang ingin menengok Ibunya tapi dirinya tak boleh ikut.
"Mas, Ibu sakit apa? Aku juga ingin menjenguknya!"
"Mama hanya ingin minta di antar chek up, aku juga tidak tau padahal Mas Hendri lebih dekat dengan Mama, dari pada aku yang di Singapore? Tapi ya sudahlah sebagai anak yang baik harus penuhi perintah Mama," ucap Ryan sambil membantu Amelia packing sekedarnya. Karena rencana cuma dua hari.
Amelia menganguk setuju, ia juga tak keberatan Mamanya membutuhkan pertolonganya. Sebagai anak ketika baik harus mematuhi selama itu perintah yang baik.
Amelia mengantar suaminya ke Bandara. Ada rasa tak enak ketika Ryan melambaikan tanganya. Hatinya berdenyut sampai Ryan hilang dalam pandangan. Amelia mendesah.
'Ya Allah, Lindungilah suamiku.' ucap Amelia dalam hati.
Ketika sampai di rumah Orang Tua Ryan, Dia menghubungi dalam keadaan baik saja. Amelia bersyukur mengucap alhamdulilah. Ternyata ini hanya perasaan dirinya saja.
Ryan menghampiri Mamanya yang tengah berbaring. Ryan memeriksa kening dan leher Ibunya. Memang badanya anget.
"Mama sakit apa?" Tanya Ryan, walau kadang Mamanya menyebalkan tapi tetep saja merasa khawatir.
"Ayoo, kita chek up Ma," bujuk Ryan. Melihat wajah Mamanya juga pucat jadi dia merasa Mamanya tidak punya maksud terselubung.
Ryan mengantar Mamanya Chek up ke Rumah sakit. Ketika di Rumah sakit. Lia merasa heran ternyata darah tingi dan kolesterolnya naik. Pantes saja sering pusing akhir- akhir ini. Padahal niatnya ingin menjebak Ryan untuk pulang tapi dirinya beneran sakit.
"Ibu, jangan terlalu banyak pikiran ya, terus kurangi makanan Asin," ucap Dokter cantik itu.
Ryan teringat istrinya yang juga seorang Dokter. Rindu pada Amelia menyelinap ke relung hati Ryan. Ryan melamun sejenak.
Dokter cantik itu menulis resep dan di serahkan pada Ryan.
"Resepnya tebus di Apotek lantai bawah ya,Pak." ucap Dokter cantik itu sopan.
Mereka kemudian menuju ke Apotek di lantai bawah.
Saat Ryan mengambil obat, dirinya tak habis pikir akan terkena darah tinggi. Juga kolesterol dia takut penyakit serius akan menghampirinya. Padahal ada misi besar dalam otaknya.
'Biarlah, nanti minum obat juga sembuh.' Batin Lia, dia tetep akan membuat rencana besar untuk memisahkan Ryan dan Amelja.
Mereka kemudian kembali ke rumah. Lia mengambil hp di tas dan menghubungi Tania.
"Tania, nanti malam ke Rumah ya, Tante lagi sakit, temani Tante," ucap Lia parau. Mengelabui Ryan dengan suara yang menimbulkan belas kasihan.
"Mengapa harus memanggil Tania? Kan ada Ryan juga Papa!" Kata Ryan tak terima ada Tania saat Istrinya tak ada.
"Papa mu lagi keluar kota, pulangnya minggu depan, apa kamu nggaka kasihan sama Mama?!"
"Ma, kan ada Ryan. Juga Kak Hendri dan Mbak putri, ngapain memanggil orang lain?"
Lia diam saja. Ryan emosi sambil menyetir tapi ia berusaha untuk fokus.
Bersambung..
Lia diam saja tak menghiraukan protes anaknya. Ryan di buat dongkol akan rencana Ibunya. 'Huuh, Ibu ada- ada aja memanggil Tania batin Ryan sewot. Ryan konsentrasi Nyetir, Mamanya fokus melihat jalanan, tak menghiraukan emosi anaknya. Merasa menyesal tak mengajak Amelia bersamanya. Mereka sampai di rumah, Mang ujang udah membukakan pintu gerbang. Tak lupa menyapa kedua majikanya. Ternyata Tania sudah ada di teras depan menunggu sedari tadi. 'Busyet gercep amat datangnya' batin Ryan. "Hallo Tante Lia, sakit apa?" Sapa Tania lebay dan melirik Ryan. Ryan tak ingin memandang tania. Tingkahnya membuat dia eneg, melanjutkan langkah menuju kekamar. "Kenapa Ryan ketus amat, Tante?" "Biarinlah jangan pedulikan dia," balas Lia. "Gimana jalankan aksi kita malam ini?" "Sabar dulu Tania sayang, Tante ben
Tania gelisah tidur di samping Lia, tapi Lia sudah terlelap dalam mimpi indahnya. Mata tak bisa terpejam, padahal waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam. Ia beranjak dari tidurnya. Ingin membangunkan tubuh Lia menemani rencana malam ini, tapi tak tega. Tapi di dalam hatinya ia membulatkan tekad menjalankan rencana malam ini. 'Aku tak boleh gagal, harus berhasil malam ini' batin Tania. Segera beranjak menyingkap selimutnya. Ia turun ke bawah. Masih ada suara televisi menyala. Tania berjalan menyusuri tangga. Melihat dari dekat, siapa gerangan yang masih nonton tv. Ryan yang sedang menikmati acara bola. Pertandingan MU dan Arsenal. 'Ini kesempatan bagus' batin Tania. "Hai Mas Ryan, mau ku temani? Sapa Tania bersikap seramah mungkin serta senyum tak lepas dari bibirnya. Ryan mendongak mendengarkan sumber suara. Tapi matanya segera mengalihkan panda
Ryan tampak frustasi mengacak rambutnya, Ia merasa tidak melakukan apa di tuduhkan padanya. Tapi saat ini tak ada yang percaya padanya. Saat tubuh polos Tania meringkuk di bawah selimut. Itu menjadi sebuah bukti.'Lalu bagaimana perasaan Amelia, dalam sekejap perasaan akan hancur tak bersisa' batin Ryan mengacak rambutnya sendiri.Ia melihat Tania tak merasa sedih kehilangan kegadisanya. Seakan dia telah menang walau mengorbankan sesuatu yang berharga dalam dirinya.Begitu miris Ryan menatap Tania. Rela melakukan apa saja demi mencapai kehendaknya."Aarrrrggghhh ...."Ryan mengacak rambutnya Frustasi. Merasa jijik terhadap dirinya ia melangkah ke kamar mandi. Menguyur tubuhnya dengan air menghilangkan bekas tubuh Tania.Hendri dan Putri mereka hanya saling diam. Tahu perasaan Adiknya. Betapa Ryan sangat mencintai Amelia. Apa ini semua rencana Tania d
Amelia menatap Hp sejenak. Perasaanya tidak enak, ada sesuatu yang menganjal. Entah apa itu. ia mencoba berpikir positif.'Aah ... mungkin ini hanya perasaanku saja' batin Amelia. Segera ia melanjutkan kembali kerjaan. Saat ini untuk mengalihkan pikiranya Amelia menyetrika baju. Setelah itu ia masukan di lemari. Ada Buku kecil terselip di antara pojokan baju Ryan. Note kecil warna hitam.'Ini buku apa ya?' Tangan Amelia berusaha menyibak lembaran kertas. Nama client, juga nama temen ada di situ. Amelia mengembalikan ke tempat semula.Di kediaman Tania.Tania menginjakan kaki di rumahnya, memanggil Ibunya dengan suara lantang."Mama ...." panggil Tania. Tapi tak kunjung muncul mamanya.Bi ijah datang muncul mendengar suara Majikanya."Ibu Arisan Non, mungkin sebentar lagi pulang Non," ucap Bi Ijah berdiri tak jauh dari Tania.
Ryan duduk menunduk sambil mengengam hp miliknya. Tak ada kata yang ingin terucap, bibirnya kelu. 'Apa dosa di masa lalu hingga punya nasib seperti ini?' Ia mencoba menelan salivanya sendiri. Ketika Mamanya begitu heboh dengan pernikahan ini, beda dengan Papanya juga kakak lelaki satu- satunya. Semua tampak sedih. "Kenapa kalian tampak murung semua? Ayo berangkat sekarang keluarga Tania sudah menunggu !" Mendengar ocehan Mamanya yang bak meriam itu, ia beranjak. Menyeret kakinya yang terasa berat. Ingin rasanya masuk ke lubang tanah dari pada harus menjalani pernikahan yang tak di inginkan ini. Sesak di hati membayangkan wajah Amelia ketika mengetahui dirinya di madu. Ryan melangkah gontai menuju mobjl, Hendri mengusap punggung adik satu- satunya. Tanda untuk bersabar menghadapi semua ini. Mereka akhirnya sampai di rumah Tania. Tak banyak anggota keluarga yan
Ryan mengemasi pakaianya, terlihat Tania berdiri mematung di depan pintu. Menatap nanar di depanya."Sayang, kau tak mengajaku," ucap Tania sedih. Sejak menikah seminggu denganya tak sedikitpun Ryan berbasa basi denganya. Menyentuh pun tidak. Padahal dirinya menginginkan anak dari Ryan."Maaf, aku belum siap bicara sama Amelia,"'Amelia terus yang ada di pikiranmu' batin Tania."Apa aku yang harus bicara dengan Amelia, bahwa kau telah menikah denganku? Tanya Tania mencari belas kasihan dari mata teduh Ryan."Jangan Tania, biar aku sendiri yang bicara dengan Tania,"Untuk saat ini ia tak sanggup melihat air mata di wajah Amelia.'Aah, seandainya kejadian itu tak terjadi, mungkin tak meninggal rasa bersalah ini' batin Ryan. Selesai packing ia keluar kamr. Berniat pamitan dengan kedua orang tuanya.Mereka sedang sarapan pag
Pov. Ryan. Aku semakin hari merasa bersalah pada istriku, walau sebenarnya aku merasa tak melakukanya. Apa aku di jebak Tania? Aaaaggghh ...." 'Ya Tuhan, Aku masih mencintai Amelia jangan pisahkan kami' batin Ryan. Tak sanggup untuk aku kehilangan Amelia, ia sangat berharga bagiku. Menghembuskan nafas pelan, aku meraih Foto pernikahan di depan mejaku. 'Maafkan aku sayang ...' batin Ryan. ****** Tinn ...tin Amelia setengah berlari ke depan, ia memang tadi memesan dua botol susu. Alangkah kagetnya saat sosok dua orang berdiri di depan pintu. Mama mertua dan Tania. Ia menarik bibirnya dan berusaha ramah. "Silakan masuk Ma," ucap Amelia ramah. Tania mengekor di belakang Mama. Firasat Amelia tak enak saat ini. Tapi mencoba tenang. Mungkin ini hanya firasatku saja?&nbs
Amelia meletakan gawainya di atas nakas kamar tidurnya. Merebahkan diri di atas tempat tidur. Tempat memadu kasih bersama suaminya. Selama ini Suaminya masih bersikap biasa tak ada yang mencurigakan. Perhatian dan romantis seperti biasa. Tapi saat ada Tania dan Mama mertua di sini, sikapnya langsung berubah. Ada apa ya? Amelia memijit keningnya sendiri, takut apabila lelaki yang bersamanya saat ini mendua. Seandainya mendua apa aku harus melepaskan Mas Ryan? Batin Amelia. Amelia bangkit, ia berjalan menuju balkon lantai atas ingin menutup jendela dan korden. Ingatan bersama Ryan kembali hadir. Saat dia memeluk pinggangnya dari belakang dan membisikan kata cinta. Bersama menikmati keindahan kota Singapore yang sangat indah ketika malam datang. Ia menutup korden dan jendela, perasaan dari tadi tidak enak. Untuk mengusir kegundahanya ia iseng mengecek akun medsos suaminya. Tapi tak ada