Arnold masih berada di Hotel mewah. terpekur sendiri. Memikirkan Tania. Mencoba menghubungi gawainya tapi tak aktif. Kangen di dada serasa akan meledak. Akhirnya ia menemui kembali Tania. Bukankah cinta harus di perjuangkan? Pikir Arnold.
Di depan Apartemen kakaknya. Ia memencet bel.
Ting tong.
Arnold berniat ingin melamar Tania secara baik- baik.
Tania bangkit dan membuka pintu. Alangkah terkejutnya ia saat tau Arnold ada di depanya.
"Arnold ...." gumam Tania lirih.
"Iya ini aku, sambil memegangi daun pintu.
Tania menatap manik mata milik Arnold. Ada cinta yang dalam di matanya.
"Ada apa, kenapa menatapku seperti itu?"
Arnold tersenyum semanis mungkin di hadapan belahan jiwanya.
"Tania ... aku ingin melamarmu,"
Jantung Tania serasa ingin melompat keluar juga deg- deg an. Senang mendapat perhatian dari laki- laki berdiri di hadapanya. Hatinya menghangat. Beda perlakuanya saat bersama Ryan dulu. Ryan sangat cuek dan dingin kepada. Tapi hangat saat bersama Amelia.
Wajah Tania memerah bak kepiting rebus.
Tania menetap manik milik Arnold. Netra coklat yang menenangkan. Apa aku harus berlabuh pada lelaki ini? Dia sang mantan Don juan?
"Tania siapa yang datang? Tolong di suruh masuk. Itu temen kakak ya!" Seru kakak Tania.
"Bukan kak, ini temenku!" ucap Tania tak kalah lantang.
"Suruh masuk, Jangan di depan pintu!"
"Ya kak,"
Arnold masuk. Duduk di sofa ruang tamu. Kakak Tania turun menuju ruang Tamu.
"Siapa yang Datang Tania?"
"Arnold temenku kuliah S1 kak,"
Arnold berdiri menjabat tangan kakak Tania.
"Arnold"
"Arga, kakaknya Tania,"
Arnold melepas gengaaman tanganya.
"Silakan duduk, Tania tolong buatkan minum untuk Arnold!"
"Iya kak,"
Arnold canggung di hadapan kakaknya Tania Grogi menguasai hati.
"Arnold kerja di Belanda juga?"
"Nggak Kak, aku punya bisnis sendiri di Singapore,"
"Oh ...." ucap Arga mangut- mangut.
'Apa dia menyukai Tania? Kalau iya syukurlah agar Tania cepet Move on,' batin Arga.
Tania membawa tiga cangkir teh hijau hangat. Serta cemilan khas Belanda. Ia menaruh di atas meja. Mata Arnold tak berkedip memandang Tania. Tanpa Riasan berlebih Tania lebih cantik.
"Silakan Arnold di minum tehnya mumpung masih hangat,"
"Iya ...."
Kakak Tania pun ikut menyicipi Teh bikinan Adik kesayanganya itu. Setelah menyesap teh ia berniat bangkit akan ke kamar. Melanjutkan pekerjaan tadi. Arga bekerja di Ritel sebagai kepala Produksi.
Tapi Arnold mencegahnya. Ia ingin menyampaikan maksud hatinya.
"Sebentar Kak Arga!" Panggil Arnold. Secara otomatis Arga membalikan badanya.
"Ada Apa Arnold? Ada yang bisa kakak bantu?"
"Emm kakak duduk dulu, ada yang aku bicarkan sama kakak,"
Wajah Tania mendadak pucat. Ia mengigit bibirnya kuat sambil meremas ujung bajunya.
Wajah Arga juga tegang. Ia menatap lurus Arnold.
Arnold menguatkan hati untuk mengatakanya.
" Kak Arga, Aku ingin melamar Tania menjadi istriku,"
Tania langsung menunduk malu. Ada bahagia juga dendam yang belum tuntas kepada Ryan? Ia memejamkan matanya. Saat Pria itu mentalaknya. Tanpa rasa sedikit kasihan. Apakah aku harus menerima Arnold dan melupakan dendam di hati ini?
Pikiran Tania berperang dalam benaknya.
Hati Arga plong. Ada yang menghargai adik semata wayangnya.
"Saya sebagai kakaknya sangat setuju kalau kamu menjadi suami Tania, walau belum mengenalmu secara intens tapi keberanian kamu melamar adiku sudah Gentle. Dan itu cukup membuktikan kamu lelaki yanga baik,"
Arnold tersentuh dengan kata- kata Kakaknya Tania.
"Tapi keputusan ada di tangan Tania, ia berhak menentukan jalan hidupnya,"
"Buat kamu Tania, kakak harap kamu belajar dari kegagalan yang dulu. Jadikan pelajaran untuk hidup kamu kedepanya!"
Tania diam membisu. Kata- kata kakaknya membius hatinya. Saat ini terasa gamang. Bayangan wajah Ryan masih suka singgah di ruang memori kepalanya.
"Baiklah ... itu aja dari kakak, saya mau ke atas dulu, ada pekerjaan yang harus di selesaikan,"
"Ya kak, silakan." ucap Arnold membungkuk hormat.
Arga bangkit menuju kamarnya. Ke lantai dua. Meninggalkan Tania dan Arnold.
Tania diam memandang Arnold. Canggung, kikuk mendera bahasa tubuh Tania.
Arnold hanya tersenyum melihat tingkah Tania yang mengemaskan menurutnya. Untuk mencairka suasana Tania menawarkan camilan.
"Silakan di makan camilanya, Arnold,"
"Iya ...." ucap Arnold kemudian mencomot camilan di piring. Tania memperhatikan Arnold makan. Kenapa serasa indah memandangnya?
'Ups'
Tania menghela nafas pelan. Kemudian ikut makan camilan. Hanya ada suara makanan yang terkunyah di dalam mulut. Tapi keheningan tercipta diantara mereka berdua.
Arnold menatap kedua netra yang indah. Dari wajah Tania. Arnold menyukai mata bening milik Tania. Arnold ingin mencari jawaban atas pertanyaan tadi. Bukankah mata jendela hati?
"Tania apa jawaban mu, bersediakah kau menjadi istriku?"
Tania langsung tersedak.
"Uhuk ... uhuk ...."
Arnold mengambilkan Teh untuk Tania. Ia menyerahkan sambil tersenyum.
"Pelan- pelan, aku tak ambil makananmu. Aku hany ingin ambil hatimu,"
Wajah Tania merona mendengar ledekan Arnold.
"Ehheem ...." Tania menhilangkan serak di tengorokan.
"Maaf Arnold, aku ingin memikirkan dulu pinanganmu, tak ingin gegabah menyakinkan hatiku bahwa kau layak untuk ku. Dan aku layak untukmu. Aku tau kau sudah banyak berubah. Tapi saat ini aku hanya ingin memantapkan hatiku,"
"Iya sayang ... aku kan menunggumu,"
Arnold meremas jemari Tania. Memberi rasa hangat mengalirkan cinta pada gadis cantik di depanya. Tania merasa hangat dengan gengaman Arnold. Jantungnya serasa akan melompat keluar. Ia tersenyum memandang lekat wajah Arnold. Sekian waktu berhenti.
Wajah Tania menunduk kemudian melepaskan gengaman jemari Arnold. Tak kuasa akan tatapan Netra Arnold.
"Eem ... Tania, aku ke Hotel dulu, kabari aku atas jawabanmu. Aku menunggu!"
Deg.
"Iya ..." ucap Tania parau. Berkecamuk saat ini perasaanya. Antara canggung. Senang juga gamang.
Arnold melangkah keluar dari Apartemen kakaknya Tania. Apartemen di Belanda. Setiap Apartemen dua lantai.
Tania mengantar sampai depan pintu. Arnold masuk mobil di kendarai seorang sopir.
Tania melambaikan tanganya. Arnold tersenyum bahagia.
'Aku yakin Tania menjadi miliku' batin Arnold.
Mobil Arnold hilang dari pandangan. Tania masuk ke dalam dan mengunci pintu.
Ucapan Arnold tergiang- ngiang di telinganya.
'Ya Tuhan. Haruskah aku menerima Arnold?' Batin Tania.
Pusing memikirkan itu. Ia mending memilih beranjak memberesi teh bekas Arnold dan kakaknya. Ia ke dapur dan mencuci cangkir. Arga, kakaknya Tania turun menemui adiknya.
" Arnold sudah pulang?"
Tania berjingkat mendengar suara kakaknya.
"Astaga Kakak ngagetin aja !"
"Lagian kamu mencuci cangkir sambil melamun!"
"Apa jawabanmu untuk Arnold?"
"Aku masih memikirkanya kak!"
"Nggak usah lama- lama berpikirnya, Arnold pasti laki- laki yang baik untukmu!"
Tania diam sejenak. Untungnya Tania tak pernah cerita masa lalu Arnold. Seandainya cerita tak yakin kakaknya mendorong menerima Arnold.
"Kenapa diam Tania?"
Bersambung..
"Kenapa diam Tania?" "Kamu masih memikirkan Ryan? Laki- laki pengecut seperti itu masih kau pikirin! Kurang kerjaan aja !" Arga selalu marah apabila Tania memikirkan Ryan. "Aku nggak mikirin Ryan kak, tapi memikirkan bagaimana membalas sakit hatiku!" ucap Tania sambil mengepalkan tangan menahan marah di dada. "Hemm ... sampai kapan kau memelihara dendam di hati? Bikin sakit aja!" "Udahlah ... tak ingin dengar alasanmu, kak Arga pingin kamu melupakan Ryan dan menerima Arnold. Itu demi kebaikanmu!" Arga berlalu dari hadapan Tania. Memberi ultimatum telak. Menbuat Tania tak berkutik. Apakah aku harus menerima Arnold? Tania melangkah gontai ke kamar. Ia menjatuhkan dirinya di Bed. Menarik selimut sampai ke leher. Memejamkan mata berharap pelangi datang lewat mimpinya. Tania mengejap matanya tatkala sinar mentari menerobos lewat celah kecil dari jendelanya. Dan m
Kembali ke Amelia. Amelia mengejap matanya berulangkali. Ia melihat jam di beker di nakas. Jam 3 sore. Ia bangkit dan melangkah ke kamar mandi tak jauh dari kamarnya. Ritual mandi dilakukan dengan cepat. Selesai mandi segera ke dapur. Memasak untuk nanti makan nanti malam. Aroma masakan menyeruak menyebar di seluruh ruangan rumah ini. Jam lima sore Ryan pulang. Pintu rumah tak di kunci. Ia langsung masuk saja. "Ceklek" "Assalamualaikum," "Walaikum salam Mas Ryan," Senyum mengembang dari kedua sudut mulut Amelia. Ia menyambut suaminya dan mencium tanganya. "Masak apa sayang?" Tanya Ryan sembari mencium kening istrinya. "Masak kesukaan Mas Ryan," ucap Amelia sembari menaruh Ayam goreng di meja. "Mas mandi dulu, nanti kita malam bareng," "Iya sayang," Ryan melangkah ke kamar. Mandi juga berganti pakaian. Ryan terlihat segar. Waj
Amelia melanjutkan makannya. Ucapan mertuanya yang menohok membuat selera makanya terhenti. 'Kapan Mama akan menerimaku?' Batin Amelia sambil menunduk. Ryan mengerti istrinya sedih. "Mas, ayo kita periksa ke dokter," rajuk Amelia dengan tatapan memohon. "Iya ... sayang, besok kita periksa. Kebetulan tak ada jadwal penting di kantor," Mata Amelia menyiratkan bahagia. Keinginan memiliki zuriat begitu besar baginya. Bukan sekedar menghindari ocehan mertuanya. Tapi ada kebahagiaan tersendiri di saat bayi mungil tumbuh besar di rahimnya. Melahirkan dan membesarkan dengan penuh cinta kasih. Untungnya suaminya sangat pengertian. Tak menuntutnya memiliki keturunan segera. Tapi anak adalah rejeki dan harus berusaha meraihnya. Juga doa yang tak pernah putus. Amelia mengeliat dalam pelukan suaminya. Hangat mengaliri darah Amelia. Ia mengejap dan mengedarkan pandanganya. Masih gelap jam berapa ini?
Selama hampir sebulan Arnold mendekati Tania. Melakukan apa saja demi mendapatkan cinta Tania. Menyuruh Tania melupakan dendam pada Ryan. Mencoba berdamai dengan kehidupan. Bahwa semua terjadi adalah kuasaNya. Tapi Tania masih terdiam semua perkataan Arnold. Ia sangat sabar menghadapi Tania. Juga berdoa semoga Tania segera sadar. Arnold memakai jas Navy. Menyemprotkan aroma maskulin di tubuhnya. Jack sudah menunggu di belakang kemudi. Ia masuk mobil sudah tak sabar menemui Tania. Gugup menguasai hati Arnold. Jack melajukan mobilnya ke Apartemen Tania. Arnold membuka cincin berlian mata satu yang berkilau Indah. 'Ya Tuhan, semoga Tania menerimaku' batin Arnold. Tania baru bangun tidur saat mentari sudah naik. Ia mengeliat. Membuka selimutanya. Ada perasaan bahagia menyelinap ke dalam kalbu. Ia tak tau kenapa. Lebih baik mandi. Air pagi menyegarkan tubuh Tania. Rambut basah Tania telah di bungkus dengan handuk. Tania
Arnold menyodorkan cincin di hadapan Tania. Netra Tania menatap lurus cincin berlian di hadapanya. "Menikahlah denganku Tania, aku tak bisa berjanji bahwa aku akan selalu membahagiakan mu tapi aku ingin bersama sampai menutup mata." Tania mengejap matanya berulang kali, ia tak menyangkaa akan di cintai seperti ini. 'Apa ucapan kakak harus aku turuti?' Batin Tania. Arnold masih menatap penuh harap agar menerima dirinya. "Tania ...." panggil Arnold parau. "I-ya," jawab Tania sambil terbata- bata. "Apa kau menolakku?" tanya Arnold sedih. Ia berpikir sejenak. Lalu dengan memejamkan matanya ia menjawab lamaran Arnold. "Iya Arnold, aku mau menikah denganmu" walau hati ragu. Tapi ia ingin menghilangkan bayangan tentang Ryan di kepalanya. Hati Arnold sangat bahagia mendengar ucapan Tania. Arnold membuka kotak berisi cincin berlian. Menyematkan di jemari Tania. Cincin
Arnold dan Tania, membicarakan rencana pernikahan. Tiba-tiba ia teringat perbuatanya pada Ryan. Ia ingin meminta maaf. "Tania, sebelum kita menikah aku ingin minta maaf sama Ryan," ucap Arnold sembari memegang jemari Tania. Tania terdiam sesaat, ia teringat kejadian itu atas perintah dirinya. Yang harus meminta maaf adalah dirinya. "Aku yang harus minta maaf sama Ryan, itu kan karena atas perintah ku," Kata Tania menatap kosong di depanya. Tania kini menyadari kesalahanya. Membiarkan dendam menguasai hatinya. Arnold seneng mendengar ucapan Tania. Itu artinya Tania ingin berubah menjadi lebih baik. Tak ingin menaruh dendam berlarut pada Ryan. Karena sejati hukum tabur tuai berlaku di dunia ini. Tania memperoleh hukumanya, di campakan oleh Ryan. Ia Lebih Memilih istrinya. Ingin menghancurkan hidup Ryan, tapi dirinya yang hancur. Untung cinta Arnold menyelamatkan dirinya, hi
Tania dan Arnold pulang dari kantor. Perasaan lega menyelimuti hati. Sejatinya tak ada manusia yang sempurna yang ada hanya saling memaafkan. Minggu depan Tania dan Arnold menikah. Kebetulan Ayah Arnold adalah temen bisnis Ryan di Singapore. Ini sekaligus sebagai silaturahmi bisnis. Ryan pulang ke rumah, di depan pintu bau masakan menguar menusuk hidung. Ryan Membuka pintu, karena pintu juga tidak di kunci. Terlihat Amelia sedang sibuk di dapur. Bau masakan semakin mengaduk perut yang keroncongan. "Masak apa sayang," tanya Ryan memeluk pinggang istrinya. Amelia kaget, suaminya sudah memeluk erat pingangnya. "Masak yang gampang aja, Cumi saos tiram sama capcay bakso kesukaan Mas Ryan," "Sayang, ada kabar baik." ucap Ryan mengecup pipi istrinya. "Apa tuh?" tanya Amelia semangat. "Tania dan Arnold mau menikah." Amelia kaget sekaligus senang. Sikap tegas Ryan
Kepala sekolah mengumumkan kelulusan siswa Sma negeri 10 kota kecil di jawa tengah. Tepatnya di daerah pemalang. Para siswa berderet menunggu pengumuman itu. Anak-anak Deg-deg an menunggu pengumuman. Tatkala kepala sekolah mengumumkan hasil kelulusan, mereka lulus seratus persen. Anak- anak bersorak sorai menyambut pengumuman dari kepala sekolah. Di lanjut Kepala sekolah mengumumkan juara satu sampai sepuluh. Amelia masuk dalam sepuluh besar. Mendengar itu ia mengucap alhamdulilah,Selesai pengumuman murid menbubarkan diri, ada yang masuk kelas masing- masing. Murid terutama yang laki- laki membawa pilox untuk mencorat- coret pakaianya. Tapi Amelia tak ikut corat- coret sebagai euforia kelulusan. Ia lebih suka masuk kelas. Amelia duduk di bangkunya. Shinta yang di sampingnya heran, sahabatnya heran dengan tingkah laku Amelia. "Amel, kenapa malah duduk di sini? Nggak ikut corat- coret?" "Ak