Selama hampir sebulan Arnold mendekati Tania. Melakukan apa saja demi mendapatkan cinta Tania. Menyuruh Tania melupakan dendam pada Ryan. Mencoba berdamai dengan kehidupan. Bahwa semua terjadi adalah kuasaNya. Tapi Tania masih terdiam semua perkataan Arnold. Ia sangat sabar menghadapi Tania. Juga berdoa semoga Tania segera sadar.
Arnold memakai jas Navy. Menyemprotkan aroma maskulin di tubuhnya. Jack sudah menunggu di belakang kemudi. Ia masuk mobil sudah tak sabar menemui Tania. Gugup menguasai hati Arnold. Jack melajukan mobilnya ke Apartemen Tania. Arnold membuka cincin berlian mata satu yang berkilau Indah.
'Ya Tuhan, semoga Tania menerimaku' batin Arnold.
Tania baru bangun tidur saat mentari sudah naik. Ia mengeliat. Membuka selimutanya. Ada perasaan bahagia menyelinap ke dalam kalbu. Ia tak tau kenapa. Lebih baik mandi. Air pagi menyegarkan tubuh Tania. Rambut basah Tania telah di bungkus dengan handuk. Tania keluar dengan memakai kaos dan celana pendek. Ia ingin sarapan. Memanggang Roti bakar dan membuat susu coklat. Ia ingin pulang ke Indonesia. Udah hampir dua bulan di Belanda. Saat ini haruskah aku melupakan dendam kepada Ryan?
Tania duduk dibalkon atas sambil menikmati roti bakar dan susu coklatnya. Saat melihat ke bawah Arnold memarkirkan mobilnya didepan apartemenya.
"Eitsss itu Arnold datang?" Gumam Tania.
Ting tong ...
Tania segera membuka pintu. Senyum mengembang di kedua sudut bibir Arnold dan membawa buket bunga Tulip di tanganya.
"Pagi Tania ...." sapa Arnold ramah, ia menatap lekat wanita di depanya. Terlihat cantik tanpa riasan tebal di mukanya. Rambut basah sebahu di biarkan tergerai. Aroma shampo menguar di hidung Arnold membuatnya mabuk.
"Pagi juga Arnold ...." balas Tania. Kali ini lebih ramah. Tak jutek seperti biasanya.
Senang menyelimuti hati Arnold melihat senyum Tania. Sangat cantik.
"Silakan masuk,"
Arnold mengikuti langkah Tania bak kerbau di cocok hidungnya. Ia duduk di sofa panjang warna coklat di ruang tamu.
"Bunga untuk mu," ucap Arnold seraya menyerahkan bunga tulip warna merah.
Tania ragu- ragu menerimanya. Antara senang dan penuh tanda tanya. Kenapa dia seromantis ini?
Sering Arnold bersikap romantis tapi Tania kurang peka dengan sìkap Arnold selama ini. Bayangan Sikap Ryan membuat Tania seperti itu.
"Makasih Arnold bunganya," ia mencium bunga pemberian dari Arnold.
Ia ingin membuatkan minuman untuk Arnold.
"Arnold, sebentar ya. Aku buat minuman dulu.
"Oke ..." ucap Arnold senang. Tak biasanya ia membuatkan minuman untuknya. Tania ke dapur membuatkan kopi untuk Arnold. Kopi campur sedikit susu. Ia menyukai itu. Tania membawakan kopi di hadapan Arnold.
"Silakan di minum kopinyga Arnold," Arnold meraih cangkir kopi buatan Tania.
"Emm ... rasanya sangat enak." ucap Arnold menyesap kopi .Apalagi dari tangan wanita yang di cintainya. Rasanya makin enak.
Ia meletakan cangkir kopi di tempatnya. Mendekat ke arah Tania. Walau gugup ia berusaha menetralkan jantungnya yang berpacu kencang.
"Tania, sejak masa kuliah. Aku sudah jatuh hati padamu. Aku patah hati saat kamu menikah. Hidupku rasanya berakhir saat itu juga. Pelampiasanya aku main perempuan lain. Saat kamu datang padaku. Dan membalaskan sakit hatimu pada Ryan. Aku pun sanggup melakukanya. Yang terpenting kamu mau padaku."
"Tania, aku ingin membuka lembaran baru. Hidup bersamaku. Maukah kau menikah denganku?"
Arnold mengmbil kotak cincin dari sakunya. Ia menyodorkan kepada Tania.
Tania bengong melihatnya.
Arnold menyodorkan cincin di hadapan Tania. Netra Tania menatap lurus cincin berlian di hadapanya. "Menikahlah denganku Tania, aku tak bisa berjanji bahwa aku akan selalu membahagiakan mu tapi aku ingin bersama sampai menutup mata." Tania mengejap matanya berulang kali, ia tak menyangkaa akan di cintai seperti ini. 'Apa ucapan kakak harus aku turuti?' Batin Tania. Arnold masih menatap penuh harap agar menerima dirinya. "Tania ...." panggil Arnold parau. "I-ya," jawab Tania sambil terbata- bata. "Apa kau menolakku?" tanya Arnold sedih. Ia berpikir sejenak. Lalu dengan memejamkan matanya ia menjawab lamaran Arnold. "Iya Arnold, aku mau menikah denganmu" walau hati ragu. Tapi ia ingin menghilangkan bayangan tentang Ryan di kepalanya. Hati Arnold sangat bahagia mendengar ucapan Tania. Arnold membuka kotak berisi cincin berlian. Menyematkan di jemari Tania. Cincin
Arnold dan Tania, membicarakan rencana pernikahan. Tiba-tiba ia teringat perbuatanya pada Ryan. Ia ingin meminta maaf. "Tania, sebelum kita menikah aku ingin minta maaf sama Ryan," ucap Arnold sembari memegang jemari Tania. Tania terdiam sesaat, ia teringat kejadian itu atas perintah dirinya. Yang harus meminta maaf adalah dirinya. "Aku yang harus minta maaf sama Ryan, itu kan karena atas perintah ku," Kata Tania menatap kosong di depanya. Tania kini menyadari kesalahanya. Membiarkan dendam menguasai hatinya. Arnold seneng mendengar ucapan Tania. Itu artinya Tania ingin berubah menjadi lebih baik. Tak ingin menaruh dendam berlarut pada Ryan. Karena sejati hukum tabur tuai berlaku di dunia ini. Tania memperoleh hukumanya, di campakan oleh Ryan. Ia Lebih Memilih istrinya. Ingin menghancurkan hidup Ryan, tapi dirinya yang hancur. Untung cinta Arnold menyelamatkan dirinya, hi
Tania dan Arnold pulang dari kantor. Perasaan lega menyelimuti hati. Sejatinya tak ada manusia yang sempurna yang ada hanya saling memaafkan. Minggu depan Tania dan Arnold menikah. Kebetulan Ayah Arnold adalah temen bisnis Ryan di Singapore. Ini sekaligus sebagai silaturahmi bisnis. Ryan pulang ke rumah, di depan pintu bau masakan menguar menusuk hidung. Ryan Membuka pintu, karena pintu juga tidak di kunci. Terlihat Amelia sedang sibuk di dapur. Bau masakan semakin mengaduk perut yang keroncongan. "Masak apa sayang," tanya Ryan memeluk pinggang istrinya. Amelia kaget, suaminya sudah memeluk erat pingangnya. "Masak yang gampang aja, Cumi saos tiram sama capcay bakso kesukaan Mas Ryan," "Sayang, ada kabar baik." ucap Ryan mengecup pipi istrinya. "Apa tuh?" tanya Amelia semangat. "Tania dan Arnold mau menikah." Amelia kaget sekaligus senang. Sikap tegas Ryan
Kepala sekolah mengumumkan kelulusan siswa Sma negeri 10 kota kecil di jawa tengah. Tepatnya di daerah pemalang. Para siswa berderet menunggu pengumuman itu. Anak-anak Deg-deg an menunggu pengumuman. Tatkala kepala sekolah mengumumkan hasil kelulusan, mereka lulus seratus persen. Anak- anak bersorak sorai menyambut pengumuman dari kepala sekolah. Di lanjut Kepala sekolah mengumumkan juara satu sampai sepuluh. Amelia masuk dalam sepuluh besar. Mendengar itu ia mengucap alhamdulilah,Selesai pengumuman murid menbubarkan diri, ada yang masuk kelas masing- masing. Murid terutama yang laki- laki membawa pilox untuk mencorat- coret pakaianya. Tapi Amelia tak ikut corat- coret sebagai euforia kelulusan. Ia lebih suka masuk kelas. Amelia duduk di bangkunya. Shinta yang di sampingnya heran, sahabatnya heran dengan tingkah laku Amelia. "Amel, kenapa malah duduk di sini? Nggak ikut corat- coret?" "Ak
"Assalamulaikum " Ines baru pulang sekolah. "Walaikum salam..." Jawab Mama Ning. Amelia yang mendengar dari dalam kamar menjawabnya di dalam hati. Amelia kembali browsing dan mendapatkan dua Universitas yang mengadakan beasiswa. Satu kampus negeri dan satunya swasta. Ines melangkah menuju kamar kakaknya. "Kak..." Suara Ines dari luar, tanganya mengetok pintu kamar Amelia. "Ya." Balas Amelia dari dalam. Ia membuka pintu masuk ke kamar Amelia dan langsung duduk di pinggir Bednya. "Ada apa Ines? Tanya Amelia menatap lekat adik kesayanganya. "Kakak bajunya tidak di corat- coretkan?!" "Nggak de, tenang saja." "Syukurlah." Ines bernafas lega. Mereka duduk saling berhadapan. "Kakak hari ini pengumuman kelulusan kan? "Iya, emang kenapa?" "Kakak rangking berapa?" "Yah, kakak hanya rangking lima dar
Trisno pulang ke rumah dengan perasaan lega. Ia membawa uang satu juta untuk uang saku anaknya. Sampai di rumah. Ia langsung masuk ke rumah mencari Amelia. Ayahnya menemui dengan tergesa. "Ada apa Yah? Sepertinya Ayah tergesa- gesa?" "Syukurlah, kamu belum berangkat." Trisno mengeluarkan uang satu juta dari sakunya. Amelia tertegun. Padahal dirinya sudah mendapatkan uang saku dari Ibunya. "Ini uang saku buat kamu, moga kamu di terima ya!" Trisno mengusap kepala anaknya. "Tapi, aku dah di kasih sama Ibu." "Udah, buat jaga- jaga" Ucap Ayah. "Udah siapkan?" "Udah" Kemudian Amelia berpamitan pada Ibunya dan Ines. Mereka menuju Terminal. Sampai di terminal Amelia turun dari motor. Ia pun berpamitan dan mencium punggung tangan Ayahnya. Trisno memandangi punggung putri sulungnya berlalu dari
Ujian selesai para peserta menghambur keluar, tak terkecuali Mita dan Amelia. Para peserta menunggu dengan was- was, karena hasil ujian akan di laksanakan hari ini. Amelia dan Mita duduk di depan kelas juga para peserta lainya. Amelia matanya tak lepas dari dzikir digital yang ia lafalkan di dalam hati, Sedang Mita chatan dengan pacarnya."Kau chat an ama siapa Mit? Kayaknya seneng banget?""Ama pacarlah, emang kamu jomblo!""Jangan keras- keras dong, nanti ada yang denger, aku kan malu !" Ucap Amelia menutup mulut sahabatnya yang terlanjur ember."Iya maaf, hehehe...""Kamu nggak dzikir sih, kita udah berusaha harusnya berdoa dong.""Aku sebenarnya hanya cari pengalaman aja, kalau keterima ya Alhamdulilah kalau nggak juga nggak apa- apa." Ucap Mita Enteng.Amelia memukul lengan sahabatnya. "Terserah kau saja lah, kau kan anak orang kaya..."
Ningsih sangat senang anaknya bisa lolos, itu artinya anaknya akan mendapatkan masa depan cerah. Amelia juga sangat bersyukur ini adalah Anugerah yang indah. Saking senangnya orang tua Amelia mengadakan syukuran kecil- kecilan. Sebenarnya Amelia tak ingin mengadakan itu, tapi mereka bersihkeras untuk melakukanya. Tak lama kemudian Amelia packing baju, setelah siap Amelia berpamitan pada orang tuanya. Amelia harus kembali ke kosan, Setelah perjalanan hampir memakan waktu empat jam, akhirnya Amelia sampai di Kosan. Ia menaruh baju di lemari juga perlengkapan dirinya yang lain. Amelia kemudian merebahkan di bed. Tapi mengingat dirinya belum sholat isya, ia pun beranjak dan wudhu dan menunaikan Sholat Isya. Kantuk menghinggapi mata Amelia, ia kemudian memeluk guling dan tak lama kemudian menjemput mimpi. Adzan subuh mengudara, Amelia terbangun. Ia membuka matanya, walau kantuk ma