"Assalamulaikum " Ines baru pulang sekolah.
"Walaikum salam..." Jawab Mama Ning. Amelia yang mendengar dari dalam kamar menjawabnya di dalam hati. Amelia kembali browsing dan mendapatkan dua Universitas yang mengadakan beasiswa. Satu kampus negeri dan satunya swasta.
Ines melangkah menuju kamar kakaknya.
"Kak..." Suara Ines dari luar, tanganya mengetok pintu kamar Amelia.
"Ya." Balas Amelia dari dalam. Ia membuka pintu masuk ke kamar Amelia dan langsung duduk di pinggir Bednya.
"Ada apa Ines? Tanya Amelia menatap lekat adik kesayanganya.
"Kakak bajunya tidak di corat- coretkan?!"
"Nggak de, tenang saja."
"Syukurlah." Ines bernafas lega. Mereka duduk saling berhadapan.
"Kakak hari ini pengumuman kelulusan kan?
"Iya, emang kenapa?"
"Kakak rangking berapa?"
"Yah, kakak hanya rangking lima dari seluruh siswa." Ucap Amelia sedih.
"Kakak tak bisa rangking satu !" Ucap Amelia menunduk.
Ines mengengam tangan kakaknya.
"Tak apa kak, rangking lima aja udah bagus ko." Ucap Ines membesarkan hati kakaknya.
"Ya sih..."
"Kalau kamu udah ujian belum ya?
"Belum kakaku sayang, ujianya minggu depan."
"Oh ya, belajar yang rajin. Biar dapet rangking satu ya." Ucap Amelia mengusap kepala adiknya."
"Nggak tau juga kak, aku kan tak sepintar kakak !"
"Kata siapa, adiku satu- satunya ini juga pintar. Cantik lagi !" Puji Amelia.
"Kakak, ingin kuliah Nes !" Ucap Amelia sendu. Ines memahami keinginan kakaknya.
"Tapi kak."
"Kondisi orang tua kita." Ucap Ines sendu.
"Kakak, akan mencari beasiswa." Ucap Amelia semangat.
"Baiklah, kalau itu aku dukung. Tapi nanti siapa yang akan ngajak aku berantem?" Ucap Ines mencebikan bibirnya.
"Mumpung kakak belum pergi, aku akan menghajarmu!" Amelia melempar bantal ke Ines. Mereka kemudian perang bantal di sertai teriakan. Ningsih mendengar anak- anaknya sedang bercanda di dalam kamar.
"Amell... Iness !!!" Kalian kalau becanda kelewatan. Nanti kalau ada yang nangis tak jewer kupingnya satu- satu !"
Mereka langsung menghentikan perang. Ibu negara sudah teriak. Mereka terkadang memanggil ibunya dengan sebutan ibu negara.
****
Sore beranjak menuju malam, mereka sekeluarga makan malam bersama. Amelia membuka suara dan meminta ijin pada Ayahnya.
"Yah, besok aku minta ijin ke kota besar. Trisno Ayahnya Amelia langsung menatap anaknya.
"Mau kemana?" Tanya Trisno
"Mau daftar beasiswa ,Ayah" Trisno langsung meletakan sendoknya di atas piring. Ia senang dan bahagia anaknya ingin kuliah. Tapi juga sedih dirinya tak mampu membiayainya. Anaknya harus mencari beasiswa. Papa tak bisa apa- apa, ia hanya bisa mendoakanya.
"Nak, Ayah minta maaf. Tak bisa membiayai kamu. Ayah mendukungmu kalau kamu ingin mendapatkan beasiswa. Ayah selalu mendoakanmu nak" Ucap Trisno sedih dan menundukan kepalanya.
"Iya... Ayah, tak apa- apa. Tak usah minta maaf. Amelia sudah bersyukur jadi anak Ayah." Ucap Amelia sendu tak sadar air mata lolos dari pelupuk matanya.
"Ibu, juga hanya bisa mendoakanmu nak. Moga kamu lolos dan berhasil mendapat beasiswa." Ucap Ningsih
"Makasih Ayah, Ibu doa kalian yang terpenting." Amelia menatap Ayah dan Ibunya secara bergantian.
.
"Baiklah, besok Ayah antar ya..." Ucap Trisno
"Tapi nganternya sampai ke terminal aj ya, yah"
"Lah kenapa?"
"Aku udah gede Ayah, aku juga bareng Mita."
"Baiklah..." Ucap Papa Heri lega karena anaknya ada temenya.
Suasana yang sederhana tapi menghangatkan. Amelia bersyukur dalam keluarga ini.
Adzan subuh berkumandang, Amelia bangun kemudian beranjak sholat subuh. Sebelum ke dapur ia sempetkan belajar dulu. Tapi baru buka beberapa lembar buku, Amelia mendengar Ibunya memasak. Ia kemudian tutup bukunya dan beranjak ke dapur.
"Masak apa Bu, aku bantu ya..." Ucap Amelia.
"Iya..." Ucap Mama Ning.
Masak hari ini menunya juga sederhana. Telur goreng dan tumis sawi putih. Ketika sedang memecahkan telur ia di kagetkan dengan suara Ayahnya.
"Nanti kamu berangkat jam berapa Amel" tanya Ayah.
"Jam tujuh."
Trisno kemudian mengeluarkan motor maticnya. Ia akan pergi mencari pinjaman buat uang saku anaknya.Ia pergi ke kakak keduanya. Trisno tiga bersaudara. Dua kakaknya nasibnya lebih beruntung di banding dirinya. Kakak pertama seorang bidan. Sedangkan kakak kedua punya Usaha galon dan gas. Hanya dirinya yang petani merangkap tukang ojek. Sebenarnya ia males untuk berurusan dengan kakaknya yang nomer dua ini. Ia selalu memandang rendah dirinya. Tapi karena kebutuhan yang mendesak. Sedang kakak pertamanya sering membantu dirinya, ia merasa tak enak.
Trisno berdiri di depan pager besi tinggi menjulang. Rumah mewah bercat putih itu juga di jaga satpam. Mencoba memencet bel. Tak lama kemudian satpam keluar.
"Selamat pagi pak Trisno " Sapa satpam ramah. Karena ia tahu Trisno saudara kandung dengan majikanya.
"Silakan masuk pak..." satpam menyilahkan masuk. Trisno melangkah kakinya menuju teras. Ia duduk di teras depan menunggu kakaknya keluar. Tak lama kemudian kakaknya keluar.
"Ada apa pagi-pagi kemari? Ganggu orang tidur aja!" Trisno menelan ludahnya. Ia tau pasti akan mendapat omongan seperti ini.
"Anu kak, si amel sudah lulus sma. Ia ingin daftar beasiswa. Aku pingin pinjem uang satu juta aja buat uang saku amel." Mohon Trisno hati- hati.
"Ha...ha..haa.. Eeh.. kalau Amel udah lulus yah di kawinin aja. Ngapain kamu kuliah segala. Perempuan itu juga ujung-ujungnya kawin !!"
"Nggak ada, uangku buat muter usaha lagi !" Astagfirullah, Trisno mengelus dadanya mendengar suara keras kakak keduanya ini.
"Hei, kalau orang miskin nggak usah mikir untuk sekolah tinggi. Cukup makan aja udah alhamdulilah !!"
Tak tahan mendengar hinaan dari kakaknya ia langsung beranjak dan pergi.
Satpam membukakan pintu untuk Trisno
"Hati- hati di jalan ya pak." Ucap satpam tak tega melihat ia di hina oleh kakaknya sendiri.
"Ya, makasih ya." Ucap Trisno kemudian menjalankan motor maticnya meninggalkan rumah mewah itu. Trisno kemudian menjalankan motor maticnya ke rumah kakak kandungnya yang pertama. Dia seorang bidan. Namanya Wati. Trisno mengetok pintu rumah kakak yang pertama.
Tok.. tok..
Bude Wati kemudian membuka pintu. Ia tersenyum saat yang datang adiknya.
"Apa kabar Trisno baru kelihatan. Masuklah..."
Trisno kemudian duduk di sofa ruang tamu. Trisno menghela nafas pelan. Bude Wati heran melihat wajah Trisno tampak tegang.
"Ada apa kayaknya kamu tegang banget?"
"Gini Mbak, si Amel udah lulus sma. Dia ingin melanjutkan kuliah di kota S Ia ingin dengan mendapatkan beasiswa. Tapi aku ingin memberinya uang saku. Buat bekal dia saat di kota. Karena ujiannya dua hari dan perlu kos. Aku ingin pinjem uang mbak Wati satu juta boleh?" Mohon Trisno hati- hati.
"Aah, ponakanku pinter ya, ingin kuliah dengan mendapatkan beasiswa. Bentar aku ambil uangnya dulu. Dan nggak usah pinjem ya, ini untuk hadiah kelulusan Amel." Ucap Bu Wati tersenyum.
"Alhamdulilah..." Ucap Trisno lega.
Bersambung...
Trisno pulang ke rumah dengan perasaan lega. Ia membawa uang satu juta untuk uang saku anaknya. Sampai di rumah. Ia langsung masuk ke rumah mencari Amelia. Ayahnya menemui dengan tergesa. "Ada apa Yah? Sepertinya Ayah tergesa- gesa?" "Syukurlah, kamu belum berangkat." Trisno mengeluarkan uang satu juta dari sakunya. Amelia tertegun. Padahal dirinya sudah mendapatkan uang saku dari Ibunya. "Ini uang saku buat kamu, moga kamu di terima ya!" Trisno mengusap kepala anaknya. "Tapi, aku dah di kasih sama Ibu." "Udah, buat jaga- jaga" Ucap Ayah. "Udah siapkan?" "Udah" Kemudian Amelia berpamitan pada Ibunya dan Ines. Mereka menuju Terminal. Sampai di terminal Amelia turun dari motor. Ia pun berpamitan dan mencium punggung tangan Ayahnya. Trisno memandangi punggung putri sulungnya berlalu dari
Ujian selesai para peserta menghambur keluar, tak terkecuali Mita dan Amelia. Para peserta menunggu dengan was- was, karena hasil ujian akan di laksanakan hari ini. Amelia dan Mita duduk di depan kelas juga para peserta lainya. Amelia matanya tak lepas dari dzikir digital yang ia lafalkan di dalam hati, Sedang Mita chatan dengan pacarnya."Kau chat an ama siapa Mit? Kayaknya seneng banget?""Ama pacarlah, emang kamu jomblo!""Jangan keras- keras dong, nanti ada yang denger, aku kan malu !" Ucap Amelia menutup mulut sahabatnya yang terlanjur ember."Iya maaf, hehehe...""Kamu nggak dzikir sih, kita udah berusaha harusnya berdoa dong.""Aku sebenarnya hanya cari pengalaman aja, kalau keterima ya Alhamdulilah kalau nggak juga nggak apa- apa." Ucap Mita Enteng.Amelia memukul lengan sahabatnya. "Terserah kau saja lah, kau kan anak orang kaya..."
Ningsih sangat senang anaknya bisa lolos, itu artinya anaknya akan mendapatkan masa depan cerah. Amelia juga sangat bersyukur ini adalah Anugerah yang indah. Saking senangnya orang tua Amelia mengadakan syukuran kecil- kecilan. Sebenarnya Amelia tak ingin mengadakan itu, tapi mereka bersihkeras untuk melakukanya. Tak lama kemudian Amelia packing baju, setelah siap Amelia berpamitan pada orang tuanya. Amelia harus kembali ke kosan, Setelah perjalanan hampir memakan waktu empat jam, akhirnya Amelia sampai di Kosan. Ia menaruh baju di lemari juga perlengkapan dirinya yang lain. Amelia kemudian merebahkan di bed. Tapi mengingat dirinya belum sholat isya, ia pun beranjak dan wudhu dan menunaikan Sholat Isya. Kantuk menghinggapi mata Amelia, ia kemudian memeluk guling dan tak lama kemudian menjemput mimpi. Adzan subuh mengudara, Amelia terbangun. Ia membuka matanya, walau kantuk ma
Ryan mengamati gadis di depanya, kenapa begitu mirip dengan mendiang adiknya. Adiknya Ryan meninggal karena sakit komplikasi. Ryan menghela nafas pelan. Apakah di depannya kembaran adiknya?"Pak, ada apa aku di panggil kemari?" Tanya Amelia penasaran.Ryan tak bergeming, tapi ia masih menatap wajah Amelia. Tapi Akhirnya ia buka suara."Asalmu dari mana?""Saya dari kota P, jawa tengah pak..." Ucap Amelia sopan."Siapa nama orang tuamu?""Ayah saya bernama Papa Heri dan ibu saya Mama Ning.""Huuuh... nama orang tuamu kampungan sekali !""Saya emang dari kampung pak..." ucap Amelia spontan."Ya... maaf..."Akhirnya Ryan meminta maaf, sudah menghina Amelia." Kamu tak penasaran dipanggil kemari?""Iya pak, saya penasaran."Amelia menganguk. Ia ingin tau dirinya di panggil."Wajahmu
Pagi ini Amelia bersiap ke kampus, buku pelajaran di masukan tas cangklong warna coklatnya. Amelia mematut dirinya di cermin mengenakan hijab warna biru. Di padu padan jaket jeans juga warna biru serta celana hitam.Merasa sudah siap, ia keluar kamar. Melangkah menuju kampus yang tak jauh dari kosnya. Amelia jalan sendirian sambil memegang buku diklat di tanganya. Ketika sudah sampai di kampus, masih sepi hanya ada beberapa siswa yang masuk. Amelia duduk di depan ruang perpustakaan ruang sebelum masuk ke ruangan kelasnya. Ia sembari menunggu Maryam sempatkan membaca buku diklat yang di pegang.Baru beberapa lembar yang di baca ada dosen Ryan menghampirinha."Menunggu siapa Amelia?" Kata Amelia sengaja di tekankan. Sepertinya ia tak suka dirinya duduk di bangku panjang. Ia kemudian beranjak."Pak, saya ke kelas dulu..." Amelia berlalu dari hadapan Dosen Ryan dan tak ingin mendapat jawaban. Amelia mul
Maryam menyesap yang telah di sediakan oleh Amelia. Ia merangkai kata dalam pikiranya supaya Amelia tak tersinggung."Amel, ada yang ingin aku tanyakan sama kamu..." Kata Maryam serius."Ada apa Maryam? Ngomong aja " Amelia menatap lurus temanya.Maryam menunduk sejenak. Lalu ia beranikan menatap Amelia."Eeehhmm, apa kamu menyukai Pak Dosen Ryan?"Amelia diam sebentar."Kenapa kau menanyakan itu? Apa kamu menyukai pak Ryan?" Amelia tanya balik.Maryam menunduk malu."Iya, tapi aku akan berusaha menghilangkan rasa ini dari hatiku seandainya kamu menyukai Pak Ryan." Kata Maryam.Amelia serba salah sendiri. Tak ingin membohongi hati dirinya, senang saat dosen Ryan memperhatikan dirinya Tapi di sisi lain, ia juga belum tau perasaan dosen Ryan kepadanya.Amelia menghela nafas pelan, ia buang secara perlahan. Ia malas membahas cowok
Clarisa rebahan di kamarnya, ia ingin menghubungi sahabatnya. Tapi di tahan, karena ini masih ada jam kuliah. Clarisa down kalau Rani sampai menjauhinya. Walau Clarisa ada temen lain, Tapi sama Rani ia merasa nyaman, karena sama- sama dari keluarga kaya. Tok..tok... "Masuk Bi..." Kata Clarisa. Bibi masuk membawakan susu coklat dan roti bakar selai kacang. "Makasih Bi.." "Sama- sama Non, susunya di minum." "Iya Bi..." Clarisa lalu bangkit dan menyesap susu coklat. Juga makan roti bakarnya. Setelah minum susu, ia merasa lebih baik perasaanya. Pandangan matanya tertuju pada buku di depanya. Ia mulai belajar. 'Mungkin aku dalam waktu sebulan harus belajar' batin Clarisa. Karena mulai besok Amelia harus menjalani hukumanya di skors. Mungkin akan di isi dengan belajar. Mamanya yang baru pulang dari arisan menghampiri kamar Clarisa. Pi
Sebulan kemudian. Clarisa telah menjalani hukuman skors sebulan dengan baik. Ia kini telah kembali ke kampus. Tapi teman- temanya menyadari Clarisa telah banyak berubah. Ia tak lagi ketus walau masih banyak diamnya. Perubahan itu banyak temanya yang suka. Ia juga tidak menganggu Amelia lagi.*****Amelia menjalani hari di kampus dengan tenang, Dosen Ryan masih terus mendekatinya. Amelia juga senang dengan perhatian Ryan."Amelia, nanti sepulang kuliah bisa pulang bareng?" Tanya Ryan menatap wajah cantik milik Amelia.Amelia tampak berpikir sejenak. Tapi akhirnya mengiyakan ajakan dosen Ryan.Tepat sepulang kuliah mereka ke taman dekat dengan kampus. Ryan memarkirkan mobilnya.Angin semilir menghembus kulit lembut Amelia. Rasa tenang menjalar di hati mereka berdua. Amelia duduk di bangku panjang, di susul Ryan.Amelia sesekali mencuri pandang menatap w
Tania dan Arnold pulang dari kantor. Perasaan lega menyelimuti hati. Sejatinya tak ada manusia yang sempurna yang ada hanya saling memaafkan. Minggu depan Tania dan Arnold menikah. Kebetulan Ayah Arnold adalah temen bisnis Ryan di Singapore. Ini sekaligus sebagai silaturahmi bisnis. Ryan pulang ke rumah, di depan pintu bau masakan menguar menusuk hidung. Ryan Membuka pintu, karena pintu juga tidak di kunci. Terlihat Amelia sedang sibuk di dapur. Bau masakan semakin mengaduk perut yang keroncongan. "Masak apa sayang," tanya Ryan memeluk pinggang istrinya. Amelia kaget, suaminya sudah memeluk erat pingangnya. "Masak yang gampang aja, Cumi saos tiram sama capcay bakso kesukaan Mas Ryan," "Sayang, ada kabar baik." ucap Ryan mengecup pipi istrinya. "Apa tuh?" tanya Amelia semangat. "Tania dan Arnold mau menikah." Amelia kaget sekaligus senang. Sikap tegas Ryan
Arnold dan Tania, membicarakan rencana pernikahan. Tiba-tiba ia teringat perbuatanya pada Ryan. Ia ingin meminta maaf. "Tania, sebelum kita menikah aku ingin minta maaf sama Ryan," ucap Arnold sembari memegang jemari Tania. Tania terdiam sesaat, ia teringat kejadian itu atas perintah dirinya. Yang harus meminta maaf adalah dirinya. "Aku yang harus minta maaf sama Ryan, itu kan karena atas perintah ku," Kata Tania menatap kosong di depanya. Tania kini menyadari kesalahanya. Membiarkan dendam menguasai hatinya. Arnold seneng mendengar ucapan Tania. Itu artinya Tania ingin berubah menjadi lebih baik. Tak ingin menaruh dendam berlarut pada Ryan. Karena sejati hukum tabur tuai berlaku di dunia ini. Tania memperoleh hukumanya, di campakan oleh Ryan. Ia Lebih Memilih istrinya. Ingin menghancurkan hidup Ryan, tapi dirinya yang hancur. Untung cinta Arnold menyelamatkan dirinya, hi
Arnold menyodorkan cincin di hadapan Tania. Netra Tania menatap lurus cincin berlian di hadapanya. "Menikahlah denganku Tania, aku tak bisa berjanji bahwa aku akan selalu membahagiakan mu tapi aku ingin bersama sampai menutup mata." Tania mengejap matanya berulang kali, ia tak menyangkaa akan di cintai seperti ini. 'Apa ucapan kakak harus aku turuti?' Batin Tania. Arnold masih menatap penuh harap agar menerima dirinya. "Tania ...." panggil Arnold parau. "I-ya," jawab Tania sambil terbata- bata. "Apa kau menolakku?" tanya Arnold sedih. Ia berpikir sejenak. Lalu dengan memejamkan matanya ia menjawab lamaran Arnold. "Iya Arnold, aku mau menikah denganmu" walau hati ragu. Tapi ia ingin menghilangkan bayangan tentang Ryan di kepalanya. Hati Arnold sangat bahagia mendengar ucapan Tania. Arnold membuka kotak berisi cincin berlian. Menyematkan di jemari Tania. Cincin
Selama hampir sebulan Arnold mendekati Tania. Melakukan apa saja demi mendapatkan cinta Tania. Menyuruh Tania melupakan dendam pada Ryan. Mencoba berdamai dengan kehidupan. Bahwa semua terjadi adalah kuasaNya. Tapi Tania masih terdiam semua perkataan Arnold. Ia sangat sabar menghadapi Tania. Juga berdoa semoga Tania segera sadar. Arnold memakai jas Navy. Menyemprotkan aroma maskulin di tubuhnya. Jack sudah menunggu di belakang kemudi. Ia masuk mobil sudah tak sabar menemui Tania. Gugup menguasai hati Arnold. Jack melajukan mobilnya ke Apartemen Tania. Arnold membuka cincin berlian mata satu yang berkilau Indah. 'Ya Tuhan, semoga Tania menerimaku' batin Arnold. Tania baru bangun tidur saat mentari sudah naik. Ia mengeliat. Membuka selimutanya. Ada perasaan bahagia menyelinap ke dalam kalbu. Ia tak tau kenapa. Lebih baik mandi. Air pagi menyegarkan tubuh Tania. Rambut basah Tania telah di bungkus dengan handuk. Tania
Amelia melanjutkan makannya. Ucapan mertuanya yang menohok membuat selera makanya terhenti. 'Kapan Mama akan menerimaku?' Batin Amelia sambil menunduk. Ryan mengerti istrinya sedih. "Mas, ayo kita periksa ke dokter," rajuk Amelia dengan tatapan memohon. "Iya ... sayang, besok kita periksa. Kebetulan tak ada jadwal penting di kantor," Mata Amelia menyiratkan bahagia. Keinginan memiliki zuriat begitu besar baginya. Bukan sekedar menghindari ocehan mertuanya. Tapi ada kebahagiaan tersendiri di saat bayi mungil tumbuh besar di rahimnya. Melahirkan dan membesarkan dengan penuh cinta kasih. Untungnya suaminya sangat pengertian. Tak menuntutnya memiliki keturunan segera. Tapi anak adalah rejeki dan harus berusaha meraihnya. Juga doa yang tak pernah putus. Amelia mengeliat dalam pelukan suaminya. Hangat mengaliri darah Amelia. Ia mengejap dan mengedarkan pandanganya. Masih gelap jam berapa ini?
Kembali ke Amelia. Amelia mengejap matanya berulangkali. Ia melihat jam di beker di nakas. Jam 3 sore. Ia bangkit dan melangkah ke kamar mandi tak jauh dari kamarnya. Ritual mandi dilakukan dengan cepat. Selesai mandi segera ke dapur. Memasak untuk nanti makan nanti malam. Aroma masakan menyeruak menyebar di seluruh ruangan rumah ini. Jam lima sore Ryan pulang. Pintu rumah tak di kunci. Ia langsung masuk saja. "Ceklek" "Assalamualaikum," "Walaikum salam Mas Ryan," Senyum mengembang dari kedua sudut mulut Amelia. Ia menyambut suaminya dan mencium tanganya. "Masak apa sayang?" Tanya Ryan sembari mencium kening istrinya. "Masak kesukaan Mas Ryan," ucap Amelia sembari menaruh Ayam goreng di meja. "Mas mandi dulu, nanti kita malam bareng," "Iya sayang," Ryan melangkah ke kamar. Mandi juga berganti pakaian. Ryan terlihat segar. Waj
"Kenapa diam Tania?" "Kamu masih memikirkan Ryan? Laki- laki pengecut seperti itu masih kau pikirin! Kurang kerjaan aja !" Arga selalu marah apabila Tania memikirkan Ryan. "Aku nggak mikirin Ryan kak, tapi memikirkan bagaimana membalas sakit hatiku!" ucap Tania sambil mengepalkan tangan menahan marah di dada. "Hemm ... sampai kapan kau memelihara dendam di hati? Bikin sakit aja!" "Udahlah ... tak ingin dengar alasanmu, kak Arga pingin kamu melupakan Ryan dan menerima Arnold. Itu demi kebaikanmu!" Arga berlalu dari hadapan Tania. Memberi ultimatum telak. Menbuat Tania tak berkutik. Apakah aku harus menerima Arnold? Tania melangkah gontai ke kamar. Ia menjatuhkan dirinya di Bed. Menarik selimut sampai ke leher. Memejamkan mata berharap pelangi datang lewat mimpinya. Tania mengejap matanya tatkala sinar mentari menerobos lewat celah kecil dari jendelanya. Dan m
Arnold masih berada di Hotel mewah. terpekur sendiri. Memikirkan Tania. Mencoba menghubungi gawainya tapi tak aktif. Kangen di dada serasa akan meledak. Akhirnya ia menemui kembali Tania. Bukankah cinta harus di perjuangkan? Pikir Arnold. Di depan Apartemen kakaknya. Ia memencet bel. Ting tong. Arnold berniat ingin melamar Tania secara baik- baik. Tania bangkit dan membuka pintu. Alangkah terkejutnya ia saat tau Arnold ada di depanya. "Arnold ...." gumam Tania lirih. "Iya ini aku, sambil memegangi daun pintu. Tania menatap manik mata milik Arnold. Ada cinta yang dalam di matanya. "Ada apa, kenapa menatapku seperti itu?" Arnold tersenyum semanis mungkin di hadapan belahan jiwanya. "Tania ... aku ingin melamarmu," Jantung Tania serasa ingin melompat keluar juga deg- deg an. Senang mendapat perhatian dari lak
Ryan menyuruh Mamanya duduk di sofa, ia kembali berkutat dengan pekerjaanya. Agar tak mengganggu konsentrasinya. Akhirnya Mama Lina mau menuruti anaknya duduk di sofa. Tapi mulutnya tak bisa berhenti ngomel. "Kamu tuh keterlaluan banget ya, udah lupa sama Mamamu ini hah?! Beberapa Bulan tak ada kabar!" "Tapi Ryan selalu komunikasi sama kakak Ma?" "Kalau kakakmu aja di hubungi masa sama Mama nggak?" Lina semakin emosi. Anak bungsunya ini bikin gemes. Ryan kembali menekuri pekerjaanya. Tanpa melirik Mamanya. Tapi Mamanya masih aja nyerocos. "Kamu tuh belum tau rasanya jadi orang Tua sih!" Deg Hati Ryan tercubit. Ada Nyeri menyapa. Mencoba sabar omelan Mamanya. 'Ya Tuhan, sabarkanlah hamba menghadapi Mama' "Oh ya Si Amel udah hamil belum?" "Belum, kenapa Ma?&n