Ardila sudah banyak memesan makanan, ia tata dengan rapi di atas meja. Menghiraukan tatapan keempat orang yang masih sibuk mengurusi rumah. “Dil, kita boleh makan dulu nggak, baru nanti lanjut beresin rumahnya,” bujuk Firman karena perutnya sudah terasa lapar. “Ibu juga lapar, dari tadi siang belum makan,” timpal Ningsih menatap lapar makanan yang terhidang di atas meja. “Aku lapar Mas,” rengek Sinta. Ardila terdiam sejenak, “Cuma Sinta yang boleh,” ucapnya. Walaupun ia merasa kesal dengan Sinta, tapi janin yang sedang di kandungnya tidak bersalah. Sinta bergegas mencuci tangan, lalu duduk di kursi untuk menyantap makanannya. Perutnya benar-benar terasa lapar. Karena tidak mendapat respon dari Ardila, Firman, Ningsih serta Rosa akhirnya kembali membersihkan rumah. Setengah jam berlalu, mereka duduk dengan napas ngos-ngosan. “Keterlaluan kamu Dila, Ibu udah tua masih juga di suruh beresin rumah,” sungut Ningsih. Ardila merotasi bola matanya malas, “Memangnya apa yan
“Zakki?” Pria itu mengangguk dengan senyum simpulnya yang menawan. Sorot matanya terlihat menghormati wanita yang sedang ia tatap penuh kagum. “Kamu ngapain ke sini, Zakki?” tanya Ardila seraya menyuruh Zakki duduk untuk ikut bergabung. “Aku bekerja di kota ini Kakak Besar, aku ke sini cuma mau menyapa dan meminta nomor telepon Kakak Besar boleh? Siapa tahu lain kali kita bisa bertemu lagi,” ucap Zakki menatap Ardila penuh harap. “Boleh,” sahutnya seraya memasukan nomor teleponnya di ponsel Zakki. “Ini, kenapa nggak gabung dulu?” tanya Ardil seraya menyerahkan ponsel milik Zakki. Zakki menggeleng pelan, “Aku harus bekerja lagi Kakak Besar, nanti aku hubungi, ya,” ucapnya seraya berlalu dari hadapan Ardila. Setelah melihat kepergian pria tadi, Naya langsung menatap Ardila dengan heran, “Kenapa dia memanggilmu Kakak Besar?” Ardila mengedikkan bahunya, “Aku memang lebih tua darinya setahun, dulu juga sudah kularang, tapi katanya panggilan itu menginpirasi. Jadi, kubiar
“Kamu juga ikut andil dalam membiayainya nanti,” lanjutnya. Ardila menaikan satu alisnya, “Itu urusan Mas Firman, Bu. Mas Firman juga bukan lagi pengangguran.” “Mana cukup gaji Firman untuk menafkahi kita semua, kamu juga harus bantu Ardila,” sahut Ningsih berkecak pinggang. Melihat Ardila tidak menyahut, malah asik menikmati minuman dingin di tangannya membuat dada Ningsih kembali panas. “Kamu dengar nggak, sih?!” “Aku nggak ikut urusan, Bu, aku seorang istri yang perlu di nafkahi. Bukan tugasku ikut menafkahi,” ucap Ardila dengan tenang. Setelah berucap, Ardila segera berlalu menuju kamarnya. Semakin lama, Ardila merasa ia seperti di manfaatkan. Bukannya di nafkahi, malah minta di nafkahi semua. +628945677xxxx; [Save kontak.] Ardila mengernyit melihat ada pesan masuk dari nomor tak di kenal. Saya; [Siapa?] +628945677xxxx; [Arman.] Entah bagaimana sudut bibir Ardila terangkat, bibirnya berkedut menahan senyuman. Sedetik kemudian ia menggeleng ribut dengan
Ardila melihat Firman yang membopong tubuh ibunya, wajahnya terlihat panik. Ibunya pingsan setelah berteriak marah, Ardila mendekat melihat mertuanya dari dekat.Ardila berdehem setelah mengamati, “Bawa keruanganku dulu, Mas.” Firman menurut, ia mengikuti Ardila menuju ruangannya. Kemudian masuk ke ruangan pribadi Ardila yang berada di samping ruang kerjanya. Firman membaringkan Ningsih di atas kasur dengan perlahan, sorot matanya menatap Ardila marah.“Kamu kenapa harus keras pada Ibu! Ibu punya riwayat darah tinggi Ardila, kalau kambuh bisa gawat,” ucap Firman mengusap wajahnya kasar.“Aku cuma negur Ibu, Mas, karena seenaknya di sini. Apalagi sampai bikin karyawanku nggak betah.” “Seenaknya gimana sih, tinggal kamu turutin saja apa susahnya?” sahut Firman, wajahnya semakin merah menahan amarah.Ardila menatap Firman tajam, “Turutin gimana maksud kamu, Mas? Nyuruh karyawan buat beli jus sesuai kemauan Ibu gitu? Ini kantor bukan tempat makan.” “Emangnya kamu mau waktu lagi kerja m
Ardila menghela napas mendengar laporan Ryan, “Tunjukan ibu ada di mana Asisten Ryan.”Ryan mengangguk, mengikuti langkah Ardila dengan tegas. Di bawah benar-benar ramai dengan para karyawan yang sedang menyaksikan keributan.Ardila melihat Firman yang sedang menahan ibunya, wajahnya terlihat menahan malu dan kesal. Firman membalas tatapan Ardila, seakan berkata, ‘Tolong, Ardila.’“Ada apa ini?” seru Ardila membuat seluruh karyawan sadar akan kehadirannya.“Bu Ardila, wanita tua ini entah kenapa tiba-tiba menjambak rambutku! Padahal aku nggak melakukan apapun!” adu seorang karyawati seraya mendekat ke arah Ardila.Ningsih melotot, ia menunjuk wanita itu dengan geram. “Aku sudah bilang nggak sengaja menabrakmu, tapi kamu malah mendumel menyombongkan pakaianmu yang nggak seberapa!” “Heh! Wanita tua! Harusnya minta maaf kalau nggak sengaja menabrak seseorang. Bukan malah menyerang orang seperti monyet! Mendumel atau nggak juga itu urusanku,” sahut wanita itu terpancing emosi.“Apa kamu
Ardila yang tersadar segera menarik dirinya menjauh dari Arman, wajahnya memerah seperti kepiting rebus. Jantungnya berdetak kencang, membuat Ardila memalingkan wajahnya salah tingkah. Sedangkan Arman sama terkejut, wajahnya merah merona. Seakan tidak percaya apa yang terjadi tadi. Lamunan mereka buyar oleh suara Naya. “Kok berhenti tiba-tiba, sih. Kan jadi nyungsep,” keluh Naya seraya bangkit dari posisinya. Kening Naya mengkerut dalam melihat tingkah kedua orang yang ada di hadapannya. “Kalian kenapa? Kok mukanya pada merah.” Wajah Ardila semakin panas, ia bingung harus menjawab apa. Arman yang merasa suasananya canggung segera berdehem, menetralisir degup jantungnya. “Panas di sini, Nay, karena desak-desakan,” sahut Arman membuat alasan. Naya mengangguk setuju, “Kita turun saja, deh. Mumpung pawainya lagi berhenti.” Ardila mengangguk setuju, ia segera menggandeng tangan Naya untuk turun ke bawah. Sekarang ia sangat malu untuk berhadapan dengan Arman. Merasa puas,
Ketika Zakki ingin membuka bibirnya lagi, Ardila datang membuat Sinta pergi dari hadapan. Dalam benaknya, Zakki bertanya-tanya, kenapa Sinta berada di dalam rumah Ardila. “Di minum dulu, Zakki. Maaf cuma seadanya,” seru Ardila merasa tidak enak karena hanya ada beberapa camilan. Camilan yang biasanya Ardila simpan, benar-benar ludes ketika ia pulang. “Kakak Besar nggak perlu repot-repot, aku yang nggak enak karena di layani begini.” “Kamu kan, tamu di sini, Zak. Masa nggak aku kasih apa-apa,” kekeh Ardila. Zakki ikut terkekeh, sorot matanya menatap lurus ke arah Ardila. Ia ingin bertanya sesuatu, tapi ragu untuk memberitahunya. Ardila yang paham berdehem pelan, “Ada yang mau kamu tanyakan?” Zakki membuka mulutnya, kemudian terkantup lagi. “Apa Kakak Besar kenal dengan Sinta?” “Sinta?” beo Ardila. “Iya Kak, tadi aku nggak sengaja melihatnya … jadi, aku pikir Kakak Besar pasti mengenalnya.” Ardila mengangguk paham, “Sinta menantu di sini, memangnya kenapa?” Wajah
Ardila mengerjap bingung dengan pertanyaan sang asisten, kemudian menggeleng pelan mendengar kekehan dari Ryan. “Bu Ardila nggak usah memikirkannya, saya cuma bercanda saja.” “Kalau begitu kembali bekerja, selama bekerja Asisten Ryan.” Ryan mengangguk patuh dengan senyum menawannya, menatap atasannya yang sudah menghilang dari pandangan.“Bu Ardila nggak perlu tahu tentang rasaku, berada di dekatnya saja sudah membuat bahagia,” batin Ryan seraya kembali ke ruangannya untuk bekerja.Di sisi lain, Rosa mengadu pada ibunya. Di bumbui dengan kebohongan membuat Ningsih murka. Selama bekerja, Firman terus di ganggu oleh ibunya yang mengatakan harus membalas Ardila. Mau tidak mau, Firman mengiyakan agar dering ponselnya tidak berisik lagi. Di sinilah Firman, berada di ruangan Ardila saat jam istirahat. Setelah menutup laptop, Ardila menatap Firman dengan bertanya, “Ada apa ke sini?” “Ibu meneleponku terus, katanya kamu mempermalukan Rosa.” Ardila mengambil segelas air yang sudah tersedi
“Kamu ini Gal, ngagetin Ibu saja,” seru Afifah seraya mengelus dadanya dengan helaan napas lega. Galih menghiraukan perkataan ibunya, ia mengamati seisi kamar, “Benarkan ini kamar Ardila? Kalian ngapain masuk kamar Ardila?” tanya Galih menatap mereka bertiga dengan curiga. “Kamu jangan kebanyakan mikir, sini bantu Ibu,” ucap Afifah seraya menarik tangan Galih mendekat ke arah brangkas. “Bantu Ibu buka ini, dari tadi gagal terus,” lanjutnya membuat Galih terdiam. “Ibu mau ngapain?” “Ibu mau ngapain itu terserah, jangan buang waktu Ibu Gal, cepat bantu!” sentak Afifah kesal pada anaknya yang masih berdiam diri. Galih menggeleng pelan, “Kalian mau mencuri sesuatu ‘kan.” “Galih! Ibu bilang buka, ya, buka. Kamu ini sudah berani melawan ya! Nggak ingat apa Ibu yang biayain hidup kamu!” ketus Afifah mendelik marah. “Enggak gini caranya, Bu,” sahut Galih pelan. “Cepat buka atau Ibu nggak mau anggap kamu anak lagi!” Galih membeku, ia menatap sendu pada Afifah yang terlihat
Ardila merenggangkan tubuhnya, sedetik kemudian duduk dengan tiba-tiba. Ia teringat ketika tertidur di dalam mobil. “Apa Arman yang mengantarku sampai ke kamar?” batin Ardila bertanya-tanya. Tanpa ambil pusing, Ardila segera membersihkan diri dan keluar kamar. Pantas saja Ardila merasa sangat senyap, ternyata yang lain masih pada di kamar masing-masing, hanya dirinya yang bangun lebih awal. Ardila hanya memanggang roti dan membuat segelas susu. Ia malas memasak karena bahan sudah ada beberapa yang habis. “Enak banget ya, Tuan Putri, habis bangun langsung sarapan sendiri. Kenapa nggak masak?!” ketus Ningsih. Ardila melirik ibu mertuanya sekilas, “Bahan dapur sudah habis, nggak ada yang bisa di masak.” “Ibu yang akan beli bahan dapur, mana uangnya?” tanya Ningsih seraya menengadahkan tangan. “Kenapa minta ke aku, minta sama Firman, Bu. Selaku kepala keluarga,” sahut Ardila seadanya. Sebelum Ningsih menjawab, suara langkah kaki terdengar mendekat. “Kebetulan kamu dat
Rosa menatap Ryan dengan mata berbinar, tubuh atas Ryan yang bertelanjang dada membuat Rosa menahan napasnya. Jantungnya berdetak kencang. “K-kak Ryan mau apa?” tanya Rosa gugup sekaligus senang karena tubuhnya semakin di himpit Ryan ke dinding. “Memangnya apa lagi, nggak mau langsung ke atas ranjang?” tanya Ryan datar. Rosa membulatkan matanya, tanpa pikir panjang, Rosa langsung mendorong Ryan ke atas kasur. Setelah lulus, ia tidak ingin kuliah, ia akan menikah dengan Ryan karena mengandung darah dagingnya. “Kalau Kak Ryan membutuhkanku, aku siap bantu Kakak,” ucap Rosa sensual. Dengan gerakan cepat Rosa melepaskan pakaian atasnya, hanya menyisakan dalaman. Ketika ingin mencium Ryan, pintu di buka dengan keras. Ningsih berteriak nyaring membuat semua orang terbangun. “Ada apa, Bu?” tanya Firman ketika berada di dekat ibunya. “R-rosa …,” ucap Ningsih seraya menunjuk ke arah kamar tamu yang tempati Ryan. Firman masuk ke dalam dengan marah, ia menarik Ryan lalu meng
Arman mendongak ketika namanya di panggil, ia tersenyum menawan menatap Ardila. “Kamu tahu, ini ruangan yang nggak boleh sembarang orang masuki,” ucap Ardila menatap datar Arman. Arman hanya tersenyum tipis menanggapinya, kemudian kembali duduk di sofa. “Aku hanya ingin tahu jawabanmu tentang kemarin,” sahut Arman seadanya. Ardila mendengus kesal, “Nggak perlu aku jawab, karena nggak seharusnya pertanyaan itu keluar dari mulut pria yang sudah mempunyai seorang wanita.” “Seorang wanita?” tanya Arman mengernyit heran. Sedetik kemudian Arman mengingat di hari pertunangan Naya. “Tenang saja, dia bukan wanitaku,” jelas Arman tenang. “Aku nggak punya waktu, lebih baik kamu keluar,” usir Ardila malas meladeninya. Arman bangkit dari duduknya, berjalan perlahan ke arah Ardila. Ardila balas menatap Arman dengan datar. “Sungguh, dia bukan wanitaku. Orang yang aku cintai cuma kamu, perasaanku hari itu bersungguh-sungguh,” bisik Arman ketika tepat berada di depan Ardila dengan
“Tuhkan benar, tapi Tuan harus bersabar dulu. Karena Rosa masih sekolah,” ucap Ningsih dengan girang. “Rosa juga harus kuliah dulu, Bu,” sela Firman yang baru saja turun di ikuti Sinta.“Kuliah sambil nikah mah, nggak apa-apa.” “Sepertinya di sini ada kesalahpahaman, saya datang ke sini bukan mau melamar putri Ibu,” ucap Arman sebelum kesalahpahamannya semakin berlanjut.“Di sini nggak ada lagi wanita yang lajang selain adikku,” sahut Firman seraya mengernyit bingung.Arman tersenyum tipis, melirik ke arah Ardila yang hanya diam. “Saya ingin melamar Ardila.”“APA?!” teriak Ningsih dan Rosa berbarengan.“Kamu jangan bercanda,” ucap Firman menatap Arman tajam.“Bukan hanya suami yang boleh punya istri dua, istri juga boleh punya dua suami,” sahut Arman seadanya.“Jangan gila kamu, Arman,” ucap Ardila menggeleng pelan tidak percaya.Arman menatap Ardila dengan sorot serius, “Aku serius Dil, akan aku berikan berapapun mahar yang kamu mau.” “Jangan bercanda di sini, lebih baik kamu perg
Pandangan mereka terputus setelah beberapa menit saling menatap. Ardila pergi menjauh mencari keberadaan Naya, sedangkan Arman terus melihat ke arah Ardila hingga menghilang dari pandangannya. Wanita yang berada di sampingnya mendengus kesal, “Kenapa terus menatapnya, sih!” Arman tidak peduli dengan ocehan wanita itu, ia mencoba berbaur untuk menghilangkan Ardila dari pikirannya. “Naya beruntung ya, andai saja kamu juga peka,” kode wanita itu mengeratkan pegangannya pada lengan Arman. Arman yang merasa risih segera melepaskan lengannya dari tangan wanita itu, “Berhenti mengoceh Gisel.” Gisel mengerucutkan bibirnya sebal, “Kamu itu nggak peka sekali, aku’kan juga mau kita seperti Naya dan Yolan.” “Berhenti bermimpi,” sahut Arman datar, ia segera meninggalkan Gisel sendirian. Sedangkan di sisi lain, Ardila berhasil menemukan sahabatnya yang sudah berpenampilan sangat cantik. Matanya berbinar lalu berucap, “Cantik banget sahabatku.” “Dilaa! Makasih lho! Ya, ampun. Ak
Satu bulan berlalu.Kehidupan Ardila berjalan seperti biasa, hanya hatinya yang terasa kosong. Selama sebulan, ia sama sekali tidak berkomunikasi dengan Arman setelah insiden itu. Ketika pikirannya tertuju pada pria itu, Ardila akan berkerja tanpa henti untuk menyingkirkan pria itu dari pikirannya.Ardila memijat pangkal hidungnya, kepalanya terasa pusing karena terus bekerja tanpa kenal waktu. Ia juga tidak dapat berhenti memikirkan Arman, yang ia dapat justru tubuhnya menjadi lelah.“Bu Ardila, kamu harus istirahat,” ucap asisten Ryan setelah di izinkan masuk. Ryan merasa atasannya terlalu memaksakan diri, kantong mata Ardila terlihat jelas membuat Ryan sedikit khawatir.Ardila mengangguk lelah, ia segera menutup laptopnya dan merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal.“Bu Ardila istirahat hingga merasa lebih baik, biar saya yang urus sisanya,” seru Ryan.“Terima kasih Asisten Ryan, jika ada yang penting segera laporkan padaku,” sahut Ardila seraya berjalan ke ruang pribadinya. Ia me
Ardila mengerjap bingung dengan pertanyaan sang asisten, kemudian menggeleng pelan mendengar kekehan dari Ryan. “Bu Ardila nggak usah memikirkannya, saya cuma bercanda saja.” “Kalau begitu kembali bekerja, selama bekerja Asisten Ryan.” Ryan mengangguk patuh dengan senyum menawannya, menatap atasannya yang sudah menghilang dari pandangan.“Bu Ardila nggak perlu tahu tentang rasaku, berada di dekatnya saja sudah membuat bahagia,” batin Ryan seraya kembali ke ruangannya untuk bekerja.Di sisi lain, Rosa mengadu pada ibunya. Di bumbui dengan kebohongan membuat Ningsih murka. Selama bekerja, Firman terus di ganggu oleh ibunya yang mengatakan harus membalas Ardila. Mau tidak mau, Firman mengiyakan agar dering ponselnya tidak berisik lagi. Di sinilah Firman, berada di ruangan Ardila saat jam istirahat. Setelah menutup laptop, Ardila menatap Firman dengan bertanya, “Ada apa ke sini?” “Ibu meneleponku terus, katanya kamu mempermalukan Rosa.” Ardila mengambil segelas air yang sudah tersedi
Ketika Zakki ingin membuka bibirnya lagi, Ardila datang membuat Sinta pergi dari hadapan. Dalam benaknya, Zakki bertanya-tanya, kenapa Sinta berada di dalam rumah Ardila. “Di minum dulu, Zakki. Maaf cuma seadanya,” seru Ardila merasa tidak enak karena hanya ada beberapa camilan. Camilan yang biasanya Ardila simpan, benar-benar ludes ketika ia pulang. “Kakak Besar nggak perlu repot-repot, aku yang nggak enak karena di layani begini.” “Kamu kan, tamu di sini, Zak. Masa nggak aku kasih apa-apa,” kekeh Ardila. Zakki ikut terkekeh, sorot matanya menatap lurus ke arah Ardila. Ia ingin bertanya sesuatu, tapi ragu untuk memberitahunya. Ardila yang paham berdehem pelan, “Ada yang mau kamu tanyakan?” Zakki membuka mulutnya, kemudian terkantup lagi. “Apa Kakak Besar kenal dengan Sinta?” “Sinta?” beo Ardila. “Iya Kak, tadi aku nggak sengaja melihatnya … jadi, aku pikir Kakak Besar pasti mengenalnya.” Ardila mengangguk paham, “Sinta menantu di sini, memangnya kenapa?” Wajah