“Zakki?” Pria itu mengangguk dengan senyum simpulnya yang menawan. Sorot matanya terlihat menghormati wanita yang sedang ia tatap penuh kagum.“Kamu ngapain ke sini, Zakki?” tanya Ardila seraya menyuruh Zakki duduk untuk ikut bergabung. “Aku bekerja di kota ini Kakak Besar, aku ke sini cuma mau menyapa dan meminta nomor telepon Kakak Besar boleh? Siapa tahu lain kali kita bisa bertemu lagi,” ucap Zakki menatap Ardila penuh harap. “Boleh,” sahutnya seraya memasukan nomor teleponnya di ponsel Zakki. “Ini, kenapa nggak gabung dulu?” tanya Ardil seraya menyerahkan ponsel milik Zakki. Zakki menggeleng pelan, “Aku harus bekerja lagi Kakak Besar, nanti aku hubungi, ya,” ucapnya seraya berlalu dari hadapan Ardila. Setelah melihat kepergian pria tadi, Naya langsung menatap Ardila dengan heran, “Kenapa dia memanggilmu Kakak Besar?” Ardila mengedikkan bahunya, “Aku memang lebih tua darinya setahun, dulu juga sudah kularang, tapi katanya panggilan itu menginpirasi. Jadi, kubiarkan saja.” “
“Kamu juga ikut andil dalam membiayainya nanti,” lanjutnya.Ardila menaikan satu alisnya, “Itu urusan Mas Firman, Bu. Mas Firman juga bukan lagi pengangguran.” “Mana cukup gaji Firman untuk menafkahi kita semua, kamu juga harus bantu Ardila,” sahut Ningsih berkecak pinggang.Melihat Ardila tidak menyahut, malah asik menikmati minuman dingin di tangannya membuat dada Ningsih kembali panas. “Kamu dengar nggak, sih?!” “Aku nggak ikut urusan, Bu, aku seorang istri yang perlu di nafkahi. Bukan tugasku ikut menafkahi,” ucap Ardila dengan tenang. Setelah berucap, Ardila segera berlalu menuju kamarnya. Semakin lama, Ardila merasa ia seperti di manfaatkan. Bukannya di nafkahi, malah minta di nafkahi semua. +628945677xxxx;[Save kontak.]Ardila mengernyit melihat ada pesan masuk dari nomor tak di kenal.Saya;[Siapa?]+628945677xxxx;[Arman.]Entah bagaimana sudut bibir Ardila terangkat, bibirnya berkedut menahan senyuman. Sedetik kemudian ia menggeleng ribut dengan tingkahnya. Ardila juga
“Apa-apaan ini Mas?!” tanya Ardila marah setelah mengetahui suaminya memiliki istri yang lain.“Maafkan Mas, Dila. Kamu sudah menjadi istri kedua Mas,” jelas Firman tanpa merasa bersalah.Ardila menatap Firman marah, ia merasa di tipu. Kenapa tidak ada yang memberitahunya bahwa calon suaminya telah memiliki istri.“Harusnya aku yang marah karena suamiku menikah lagi, tapi kok malah ke balik ya,” ucap Sinta dengan sewot.“Tapi karena wasiat orang tua kamu itu, aku jadi harus merelakan Mas Firman buat kamu, bersyukur dong!” lanjutnya lagi.“Kalau Mas Firman sudah menikah, aku juga nggak bakalan mau Mbak!” “Sudahlah, Dila. Hargai apa yang orang tua kamu mau, itu permintaan terakhirnya,” seru Firman dengan lembut.Tanpa menjawab, Ardila pergi meninggalkan kedua sejoli itu ke kamar yang sekarang ia tempati, karena saat ini ia sedang berada di rumah Ibu mertuanya.Ardila merasa kecewa kepada paman dan bibinya, baru saja ia ingin sedikit memberi kepercayaan, tetap malah membuat dirinya kece
“Dasar anak kurang ajar!” teriak Afifah dengan kesal.“Udahlah, Bu. Nggak usah teriak-teriak, pusing Bapak dengarnya,” tegur Dirjo.Dada Afifah naik turun menahan amarah, ia menatap sinis Ardila.“Lagian juga itu harta warisan, sudah seharusnya kamu membaginya dengan kita,” seloroh Ningsih.“Kalau hanya Mas Firman saja, aku nggak masalah. Tapi nggak untuk kalian bertiga!” sahut Ardila menatap mereka bergantian.“Mana bisa begitu, kamu mau membuat Firman nggak berbakti sama Ibu ya!” marah Ningsih menggebrak meja.“Dila, sekarang keluarga Mas kan, keluarga kamu juga. Apalagi Ibu seorang janda dan Rosa juga masih sekolah, Mas takut kalau tinggalin mereka. Kita tinggal bareng nggak apa-apa, ya,” bujuk Firman dengan lembut.Sebenarnya kalau bukan karena sikap mereka terhadapnya, Ardila juga kasian pada mertua dan adik iparnya itu. Dan dengan rela ia akan membiarkan mereka tinggal di rumah besarnya. Ardila mengangguk pelan, menatap mereka semua dengan pandangan rumit. Untuk sekarang ia aka
“Gila kamu, Naya! Nggak mungkinlah,” sanggah Ardila menggelengkan kepalanya.“Mungkin aja, sepupuku lebih baik dari pada Firman. Aku yakin itu!” “Dan lagi nggak mungkin orang tua kamu mau lihat kamu nggak bahagia Dila. Orang tua kamu pasti lebih memilih kebahagiaan kamu dari pada perjodohan itu!” lanjut Naya. “Aku nggak tau harus gimana, Nay. Yang aku pikirkan sekarang mencoba untuk menjalaninya, jika aku udah nggak kuat. Aku bakal ikuti katamu, cerai.” Naya menghembuskan napasnya panjang, “Baiklah, semua keputusan ada di tangan kamu. Kalau kamu butuh apa-apa bisa panggil aku.” Ardila mengangguk, ia tersenyum haru karena memiliki sahabat seperti Naya yang selalu ada untuknya.“Terima kasih sayangku,” ucap Ardila seraya memeluk Naya erat.“Kamu itu udah aku anggap sebagai saudara, jadi kita harus saling bahu membahu, paham!” sahut Naya dengan tegas.“Ay ay kapten!” kekeh Ardila di ikuti Naya.***Ardila yang baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, sudah di sambut denga
“Sepupuku itu ganteng loh, pengusaha lagi. Padahal sebelumnya mau aku jodohkan sama kamu,” celoteh Naya. Sejak masuk ke dalam mobil, Naya sudah menceritakan banyak hal tentang sepupunya ini. Ardila terkekeh pelan, “Ada-ada aja kamu Nay.” “Aku serius Dil, tapi katanya dia lagi nunggu seseorang. Dari dulu sampai sekarang nggak ketemu,” lanjut Naya menceritakan sepupunya. “Nunggu jodoh itu Nay, orang kayak begitu nggak suka di ganggu.” “Betul, kalau aku cerita tentang kamu, dia cuma diam doang kayak patung,” sungut Naya kesal karena teringat sikap sepupunya itu. “Kuharap bukan aib yang kamu ceritakan, Nay.” “Maunya sih begitu, tapi dia juga gak bakal peduli.” Ketika tiba di bandara, Naya terlihat celingak-celinguk dengan postur tubuh yang tidak tenang. “Aduh Dil! Aku kebelet pipis, aku tinggal sebentar ya, Dil. Oh iya, namanya Arman Satyaloka.” Setelah berucap, Naya pergi dari hadapan Ardila. Meninggalkan Ardila dengan kebingungannya, bagaimana ia bisa tahu seperti apa rup
Setelah mengantar Naya dan Arman, Ardila tidak langsung pulang. Ia sangat malas bertemu keluarga suaminya. Di sinilah Ardila sekarang, duduk tenang di ruangannya. Asisten Ryan masuk ke dalam setelah di izinkan. Ia segera menyerahkan dokumen, “Ini dokumen yang Ibu minta.” Ardila mengangguk, ia melirik Ryan yang bergeming di tempatnya, “Ada apa Asisten Ryan?” “Bukankah ini masih masa libur Bu Ardila, kenapa bekerja?” “Aku hanya bosan, nggak ada salahnya aku bekerja.” Asisten Ryan mengangguk, “Baiklah, selamat bekerja Bu Ardila.” Ardila kembali fokus ke pekerjaannya setelah Ryan keluar ruangannya. Karena menikmati waktunya, Ardila pulang jam tujuh malam. “Bagus banget ya, keluyuran terus!” sentak Firman ketika melihat Ardila baru pulang ke rumah. “Nggak benar kali tuh di luar,” timpal Ningsih mengompori. “Stop ya, Mas, Bu! Aku capek, aku baru pulang kerja. Aku mau istirahat!” sahut Ardila seraya berlalu di hadapan mereka. “Aku baru ingat, mbak Ardila kan, punya perusahaa
Ardila masuk ke dalam kantor setelah memarkirkan mobilnya, ia meninggalkan mereka setelah menolak keras permintaan Firman. Karyawan yang berpapasan dengan Ardila, menundukkan kepalanya hormat. Ardila hanya membalas menganggukkan sedikit kepalanya. Jika sudah berurusan dengan pekerjaan, aura Ardila memancar keluar. Terlihat berwibawa, tenang dan aura pemimpin yang kuat. Ardila duduk di kursi kejayaannya, ia melihat-lihat dokumen yang di serahkan asisten Ryan. Fokusnya teralih setelah melihat dokumen kerjasamanya dengan perusahaan Loka. Ardila merasa familiar dengan nama perusahaan itu. Perhatian Ardila teralih saat terdengar ketukan pintu, “Masuk.” Asisten Ryan masuk, “Bu Ardila. Pak Firman, suami anda sedang membuat kekacauan.” Kening Ardila mengernyit, “Di mana dia?” “Di bawah, Bu. Dia sedang di tahan para satpam.” Sorot mata Ardila berubah tegas, ia berdiri dari singgasananya. Berlalu untuk menemui sang pengacau di ikuti Ryan. Melihat kedatangan Ardila dan Ryan, seluru