“Kamu juga ikut andil dalam membiayainya nanti,” lanjutnya. Ardila menaikan satu alisnya, “Itu urusan Mas Firman, Bu. Mas Firman juga bukan lagi pengangguran.” “Mana cukup gaji Firman untuk menafkahi kita semua, kamu juga harus bantu Ardila,” sahut Ningsih berkecak pinggang. Melihat Ardila tidak menyahut, malah asik menikmati minuman dingin di tangannya membuat dada Ningsih kembali panas. “Kamu dengar nggak, sih?!” “Aku nggak ikut urusan, Bu, aku seorang istri yang perlu di nafkahi. Bukan tugasku ikut menafkahi,” ucap Ardila dengan tenang. Setelah berucap, Ardila segera berlalu menuju kamarnya. Semakin lama, Ardila merasa ia seperti di manfaatkan. Bukannya di nafkahi, malah minta di nafkahi semua. +628945677xxxx; [Save kontak.] Ardila mengernyit melihat ada pesan masuk dari nomor tak di kenal. Saya; [Siapa?] +628945677xxxx; [Arman.] Entah bagaimana sudut bibir Ardila terangkat, bibirnya berkedut menahan senyuman. Sedetik kemudian ia menggeleng ribut dengan
Ardila melihat Firman yang membopong tubuh ibunya, wajahnya terlihat panik. Ibunya pingsan setelah berteriak marah, Ardila mendekat melihat mertuanya dari dekat.Ardila berdehem setelah mengamati, “Bawa keruanganku dulu, Mas.” Firman menurut, ia mengikuti Ardila menuju ruangannya. Kemudian masuk ke ruangan pribadi Ardila yang berada di samping ruang kerjanya. Firman membaringkan Ningsih di atas kasur dengan perlahan, sorot matanya menatap Ardila marah.“Kamu kenapa harus keras pada Ibu! Ibu punya riwayat darah tinggi Ardila, kalau kambuh bisa gawat,” ucap Firman mengusap wajahnya kasar.“Aku cuma negur Ibu, Mas, karena seenaknya di sini. Apalagi sampai bikin karyawanku nggak betah.” “Seenaknya gimana sih, tinggal kamu turutin saja apa susahnya?” sahut Firman, wajahnya semakin merah menahan amarah.Ardila menatap Firman tajam, “Turutin gimana maksud kamu, Mas? Nyuruh karyawan buat beli jus sesuai kemauan Ibu gitu? Ini kantor bukan tempat makan.” “Emangnya kamu mau waktu lagi kerja m
Ardila menghela napas mendengar laporan Ryan, “Tunjukan ibu ada di mana Asisten Ryan.”Ryan mengangguk, mengikuti langkah Ardila dengan tegas. Di bawah benar-benar ramai dengan para karyawan yang sedang menyaksikan keributan.Ardila melihat Firman yang sedang menahan ibunya, wajahnya terlihat menahan malu dan kesal. Firman membalas tatapan Ardila, seakan berkata, ‘Tolong, Ardila.’“Ada apa ini?” seru Ardila membuat seluruh karyawan sadar akan kehadirannya.“Bu Ardila, wanita tua ini entah kenapa tiba-tiba menjambak rambutku! Padahal aku nggak melakukan apapun!” adu seorang karyawati seraya mendekat ke arah Ardila.Ningsih melotot, ia menunjuk wanita itu dengan geram. “Aku sudah bilang nggak sengaja menabrakmu, tapi kamu malah mendumel menyombongkan pakaianmu yang nggak seberapa!” “Heh! Wanita tua! Harusnya minta maaf kalau nggak sengaja menabrak seseorang. Bukan malah menyerang orang seperti monyet! Mendumel atau nggak juga itu urusanku,” sahut wanita itu terpancing emosi.“Apa kamu
Ardila yang tersadar segera menarik dirinya menjauh dari Arman, wajahnya memerah seperti kepiting rebus. Jantungnya berdetak kencang, membuat Ardila memalingkan wajahnya salah tingkah. Sedangkan Arman sama terkejut, wajahnya merah merona. Seakan tidak percaya apa yang terjadi tadi. Lamunan mereka buyar oleh suara Naya. “Kok berhenti tiba-tiba, sih. Kan jadi nyungsep,” keluh Naya seraya bangkit dari posisinya. Kening Naya mengkerut dalam melihat tingkah kedua orang yang ada di hadapannya. “Kalian kenapa? Kok mukanya pada merah.” Wajah Ardila semakin panas, ia bingung harus menjawab apa. Arman yang merasa suasananya canggung segera berdehem, menetralisir degup jantungnya. “Panas di sini, Nay, karena desak-desakan,” sahut Arman membuat alasan. Naya mengangguk setuju, “Kita turun saja, deh. Mumpung pawainya lagi berhenti.” Ardila mengangguk setuju, ia segera menggandeng tangan Naya untuk turun ke bawah. Sekarang ia sangat malu untuk berhadapan dengan Arman. Merasa puas,
Ketika Zakki ingin membuka bibirnya lagi, Ardila datang membuat Sinta pergi dari hadapan. Dalam benaknya, Zakki bertanya-tanya, kenapa Sinta berada di dalam rumah Ardila. “Di minum dulu, Zakki. Maaf cuma seadanya,” seru Ardila merasa tidak enak karena hanya ada beberapa camilan. Camilan yang biasanya Ardila simpan, benar-benar ludes ketika ia pulang. “Kakak Besar nggak perlu repot-repot, aku yang nggak enak karena di layani begini.” “Kamu kan, tamu di sini, Zak. Masa nggak aku kasih apa-apa,” kekeh Ardila. Zakki ikut terkekeh, sorot matanya menatap lurus ke arah Ardila. Ia ingin bertanya sesuatu, tapi ragu untuk memberitahunya. Ardila yang paham berdehem pelan, “Ada yang mau kamu tanyakan?” Zakki membuka mulutnya, kemudian terkantup lagi. “Apa Kakak Besar kenal dengan Sinta?” “Sinta?” beo Ardila. “Iya Kak, tadi aku nggak sengaja melihatnya … jadi, aku pikir Kakak Besar pasti mengenalnya.” Ardila mengangguk paham, “Sinta menantu di sini, memangnya kenapa?” Wajah
Ardila mengerjap bingung dengan pertanyaan sang asisten, kemudian menggeleng pelan mendengar kekehan dari Ryan. “Bu Ardila nggak usah memikirkannya, saya cuma bercanda saja.” “Kalau begitu kembali bekerja, selama bekerja Asisten Ryan.” Ryan mengangguk patuh dengan senyum menawannya, menatap atasannya yang sudah menghilang dari pandangan.“Bu Ardila nggak perlu tahu tentang rasaku, berada di dekatnya saja sudah membuat bahagia,” batin Ryan seraya kembali ke ruangannya untuk bekerja.Di sisi lain, Rosa mengadu pada ibunya. Di bumbui dengan kebohongan membuat Ningsih murka. Selama bekerja, Firman terus di ganggu oleh ibunya yang mengatakan harus membalas Ardila. Mau tidak mau, Firman mengiyakan agar dering ponselnya tidak berisik lagi. Di sinilah Firman, berada di ruangan Ardila saat jam istirahat. Setelah menutup laptop, Ardila menatap Firman dengan bertanya, “Ada apa ke sini?” “Ibu meneleponku terus, katanya kamu mempermalukan Rosa.” Ardila mengambil segelas air yang sudah tersedi
Satu bulan berlalu.Kehidupan Ardila berjalan seperti biasa, hanya hatinya yang terasa kosong. Selama sebulan, ia sama sekali tidak berkomunikasi dengan Arman setelah insiden itu. Ketika pikirannya tertuju pada pria itu, Ardila akan berkerja tanpa henti untuk menyingkirkan pria itu dari pikirannya.Ardila memijat pangkal hidungnya, kepalanya terasa pusing karena terus bekerja tanpa kenal waktu. Ia juga tidak dapat berhenti memikirkan Arman, yang ia dapat justru tubuhnya menjadi lelah.“Bu Ardila, kamu harus istirahat,” ucap asisten Ryan setelah di izinkan masuk. Ryan merasa atasannya terlalu memaksakan diri, kantong mata Ardila terlihat jelas membuat Ryan sedikit khawatir.Ardila mengangguk lelah, ia segera menutup laptopnya dan merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal.“Bu Ardila istirahat hingga merasa lebih baik, biar saya yang urus sisanya,” seru Ryan.“Terima kasih Asisten Ryan, jika ada yang penting segera laporkan padaku,” sahut Ardila seraya berjalan ke ruang pribadinya. Ia me
Pandangan mereka terputus setelah beberapa menit saling menatap. Ardila pergi menjauh mencari keberadaan Naya, sedangkan Arman terus melihat ke arah Ardila hingga menghilang dari pandangannya. Wanita yang berada di sampingnya mendengus kesal, “Kenapa terus menatapnya, sih!” Arman tidak peduli dengan ocehan wanita itu, ia mencoba berbaur untuk menghilangkan Ardila dari pikirannya. “Naya beruntung ya, andai saja kamu juga peka,” kode wanita itu mengeratkan pegangannya pada lengan Arman. Arman yang merasa risih segera melepaskan lengannya dari tangan wanita itu, “Berhenti mengoceh Gisel.” Gisel mengerucutkan bibirnya sebal, “Kamu itu nggak peka sekali, aku’kan juga mau kita seperti Naya dan Yolan.” “Berhenti bermimpi,” sahut Arman datar, ia segera meninggalkan Gisel sendirian. Sedangkan di sisi lain, Ardila berhasil menemukan sahabatnya yang sudah berpenampilan sangat cantik. Matanya berbinar lalu berucap, “Cantik banget sahabatku.” “Dilaa! Makasih lho! Ya, ampun. Ak