"Kamu nikah sama saya!" titah seorang pria. "HAH? Nikah? Baru juga ta'aruf. Gila ya?" "Iya. Saya memang tergila-gila sama kamu!" Pertengkaran itu terus berlanjut. Antara seorang pria 32 tahun dengan wanita yang tujuh tahun lebih muda darinya. Kehendak orang tua dan umur yang tak lagi muda, menjadikan keduanya harus melanjutkan prosesi ta'aruf hingga ke jenjang pernikahan. Bisakah keduanya membina keluarga yang sakinah mawaddah warahmah seperti harapan kedua orang tua mereka? Bagaimana jika keduanya masih mementingkan egonya masing-masing? Yuk langsung baca aja. Salam kenal dari Hanazawa Easzy
Lihat lebih banyak"Saya terima nikah dan jodohnya ... "
Seorang pria dengan jas hitam yang melekat di tubuhnya, mengucap janji suci di atas altar. Dekorasi bunga artificial menghiasi panggung persegi panjang itu. Orang-orang tersenyum, ikut berbahagia akan karunia Allah ini.
Pengantin wanita duduk di samping pria yang mengucap akad tadi, mereka saling pandang dan kemudian mengulas senyum. Layaknya sepasang pengantin baru lainnya, mempelai wanita menyalami pria yang kini berstatus sebagai suaminya. Dan sebagai hadiahnya, dia mendapat kecupan di kening.
Manisnya....
Puk puk
"MEL?! AMELL!" Dua buah tepukan mendarat di puncak lengan Amel, salah satu tamu undangan yang hadir di tempat itu. "Kamu ngapain? Ngalamun?" tanya Meta, sahabat Amel.
Gadis yang dipanggil Amel itu segera menoleh ke sumber suara, untuk kemudian tersenyum.
"Ngalamun terus! Kamu pengen nikah ya?" celoteh wanita itu lagi, salah satu sahabat Amel. Wanita ini mengenakan jilbab lebar dengan gamis hijau toska menutupi tubuhnya.
Dan gadis yang dipanggil Amel tadi hanya tersenyum hambar, malas meladeni godaan yang sahabatnya lontarkan. Telinganya sudah kebal mendapat olok-olokan dari ibu satu anak ini.
"Cantik banget ya Nisa. Beruntung dia dapet suami ganteng," celoteh salah satu tamu undangan yang duduk di belakang Amel. Meta menoleh dan tersenyum kecut. Dia juga melirik Amel yang diam tak bereaksi sama sekali.
"Ya, rezekinya dia." Seseorang menjawabnya sedikit ketus. Amel memainkan ponselnya. Dari suaranya, Amel tahu jika yang tengah memperbincangkan Si Pengantin adalah ratu gosip di kelas. Semua orang tahu tabiat keduanya.
"Denger-denger mau bulan madu ke lombok, loh." Suara pertama menimpali, membuat Amel merasa semakin jengah di tempat ini.
"Wah, yang bener? Emang suaminya kerja di mana?"
'Hmm, 'kan? 'kan? 'kan?' Amel membatin. Ia memutar bola matanya, merasa jengah pada komentar beberapa wanita di dekatnya.
"Nggak usah didengerin, bikin sakit kuping," bisik Meta di telinga Amel. Dia yang paling mengerti perasaan jomlo satu ini. Dan dia tahu, Amel tidak nyaman dengan pembicaraan teman-temannya itu karena dari sekian banyak anak, hanya tinggal beberapa yang belum menikah. Amel salah satunya.
Teman-teman sekelasnya masih sama, suka bergosip seperti wanita-wanita lain pada umumnya. Mungkin memang sudah kodrat kaum hawa, tiada hari tanpa bergosip.
Lidah dan bibir mereka begitu piawai membicarakan keburukan orang lain. Bukan hanya keburukan, bahkan di saat bahagia seperti ini saja masih ada yang menambah bumbu penyedap dalam percakapannya. Pura-pura menyanjung tapi kemudian membicarakannya di belakang.
"Mel, hari ini kamu libur?" tanya Meta.
"Berangkat siang." Amel menjawab dengan wajah datar andalannya.
Meta mengangguk. Dia tahu rutinitas sahabatnya ini. Sebagai seorang perawat di salah satu rumah sakit, pastilah ada jadwal tertulis setiap bulannya. Berbeda dengannya yang murni ibu rumah tangga, pengangguran. Bisa dikatakan, tanpa kegiatan sama sekali.
Acara pernikahan itu masih terus berlanjut. Berbagai prosesi dijalankan oleh kedua mempelai. Beberapa tamu undangan mulai menikmati hidangan yang ada, termasuk Meta. Tersisa Amel seorang diri di sini.
Gadis 25 tahun ini menatap arloji bulat di pergelangan tangannya, tepat jam dua belas siang. Satu jam sebelum dia berangkat kerja. Tidak ada waktu lagi, dia harus segera berpamitan dari acara mewah ini.
Sejurus kemudian, Amel sudah duduk di atas motor matic miliknya. Dia memakai masker, kacamata, dan helm di kepalanya. Kendaraan roda dua itu membawanya pergi dari gedung resepsi pernikahan ini menuju rumahnya di dekat alun-alun kota. Terhitung ini adalah tahun ketiganya bekerja di rumah sakit sebagai seorang perawat.
Jalanan tampak ramai, waktunya jam makan siang orang-orang kantoran. Amel mengendarai sepeda motornya dengan hati-hati.
CIIITT
BRUKK
Sepeda motor yang Amel naiki tersenggol sebuah mobil warna silver yang berhenti di perempatan lampu merah, sama sepertinya. Beberapa orang segera mendekat dan menolong gadis yang memakai gaun warna coklat susu ini.
"Mbak, nggak apa-apa?" tanya seorang pria yang keluar dari mobil silver ini.
"Ada yang luka?" tanya pengendara yang lainnya.
"Periksa ke rumah sakit, mbak. Takut ada luka serius." Suara lain memberi saran.
"Nggak apa-apa kok, Pak, Bu." Amel tersenyum canggung sambil menatap orang-orang di sekelilingnya. Dia meringis, menahan luka di siku dan sisi luar tangannya yang baret setelah beradu dengan aspal jalanan. Darah mulai keluar membasahi gaun yang dipakainya.
"Mbak, tangannya berdarah," ucap salah satu wanita yang ikut berkerumun di sekeliling Amel.
"Pak, tanggung jawab! Ini mbaknya luka." Seorang wanita yang pertama kali menolong Amel, tampak menuntut pertanggungjawaban pria pengemudi mobil itu. Dia terlihat seperti orang kantoran, terlihat dari jas dan sepatu mengilap yang dipakainya.
"Iya, saya tanggung jawab, Bu. Mbak, ayo ... " pria berkacamata hitam itu berusaha bertanggung jawab atas kesalahannya yang kurang hati-hati saat berkendara.
"Maaf, saya buru-buru. Saya nggak apa-apa kok." Amel melirik lampu lalu lintas yang kini berubah warna hijau, tanda kendaraan sudah boleh melanjutkan perjalanan.
TIN
TIINN!!
Bunyi klakson di belakang sana mulai terdengar saling bersahutan, membubarkan kerumunan di depannya. Satu dua motor nekat melaju, meninggalkan Amel yang kini sudah duduk di atas motornya.
"Mbak, saya antar..."
Amel menoleh sekilas, "Saya nggak apa-apa. Maaf saya buru-buru."
Detik berikutnya, gadis 154 cm itu telah melajukan kendaraan skuter matic miliknya, membuat pemilik mobil silver terpaksa masuk ke dalam kendaraannya sendiri. Sebelum lampu menyala merah, dia segera menekan pedal gas, belok kanan ke arah barat dimana tempat tujuannya berada.
Dua muda mudi ini tak tahu, pertemuan pertama yang tak disengaja ini akan membawa mereka pada pertemuan-pertemuan selanjutnya.
***
Hai readers semua, ini novel pertamaku di sini. Semoga kalian suka. Mohon maaf jika masih ada typo. Author nantikan kritik saran dari kalian. Sampai jumpa di episode berikutnya. See you,
Hanazawa Easzy
Hello Readers tercinta... Mohon maaf, untuk novel Ta'aruf Tanda Cinta ini terpaksa hiatus sampai waktu yang belum bisa ditentukan. Sejujurnya, Author suka cerita ini. Tapi kafena satu dan lain hal, sepertinya belum bisa Author lanjutkan. Daripada dipaksakan nanti ceritanya jauh dari harapan kalian, jadi dengan sangat menyesal Amel & Wibi undur diri untuk sementara. Nanti kalau mood Author udah membaik, in syaa Allah segera update bab berikutnya. Sekali lagi, mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Author sangat menghargai apresiasi kalian. Tapi, sayangnya memang bener-bener belum bisa dilanjutkan. Ada projek cerita di platform lain yang belum bisa ditinggalkan. Sekali lagi, mohon maaf membuat kalian kecewa. Semoga kita segera berjumpa lagi di bab berikutnya. πππ Salam hormat dari Author, Hanazawa Easzy
"M-mas? Kamu mau apa?" tanya Amel, menatap Wibi dengan pandangan heran. Hubungan mereka tidak sedekat ini, sampai membuatnya harus duduk di pangkuan. Ya, Amel menemukan Wibi demam di dalam kamarnya. Wanita itu memberikan pertolongan pertama pada suaminya dengan sigap. Tapi, dia lupa belum memberikan obat penurun panas untuk meredam suhu tubuh pria ini yang berada di atas rata-rata. "Mas?" panggil Amel tanpa sadar. Wibi tak menjawab. Dia mengangkat satu sudut bibirnya ke atas. 'Eh? Dia tersenyum?' batin wanita berjilbab coklat ini. Amel merasa canggung. Hubungannya dengan pria ini tidak sedekat itu, sampai bisa duduk di pangkuannya dengan begitu mesra seperti sekarang. "Kamu panggil aku apa barusan?" Wibi menatap Amel dengan pandangan penuh cinta. "Hah?" Amel melongo, dia tidak tahu apa yang sedang Wibi bicarakan. Panggil apa? Apa dia melakukan kesalahan tanpa dia sadari? "Kamu memanggilku... " Wibi sengaja menggantung kalimatny
Amel sengaja memasak untuk Wibi. Dia tidak ingin permasalahannya dengan pria itu menjadi berlarut-larut. Jadi pagi ini, wanita berjilbab ini ingin meminta maaf pada suaminya. Tapi, hingga jam tujuh pagi, Wibi belum juga keluar dari dalam kamarnya. Hingga suara gelas pecah menyapa indera pendengarannya. PRANGG Mau tidak mau, Amel terpaksa masuk ke dalam ruangan yang sempat ia tinggali malam itu. Tempat ia kehilangan mahkota berharganya karena diambil oleh suaminya sendiri. Ah, sebenarnya itu bukan masalah untuk pasangan suami istri seperti mereka. Tapi, entah kenapa Amel belum rela rasanya. "Astaghfirullah al 'adzim," cetus Amel begitu melihat Wibi terkapar tak berdaya di atas lantai. Tidak jauh darinya, pecahan gelas tercecer tak beraturan. "Ya, Allah. Kamu kenapa, Mas?" Amel refleks meletakkan kepala Wibi di pangkuannya. Wibi tak bisa menjawab. Tenggorokannya begitu kering, tak ada suara yang bisa keluar dari mulutnya. Dia memaksakan
Amel membuka matanya perlahan. Dia melirik jam digital yang ada di atas nakas, masih pukul empat pagi. Langit di luar masih terlihat gelap, dengan bulan sabit yang menggantung di kejauhan."Astaghfirullah al 'adzim." Perlahan Amel duduk dan menyandarkan punggung ke belakang. Terhitung ini hari ketiganya dia mengabaikan Wibi. Setelah pria itu mendapatkan haknya sebagai seorang suami, Amel mendiamkannya. Meski tinggal bersama, tapi keduanya seperti orang asing, tidak pernah bertegur sapa sama sekali.Dengan berat hati, Amel masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Dia tidak boleh marah lebih dari tiga hari pada suaminya. Terlebih lagi, entah apa penyebab kemarahannya itu. Dia sendiri tidak tahu.Detik berganti menit. Amel khusuk beribadah, bersujud di hadapan Yang Maha Kuasa, menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim."Assalamu'alaikum warahmatullah," ucap Amel sambil menolehkan wajahnya ke samping kanan dan kiri secara bergantian.Lant
WARNING !!! 21+ only!Adegan di bawah ini hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami istri. Tidak untuk ditiru sama sekali. Bijaklah dalam memilih bacaan!* * *Wibi tidak bisa menahan gairahnya sebagai seorang laki-laki ketika Amel tidak sengaja meraba dada bidangnya. Gadis 25 tahun itu bimbang, antara mengizinkan pria ini melanjutkan aktivitas panas mereka atau cukup sampai di sini saja.Jujur, Amel belum siap menyerahkan diri seutuhnya pada pria ini. Tapi, bagaimanapun juga, Wibi berhak atas tubuhnya, dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Sejak akad nikah kemarin siang, antara dirinya dengan pria ini tak lagi ada batasan, saling memiliki hak dan kewajiban satu sama lain."Aku akan memulainya." Wibi mengangkat tubuhnya dan mulai melucuti pakaian satu per satu. Dia tidak ingin melewatkan kesempatan ini demi mendapatkan haknya sebagai seorang
Wibi membawa Amel ke apartemennya. Dia masuk ke dalam kamar dan mendapati Amel yang tertidur lelap. Gadis ini pasti kelelahan.Samar-samar Wibi mencium parfum yang Amel gunakan. Ada perasaan lain yang melanda hatinya, bahkan membuat jantungnya berdetak lebih kencang dibandingkan biasanya.Tampilan Amel yang kepanasan dan berkeringat menggoda iman Wibi, membuat libidonya naik seketika. Tekadnya untuk tidak menyentuh Amel mulai teruji. Dia laki-laki normal, bahkan sangat normal. Melihat gadis cantik tergeletak di depannya, siapa yang tidak tergoda?"Mas, jangan pergi." Amel mengigau dalam tidurnya, membuat iblis dalam dada pria ini sedikit teredam."Hiks.... Mas," cetus Amel tanpa dia sadari.Wibi tertegun. Ada geleyar aneh yang kini muncul di hatinya, seperti perasaan ingin melindungi atau semacamnya. Arogansinya terkikis sempurna, melihat
Amel dan Wibi bertengkar. Atau lebih tepatnya, wanita itu mendebat pria yang telah menikahinya beberapa jam yang lalu. Dengan sifatnya yang terbiasa mandiri, juga egonya yang tinggi, dia tidak mudah menerima pengaturan yang orang lain siapkan untuknya.Sebenarnya, Amel tidak berniat mendebat suaminya, tapi dia hanya ingin mengungkapkan apa yang tersimpan di dalam hatinya. Sejak awal dia tidak menginginkan ta'aruf di antara mereka berdua. Terlebih lagi, dengan sifatnya yang keras kepala ini, tidak heran jika ia memberontak.Namun kenyataannya, Amel tidak melakukannya. Dia masih tau diri akan posisinya sebagai seorang anak. Mama dan papa pasti akan kecewa saat dia menolak perjodohan ini lagi. Tak terhitung berapa banyak laki-laki yang sudah mama kenalkan padanya, pada akhirnya tak ada satu pun yang Amel pilih.BrukkAmel merebahkan badannya di atas ranjang, membiarkan kakinya menjuntai begitu saja. Raganya lel
Amel ikut Wibi ke apartemennya. Tapi dia ragu untuk masuk setelah mendengar pertanyaan yang pria ini lontarkan saat dalam perjalanan pulang tadi. Entah kenapa ada perasaan tidak nyaman yang Amel rasakan di dalam hatinya.Belum reda keterkejutan Amel, pria ini justru menyodorkan beberapa lembar kertas pada Amel."Surat Perjanjian Kerjasama?" tanya Amel yang tidak mengerti dengan keinginan pria ini. Ada sesuatu yang lain dari sorot matanya. Itu sorot mata yang sama saat mereka bertemu di koridor rumah sakit waktu itu."Baca!" titahnya sambil lalu.Amel berusaha tenang, membaca satu per satu pasal yang ada di sana. Tidak ada yang aneh, itu lebih seperti job desknya sebagai seorang istri. Salah satunya menemani Wibi saat ada acara gala dinner di luar.'Gala dinner? Apa pekerjaan pria ini?' batin Amel bertanya-tanya."Tidak ada satu pun pasal yang akan merugikanmu. Perjanjian
Wibi dan Amel kembali ke Jakarta usai makan malam. Keduanya tak banyak berbincang, atau lebih tepatnya Amel yang memilih menghindari percakapan. Gadis 25 tahun ini enggan berkomunikasi lebih jauh dengan pria asing yang kini resmi menjadi suaminya.Langit terlihat gelap sempurna saat mobil berwarna silver itu sampai di depan sebuah gang sempit. Tampak sebuah gerobak nasi goreng di depannya, dengan beberapa pembeli yang tengah menunggu pesanan."Mel, udah sampai." Wibi membangunkan gadis ini dengan hati-hati, menggoyangkan puncak lengannya perlahan."Hmm?" Amel mengucek matanya dan menatap sekeliling. Mereka sudah ada di lingkungan rumah kos yang dia tempati dua tahun belakangan."Kamu kemasi barang-barang kamu, saya tunggu di sini."Amel mematung di tempatnya. Dia enggan melakukan perintah pria ini. Lagipula, ini sudah larut malam. Apa yang akan orang-orang katakan tentangnya yang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen