Langit telah gelap seluruhnya saat Amel keluar dari ruang perawatan Teresa. Langkah kakinya tertuju pada ruang istirahat khusus perawat di ujung koridor. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari pengeras suara masjid. Sudah waktunya salat maghrib.
Segera saja, Amel mengambil air wudhu dan melaksanakan ibadah rutin tiga rakaat kewajibannya. Sudah menjadi keharusan sebagai seorang muslim untuk bersegera melaksanakan salat begitu masuk waktunya.
Krekk krekk
Terdengar bunyi gemeletuk di leher gadis 25 tahun ini. Dia menggerakkan lehernya, berharap rasa pegal yang ia rasakan akan sedikit berkurang. Tangannya sibuk, melipat mukena yang telah ia pakai dan menyimpannya lagi di dalam loker.
Sejak datang siang tadi, hanya satu pasien yang ia urus, yakni pasien bunuh diri yang bernama Teresa itu. Kondisinya sudah sedikit membaik, namun masih lemah. Tubuhnya harus menyesuikan diri setelah kehilangan darah cukup banyak.
Ada perasaan gamam dalam dirinya saat merawat wanita itu. Bagaimana tidak? Teresa hanya memakai hotpants dan tanktop warna hitam. Benar-benar pakaian yang tidak pantas dipakai keluar rumah. Amel merasa malu melihatnya. Aurat wanita itu terpampang nyata, membuat siapa saja bisa melihatnya. Padahal sejatinya, seorang perempuan harusnya menutup auratnya dari orang lain yang bukan mahramnya.
Dan Amel teringat pada pria yang bersama pasien itu. Amel tidak mendapati pria berpakaian rapi yang menjadi wali pasien itu. Entahlah. Bukan urusannya sama sekali, βkan?
Brukk
Amel baru saja mendudukkan diri di atas sebuah kursi. Ini adalah ruang istirahat khusus. Detik berikutnya, salah satu rekan kerja Amel datang menghampiri.
"Win, ada yang cari kamu di depan," ucap wanita dengan pakaian serba putih, sama sepertinya. Di rumah sakit ini, kebanyakan orang mengenali Amel dengan nama awalnya, Winda.
"Siapa?" tanya Amel sambil menatap arloji di pergelangan tangannya. Pukul enam tepat.
"Nggak tahu. Om-om ganteng."
Jawaban temannya ini membuat Amel mengerutkan kening. βOm-om ganteng? Emang aku sugar baby sampe dicari om-om?β canda Amel. Sebuah senyum tercetak di wajah bulatnya.
"Nggak tahu. Dia di depan. Udah, keluar gih. Jangan bikin sugar daddy kamu marah loh!"
"Dih, apaan si?"
"Ya kamu yang mulai."
Amel segera melangkahkan kakinya menuju meja resepsionis dan mendapati Wibi ada di sana.
"Maaf, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Amel sopan. Bibirnya tertarik ke atas, salah satu bentuk sopan santun pada keluarga pasien.
"Ini pena punya kamu?" tanya Wibi, mengulurkan pena milik Amel yang ia pakai tanda tangan saat di depan loket TPPRI beberapa waktu yang lalu.
"Pena? Oh, iya. Terima kasih, Pak." Amel tetap menunjukkan senyum terbaiknya. "Masih ada hal lainnya?" tanya Amel karena Wibi masih berdiri di depannya dengan wajah anehnya, seolah ingin mengatakan sesuatu.
"Bisa kita bicara sebentar?" tanya Wibi kemudian.
Amel menatap pria di hadapannya dengan pandangan penuh tanda tanya. "Maksud Bapak? Bicara apa ya? Tentang pasien itu?" tebak gadis mungil ini.
"Ikut saya sebentar." Wibi menarik tangan Amel dengan paksa, mengabaikan pandangan beberapa orang yang kebetulan ada di sana.
Srett
"Maaf, Pak. Ada apa?" tanya Amel, menatap curiga pria ini. Dia terpaksa mennghentikan langkah Wibi meski baru beberapa meter dari tempat mereka sebelumnya.
Tampak Wibi mencoba mengambil napas dalam-dalam, seolah ada beban berat yang menjadi tanggung jawabnya.
'Ok. Just do it!' batin pria ini.
"Nama kamu Winda Amelia?" Wibi kembali menatap nametag di dada kanan Amel.
"Ya?"
"Kamu kenal saya atau pernah lihat saya di suatu tempat?" Wibi memastikan apakah Amel mengenalinya atau tidak.
"Maksud Bapak?" tanya Amel spontan. Pertanyaan aneh Wibi membuat Amel semakin heran.
'Aneh,' batin gadis berjilbab lavender ini.
"Kamu tahu siapa saya?" Wibi memastikan.
"Maaf, Pak. Ada begitu banyak keluarga pasien yang pernah saya temui selama bekerja di rumah sakit ini. Bagaimana bisa saya menghafalnya satu per satu. Sepertinya kita baru bertemu hari ini." Amel masih menjaga sopan santunnya, meski dalam hatinya mulai merasa kesal.
Dia tidak ingin nama baik tempatnya bekerja menjadi tercoreng karena ketidaksopanannya. Padahal ada rentetan sumpah serapah yang ingin dia lontarkan pada pria aneh ini.
"Benar kamu tidak pernah mendengar nama saya atau melihat foto saya?" Wibi kembali bertanya.
"Maaf, Pak. Sepertinya Bapak salah orang. Permisi."
Amel segera melangkahkan kakinya menjauh dari pria ini. Dia kembali ke ruang tempatnya berjaga. Pertanyaan pria itu semakin aneh, seperti penguntit, psikopat, atau apapun itu. Lebih baik cari aman sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan.
"Udah, Win?" tanya wanita yang memanggilnya tadi.
Amel hanya mengangguk.
"Siapa? Pacar kamu?"
Amel menggeleng tegas. "Bukan."
"Berarti sugar daddy kamu?" candaan wanita itu hanya ditanggapi senyum hambar dari bibir Amel.
Dia masih tidak habis pikir dengan pria itu. Dimana mereka pernah bertemu sebelumnya? Amel merasa mereka tidak mengenal satu sama lain, jadi mana mungkin Amel mengenalnya.
Di saat yang sama, Wibi mengeluarkan ponselnya. Ia menghubungi salah satu keluarga Teresa, memberitahu mereka akan kondisi model papan atas ini.
* * *
"Hoamm...." Amel menutup mulutnya yang menguap dengan tangan. Ia baru saja kembali dari ruangan pasien dan bertemu dengan keluarga wanita yang bunuh diri itu. Tidak ada satu pun dari mereka yang terlihat ramah. Belum lagi pakaian ganti rumah sakit yang masih tergeletak di tepi ranjang saat dia datang tadi, padahal biasanya keluarga pasien yang membantu memakaikannya.
FLASHBACK
"Nona Teresa? Bagaimana keadaannya? Apa masih ada keluhan?" tanya Amel saat sampai di ruang perawatan VIP ini. Sudah menjadi tugasnya mengecek cairan infus sekaligus memeriksa kondisi pasien.
Wanita yang diketahui bernama Teresa Bakhir itu menggeleng lemah. Dia sudah siuman satu jam yang lalu, namun masih terlihat pucat dan kurang bertenaga.
"Sust, kapan anak saya boleh pulang?" tanya seorang wanita yang duduk di kursi panjang. Wajahnya terlihat tidak bersahabat sama sekali, sama seperti wanita lain yang duduk bersamanya.
"Paling cepat dua atau tiga hari lagi, Bu. Sekarang kondisinya masih lemah, jadi masih harus istirahat total sampai kondisinya membaik."
"Nggak bisa besok pulang?" Wanita lain menimpali, tak kalah ketusnya dengan wanita yang mengaku berstatus sebagai ibu pasien ini.
"Sepertinya belum, Ibu." Amel berusaha tersenyum, mengabaikan rasa geram di dalam hatinya. Bagaimana mungkin mereka memasang wajah seperti itu di depan pasien yang tak lain keluarganya sendiri.
"Bu, ini obat untuk meminimalisir asam lambung yang putri Ibu derita. Diminum besok pagi sebelum makan," pesan Amel hati-hati.
"Nggak usah diobatin juga nggak apa-apa, Sust. Biarin! Dia ini udah nggak mau hidup kok. Malu-maluin aja!"
Deg!
Amel terhenyak menyaksikan respon ibu ini. Hatinya ikut merasa sakit sebagai seorang anak. Untungnya, mama tidak sekalipun mengatakan kata-kata menyakitkan seperti itu padanya.
"Dia itu nggak tahu diri, Sust. Untung mantan tunangannya masih mau nolong dia. Coba kalau orang lain, boro-boro nolong, yang ada sumpahin biar dia cepet ma.." Kata-kata pedas lain kembali terdengar, membuat Amel merasa tak enak hati.
"Maaf, Bu." Amel memotong ucapan wanita bersurai pirang ini. "Pasien masih butuh waktu untuk istirahat. Ibu bisa tunggu di luar jika merasa bosan di ruangan ini."
Amel berusaha 'mengamankan' Teresa. Meskipun kata-kata itu bukan ditujukan padanya, namun sebagai seorang wanita, Amel merasa kata-kata dua orang ini sudah kelewatan. Belum lagi status mereka sebagai keluarga. Entahlah. Sepertinya ada yang salah dengan keluarga satu ini.
"Kebetulan kalo suster mau rawat dia." Si Wanita rambut pirang kembali mengucapkan kata-kata yang tidak mengenakkan untuk didengar.
"Sust, tolong bantu dia ganti baju. Jijik saya lihatnya!" ucap ibu Teresa sebelum pergi bersama wanita rambut pirang tadi, meninggalkan Teresa dan Amel berdua di ruangan ini.
"Maaf ya, Sust." Suara Teresa terdengar lemah. Bulir-bulir air mata luruh begitu saja di ujung matanya.
Amel hanya tersenyum. Dia memilih diam, membiarkan pasien satu ini melampiaskan emosinya dengan menangis.
Amel membantu Teresa berganti dengan pakaian yang diberikan khusus untuk pasien di rumah sakit ini.
"Sust," panggil Teresa saat Amel selesai membantunya berganti pakaian.
"Ya?"
"Dimana pria yang mengantar saya?"
"Eh?" Amel sedikit tergagap. Dia jadi ingat dengan pria yang menanyakan hal-hal aneh beberapa waktu yang lalu. "Maaf, saya kurang tahu dimana dia."
Tampak raut kecewa yang begitu kentara di wajah wanita cantik ini.
"Masih ada yang lain?" tanya Amel memastikan. Mungkin saja pasien satu ini masih memiliki pertanyaan lain.
Teresa menggeleng lemah. "Makasih, Sust."
Amel tersenyum. Sudah menjadi tugasnya untuk melayani para pasien.
"Kalau begitu saya permisi. Obatnya saya tinggalkan di sini. Selamat istirahat." Amel berpamitan setelah meletakkan obat pereda asam lambung di atas meja.
FLASHBACK END
Amel menatap jam di pergelangan tangannya, pukul tujuh malam. Ponselnya sejak tadi terus bergetar tanpa ia sadari. Ia yang kelelahan justru tertidur di atas meja, menyembunyikan wajahnya di antaraa lipatan sikunya.
Di saat yang sama, 30 km dari tempat Amel berada.
"Gimana, Del? Diangkat nggak?" tanya seorang wanita dengan raut wajah khawatir.
"Belum, Ma. Mungkin ponsel Amel disimpan di loker."
"Duh. Beneran deh anak itu. Mana tamunya udah mau dateng."
Mama Amel semakin panik saat menyadari keras kepala putri semata wayangnya yang belum juga pulang.
"Panggil suami kamu sekarang. Suruh dia jemput Amel. Harus kebawa pulang. Pokoknya harus pulang!" titah wanita ini.
"Iya, Ma. Delia ikut jemput sekarang."
Tepat saat itu, sebuah mobil van berhenti di pelataran rumah ini. Empat orang turun dari sana dan lansung disambut oleh tuan rumah. Di antara keempat tamu itu, salah satunya adalah pria bertubuh tegap dengan wajah nan rupawan, Ryan Wibisono.
* * *
Jeng jeng jeeeenggg.... Apa yang bakalan terjadi selanjutnya?
See you next episode. Bai bai,
Hanazawa Easzy
Sebuah mobil warna hitam meninggalkan pelataran rumah sakit. Di dalamnya berisi dua orang wanita dan seorang pria yang duduk di balik kemudi."Udahan dong, Mel. Jangan cemberut gitu. Jelek tahu!" Suara Delia segera memecah keheningan malam ini."Bodo amat!"BrukkAmel menjatuhkan badannya di kursi belakang dan memilih memejamkan matanya. Sebuah bantal hello kitty segera menutupi wajahnya, menyembunyikan rasa kesal luar biasa yang ia tampilkan.Delia melirik suaminya, meminta pertimbangan. Gadis di kursi belakang itu kini benar-benar marah. Delia merasa bersalah karena memaksa Amel pulang lebih awal.Pria bertubuh sedikit berisi itu menggelengkan kepala, meminta istrinya untuk tak memaksa adik sepupunya ini. Tidak ada yang salah. Mereka hanya menjalankan amanah papa dan mama. Lagipula ini juga demi kebaikan Amel.Mobil melaju membelah jala
Wibi dan keluarganya mendatangi rumah Amel dalam rangka prosesi ta'aruf. Meski sempat kecewa sebelumnya, namun akhirnya acara berjalan dengan lancar.Setelah makan malam bersama, Wibi meminta izin untuk berbicara empat mata dengan Amel. Mereka duduk berdua di taman yang ada di halaman depan."Kamu nikah sama saya!" titah seorang pria yang tak lain adalah Wibi."HAH? Nikah? Baru juga ta'aruf. Gila ya?" Amel tak mengerti jalan pikiran pria satu ini. Tadinya ia memasang jurus andalannya, yakni mode diam. Tapi, mendengar titah Wibi, membuat gadis ini berang juga. Dia tidak mau hidupnya diatur begitu saja oleh orang asing ini."Iya. Saya memang tergila-gila sama kamu! Kita nikah minggu depan." Wibi menatap manik mata Amel, serius dengan ucapannya."HAH?"Wajah Amel merah padam. Dia sungguh membenci pria otoriter seperti orang yang kini duduk di hadap
Matahari naik sepenggalah saat sebuah mobil warna hitam memasuki salah satu rumah sakit di ibukota. Tampaknya hari ini banyak pasien rawat jalan, terlihat dari padatnya kendaraan di tempat parkir ini.Amel segera melepas sabuk pengaman yang sejak tadi melingkupi tubuhnya. Wajahnya terlihat lelah, namun pergerakannya masih gesit. Terlihat jelas bahwa dia bukan gadis yang pemalas."Pak Ryan, dimana ibu Bapak dirawat?" tanya Amel sembari membenahi jilbabnya. Ada satu dua helai rambut halus yang menerobos keluar dari inner yang digunakannya.Wibi menoleh dengan kening berkerut. Gadis ini tidak mengatakan apapun sepanjang jalan. Dan begitu membuka suara, justru kalimat formal yang ia ucapkan."Pak?" Amel menatap lawan bicaranya.'Astaga. Gadis ini.' Wibi menoleh ke arah lain, tak habis pikir dengan sikap Amel padanya."Kamu panggil apa barusan?" Wibi mencoba menya
Amel terpaksa mengikuti Wibi untuk membantu ibunya. Mereka sampai di rumah sakit Harapan Bunda sekitar pukul delapan pagi. Keduanya langsung menuju ruang perawatan di lantai 3 nomor 7, ruang Melati.Dokter Nura yang menjadi penanggung jawab ibu Wibi, meminta Amel mengikutinya untuk mengurus dokumen. Namun, ternyata dia berniat mengenalkan seseorang untuk menjadi jodoh Amel. Tentu saja gadis ini berusaha menghindar sebisa mungkin. Dia belum ingin menikah, itu alasan utamanya.Baru saja keluar dari ruangan dokter Nura, Amel justru tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang. Atau lebih tepatnya, dia yang menabrak orang di hadapannya, membuat dokumen di tangannya berserakan di lantai."Amel?" Pria yang Amel tabrak menyapa. "Kamu bener Winda Amelia 'kan?" tanyanya mengonfirmasi. Dia yakin bahwa gadis yang kini terduduk di lantai itu Amel, temannya saat kecil."Maaf, siapa ya?" Amel berusaha mengenali pria
Wibi telah resmi menikah dengan Amel. Tidak ada perayaan sama sekali, hanya acara ijab kabul dan tasyakuran di rumah Amel. Itu saja. Hal itu terasa ganjil, namun Amel tetap berkeras tidak ingin pernikahannya dihadiri orang luar. Hanya kerabat dekat yang dia izinkan untuk datang."Aneh banget si, Bu. Nikah nggak ada acara apa-apa gitu. Kaya nggak niat mau nikah aja!" ketus Wulan, adik Wibi yang paling kecil. Mereka sedang ada dalam perjalanan pulang, dari Depok menuju Jakarta.Apa yang Wulan katakan memang benar adanya. Kakaknya yang seorang jutawan, diinginkan begitu banyak wanita di luar sana, justru menikah dengan gadis sederhana seperti Amel. Terlebih lagi, pernikahan ini diadakan tanpa resepsi mewah atau semacamnya, seperti pernikahan siri."Memang dia nggak niat nikah sama mas Wibi. Kalau aku jadi mbak Amel, malah mendingan kabur dari rumah. Ogah banget hari gini dijodohin." Komentar pedas keluar dari kembaran Wulan, yakni Nawa
Wibi dan Amel kembali ke Jakarta usai makan malam. Keduanya tak banyak berbincang, atau lebih tepatnya Amel yang memilih menghindari percakapan. Gadis 25 tahun ini enggan berkomunikasi lebih jauh dengan pria asing yang kini resmi menjadi suaminya.Langit terlihat gelap sempurna saat mobil berwarna silver itu sampai di depan sebuah gang sempit. Tampak sebuah gerobak nasi goreng di depannya, dengan beberapa pembeli yang tengah menunggu pesanan."Mel, udah sampai." Wibi membangunkan gadis ini dengan hati-hati, menggoyangkan puncak lengannya perlahan."Hmm?" Amel mengucek matanya dan menatap sekeliling. Mereka sudah ada di lingkungan rumah kos yang dia tempati dua tahun belakangan."Kamu kemasi barang-barang kamu, saya tunggu di sini."Amel mematung di tempatnya. Dia enggan melakukan perintah pria ini. Lagipula, ini sudah larut malam. Apa yang akan orang-orang katakan tentangnya yang
Amel ikut Wibi ke apartemennya. Tapi dia ragu untuk masuk setelah mendengar pertanyaan yang pria ini lontarkan saat dalam perjalanan pulang tadi. Entah kenapa ada perasaan tidak nyaman yang Amel rasakan di dalam hatinya.Belum reda keterkejutan Amel, pria ini justru menyodorkan beberapa lembar kertas pada Amel."Surat Perjanjian Kerjasama?" tanya Amel yang tidak mengerti dengan keinginan pria ini. Ada sesuatu yang lain dari sorot matanya. Itu sorot mata yang sama saat mereka bertemu di koridor rumah sakit waktu itu."Baca!" titahnya sambil lalu.Amel berusaha tenang, membaca satu per satu pasal yang ada di sana. Tidak ada yang aneh, itu lebih seperti job desknya sebagai seorang istri. Salah satunya menemani Wibi saat ada acara gala dinner di luar.'Gala dinner? Apa pekerjaan pria ini?' batin Amel bertanya-tanya."Tidak ada satu pun pasal yang akan merugikanmu. Perjanjian
Amel dan Wibi bertengkar. Atau lebih tepatnya, wanita itu mendebat pria yang telah menikahinya beberapa jam yang lalu. Dengan sifatnya yang terbiasa mandiri, juga egonya yang tinggi, dia tidak mudah menerima pengaturan yang orang lain siapkan untuknya.Sebenarnya, Amel tidak berniat mendebat suaminya, tapi dia hanya ingin mengungkapkan apa yang tersimpan di dalam hatinya. Sejak awal dia tidak menginginkan ta'aruf di antara mereka berdua. Terlebih lagi, dengan sifatnya yang keras kepala ini, tidak heran jika ia memberontak.Namun kenyataannya, Amel tidak melakukannya. Dia masih tau diri akan posisinya sebagai seorang anak. Mama dan papa pasti akan kecewa saat dia menolak perjodohan ini lagi. Tak terhitung berapa banyak laki-laki yang sudah mama kenalkan padanya, pada akhirnya tak ada satu pun yang Amel pilih.BrukkAmel merebahkan badannya di atas ranjang, membiarkan kakinya menjuntai begitu saja. Raganya lel
Hello Readers tercinta... Mohon maaf, untuk novel Ta'aruf Tanda Cinta ini terpaksa hiatus sampai waktu yang belum bisa ditentukan. Sejujurnya, Author suka cerita ini. Tapi kafena satu dan lain hal, sepertinya belum bisa Author lanjutkan. Daripada dipaksakan nanti ceritanya jauh dari harapan kalian, jadi dengan sangat menyesal Amel & Wibi undur diri untuk sementara. Nanti kalau mood Author udah membaik, in syaa Allah segera update bab berikutnya. Sekali lagi, mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Author sangat menghargai apresiasi kalian. Tapi, sayangnya memang bener-bener belum bisa dilanjutkan. Ada projek cerita di platform lain yang belum bisa ditinggalkan. Sekali lagi, mohon maaf membuat kalian kecewa. Semoga kita segera berjumpa lagi di bab berikutnya. πππ Salam hormat dari Author, Hanazawa Easzy
"M-mas? Kamu mau apa?" tanya Amel, menatap Wibi dengan pandangan heran. Hubungan mereka tidak sedekat ini, sampai membuatnya harus duduk di pangkuan. Ya, Amel menemukan Wibi demam di dalam kamarnya. Wanita itu memberikan pertolongan pertama pada suaminya dengan sigap. Tapi, dia lupa belum memberikan obat penurun panas untuk meredam suhu tubuh pria ini yang berada di atas rata-rata. "Mas?" panggil Amel tanpa sadar. Wibi tak menjawab. Dia mengangkat satu sudut bibirnya ke atas. 'Eh? Dia tersenyum?' batin wanita berjilbab coklat ini. Amel merasa canggung. Hubungannya dengan pria ini tidak sedekat itu, sampai bisa duduk di pangkuannya dengan begitu mesra seperti sekarang. "Kamu panggil aku apa barusan?" Wibi menatap Amel dengan pandangan penuh cinta. "Hah?" Amel melongo, dia tidak tahu apa yang sedang Wibi bicarakan. Panggil apa? Apa dia melakukan kesalahan tanpa dia sadari? "Kamu memanggilku... " Wibi sengaja menggantung kalimatny
Amel sengaja memasak untuk Wibi. Dia tidak ingin permasalahannya dengan pria itu menjadi berlarut-larut. Jadi pagi ini, wanita berjilbab ini ingin meminta maaf pada suaminya. Tapi, hingga jam tujuh pagi, Wibi belum juga keluar dari dalam kamarnya. Hingga suara gelas pecah menyapa indera pendengarannya. PRANGG Mau tidak mau, Amel terpaksa masuk ke dalam ruangan yang sempat ia tinggali malam itu. Tempat ia kehilangan mahkota berharganya karena diambil oleh suaminya sendiri. Ah, sebenarnya itu bukan masalah untuk pasangan suami istri seperti mereka. Tapi, entah kenapa Amel belum rela rasanya. "Astaghfirullah al 'adzim," cetus Amel begitu melihat Wibi terkapar tak berdaya di atas lantai. Tidak jauh darinya, pecahan gelas tercecer tak beraturan. "Ya, Allah. Kamu kenapa, Mas?" Amel refleks meletakkan kepala Wibi di pangkuannya. Wibi tak bisa menjawab. Tenggorokannya begitu kering, tak ada suara yang bisa keluar dari mulutnya. Dia memaksakan
Amel membuka matanya perlahan. Dia melirik jam digital yang ada di atas nakas, masih pukul empat pagi. Langit di luar masih terlihat gelap, dengan bulan sabit yang menggantung di kejauhan."Astaghfirullah al 'adzim." Perlahan Amel duduk dan menyandarkan punggung ke belakang. Terhitung ini hari ketiganya dia mengabaikan Wibi. Setelah pria itu mendapatkan haknya sebagai seorang suami, Amel mendiamkannya. Meski tinggal bersama, tapi keduanya seperti orang asing, tidak pernah bertegur sapa sama sekali.Dengan berat hati, Amel masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Dia tidak boleh marah lebih dari tiga hari pada suaminya. Terlebih lagi, entah apa penyebab kemarahannya itu. Dia sendiri tidak tahu.Detik berganti menit. Amel khusuk beribadah, bersujud di hadapan Yang Maha Kuasa, menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim."Assalamu'alaikum warahmatullah," ucap Amel sambil menolehkan wajahnya ke samping kanan dan kiri secara bergantian.Lant
WARNING !!! 21+ only!Adegan di bawah ini hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami istri. Tidak untuk ditiru sama sekali. Bijaklah dalam memilih bacaan!* * *Wibi tidak bisa menahan gairahnya sebagai seorang laki-laki ketika Amel tidak sengaja meraba dada bidangnya. Gadis 25 tahun itu bimbang, antara mengizinkan pria ini melanjutkan aktivitas panas mereka atau cukup sampai di sini saja.Jujur, Amel belum siap menyerahkan diri seutuhnya pada pria ini. Tapi, bagaimanapun juga, Wibi berhak atas tubuhnya, dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Sejak akad nikah kemarin siang, antara dirinya dengan pria ini tak lagi ada batasan, saling memiliki hak dan kewajiban satu sama lain."Aku akan memulainya." Wibi mengangkat tubuhnya dan mulai melucuti pakaian satu per satu. Dia tidak ingin melewatkan kesempatan ini demi mendapatkan haknya sebagai seorang
Wibi membawa Amel ke apartemennya. Dia masuk ke dalam kamar dan mendapati Amel yang tertidur lelap. Gadis ini pasti kelelahan.Samar-samar Wibi mencium parfum yang Amel gunakan. Ada perasaan lain yang melanda hatinya, bahkan membuat jantungnya berdetak lebih kencang dibandingkan biasanya.Tampilan Amel yang kepanasan dan berkeringat menggoda iman Wibi, membuat libidonya naik seketika. Tekadnya untuk tidak menyentuh Amel mulai teruji. Dia laki-laki normal, bahkan sangat normal. Melihat gadis cantik tergeletak di depannya, siapa yang tidak tergoda?"Mas, jangan pergi." Amel mengigau dalam tidurnya, membuat iblis dalam dada pria ini sedikit teredam."Hiks.... Mas," cetus Amel tanpa dia sadari.Wibi tertegun. Ada geleyar aneh yang kini muncul di hatinya, seperti perasaan ingin melindungi atau semacamnya. Arogansinya terkikis sempurna, melihat
Amel dan Wibi bertengkar. Atau lebih tepatnya, wanita itu mendebat pria yang telah menikahinya beberapa jam yang lalu. Dengan sifatnya yang terbiasa mandiri, juga egonya yang tinggi, dia tidak mudah menerima pengaturan yang orang lain siapkan untuknya.Sebenarnya, Amel tidak berniat mendebat suaminya, tapi dia hanya ingin mengungkapkan apa yang tersimpan di dalam hatinya. Sejak awal dia tidak menginginkan ta'aruf di antara mereka berdua. Terlebih lagi, dengan sifatnya yang keras kepala ini, tidak heran jika ia memberontak.Namun kenyataannya, Amel tidak melakukannya. Dia masih tau diri akan posisinya sebagai seorang anak. Mama dan papa pasti akan kecewa saat dia menolak perjodohan ini lagi. Tak terhitung berapa banyak laki-laki yang sudah mama kenalkan padanya, pada akhirnya tak ada satu pun yang Amel pilih.BrukkAmel merebahkan badannya di atas ranjang, membiarkan kakinya menjuntai begitu saja. Raganya lel
Amel ikut Wibi ke apartemennya. Tapi dia ragu untuk masuk setelah mendengar pertanyaan yang pria ini lontarkan saat dalam perjalanan pulang tadi. Entah kenapa ada perasaan tidak nyaman yang Amel rasakan di dalam hatinya.Belum reda keterkejutan Amel, pria ini justru menyodorkan beberapa lembar kertas pada Amel."Surat Perjanjian Kerjasama?" tanya Amel yang tidak mengerti dengan keinginan pria ini. Ada sesuatu yang lain dari sorot matanya. Itu sorot mata yang sama saat mereka bertemu di koridor rumah sakit waktu itu."Baca!" titahnya sambil lalu.Amel berusaha tenang, membaca satu per satu pasal yang ada di sana. Tidak ada yang aneh, itu lebih seperti job desknya sebagai seorang istri. Salah satunya menemani Wibi saat ada acara gala dinner di luar.'Gala dinner? Apa pekerjaan pria ini?' batin Amel bertanya-tanya."Tidak ada satu pun pasal yang akan merugikanmu. Perjanjian
Wibi dan Amel kembali ke Jakarta usai makan malam. Keduanya tak banyak berbincang, atau lebih tepatnya Amel yang memilih menghindari percakapan. Gadis 25 tahun ini enggan berkomunikasi lebih jauh dengan pria asing yang kini resmi menjadi suaminya.Langit terlihat gelap sempurna saat mobil berwarna silver itu sampai di depan sebuah gang sempit. Tampak sebuah gerobak nasi goreng di depannya, dengan beberapa pembeli yang tengah menunggu pesanan."Mel, udah sampai." Wibi membangunkan gadis ini dengan hati-hati, menggoyangkan puncak lengannya perlahan."Hmm?" Amel mengucek matanya dan menatap sekeliling. Mereka sudah ada di lingkungan rumah kos yang dia tempati dua tahun belakangan."Kamu kemasi barang-barang kamu, saya tunggu di sini."Amel mematung di tempatnya. Dia enggan melakukan perintah pria ini. Lagipula, ini sudah larut malam. Apa yang akan orang-orang katakan tentangnya yang