Sebuah mobil warna hitam meninggalkan pelataran rumah sakit. Di dalamnya berisi dua orang wanita dan seorang pria yang duduk di balik kemudi.
"Udahan dong, Mel. Jangan cemberut gitu. Jelek tahu!" Suara Delia segera memecah keheningan malam ini.
"Bodo amat!"
Brukk
Amel menjatuhkan badannya di kursi belakang dan memilih memejamkan matanya. Sebuah bantal hello kitty segera menutupi wajahnya, menyembunyikan rasa kesal luar biasa yang ia tampilkan.
Delia melirik suaminya, meminta pertimbangan. Gadis di kursi belakang itu kini benar-benar marah. Delia merasa bersalah karena memaksa Amel pulang lebih awal.
Pria bertubuh sedikit berisi itu menggelengkan kepala, meminta istrinya untuk tak memaksa adik sepupunya ini. Tidak ada yang salah. Mereka hanya menjalankan amanah papa dan mama. Lagipula ini juga demi kebaikan Amel.
Mobil melaju membelah jalanan, bersiap kembali ke Depok. Beberapa kali sempat terhenti di lampu merah, dan melaju detik berikutnya saat lampu lalu lintas berubah hijau.
Di saat yang bersamaan, di kediaman orangtua Amel.
"Ini nak Ryan Wibisono, yang CV-nya saya berikan ke Bapak." Pak ustadz memperkenalkan tamu yang dibawanya. Papa Amel mengangguk.
"Dimana nak Amelnya, Pak, Bu?"
Papa mama Amel saling pandang.
"Amel belum pulang. Dia masih di perjalanan, anak angkat saya lagi jemput dia di tempat kerjanya." Mama akhirnya yang menjawab.
"Belum pulang? Jadi anak Bapak Ibu belum tahu mau dikenalkan sama anak saya?" tanya wanita bersanggul ini. Dia terlihat tidak nyaman saat tahu Amel tidak di rumah.
"Maaf. Ini salah saya," ucap pria berkumis tebal itu, papa Amel. "Saya meminta pak ustadz mencarikan jodoh untuk anak saya, tapi dia sendiri belum tahu mau dita'arufkan sama anak Ibu ini. Saya belum memberikan biodata nak Ryan."
"Lah, gimana tho? Udah, Pak. Ayo pulang. Ndak jelas keluarga ini." Ibu Wibi tersulut emosinya.
"Bu," Wibi menahan lengan ibunya, "Kita tunggu sebentar lagi."
"Nunggu apa? Ibu ndak mau ya buang-buang waktu di sini. Mending pulang saja. Udah, masalah jodoh gampang. Nanti ibu carikan kamu calon istri di Solo, tempat mbah kamu!" ketus wanita itu lagi. Logat jawanya terdengar jelas.
"Saya minta maaf, Pak, Bu." Papa Amel menunduk dalam, merasa tak enak hati pada tamunya ini.
Ibu Wibi sudah berdiri, dia tergolong wanita yang keras kemauannya. Apa yang dia inginkan, tidak ada yang berani membantahnya.
"Bu, kalau bukan Amel. Aku nggak mau nikah!" cetus Wibi tiba-tiba, membuat semua orang yang ada di sana terhenyak.
"Eh? Apa maksud kamu? Memangnya kamu kenal Si Amel ini?" Ibu bertanya-tanya apa maksud pernyataan putranya.
Wibi menceritakan kronologi kejadian saat Amel bertemu dengannya di rumah sakit. Dia juga jujur, mengungkapkan bahwa siang tadi mobilnya sempat menyenggol sepeda motor Amel, membuat siku dan punggung tangannya berdarah. Tapi Amel tidak mengenalinya.
"Mungkin terdengar klise. Tapi saya benar-benar mengagumi Amel, Pak, Bu." Wibi menatap papa dan mama Amel bergantian, juga bapak dan ibunya. Itu membuat dua pasutri itu saling tatap dalam diam. Mereka tidak menyangka akan ada pertemuan kebetulan antara anaknya dengan calon suami/istri yang akan dita'arufkan padanya.
"Nak, kamu belum kenal dia loh. Baru ketemu hari ini." Ibu Wibi kembali duduk, menatap manik mata putranya dalam-dalam.
"Ibu percaya cinta pada pandangan pertama?" tanya Wibi, meraih jemari ibunya. "Aku jatuh cinta sama Amel, Bu. Titik! Aku mau nikah sama dia. Secepatnya."
"Kamu yakin?" Kali ini pria di sebelah kanan Wibi yang berbicara.
"Yakin, Pak." Wibi mengangguk mantap. Itu benar adanya. Dia tidak sengaja bertemu dengan Amel dua kali hari ini. Dan hatinya yakin memilih gadis itu sebagai pendamping hidupnya.
"Eh, tunggu sebentar." Ibu Wibi tampak memikirkan sesuatu, "Kamu ketemu Amel di rumah sakit?"
"Ya, Bu. Nama lengkapnya Winda Amelia. Dia perawat di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta."
"Bukan itu." Wanita ini menggeleng cepat. "Siapa yang sakit? Kenapa kamu ke rumah sakit?"
Glek
Wibi tergagap. Dia hanya bisa menelan ludahnya dengan paksa, menyimpan rapat-rapat nama Teresa agar jangan sampai terdengar di telinga ibunya. Wanita ini sangat membenci mantan calon istrinya yang kabur itu.
"Nganter temen yang sakit." Wibi memegang tengkuknya, kebiasaan saat dia gugup.
"Kamu ndak bohong, 'kan?" Ibu memastikan.
Di luar, terdengar suara mobil datang. Tampaknya itu Delia dan suaminya yang kembali dari Jakarta, sengaja menjemput Amel untuk pulang lebih awal.
Ya, itulah yang membuat gadis ini uring-uringan sepanjang jalan. Delia menemui atasan Amel dan meminta izin agar adiknya itu bisa pulang lebih awal.
"Ada kepentingan mendesak, Bu." Kalimat itu yang Delia ucapkan, membuat Amel diizinkan pulang saat itu juga, meski jam dinding baru menunjukkan pukul delapan malam, satu jam sebelum shift kerjanya berakhir.
"Mel, bangun. Udah sampe rumah." Delia berusaha membangunkan adik sepupunya ini. Dia menggoyang-goyangkan bahu Amel cukup keras.
Amel keluar dari mobil dengan wajah tertekuk. Ia masih kesal pada wanita berbadan dua ini.
BAMM
Pintu mobil hitam ini menjadi sasaran empuk kemarahan Amel. Dia marah karena Delia memaksanya pulang. Jelas-jelas dia mengatakan akan pulang setelah jam kerjanya berakhir.
"Itu anak saya. Maaf, permisi sebentar, Pak, Bu." Mama Amel sigap beranjak dari duduknya. Dia siap menyambut putri semata wayang kesayangannya itu.
"Amel?!" panggil mama saat berpapasan dengan Amel di depan pintu. "Lewat pintu samping aja. Kamu ganti baju dulu! Masa' penampilanmu kusut gini mau ketemu calon suami?"
Amel menatap mamanya dengan pandangan tajam. Ia jengkel pada wanita yang sudah melahirkannya 25 tahun yang lalu. Amel salah paham. Dia pikir mamanya yang berinisiatif akan hal ini. Tanpa persetujuannya, dia mengundang orang untuk ta'aruf, bahkan langsung datang ke rumah. Menyebalkan.
Mama menarik tangan Amel, memutari teras dan masuk ke rumah melalui pintu samping. Detik berikutnya, dua wanita beda usia itu sudah sampai di kamar Amel diikuti Delia di belakangnya.
"Mel, cuci muka kamu. Gosok gigi sekalian," titah mama padanya.
"Del, bantu mama siapin dress buat adikmu. Mama ambil kosmetik kamu dulu."
Samar-samar terdengar percakapan itu dari dalam kamar mandi. Amel enggan menanggapinya. Dia memilih bungkam dan tidak memusingkan tingkah polah mamanya. Wanita itu memang sudah berharap Amel menikah di usianya yang tak lagi muda ini.
"Duh, kok lama sih? Ayo sini, Mel. Pakai ini." Mama menyodorkan sebuah gaun warna biru langit, satu detik setelah Amel keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat sedikit lebih segar dibandingkan sebelumnya.
"Ih, warnanya norak banget sih, Ma." Amel tak bisa tinggal diam lagi. Dia tidak suka pakaian warna-warna cerah seperti ini.
"Udah deh. Nggak usah banyak protes. Mama sengaja beli ini siang tadi."
"HAH?" Amel memutar matanya, jengah dengan obsesi mamanya yang ingin membuat tamu mereka terkesan dengan penampilannya.
"Sini, mama pakein kalo kamu nggak mau pakai sendiri."
Srett
Amel mengambil gaun yang ada di tangan mamanya dan segera mengganti pakaian serba putih yang ia kenakan sejak siang tadi.
Delia dengan cepat membantu Amel berhias, memakaikan eyeliner, eyeshadow, blash on, dan berbagai riasan lain termasuk perona bibir warna pink.
"Maaf, Amel lagi ganti baju dulu." Mama memilih kembali ke ruang tamu lebih awal, menghampiri keluarga calon besannya ini.
Ibu Wibi diam saja, tak merespon sama sekali. Dia sudah terlanjur kesal karena sudah menunggu cukup lama. Tadinya dia terkesan dengan keluarga ini saat pak ustadz menceritakan karakter mereka. Papa dan mama Amel membuatnya cocok. Mereka pasangan yang ramah.
"Ma, Pa," panggil Delia. Dia berdiri di samping Amel yang kini tampak begitu cantik. Gadis ini tampak bersinar di bawah cahaya lampu ruangan.
Wibi berdiri seketika. Dia menatap calon istrinya dengan penuh kekaguman. Pria itu terpesona pada penampilan Amel, calon istrinya.
Srett
Ibu menarik tangan Wibi, memintanya duduk kembali. Sepertinya putra sulungnya ini benar-benar menyukai Amel.
"Ini anak saya, Pak, Bu." Mama membawa Amel duduk.
"Malam Om, Tante," sapa Amel. Namun lidahnya berubah kelu saat melihat pria di antara dua tamu yang ia sapa sebelumnya.
Glek
'Dia?' Amel membatin. Ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya. Kilasan pertengkaran pria ini saat di depan ruang IGD kembali terlintas. Juga Teresa yang memakai pakaian sangat minim, yang dikatakan mengandung anaknya. Entah itu benar atau tidak, Amel tidak tahu. Tapi itu sungguh mengganggu pemikirannya saat ini.
Dan percakapan empat orang tua itu berlanjut. Amel tidak memerhatikannya sama sekali. Dia gagal fokus dengan pria yang kini tersenyum penuh arti padanya. Apa-apaan ini?
Acara ta'aruf terus berlanjut. Pak ustadz menanyakan beberapa hal pada Amel dan dijawab dengan lancar oleh gadis itu. Sebagai pamungkas, mereka makan malam bersama di meja makan.
"Pak, Bu, ada yang ingin saya bicarakan dengan Amel. Boleh minta waktunya sebentar?" Wibi bertanya dengan sopan, meminta izin pada papa dan mama yang kini saling pandang.
"Silakan." Papa yang menjawabnya.
Dan di sinilah keduanya sekarang, di taman kecil yang ada di halaman. Ada tiga kursi yang mengelilingi sebuah meja bundar. Berjarak beberapa meter dari pintu masuk rumah ini.
Amel terus bungkam. Dia masih bingung dengan situasi yang ada. Bagaimana bisa dia bertemu dengan pria ini lagi? Apa ini sebuah kebetulan?
"Kamu ingat saya?" tanya Wibi memecah keheningan.
"Iya inget." Amel memasang wajah datarnya.
"Kamu sudah lihat CV saya?"
"Belum," jawab Amel seadanya.
"Bagus. Kalau gitu, kamu bisa tanya langsung ke saya."
Amel mengerutkan keningnya, heran dengan sikap percaya diri yang pria ini tunjukkan.
"Ada pertanyaan?" pancing Wibi. Dia berharap Amel akan mengakrabinya.
Amel menggeleng. Dia mengaktifkan mode hemat bicara andalannya.
Kali ini Wibi yang ikut mengerutkan keningnya. Dia teringat pernyataan papa dan mama Amel yang mengatakan putri mereka itu pendiam, persis seperti sekarang ini. Padahal saat di rumah sakit, dia terlihat begitu ramah dan banyak senyum.
"Jadi, beneran kamu nggak mau tanya apa-apa?"
Lagi-lagi Amel menggeleng. Tak tertarik sama sekali pada pria ini. Namun, Wibi justru merasa sebaliknya. Dia semakin menyukai karakter calon istrinya ini. Profesional di tempat kerjanya, namun pendiam dan penurut di rumah. Calon pendamping hidup yang sempurna.
"Kamu nikah sama saya!" titah Wibi to the point.
"HAH? Nikah? Baru juga ta'aruf. Gila ya?" Amel akhirnya bersuara, menyatakan keberatannya atas ide luar biasa yang pria ini ungkapkan.
"Iya. Saya memang tergila-gila sama kamu! Kita nikah minggu depan."
"HAH?"
* * *
Duh, Si Abang gercep syekali. Jadi penasaran kaan kelanjutannya? See you next episode, bye-bye.
Hanazawa Easzy
Wibi dan keluarganya mendatangi rumah Amel dalam rangka prosesi ta'aruf. Meski sempat kecewa sebelumnya, namun akhirnya acara berjalan dengan lancar.Setelah makan malam bersama, Wibi meminta izin untuk berbicara empat mata dengan Amel. Mereka duduk berdua di taman yang ada di halaman depan."Kamu nikah sama saya!" titah seorang pria yang tak lain adalah Wibi."HAH? Nikah? Baru juga ta'aruf. Gila ya?" Amel tak mengerti jalan pikiran pria satu ini. Tadinya ia memasang jurus andalannya, yakni mode diam. Tapi, mendengar titah Wibi, membuat gadis ini berang juga. Dia tidak mau hidupnya diatur begitu saja oleh orang asing ini."Iya. Saya memang tergila-gila sama kamu! Kita nikah minggu depan." Wibi menatap manik mata Amel, serius dengan ucapannya."HAH?"Wajah Amel merah padam. Dia sungguh membenci pria otoriter seperti orang yang kini duduk di hadap
Matahari naik sepenggalah saat sebuah mobil warna hitam memasuki salah satu rumah sakit di ibukota. Tampaknya hari ini banyak pasien rawat jalan, terlihat dari padatnya kendaraan di tempat parkir ini.Amel segera melepas sabuk pengaman yang sejak tadi melingkupi tubuhnya. Wajahnya terlihat lelah, namun pergerakannya masih gesit. Terlihat jelas bahwa dia bukan gadis yang pemalas."Pak Ryan, dimana ibu Bapak dirawat?" tanya Amel sembari membenahi jilbabnya. Ada satu dua helai rambut halus yang menerobos keluar dari inner yang digunakannya.Wibi menoleh dengan kening berkerut. Gadis ini tidak mengatakan apapun sepanjang jalan. Dan begitu membuka suara, justru kalimat formal yang ia ucapkan."Pak?" Amel menatap lawan bicaranya.'Astaga. Gadis ini.' Wibi menoleh ke arah lain, tak habis pikir dengan sikap Amel padanya."Kamu panggil apa barusan?" Wibi mencoba menya
Amel terpaksa mengikuti Wibi untuk membantu ibunya. Mereka sampai di rumah sakit Harapan Bunda sekitar pukul delapan pagi. Keduanya langsung menuju ruang perawatan di lantai 3 nomor 7, ruang Melati.Dokter Nura yang menjadi penanggung jawab ibu Wibi, meminta Amel mengikutinya untuk mengurus dokumen. Namun, ternyata dia berniat mengenalkan seseorang untuk menjadi jodoh Amel. Tentu saja gadis ini berusaha menghindar sebisa mungkin. Dia belum ingin menikah, itu alasan utamanya.Baru saja keluar dari ruangan dokter Nura, Amel justru tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang. Atau lebih tepatnya, dia yang menabrak orang di hadapannya, membuat dokumen di tangannya berserakan di lantai."Amel?" Pria yang Amel tabrak menyapa. "Kamu bener Winda Amelia 'kan?" tanyanya mengonfirmasi. Dia yakin bahwa gadis yang kini terduduk di lantai itu Amel, temannya saat kecil."Maaf, siapa ya?" Amel berusaha mengenali pria
Wibi telah resmi menikah dengan Amel. Tidak ada perayaan sama sekali, hanya acara ijab kabul dan tasyakuran di rumah Amel. Itu saja. Hal itu terasa ganjil, namun Amel tetap berkeras tidak ingin pernikahannya dihadiri orang luar. Hanya kerabat dekat yang dia izinkan untuk datang."Aneh banget si, Bu. Nikah nggak ada acara apa-apa gitu. Kaya nggak niat mau nikah aja!" ketus Wulan, adik Wibi yang paling kecil. Mereka sedang ada dalam perjalanan pulang, dari Depok menuju Jakarta.Apa yang Wulan katakan memang benar adanya. Kakaknya yang seorang jutawan, diinginkan begitu banyak wanita di luar sana, justru menikah dengan gadis sederhana seperti Amel. Terlebih lagi, pernikahan ini diadakan tanpa resepsi mewah atau semacamnya, seperti pernikahan siri."Memang dia nggak niat nikah sama mas Wibi. Kalau aku jadi mbak Amel, malah mendingan kabur dari rumah. Ogah banget hari gini dijodohin." Komentar pedas keluar dari kembaran Wulan, yakni Nawa
Wibi dan Amel kembali ke Jakarta usai makan malam. Keduanya tak banyak berbincang, atau lebih tepatnya Amel yang memilih menghindari percakapan. Gadis 25 tahun ini enggan berkomunikasi lebih jauh dengan pria asing yang kini resmi menjadi suaminya.Langit terlihat gelap sempurna saat mobil berwarna silver itu sampai di depan sebuah gang sempit. Tampak sebuah gerobak nasi goreng di depannya, dengan beberapa pembeli yang tengah menunggu pesanan."Mel, udah sampai." Wibi membangunkan gadis ini dengan hati-hati, menggoyangkan puncak lengannya perlahan."Hmm?" Amel mengucek matanya dan menatap sekeliling. Mereka sudah ada di lingkungan rumah kos yang dia tempati dua tahun belakangan."Kamu kemasi barang-barang kamu, saya tunggu di sini."Amel mematung di tempatnya. Dia enggan melakukan perintah pria ini. Lagipula, ini sudah larut malam. Apa yang akan orang-orang katakan tentangnya yang
Amel ikut Wibi ke apartemennya. Tapi dia ragu untuk masuk setelah mendengar pertanyaan yang pria ini lontarkan saat dalam perjalanan pulang tadi. Entah kenapa ada perasaan tidak nyaman yang Amel rasakan di dalam hatinya.Belum reda keterkejutan Amel, pria ini justru menyodorkan beberapa lembar kertas pada Amel."Surat Perjanjian Kerjasama?" tanya Amel yang tidak mengerti dengan keinginan pria ini. Ada sesuatu yang lain dari sorot matanya. Itu sorot mata yang sama saat mereka bertemu di koridor rumah sakit waktu itu."Baca!" titahnya sambil lalu.Amel berusaha tenang, membaca satu per satu pasal yang ada di sana. Tidak ada yang aneh, itu lebih seperti job desknya sebagai seorang istri. Salah satunya menemani Wibi saat ada acara gala dinner di luar.'Gala dinner? Apa pekerjaan pria ini?' batin Amel bertanya-tanya."Tidak ada satu pun pasal yang akan merugikanmu. Perjanjian
Amel dan Wibi bertengkar. Atau lebih tepatnya, wanita itu mendebat pria yang telah menikahinya beberapa jam yang lalu. Dengan sifatnya yang terbiasa mandiri, juga egonya yang tinggi, dia tidak mudah menerima pengaturan yang orang lain siapkan untuknya.Sebenarnya, Amel tidak berniat mendebat suaminya, tapi dia hanya ingin mengungkapkan apa yang tersimpan di dalam hatinya. Sejak awal dia tidak menginginkan ta'aruf di antara mereka berdua. Terlebih lagi, dengan sifatnya yang keras kepala ini, tidak heran jika ia memberontak.Namun kenyataannya, Amel tidak melakukannya. Dia masih tau diri akan posisinya sebagai seorang anak. Mama dan papa pasti akan kecewa saat dia menolak perjodohan ini lagi. Tak terhitung berapa banyak laki-laki yang sudah mama kenalkan padanya, pada akhirnya tak ada satu pun yang Amel pilih.BrukkAmel merebahkan badannya di atas ranjang, membiarkan kakinya menjuntai begitu saja. Raganya lel
Wibi membawa Amel ke apartemennya. Dia masuk ke dalam kamar dan mendapati Amel yang tertidur lelap. Gadis ini pasti kelelahan.Samar-samar Wibi mencium parfum yang Amel gunakan. Ada perasaan lain yang melanda hatinya, bahkan membuat jantungnya berdetak lebih kencang dibandingkan biasanya.Tampilan Amel yang kepanasan dan berkeringat menggoda iman Wibi, membuat libidonya naik seketika. Tekadnya untuk tidak menyentuh Amel mulai teruji. Dia laki-laki normal, bahkan sangat normal. Melihat gadis cantik tergeletak di depannya, siapa yang tidak tergoda?"Mas, jangan pergi." Amel mengigau dalam tidurnya, membuat iblis dalam dada pria ini sedikit teredam."Hiks.... Mas," cetus Amel tanpa dia sadari.Wibi tertegun. Ada geleyar aneh yang kini muncul di hatinya, seperti perasaan ingin melindungi atau semacamnya. Arogansinya terkikis sempurna, melihat
Hello Readers tercinta... Mohon maaf, untuk novel Ta'aruf Tanda Cinta ini terpaksa hiatus sampai waktu yang belum bisa ditentukan. Sejujurnya, Author suka cerita ini. Tapi kafena satu dan lain hal, sepertinya belum bisa Author lanjutkan. Daripada dipaksakan nanti ceritanya jauh dari harapan kalian, jadi dengan sangat menyesal Amel & Wibi undur diri untuk sementara. Nanti kalau mood Author udah membaik, in syaa Allah segera update bab berikutnya. Sekali lagi, mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Author sangat menghargai apresiasi kalian. Tapi, sayangnya memang bener-bener belum bisa dilanjutkan. Ada projek cerita di platform lain yang belum bisa ditinggalkan. Sekali lagi, mohon maaf membuat kalian kecewa. Semoga kita segera berjumpa lagi di bab berikutnya. đđđ Salam hormat dari Author, Hanazawa Easzy
"M-mas? Kamu mau apa?" tanya Amel, menatap Wibi dengan pandangan heran. Hubungan mereka tidak sedekat ini, sampai membuatnya harus duduk di pangkuan. Ya, Amel menemukan Wibi demam di dalam kamarnya. Wanita itu memberikan pertolongan pertama pada suaminya dengan sigap. Tapi, dia lupa belum memberikan obat penurun panas untuk meredam suhu tubuh pria ini yang berada di atas rata-rata. "Mas?" panggil Amel tanpa sadar. Wibi tak menjawab. Dia mengangkat satu sudut bibirnya ke atas. 'Eh? Dia tersenyum?' batin wanita berjilbab coklat ini. Amel merasa canggung. Hubungannya dengan pria ini tidak sedekat itu, sampai bisa duduk di pangkuannya dengan begitu mesra seperti sekarang. "Kamu panggil aku apa barusan?" Wibi menatap Amel dengan pandangan penuh cinta. "Hah?" Amel melongo, dia tidak tahu apa yang sedang Wibi bicarakan. Panggil apa? Apa dia melakukan kesalahan tanpa dia sadari? "Kamu memanggilku... " Wibi sengaja menggantung kalimatny
Amel sengaja memasak untuk Wibi. Dia tidak ingin permasalahannya dengan pria itu menjadi berlarut-larut. Jadi pagi ini, wanita berjilbab ini ingin meminta maaf pada suaminya. Tapi, hingga jam tujuh pagi, Wibi belum juga keluar dari dalam kamarnya. Hingga suara gelas pecah menyapa indera pendengarannya. PRANGG Mau tidak mau, Amel terpaksa masuk ke dalam ruangan yang sempat ia tinggali malam itu. Tempat ia kehilangan mahkota berharganya karena diambil oleh suaminya sendiri. Ah, sebenarnya itu bukan masalah untuk pasangan suami istri seperti mereka. Tapi, entah kenapa Amel belum rela rasanya. "Astaghfirullah al 'adzim," cetus Amel begitu melihat Wibi terkapar tak berdaya di atas lantai. Tidak jauh darinya, pecahan gelas tercecer tak beraturan. "Ya, Allah. Kamu kenapa, Mas?" Amel refleks meletakkan kepala Wibi di pangkuannya. Wibi tak bisa menjawab. Tenggorokannya begitu kering, tak ada suara yang bisa keluar dari mulutnya. Dia memaksakan
Amel membuka matanya perlahan. Dia melirik jam digital yang ada di atas nakas, masih pukul empat pagi. Langit di luar masih terlihat gelap, dengan bulan sabit yang menggantung di kejauhan."Astaghfirullah al 'adzim." Perlahan Amel duduk dan menyandarkan punggung ke belakang. Terhitung ini hari ketiganya dia mengabaikan Wibi. Setelah pria itu mendapatkan haknya sebagai seorang suami, Amel mendiamkannya. Meski tinggal bersama, tapi keduanya seperti orang asing, tidak pernah bertegur sapa sama sekali.Dengan berat hati, Amel masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Dia tidak boleh marah lebih dari tiga hari pada suaminya. Terlebih lagi, entah apa penyebab kemarahannya itu. Dia sendiri tidak tahu.Detik berganti menit. Amel khusuk beribadah, bersujud di hadapan Yang Maha Kuasa, menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim."Assalamu'alaikum warahmatullah," ucap Amel sambil menolehkan wajahnya ke samping kanan dan kiri secara bergantian.Lant
WARNING !!! 21+ only!Adegan di bawah ini hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami istri. Tidak untuk ditiru sama sekali. Bijaklah dalam memilih bacaan!* * *Wibi tidak bisa menahan gairahnya sebagai seorang laki-laki ketika Amel tidak sengaja meraba dada bidangnya. Gadis 25 tahun itu bimbang, antara mengizinkan pria ini melanjutkan aktivitas panas mereka atau cukup sampai di sini saja.Jujur, Amel belum siap menyerahkan diri seutuhnya pada pria ini. Tapi, bagaimanapun juga, Wibi berhak atas tubuhnya, dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Sejak akad nikah kemarin siang, antara dirinya dengan pria ini tak lagi ada batasan, saling memiliki hak dan kewajiban satu sama lain."Aku akan memulainya." Wibi mengangkat tubuhnya dan mulai melucuti pakaian satu per satu. Dia tidak ingin melewatkan kesempatan ini demi mendapatkan haknya sebagai seorang
Wibi membawa Amel ke apartemennya. Dia masuk ke dalam kamar dan mendapati Amel yang tertidur lelap. Gadis ini pasti kelelahan.Samar-samar Wibi mencium parfum yang Amel gunakan. Ada perasaan lain yang melanda hatinya, bahkan membuat jantungnya berdetak lebih kencang dibandingkan biasanya.Tampilan Amel yang kepanasan dan berkeringat menggoda iman Wibi, membuat libidonya naik seketika. Tekadnya untuk tidak menyentuh Amel mulai teruji. Dia laki-laki normal, bahkan sangat normal. Melihat gadis cantik tergeletak di depannya, siapa yang tidak tergoda?"Mas, jangan pergi." Amel mengigau dalam tidurnya, membuat iblis dalam dada pria ini sedikit teredam."Hiks.... Mas," cetus Amel tanpa dia sadari.Wibi tertegun. Ada geleyar aneh yang kini muncul di hatinya, seperti perasaan ingin melindungi atau semacamnya. Arogansinya terkikis sempurna, melihat
Amel dan Wibi bertengkar. Atau lebih tepatnya, wanita itu mendebat pria yang telah menikahinya beberapa jam yang lalu. Dengan sifatnya yang terbiasa mandiri, juga egonya yang tinggi, dia tidak mudah menerima pengaturan yang orang lain siapkan untuknya.Sebenarnya, Amel tidak berniat mendebat suaminya, tapi dia hanya ingin mengungkapkan apa yang tersimpan di dalam hatinya. Sejak awal dia tidak menginginkan ta'aruf di antara mereka berdua. Terlebih lagi, dengan sifatnya yang keras kepala ini, tidak heran jika ia memberontak.Namun kenyataannya, Amel tidak melakukannya. Dia masih tau diri akan posisinya sebagai seorang anak. Mama dan papa pasti akan kecewa saat dia menolak perjodohan ini lagi. Tak terhitung berapa banyak laki-laki yang sudah mama kenalkan padanya, pada akhirnya tak ada satu pun yang Amel pilih.BrukkAmel merebahkan badannya di atas ranjang, membiarkan kakinya menjuntai begitu saja. Raganya lel
Amel ikut Wibi ke apartemennya. Tapi dia ragu untuk masuk setelah mendengar pertanyaan yang pria ini lontarkan saat dalam perjalanan pulang tadi. Entah kenapa ada perasaan tidak nyaman yang Amel rasakan di dalam hatinya.Belum reda keterkejutan Amel, pria ini justru menyodorkan beberapa lembar kertas pada Amel."Surat Perjanjian Kerjasama?" tanya Amel yang tidak mengerti dengan keinginan pria ini. Ada sesuatu yang lain dari sorot matanya. Itu sorot mata yang sama saat mereka bertemu di koridor rumah sakit waktu itu."Baca!" titahnya sambil lalu.Amel berusaha tenang, membaca satu per satu pasal yang ada di sana. Tidak ada yang aneh, itu lebih seperti job desknya sebagai seorang istri. Salah satunya menemani Wibi saat ada acara gala dinner di luar.'Gala dinner? Apa pekerjaan pria ini?' batin Amel bertanya-tanya."Tidak ada satu pun pasal yang akan merugikanmu. Perjanjian
Wibi dan Amel kembali ke Jakarta usai makan malam. Keduanya tak banyak berbincang, atau lebih tepatnya Amel yang memilih menghindari percakapan. Gadis 25 tahun ini enggan berkomunikasi lebih jauh dengan pria asing yang kini resmi menjadi suaminya.Langit terlihat gelap sempurna saat mobil berwarna silver itu sampai di depan sebuah gang sempit. Tampak sebuah gerobak nasi goreng di depannya, dengan beberapa pembeli yang tengah menunggu pesanan."Mel, udah sampai." Wibi membangunkan gadis ini dengan hati-hati, menggoyangkan puncak lengannya perlahan."Hmm?" Amel mengucek matanya dan menatap sekeliling. Mereka sudah ada di lingkungan rumah kos yang dia tempati dua tahun belakangan."Kamu kemasi barang-barang kamu, saya tunggu di sini."Amel mematung di tempatnya. Dia enggan melakukan perintah pria ini. Lagipula, ini sudah larut malam. Apa yang akan orang-orang katakan tentangnya yang