Pertolongan pertama pada Teresa segera dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Wibi. Para perawat dan dokter jaga di Instalasi Gawat Darurat (IGD) berusaha melakukan yang terbaik untuk pasien itu. Terlebih lagi, dia sedang mengandung sekarang. Resiko kehilangan nyawa lebih besar, dibandingkan wanita lain yang tidak berbadan dua.
Bunuh diri merupakan salah satu dari 15 besar penyebab kematian di dunia. Setidaknya lebih dari 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri. Dan untuk pelaku dengan rentang usia 15-29 tahun, bunuh diri merupakan penyebab kematian utama.
Di antara para tenaga medis itu, terdapat Winda Amelia atau yang akrab dipanggil Amel. Dia bertugas mengurus administrasi pasien. Yah, sebenarnya ini bukan tugas utama Amel. Tapi, di situasi darurat seperti sekarang, apa saja harus dilakukan dengan cepat.
"Dok, kondisi pasien semakin melemah. Dia butuh transfusi darah secepatnya!" ucap seorang pria dengan masker menutupi mulut dan hidungnya.
"Segera lakukan transfusi begitu kantung darahnya datang!"
"Baik."
Orang-orang berpakaian putih itu kembali sibuk. Beberapa memeriksa tanda vital pasien dan berusaha membuat Teresa tetap sadar. Salah satu perawat membersihkan pergelangan tangan pasien ini dari darah. Dia sudah terlatih menangani luka sayat seperti ini. Meski hanya luka kecil, namun memerlukan penanganan yang serius. Jika tidak, maka perdarahan itu tak kunjung berhenti dan akan membahayakan nyawanya.
Greg
Amel bergabung dengan rekan-rekannya. Dia baru saja menyerahkan stopmap berisi tanda tangan Wibi ke bagian administrasi. Segera, dia bergabung dalam misi penyelamatan ini. Perjuangan hidup dan mati wanita ini sangatlah penting. Tidak peduli latar belakang atau status pasien ini, sudah menjadi keharusan bagi tenaga medis untuk bersikap profesional.
Para ksatria berpakaian putih ini harus menyelamatkan nyawa para pasiennya, entah itu mereka pencuri, koruptor, begal, rampok, atau penjahat kelas kakap sekalipun. Yang terpenting adalah mereka makhluk hidup. Urusan lain, sama sekali bukan tanggung jawab mereka.
"Dok, stok darah kosong. Dia salah satu 'Golden Blood'." Lapor pria yang bertanggung jawab mengambil kantung darah dari bank darah rumah sakit ini.
Amel menoleh saat mendengar pernyataan itu. Dia tahu benar apa arti istilah ini. Dari semua jenis golongan darah yang ada, ada satu yang paling langka. Jenis golongan darah ini adalah Rh-null, yang kerap disebut juga dengan 'Golden Blood'. Menurut data yang ada, hanya 43 orang di dunia yang memiliki golongan darah ini.
Pertanda dari golongan darah ini adalah kurangnya antigen dalam sistem Rh, yang merupakan sistem golongan darah terbesar.
"Hubungi Bank Darah PMI pusat. Tanyakan stoknya sekarang!" perintah dokter senior yang bertanggung jawab dalam misi penyelamatan kali ini.
"Dok, saya bisa donor," cetus Amel.
"Kamu?!"
"Ah, iya. Amel Rh-null, Dok." Perawat pria itu teringat akan golongan darah gadis satu ini.
'Golden Blood' ini dapat ditransfusikan ke semua jenis golongan darah. Namun, orang dengan golongan darah Rh-null hanya bisa menerima transfusi darah dari jenis golongan darah yang sama.
"Baiklah. Cepat lakukan pengambilan darah!"
Detik berikutnya, Amel berbaring di atas brangkar. Salah satu rekannya segera melakukan tugas yang dokter minta.
Proses transfusi darah itu berjalan dengan lancar. Nyawa Teresa berhasil diselamatkan. Masa kritisnya sudah lewat, membuat perawat dan dokter bisa bernapas lega.
Di luar ruangan, tersisa Wibi seorang diri. Tiga orang karyawan hotel Queen sudah pergi begitu pria itu menandatangani dokumen persetujuan yang Amel ulurkan beberapa waktu yang lalu.
Tak berapa lama kemudian, para perawat keluar dari pintu IGD, menuju ruang depan dimana mereka berjaga sebelumnya. Di belakang, dua orang perawat tampak mendorong ranjang berisi Teresa yang memejamkan matanya. Mereka bersiap memindahkan pasien ini ke ruang perawatan.
"Tunggu!"
Grep
Wibi mencengkeram lengan Amel, membuat gadis itu meringis kesakitan. Jemari pria itu tepat menekan siku bagian dalamnya, bekas transfusi darah tadi.
"Maaf!" Wibi segera melepaskan cekalannya. "Bagaimana kondisinya?"
Amel berusaha menetralkan wajahnya. "Mari ikut saya."
DEG!
Jantung pria ini serasa berhenti berdetak saat pandangan matanya bertumbuk di titik yang sama dengan Amel. Ada perasaan tak menentu di dalam hatinya saat melihat wajah Amel yang pucat pasi seperti mayat hidup.
Amel berjalan lebih dulu menuju ke bagian TPPRI (Tempat Pendaftaran Pasien Rawat Inap) yang ada di ujung koridor. Itu merupakan tempat dimana pengaturan pasien rawat inap dilakukan. Keluarga pasien diharuskan menyerahkan data diri di tempat itu.
Wibi hanya bisa mengikutinya dalam diam. Entah kenapa ada perasaan yang tidak asing saat melihat punggung mungil yang berjalan di depannya ini, seolah mereka sudah pernah bertemu sebelumnya. Ada perasaan nyaman dan akrab yang Wibi rasakan. Padahal, baru hari ini mereka bersua. Itu pun karena berbagai kejadian tak terduga yang ada.
"Pak, silakan isi data diri pasien." Amel menyerahkan dua lembar formulir pendaftaran pada Wibi, meminta pria ini mengisinya.
"Kenapa harus saya?" tanya Wibi, merasa keberatan dengan hal ini. Dia merasa tidak perlu bertanggung jawab pada mantan kekasihnya, karena memang mereka tidak ada hubungan sama sekali saat ini.
Amel mengembuskan napas beratnya. Tubuhnya masih lemas akibat donor tadi, dan masih harus berurusan dengan pria menyebalkan ini.
"Kalau begitu, bisa Bapak berikan kartu identitas Nona tadi? Biar saya yang akan mengisinya."
Wibi terdiam. Dia tidak bisa memberikan data yang Amel minta. Jangankan data diri, Teresa bahkan berlari menggunakan sandal hotel, tanpa sepatu atau alas kaki lainnya. Kejadian itu terjadi begitu cepat, pasti wanita itu meninggalkan kartu identitas di kamarnya.
Srett
Wibi mengambil kertas itu dari tangan Amel dengan wajah bersungut.
"Pena!" titah pria itu.
Lagi-lagi Amel harus bersabar menghadapi pria ini. Sikap bossy-nya benar-benar menyebalkan, khas para CEO muda di novel-novel online yang biasa ia baca saat memiliki waktu senggang.
'Sabar, Mel,' bisiknya dalam hati. Ia menyerahkan bolpoin miliknya pada Wibi. Sudah menjadi kebiasaan bahwa Amel selalu membawa pena dan blocknotes di sakunya.
"Silakan, Bapak!" geram Amel tertahan. Gigi-giginya saling beradu, rahangnya mengerat, namun bibirnya menunjukkan senyum sebisa mungkin.
Dalam hati, ingin sekali Amel menempiling pria ini. Jelas-jelas ada pena di saku jas yang dikenakannya, tapi pria menyebalkan ini justru minta padanya. Tipikal orang yang tidak mau dirugikan sedikit pun.
Tak lama kemudian, Amel mengambil form dari loket TPPRI.
"Silakan tanda tangan di sini, Pak." Amel meminta hal yang sama seperti sebelumnya pada Wibi, membuat pria itu mengerutkan kening.
"Untuk apa?" tanya Wibi ketus.
'Astaghfirullah. Sabaaaaaaarrrrr,' lirih gadis 25 tahun ini dalam hati.
"Ini form persetujuan rawat inap, Pak. Kedepannya, pasien masih memerlukan perawatan intensif sampai kondisinya membaik. Bapak harus bertanggung jawab untuk urusan administrasi dan lain-lain. Jika pasien memiliki asuransi atau BPJS, maka bapak bisa mengurusnya nanti. Silakan ikuti prosedur yang ada." Kesabaran Amel benar-benar di uji. Kepalanya terasa sedikit pusing karena belum sempat istirahat setelah donor, dan pria ini justru membuat urusan administrasi semakin rumit.
"Saya bukan ayah dari bayi yang dikandung wanita itu. Saya tidak akan tanda tangan!"
'Astaghfirullah. Dosa apa yang hamba lalukan sampai bertemu pria bebal seperti ini, Ya Allah?' keluh kesah itu hanya terucap dalam hati gadis berjilbab ini.
"Bapak Ryan yang terhormat. Ini pertanggungjawaban pasien di rumah sakit, bukan tanggung jawab antara ayah dan anak seperti yang Bapak pikirkan. Bukan sama sekali. Silakan, Pak." Amel kembali menunjukkan senyum palsunya. Ingin sekali meninju pria ini. Dia benar-benar kesal.
"Kamu tahu nama saya?" Wibi agak tersentak saat mendengar perawat ini menyebut namanya. Ada perasaan hangat di dalam hatinya.
"Tentu saja, tuan Ryan Wibisono. Anda memakai name tag di sana." Amel menujuk dada sebelah kanan Wibi.
Detik berikutnya, pria itu langsung tanda tangan. Wajahnya memerah menahan malu. Pertama, malu karena masalah kesalahpahaman ayah-anak tadi. Kedua, malu karena terlalu percaya diri. Dia pikir perawat ini mengenalnya secara personal. Entah bagaimana dia bisa berpikir akan hal bodoh ini. Apa yang dia harapkan dari perawat ini? Astaga!!
***
Bener-bener sabar banget yaa si Amel ini? šš
See you next episode.
Hanazawa Easzy
Langit telah gelap seluruhnya saat Amel keluar dari ruang perawatan Teresa. Langkah kakinya tertuju pada ruang istirahat khusus perawat di ujung koridor. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari pengeras suara masjid. Sudah waktunya salat maghrib.Segera saja, Amel mengambil air wudhu dan melaksanakan ibadah rutin tiga rakaat kewajibannya. Sudah menjadi keharusan sebagai seorang muslim untuk bersegera melaksanakan salat begitu masuk waktunya.Krekk krekkTerdengar bunyi gemeletuk di leher gadis 25 tahun ini. Dia menggerakkan lehernya, berharap rasa pegal yang ia rasakan akan sedikit berkurang. Tangannya sibuk, melipat mukena yang telah ia pakai dan menyimpannya lagi di dalam loker.Sejak datang siang tadi, hanya satu pasien yang ia urus, yakni pasien bunuh diri yang bernama Teresa itu. Kondisinya sudah sedikit membaik, namun masih lemah. Tubuhnya harus menyesuikan diri setelah kehilangan darah cukup banyak.
Sebuah mobil warna hitam meninggalkan pelataran rumah sakit. Di dalamnya berisi dua orang wanita dan seorang pria yang duduk di balik kemudi."Udahan dong, Mel. Jangan cemberut gitu. Jelek tahu!" Suara Delia segera memecah keheningan malam ini."Bodo amat!"BrukkAmel menjatuhkan badannya di kursi belakang dan memilih memejamkan matanya. Sebuah bantal hello kitty segera menutupi wajahnya, menyembunyikan rasa kesal luar biasa yang ia tampilkan.Delia melirik suaminya, meminta pertimbangan. Gadis di kursi belakang itu kini benar-benar marah. Delia merasa bersalah karena memaksa Amel pulang lebih awal.Pria bertubuh sedikit berisi itu menggelengkan kepala, meminta istrinya untuk tak memaksa adik sepupunya ini. Tidak ada yang salah. Mereka hanya menjalankan amanah papa dan mama. Lagipula ini juga demi kebaikan Amel.Mobil melaju membelah jala
Wibi dan keluarganya mendatangi rumah Amel dalam rangka prosesi ta'aruf. Meski sempat kecewa sebelumnya, namun akhirnya acara berjalan dengan lancar.Setelah makan malam bersama, Wibi meminta izin untuk berbicara empat mata dengan Amel. Mereka duduk berdua di taman yang ada di halaman depan."Kamu nikah sama saya!" titah seorang pria yang tak lain adalah Wibi."HAH? Nikah? Baru juga ta'aruf. Gila ya?" Amel tak mengerti jalan pikiran pria satu ini. Tadinya ia memasang jurus andalannya, yakni mode diam. Tapi, mendengar titah Wibi, membuat gadis ini berang juga. Dia tidak mau hidupnya diatur begitu saja oleh orang asing ini."Iya. Saya memang tergila-gila sama kamu! Kita nikah minggu depan." Wibi menatap manik mata Amel, serius dengan ucapannya."HAH?"Wajah Amel merah padam. Dia sungguh membenci pria otoriter seperti orang yang kini duduk di hadap
Matahari naik sepenggalah saat sebuah mobil warna hitam memasuki salah satu rumah sakit di ibukota. Tampaknya hari ini banyak pasien rawat jalan, terlihat dari padatnya kendaraan di tempat parkir ini.Amel segera melepas sabuk pengaman yang sejak tadi melingkupi tubuhnya. Wajahnya terlihat lelah, namun pergerakannya masih gesit. Terlihat jelas bahwa dia bukan gadis yang pemalas."Pak Ryan, dimana ibu Bapak dirawat?" tanya Amel sembari membenahi jilbabnya. Ada satu dua helai rambut halus yang menerobos keluar dari inner yang digunakannya.Wibi menoleh dengan kening berkerut. Gadis ini tidak mengatakan apapun sepanjang jalan. Dan begitu membuka suara, justru kalimat formal yang ia ucapkan."Pak?" Amel menatap lawan bicaranya.'Astaga. Gadis ini.' Wibi menoleh ke arah lain, tak habis pikir dengan sikap Amel padanya."Kamu panggil apa barusan?" Wibi mencoba menya
Amel terpaksa mengikuti Wibi untuk membantu ibunya. Mereka sampai di rumah sakit Harapan Bunda sekitar pukul delapan pagi. Keduanya langsung menuju ruang perawatan di lantai 3 nomor 7, ruang Melati.Dokter Nura yang menjadi penanggung jawab ibu Wibi, meminta Amel mengikutinya untuk mengurus dokumen. Namun, ternyata dia berniat mengenalkan seseorang untuk menjadi jodoh Amel. Tentu saja gadis ini berusaha menghindar sebisa mungkin. Dia belum ingin menikah, itu alasan utamanya.Baru saja keluar dari ruangan dokter Nura, Amel justru tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang. Atau lebih tepatnya, dia yang menabrak orang di hadapannya, membuat dokumen di tangannya berserakan di lantai."Amel?" Pria yang Amel tabrak menyapa. "Kamu bener Winda Amelia 'kan?" tanyanya mengonfirmasi. Dia yakin bahwa gadis yang kini terduduk di lantai itu Amel, temannya saat kecil."Maaf, siapa ya?" Amel berusaha mengenali pria
Wibi telah resmi menikah dengan Amel. Tidak ada perayaan sama sekali, hanya acara ijab kabul dan tasyakuran di rumah Amel. Itu saja. Hal itu terasa ganjil, namun Amel tetap berkeras tidak ingin pernikahannya dihadiri orang luar. Hanya kerabat dekat yang dia izinkan untuk datang."Aneh banget si, Bu. Nikah nggak ada acara apa-apa gitu. Kaya nggak niat mau nikah aja!" ketus Wulan, adik Wibi yang paling kecil. Mereka sedang ada dalam perjalanan pulang, dari Depok menuju Jakarta.Apa yang Wulan katakan memang benar adanya. Kakaknya yang seorang jutawan, diinginkan begitu banyak wanita di luar sana, justru menikah dengan gadis sederhana seperti Amel. Terlebih lagi, pernikahan ini diadakan tanpa resepsi mewah atau semacamnya, seperti pernikahan siri."Memang dia nggak niat nikah sama mas Wibi. Kalau aku jadi mbak Amel, malah mendingan kabur dari rumah. Ogah banget hari gini dijodohin." Komentar pedas keluar dari kembaran Wulan, yakni Nawa
Wibi dan Amel kembali ke Jakarta usai makan malam. Keduanya tak banyak berbincang, atau lebih tepatnya Amel yang memilih menghindari percakapan. Gadis 25 tahun ini enggan berkomunikasi lebih jauh dengan pria asing yang kini resmi menjadi suaminya.Langit terlihat gelap sempurna saat mobil berwarna silver itu sampai di depan sebuah gang sempit. Tampak sebuah gerobak nasi goreng di depannya, dengan beberapa pembeli yang tengah menunggu pesanan."Mel, udah sampai." Wibi membangunkan gadis ini dengan hati-hati, menggoyangkan puncak lengannya perlahan."Hmm?" Amel mengucek matanya dan menatap sekeliling. Mereka sudah ada di lingkungan rumah kos yang dia tempati dua tahun belakangan."Kamu kemasi barang-barang kamu, saya tunggu di sini."Amel mematung di tempatnya. Dia enggan melakukan perintah pria ini. Lagipula, ini sudah larut malam. Apa yang akan orang-orang katakan tentangnya yang
Amel ikut Wibi ke apartemennya. Tapi dia ragu untuk masuk setelah mendengar pertanyaan yang pria ini lontarkan saat dalam perjalanan pulang tadi. Entah kenapa ada perasaan tidak nyaman yang Amel rasakan di dalam hatinya.Belum reda keterkejutan Amel, pria ini justru menyodorkan beberapa lembar kertas pada Amel."Surat Perjanjian Kerjasama?" tanya Amel yang tidak mengerti dengan keinginan pria ini. Ada sesuatu yang lain dari sorot matanya. Itu sorot mata yang sama saat mereka bertemu di koridor rumah sakit waktu itu."Baca!" titahnya sambil lalu.Amel berusaha tenang, membaca satu per satu pasal yang ada di sana. Tidak ada yang aneh, itu lebih seperti job desknya sebagai seorang istri. Salah satunya menemani Wibi saat ada acara gala dinner di luar.'Gala dinner? Apa pekerjaan pria ini?' batin Amel bertanya-tanya."Tidak ada satu pun pasal yang akan merugikanmu. Perjanjian
Hello Readers tercinta... Mohon maaf, untuk novel Ta'aruf Tanda Cinta ini terpaksa hiatus sampai waktu yang belum bisa ditentukan. Sejujurnya, Author suka cerita ini. Tapi kafena satu dan lain hal, sepertinya belum bisa Author lanjutkan. Daripada dipaksakan nanti ceritanya jauh dari harapan kalian, jadi dengan sangat menyesal Amel & Wibi undur diri untuk sementara. Nanti kalau mood Author udah membaik, in syaa Allah segera update bab berikutnya. Sekali lagi, mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Author sangat menghargai apresiasi kalian. Tapi, sayangnya memang bener-bener belum bisa dilanjutkan. Ada projek cerita di platform lain yang belum bisa ditinggalkan. Sekali lagi, mohon maaf membuat kalian kecewa. Semoga kita segera berjumpa lagi di bab berikutnya. ššš Salam hormat dari Author, Hanazawa Easzy
"M-mas? Kamu mau apa?" tanya Amel, menatap Wibi dengan pandangan heran. Hubungan mereka tidak sedekat ini, sampai membuatnya harus duduk di pangkuan. Ya, Amel menemukan Wibi demam di dalam kamarnya. Wanita itu memberikan pertolongan pertama pada suaminya dengan sigap. Tapi, dia lupa belum memberikan obat penurun panas untuk meredam suhu tubuh pria ini yang berada di atas rata-rata. "Mas?" panggil Amel tanpa sadar. Wibi tak menjawab. Dia mengangkat satu sudut bibirnya ke atas. 'Eh? Dia tersenyum?' batin wanita berjilbab coklat ini. Amel merasa canggung. Hubungannya dengan pria ini tidak sedekat itu, sampai bisa duduk di pangkuannya dengan begitu mesra seperti sekarang. "Kamu panggil aku apa barusan?" Wibi menatap Amel dengan pandangan penuh cinta. "Hah?" Amel melongo, dia tidak tahu apa yang sedang Wibi bicarakan. Panggil apa? Apa dia melakukan kesalahan tanpa dia sadari? "Kamu memanggilku... " Wibi sengaja menggantung kalimatny
Amel sengaja memasak untuk Wibi. Dia tidak ingin permasalahannya dengan pria itu menjadi berlarut-larut. Jadi pagi ini, wanita berjilbab ini ingin meminta maaf pada suaminya. Tapi, hingga jam tujuh pagi, Wibi belum juga keluar dari dalam kamarnya. Hingga suara gelas pecah menyapa indera pendengarannya. PRANGG Mau tidak mau, Amel terpaksa masuk ke dalam ruangan yang sempat ia tinggali malam itu. Tempat ia kehilangan mahkota berharganya karena diambil oleh suaminya sendiri. Ah, sebenarnya itu bukan masalah untuk pasangan suami istri seperti mereka. Tapi, entah kenapa Amel belum rela rasanya. "Astaghfirullah al 'adzim," cetus Amel begitu melihat Wibi terkapar tak berdaya di atas lantai. Tidak jauh darinya, pecahan gelas tercecer tak beraturan. "Ya, Allah. Kamu kenapa, Mas?" Amel refleks meletakkan kepala Wibi di pangkuannya. Wibi tak bisa menjawab. Tenggorokannya begitu kering, tak ada suara yang bisa keluar dari mulutnya. Dia memaksakan
Amel membuka matanya perlahan. Dia melirik jam digital yang ada di atas nakas, masih pukul empat pagi. Langit di luar masih terlihat gelap, dengan bulan sabit yang menggantung di kejauhan."Astaghfirullah al 'adzim." Perlahan Amel duduk dan menyandarkan punggung ke belakang. Terhitung ini hari ketiganya dia mengabaikan Wibi. Setelah pria itu mendapatkan haknya sebagai seorang suami, Amel mendiamkannya. Meski tinggal bersama, tapi keduanya seperti orang asing, tidak pernah bertegur sapa sama sekali.Dengan berat hati, Amel masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Dia tidak boleh marah lebih dari tiga hari pada suaminya. Terlebih lagi, entah apa penyebab kemarahannya itu. Dia sendiri tidak tahu.Detik berganti menit. Amel khusuk beribadah, bersujud di hadapan Yang Maha Kuasa, menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim."Assalamu'alaikum warahmatullah," ucap Amel sambil menolehkan wajahnya ke samping kanan dan kiri secara bergantian.Lant
WARNING !!! 21+ only!Adegan di bawah ini hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami istri. Tidak untuk ditiru sama sekali. Bijaklah dalam memilih bacaan!* * *Wibi tidak bisa menahan gairahnya sebagai seorang laki-laki ketika Amel tidak sengaja meraba dada bidangnya. Gadis 25 tahun itu bimbang, antara mengizinkan pria ini melanjutkan aktivitas panas mereka atau cukup sampai di sini saja.Jujur, Amel belum siap menyerahkan diri seutuhnya pada pria ini. Tapi, bagaimanapun juga, Wibi berhak atas tubuhnya, dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Sejak akad nikah kemarin siang, antara dirinya dengan pria ini tak lagi ada batasan, saling memiliki hak dan kewajiban satu sama lain."Aku akan memulainya." Wibi mengangkat tubuhnya dan mulai melucuti pakaian satu per satu. Dia tidak ingin melewatkan kesempatan ini demi mendapatkan haknya sebagai seorang
Wibi membawa Amel ke apartemennya. Dia masuk ke dalam kamar dan mendapati Amel yang tertidur lelap. Gadis ini pasti kelelahan.Samar-samar Wibi mencium parfum yang Amel gunakan. Ada perasaan lain yang melanda hatinya, bahkan membuat jantungnya berdetak lebih kencang dibandingkan biasanya.Tampilan Amel yang kepanasan dan berkeringat menggoda iman Wibi, membuat libidonya naik seketika. Tekadnya untuk tidak menyentuh Amel mulai teruji. Dia laki-laki normal, bahkan sangat normal. Melihat gadis cantik tergeletak di depannya, siapa yang tidak tergoda?"Mas, jangan pergi." Amel mengigau dalam tidurnya, membuat iblis dalam dada pria ini sedikit teredam."Hiks.... Mas," cetus Amel tanpa dia sadari.Wibi tertegun. Ada geleyar aneh yang kini muncul di hatinya, seperti perasaan ingin melindungi atau semacamnya. Arogansinya terkikis sempurna, melihat
Amel dan Wibi bertengkar. Atau lebih tepatnya, wanita itu mendebat pria yang telah menikahinya beberapa jam yang lalu. Dengan sifatnya yang terbiasa mandiri, juga egonya yang tinggi, dia tidak mudah menerima pengaturan yang orang lain siapkan untuknya.Sebenarnya, Amel tidak berniat mendebat suaminya, tapi dia hanya ingin mengungkapkan apa yang tersimpan di dalam hatinya. Sejak awal dia tidak menginginkan ta'aruf di antara mereka berdua. Terlebih lagi, dengan sifatnya yang keras kepala ini, tidak heran jika ia memberontak.Namun kenyataannya, Amel tidak melakukannya. Dia masih tau diri akan posisinya sebagai seorang anak. Mama dan papa pasti akan kecewa saat dia menolak perjodohan ini lagi. Tak terhitung berapa banyak laki-laki yang sudah mama kenalkan padanya, pada akhirnya tak ada satu pun yang Amel pilih.BrukkAmel merebahkan badannya di atas ranjang, membiarkan kakinya menjuntai begitu saja. Raganya lel
Amel ikut Wibi ke apartemennya. Tapi dia ragu untuk masuk setelah mendengar pertanyaan yang pria ini lontarkan saat dalam perjalanan pulang tadi. Entah kenapa ada perasaan tidak nyaman yang Amel rasakan di dalam hatinya.Belum reda keterkejutan Amel, pria ini justru menyodorkan beberapa lembar kertas pada Amel."Surat Perjanjian Kerjasama?" tanya Amel yang tidak mengerti dengan keinginan pria ini. Ada sesuatu yang lain dari sorot matanya. Itu sorot mata yang sama saat mereka bertemu di koridor rumah sakit waktu itu."Baca!" titahnya sambil lalu.Amel berusaha tenang, membaca satu per satu pasal yang ada di sana. Tidak ada yang aneh, itu lebih seperti job desknya sebagai seorang istri. Salah satunya menemani Wibi saat ada acara gala dinner di luar.'Gala dinner? Apa pekerjaan pria ini?' batin Amel bertanya-tanya."Tidak ada satu pun pasal yang akan merugikanmu. Perjanjian
Wibi dan Amel kembali ke Jakarta usai makan malam. Keduanya tak banyak berbincang, atau lebih tepatnya Amel yang memilih menghindari percakapan. Gadis 25 tahun ini enggan berkomunikasi lebih jauh dengan pria asing yang kini resmi menjadi suaminya.Langit terlihat gelap sempurna saat mobil berwarna silver itu sampai di depan sebuah gang sempit. Tampak sebuah gerobak nasi goreng di depannya, dengan beberapa pembeli yang tengah menunggu pesanan."Mel, udah sampai." Wibi membangunkan gadis ini dengan hati-hati, menggoyangkan puncak lengannya perlahan."Hmm?" Amel mengucek matanya dan menatap sekeliling. Mereka sudah ada di lingkungan rumah kos yang dia tempati dua tahun belakangan."Kamu kemasi barang-barang kamu, saya tunggu di sini."Amel mematung di tempatnya. Dia enggan melakukan perintah pria ini. Lagipula, ini sudah larut malam. Apa yang akan orang-orang katakan tentangnya yang