Kejadian tak terduga menimpa seorang pria bernama Ryan Wibisono atau yang akrab dipanggil Wibi. Dia hampir saja dijebak oleh mantan kekasihnya, Teresa, yang tengah hamil. Dan ternyata Teresa nekat mengakhiri hidupnya di lobi hotel, dimana ada begitu banyak orang di sana.
Para staf dan karyawan hotel segera menolong wanita itu, membawanya ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan pertama. Dan Wibi juga ikut digiring ke sana. Bahkan seorang petugas keamanan menahan lengannya dengan erat, takut pria ini akan kabur.
"Saya akan ikut ke rumah sakit. Tapi lepaskan dulu tangan saya, Pak!" geram Wibi menahan gondok. Sejak meninggalkan hotel lima menit yang lalu, lengannya tetap ada dalam cengkeraman pria berkumis ini. Seolah Wibi akan melompat keluar jika tidak ditahan. Padahal jelas-jelas tidak ada celah sama sekali untuknya bisa kabur.
"Pak Security, lepas aja nggak apa-apa, Pak." Wanita resepsionis itu menengahi keadaan. "Tapi Bapak harus tanggung jawab. Ini mbaknya pacar Bapak, 'kan?" Pandangan wanita ini mengarah pada Wibi dengan penuh kecurigaan.
Lagi-lagi Wibi harus menambah stok kesabaran dalam dadanya. Dia tidak boleh marah pada orang yang tidak tahu apa-apa ini. Dia bahkan tidak tahu bagaimana Teresa bisa hamil, bertemu saja tidak pernah. Apalagi menanamkan benih ke dalam rahimnya. Memangnya bisa?
"Dulu dia memang pacar saya. Tapi itu dulu, Pak! Satu tahun yang lalu," jawab Wibi sesingkat mungkin. Dia enggan berbicara dengan orang asing.
"Sekarang mbaknya hamil, Bapak nggak mau tanggung jawab?!" Si Resepsionis yang ikut mengantar Teresa, semakin memperkeruh keadaan. Dia memangku wanita yang kini terlihat tak sadarkan diri. Sejak awal terlihat jelas bahwa dia tidak menyukai Wibi.
"Sudah saya katakan, saya bukan ayah dari anak ini. Tolong jaga ucapannya ya!" Wibi geram dengan pandangan sinis yang orang-orang ini layangkan.
"Lah sudah jadi rahasia umum, Pak. Buat orang-orang berduit macam Bapak ini, apa sih yang nggak bisa diatur? Walaupun Bapak bilang bulan itu segitiga, saya juga harusnya bilang iya!"
"Bukan seperti itu!" Wibi mengeratkan rahangnya. Entah bagaimana caranya agar bisa membuat orang-orang ini percaya padanya. Pertengkaran dua orang asing ini tak terhindarkan hingga kemudian terdengar suara....
BRAKK!
Mobil berwarna hitam yang dinaiki oleh enam orang ini terhenti paksa. Bamper depannya menubruk motor skuter matik yang dikendarai oleh seorang wanita.
"Innalillahi. Ya Allah!" seru pria di balik kemudi. Dia terganggu oleh pertengkaran orang-orang di kursi belakang, membuatnya gagal fokus. Bukannya menginjak pedal rem, justru menambah kecepatan mobil ini.
"Astagfirullah, maaf Mbak. Mbaknya nggak apa-apa?" tanya pria paruh baya ini, panik. Dia segera keluar dan menghampiri wanita yang berpakaian serba putih. Tampaknya dia perawat di rumah sakit ini.
Wanita itu tak menjawab. Dia segera memeriksa keadaan sekitar, takut isi tasnya tercecer di jalanan depan rumah sakit ini.
"Maaf, Mbak. Mbaknya nggak apa-apa?" ulang pria ini lagi. "Saya nggak sengaja. Sekali lagi maafkan saya, Mbak. Saya bawa pasien darurat jadi panik." Pengendara mobil ini merasa bersalah. Dia menjelaskan sebelum diminta.
Amel mengangkat wajah sambil membuka masker kain yang menutupi mulut dan hidungnya. Dia memang terbiasa memakai itu untuk melindunginya dari debu dan polusi sepanjang jalan.
"Dia?!" Urat leher Wibi menegang saat melihat wanita yang tengah berbincang dengan supir hotel Queen itu. Wajahnya tidak asing. Dia adalah gadis yang motornya ia senggol di perempatan lampu merah, satu jam yang lalu.
'Astaga! Masalah baru lagi. Kenapa dunia begitu sempit?' Itu yang Wibi pikirkan seketika. mereka berdua bertemu dua kali dalam satu hari. Ah, tepatnya masih dalam hitungan jam.
"Saya nggak apa-apa kok, Pak. Bapak bawa pasien?" tanya Amel.
"Iya, Mbak. Wanita. Dia bunuh diri, urat nadinya dipotong pakai pisau."
"Astaghfirullah al 'adzim. Ayo cepet dibuka pintunya, Pak. Saya panggil temen-temen saya yang lain." Perawat bernama lengkap Winda Amelia itu berlari ke arah pintu masuk ruang gawat darurat. Dia mengabaikan langkah kakinya yang sedikit pincang. Jiwa penolongnya langsung terkesiap saat mendengar pernyataan bahwa di dalam mobil itu ada orang yang tengah bergulat antara hidup dan mati.
Sejurus kemudian, beberapa perawat muncul dengan ranjang yang akan membawa pasien ke dalam ruangan. Mereka semua sigap menangani pasien, termasuk perawat yang sedikit tertatih karena jatuh itu.
Tubuh lemah Teresa langsung dibawa ke dalam ruangan gawat darurat guna mendapat pertolongan pertama. Tak lama kemudian, Amel keluar dan menemui empat orang yang datang bersama pasien ini.
"Maaf, disini siapa keluarga pasien?"
Tiga orang yang memakai lencana Queen Hotel kompak menunjuk pria yang kini tengah bertelepon, yang tak lain adalah Wibi.
Tuk tuk
Amel mengetuk punggung bidang pria ini dengan ujung pena yang ada di tangannya, membuat Wibi menoleh seketika. Panggilan telepon dia akhiri setelah mengucap beberapa patah kata.
Keduanya saling pandang selama beberapa detik. Ah, lebih tepatnya Wibi yang terhenyak karena berhadapan dengan gadis yang ia senggol motornya siang ini. Dia tidak bisa mendengar suara apapun, seolah dunia berhenti berputar untuknya. Amel menjelaskan bahwa pasien butuh transfusi darah secepatnya. Dan itu harus atas persetujuan wali atau keluarga pasien.
"Ekhm. Ada apa?" Wibi memasang sikap sok cool setelah berdeham, meredakan rasa canggung yang merasuki hatinya. Padahal Amel tidak mengenalinya sama sekali.
"Bapak tidak mendengarkan saya?!" Kalimat ketus itu yang pertama Wibi dengar. Sejak tadi telinganya seolah tuli, tidak mendengar rentetan kata yang diucapkan oleh perawat ini.
Pria itu justru menatap name tag di dada Amel. Wibi ingin tahu nama gadis pengendara skuter matic yang tak sengaja ia tabrak siang tadi. Disana tertera tulisan Winda A. Ini pertemuan kedua mereka.
"Bapak dengar apa yang saya katakan?" ulang Amel. Dia yakin pria ini tidak mendengarkannya.
"Ya. Apa? Ada apa?" tanya Wibi tergeragap.
"Astaghfirullah, Bapak. Saya sudah mengatakannya dua kali. Ini terakhir kalinya saya bertanya. Apa Bapak keluarga pasien?" Amel berusaha bersabar menghadapi keluarga pasien satu ini. Ini bukan pertama kalinya dia mendapati hal yang sama, jadi dia sudah paham betul.
"Saya bukan keluarganya." Wibi gugup menjawabnya, membuat Amel memicingkan matanya.
"Kalau begitu, apa hubungan Bapak dengan pasien? Rekan kerja, tetangga, saudara, atau apa?"
Wibi tak segera menjawab. Dia bingung memosisikan dirinya dalam situasi ini.
"Dia AYAH dari bayi yang dikandung pasien tadi, Sust." Wanita dengan setelan pakaian warna biru itu berkata lantang, menjawab pertanyaan yang Amel tujukan pada Wibi. Dia sengaja menekankan kata 'ayah' dalam kalimatnya.
Netra Amel membola. Entah kenapa hatinya berdenyut nyeri saat mendengarnya, seolah ada perasaan tidak rela. Padahal jelas-jelas dia tidak mengenal pria ini.
"Jaga mulut kamu ya! Saya tegaskan, saya bukan AYAH dari anak itu. Saya bisa laporkan ini sebagai pencemaran nama baik!" Wibi yang terlanjur emosi pada wanita resepsionis ini, terpaksa menunjukkan tajinya. Dia tidak pernah ditindas oleh siapapun. Dan memang tidak pernah mengizinkan siapapun menindasnya.
"Sudah jadi rahasia umum, Pak. Makanya kalau nggak mau tanggung jawab, jangan coba-coba main di atas ranjang!"
'Astaghfirullah al 'adzim,' ucap Amel dalam hati. Dia berusaha tenang, tidak ikut terprovokasi oleh orang-orang yang tengah dikuasai amarah ini.
"Maaf, Bapak, Ibu. Tolong jangan membuat kegaduhan." Amel menatap Wibi dan wanita itu bergantian.
"Dan, Ibu. Tolong jangan menyela pembicaraan. Saya sedang bertanya pada Bapak ini, bukan pada Ibu. Jika memang Ibu yang akan bertanggung jawab pada pasien di dalam, maka lebih baik Anda saja yang menandatangani dokumen ini." Amel menunjukkan form persetujuan keluarga pasien.
Wibi tersenyum simpul. Dia kagum pada sikap tegas perawat mungil di hadapannya. Rasa kesalnya terbayarkan melihat wajah wanita itu yang seolah mati kutu, salah tingkah.
"Bapak jangan dulu tersenyum, silakan tanda tangan dokumen ini. Saya tidak tahu apa hubungan Bapak dengan pasien di dalam, dan memang bukan hak saya untuk tahu. Silakan tanda tangan di sini." Amel kembali menunjuk kolom tempat membubuhkan tanda persetujuan dari pendamping atau keluarga pasien.
"Apa ini?" tanya Wibi dengan kening berkerut.
"Form persetujuan, Bapak." Amel mengepalkan tangannya, geram pada pria di depannya ini. "Setelah Anda menandatanganinya, maka pasien bisa langsung mendapat pertolongan untuk menyelamatkan nyawanya. Dia juga membutuhkan transfusi darah secepatnya. Mohon Anda tanda tangan di sini." Amel menyerahkan pena itu pada Wibi sembari menunjuk kolom kosong di bagian bawah kertas yang dipegangnya.
Wibi segera menandatangani dokumen itu, membuat Amel masuk kembali ke dalam ruangan, detik berikutnya.
Wibi menatap punggung mungil itu dengan pandangan selidik. Dia penasaran siapa perawat ini. Wajahnya terasa familiar, tidak asing. Seperti pernah melihat fotonya di suatu tempat. Tapi dia tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Entahlah.
***
Wah, mulai ketemu face to face nih dua pemeran utama kita. Kira-kira Wibi pernah lihat foto Amel dimana ya?
See you next episode.
Hanazawa Easzy
Pertolongan pertama pada Teresa segera dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Wibi. Para perawat dan dokter jaga di Instalasi Gawat Darurat (IGD) berusaha melakukan yang terbaik untuk pasien itu. Terlebih lagi, dia sedang mengandung sekarang. Resiko kehilangan nyawa lebih besar, dibandingkan wanita lain yang tidak berbadan dua.Bunuh diri merupakan salah satu dari 15 besar penyebab kematian di dunia. Setidaknya lebih dari 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri. Dan untuk pelaku dengan rentang usia 15-29 tahun, bunuh diri merupakan penyebab kematian utama.Di antara para tenaga medis itu, terdapat Winda Amelia atau yang akrab dipanggil Amel. Dia bertugas mengurus administrasi pasien. Yah, sebenarnya ini bukan tugas utama Amel. Tapi, di situasi darurat seperti sekarang, apa saja harus dilakukan dengan cepat."Dok, kondisi pasien semakin melemah. Dia butuh transfusi darah secepatnya!" ucap seorang pria dengan masker
Langit telah gelap seluruhnya saat Amel keluar dari ruang perawatan Teresa. Langkah kakinya tertuju pada ruang istirahat khusus perawat di ujung koridor. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari pengeras suara masjid. Sudah waktunya salat maghrib.Segera saja, Amel mengambil air wudhu dan melaksanakan ibadah rutin tiga rakaat kewajibannya. Sudah menjadi keharusan sebagai seorang muslim untuk bersegera melaksanakan salat begitu masuk waktunya.Krekk krekkTerdengar bunyi gemeletuk di leher gadis 25 tahun ini. Dia menggerakkan lehernya, berharap rasa pegal yang ia rasakan akan sedikit berkurang. Tangannya sibuk, melipat mukena yang telah ia pakai dan menyimpannya lagi di dalam loker.Sejak datang siang tadi, hanya satu pasien yang ia urus, yakni pasien bunuh diri yang bernama Teresa itu. Kondisinya sudah sedikit membaik, namun masih lemah. Tubuhnya harus menyesuikan diri setelah kehilangan darah cukup banyak.
Sebuah mobil warna hitam meninggalkan pelataran rumah sakit. Di dalamnya berisi dua orang wanita dan seorang pria yang duduk di balik kemudi."Udahan dong, Mel. Jangan cemberut gitu. Jelek tahu!" Suara Delia segera memecah keheningan malam ini."Bodo amat!"BrukkAmel menjatuhkan badannya di kursi belakang dan memilih memejamkan matanya. Sebuah bantal hello kitty segera menutupi wajahnya, menyembunyikan rasa kesal luar biasa yang ia tampilkan.Delia melirik suaminya, meminta pertimbangan. Gadis di kursi belakang itu kini benar-benar marah. Delia merasa bersalah karena memaksa Amel pulang lebih awal.Pria bertubuh sedikit berisi itu menggelengkan kepala, meminta istrinya untuk tak memaksa adik sepupunya ini. Tidak ada yang salah. Mereka hanya menjalankan amanah papa dan mama. Lagipula ini juga demi kebaikan Amel.Mobil melaju membelah jala
Wibi dan keluarganya mendatangi rumah Amel dalam rangka prosesi ta'aruf. Meski sempat kecewa sebelumnya, namun akhirnya acara berjalan dengan lancar.Setelah makan malam bersama, Wibi meminta izin untuk berbicara empat mata dengan Amel. Mereka duduk berdua di taman yang ada di halaman depan."Kamu nikah sama saya!" titah seorang pria yang tak lain adalah Wibi."HAH? Nikah? Baru juga ta'aruf. Gila ya?" Amel tak mengerti jalan pikiran pria satu ini. Tadinya ia memasang jurus andalannya, yakni mode diam. Tapi, mendengar titah Wibi, membuat gadis ini berang juga. Dia tidak mau hidupnya diatur begitu saja oleh orang asing ini."Iya. Saya memang tergila-gila sama kamu! Kita nikah minggu depan." Wibi menatap manik mata Amel, serius dengan ucapannya."HAH?"Wajah Amel merah padam. Dia sungguh membenci pria otoriter seperti orang yang kini duduk di hadap
Matahari naik sepenggalah saat sebuah mobil warna hitam memasuki salah satu rumah sakit di ibukota. Tampaknya hari ini banyak pasien rawat jalan, terlihat dari padatnya kendaraan di tempat parkir ini.Amel segera melepas sabuk pengaman yang sejak tadi melingkupi tubuhnya. Wajahnya terlihat lelah, namun pergerakannya masih gesit. Terlihat jelas bahwa dia bukan gadis yang pemalas."Pak Ryan, dimana ibu Bapak dirawat?" tanya Amel sembari membenahi jilbabnya. Ada satu dua helai rambut halus yang menerobos keluar dari inner yang digunakannya.Wibi menoleh dengan kening berkerut. Gadis ini tidak mengatakan apapun sepanjang jalan. Dan begitu membuka suara, justru kalimat formal yang ia ucapkan."Pak?" Amel menatap lawan bicaranya.'Astaga. Gadis ini.' Wibi menoleh ke arah lain, tak habis pikir dengan sikap Amel padanya."Kamu panggil apa barusan?" Wibi mencoba menya
Amel terpaksa mengikuti Wibi untuk membantu ibunya. Mereka sampai di rumah sakit Harapan Bunda sekitar pukul delapan pagi. Keduanya langsung menuju ruang perawatan di lantai 3 nomor 7, ruang Melati.Dokter Nura yang menjadi penanggung jawab ibu Wibi, meminta Amel mengikutinya untuk mengurus dokumen. Namun, ternyata dia berniat mengenalkan seseorang untuk menjadi jodoh Amel. Tentu saja gadis ini berusaha menghindar sebisa mungkin. Dia belum ingin menikah, itu alasan utamanya.Baru saja keluar dari ruangan dokter Nura, Amel justru tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang. Atau lebih tepatnya, dia yang menabrak orang di hadapannya, membuat dokumen di tangannya berserakan di lantai."Amel?" Pria yang Amel tabrak menyapa. "Kamu bener Winda Amelia 'kan?" tanyanya mengonfirmasi. Dia yakin bahwa gadis yang kini terduduk di lantai itu Amel, temannya saat kecil."Maaf, siapa ya?" Amel berusaha mengenali pria
Wibi telah resmi menikah dengan Amel. Tidak ada perayaan sama sekali, hanya acara ijab kabul dan tasyakuran di rumah Amel. Itu saja. Hal itu terasa ganjil, namun Amel tetap berkeras tidak ingin pernikahannya dihadiri orang luar. Hanya kerabat dekat yang dia izinkan untuk datang."Aneh banget si, Bu. Nikah nggak ada acara apa-apa gitu. Kaya nggak niat mau nikah aja!" ketus Wulan, adik Wibi yang paling kecil. Mereka sedang ada dalam perjalanan pulang, dari Depok menuju Jakarta.Apa yang Wulan katakan memang benar adanya. Kakaknya yang seorang jutawan, diinginkan begitu banyak wanita di luar sana, justru menikah dengan gadis sederhana seperti Amel. Terlebih lagi, pernikahan ini diadakan tanpa resepsi mewah atau semacamnya, seperti pernikahan siri."Memang dia nggak niat nikah sama mas Wibi. Kalau aku jadi mbak Amel, malah mendingan kabur dari rumah. Ogah banget hari gini dijodohin." Komentar pedas keluar dari kembaran Wulan, yakni Nawa
Wibi dan Amel kembali ke Jakarta usai makan malam. Keduanya tak banyak berbincang, atau lebih tepatnya Amel yang memilih menghindari percakapan. Gadis 25 tahun ini enggan berkomunikasi lebih jauh dengan pria asing yang kini resmi menjadi suaminya.Langit terlihat gelap sempurna saat mobil berwarna silver itu sampai di depan sebuah gang sempit. Tampak sebuah gerobak nasi goreng di depannya, dengan beberapa pembeli yang tengah menunggu pesanan."Mel, udah sampai." Wibi membangunkan gadis ini dengan hati-hati, menggoyangkan puncak lengannya perlahan."Hmm?" Amel mengucek matanya dan menatap sekeliling. Mereka sudah ada di lingkungan rumah kos yang dia tempati dua tahun belakangan."Kamu kemasi barang-barang kamu, saya tunggu di sini."Amel mematung di tempatnya. Dia enggan melakukan perintah pria ini. Lagipula, ini sudah larut malam. Apa yang akan orang-orang katakan tentangnya yang
Hello Readers tercinta... Mohon maaf, untuk novel Ta'aruf Tanda Cinta ini terpaksa hiatus sampai waktu yang belum bisa ditentukan. Sejujurnya, Author suka cerita ini. Tapi kafena satu dan lain hal, sepertinya belum bisa Author lanjutkan. Daripada dipaksakan nanti ceritanya jauh dari harapan kalian, jadi dengan sangat menyesal Amel & Wibi undur diri untuk sementara. Nanti kalau mood Author udah membaik, in syaa Allah segera update bab berikutnya. Sekali lagi, mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Author sangat menghargai apresiasi kalian. Tapi, sayangnya memang bener-bener belum bisa dilanjutkan. Ada projek cerita di platform lain yang belum bisa ditinggalkan. Sekali lagi, mohon maaf membuat kalian kecewa. Semoga kita segera berjumpa lagi di bab berikutnya. 🙇🙏🙏 Salam hormat dari Author, Hanazawa Easzy
"M-mas? Kamu mau apa?" tanya Amel, menatap Wibi dengan pandangan heran. Hubungan mereka tidak sedekat ini, sampai membuatnya harus duduk di pangkuan. Ya, Amel menemukan Wibi demam di dalam kamarnya. Wanita itu memberikan pertolongan pertama pada suaminya dengan sigap. Tapi, dia lupa belum memberikan obat penurun panas untuk meredam suhu tubuh pria ini yang berada di atas rata-rata. "Mas?" panggil Amel tanpa sadar. Wibi tak menjawab. Dia mengangkat satu sudut bibirnya ke atas. 'Eh? Dia tersenyum?' batin wanita berjilbab coklat ini. Amel merasa canggung. Hubungannya dengan pria ini tidak sedekat itu, sampai bisa duduk di pangkuannya dengan begitu mesra seperti sekarang. "Kamu panggil aku apa barusan?" Wibi menatap Amel dengan pandangan penuh cinta. "Hah?" Amel melongo, dia tidak tahu apa yang sedang Wibi bicarakan. Panggil apa? Apa dia melakukan kesalahan tanpa dia sadari? "Kamu memanggilku... " Wibi sengaja menggantung kalimatny
Amel sengaja memasak untuk Wibi. Dia tidak ingin permasalahannya dengan pria itu menjadi berlarut-larut. Jadi pagi ini, wanita berjilbab ini ingin meminta maaf pada suaminya. Tapi, hingga jam tujuh pagi, Wibi belum juga keluar dari dalam kamarnya. Hingga suara gelas pecah menyapa indera pendengarannya. PRANGG Mau tidak mau, Amel terpaksa masuk ke dalam ruangan yang sempat ia tinggali malam itu. Tempat ia kehilangan mahkota berharganya karena diambil oleh suaminya sendiri. Ah, sebenarnya itu bukan masalah untuk pasangan suami istri seperti mereka. Tapi, entah kenapa Amel belum rela rasanya. "Astaghfirullah al 'adzim," cetus Amel begitu melihat Wibi terkapar tak berdaya di atas lantai. Tidak jauh darinya, pecahan gelas tercecer tak beraturan. "Ya, Allah. Kamu kenapa, Mas?" Amel refleks meletakkan kepala Wibi di pangkuannya. Wibi tak bisa menjawab. Tenggorokannya begitu kering, tak ada suara yang bisa keluar dari mulutnya. Dia memaksakan
Amel membuka matanya perlahan. Dia melirik jam digital yang ada di atas nakas, masih pukul empat pagi. Langit di luar masih terlihat gelap, dengan bulan sabit yang menggantung di kejauhan."Astaghfirullah al 'adzim." Perlahan Amel duduk dan menyandarkan punggung ke belakang. Terhitung ini hari ketiganya dia mengabaikan Wibi. Setelah pria itu mendapatkan haknya sebagai seorang suami, Amel mendiamkannya. Meski tinggal bersama, tapi keduanya seperti orang asing, tidak pernah bertegur sapa sama sekali.Dengan berat hati, Amel masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Dia tidak boleh marah lebih dari tiga hari pada suaminya. Terlebih lagi, entah apa penyebab kemarahannya itu. Dia sendiri tidak tahu.Detik berganti menit. Amel khusuk beribadah, bersujud di hadapan Yang Maha Kuasa, menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim."Assalamu'alaikum warahmatullah," ucap Amel sambil menolehkan wajahnya ke samping kanan dan kiri secara bergantian.Lant
WARNING !!! 21+ only!Adegan di bawah ini hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami istri. Tidak untuk ditiru sama sekali. Bijaklah dalam memilih bacaan!* * *Wibi tidak bisa menahan gairahnya sebagai seorang laki-laki ketika Amel tidak sengaja meraba dada bidangnya. Gadis 25 tahun itu bimbang, antara mengizinkan pria ini melanjutkan aktivitas panas mereka atau cukup sampai di sini saja.Jujur, Amel belum siap menyerahkan diri seutuhnya pada pria ini. Tapi, bagaimanapun juga, Wibi berhak atas tubuhnya, dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Sejak akad nikah kemarin siang, antara dirinya dengan pria ini tak lagi ada batasan, saling memiliki hak dan kewajiban satu sama lain."Aku akan memulainya." Wibi mengangkat tubuhnya dan mulai melucuti pakaian satu per satu. Dia tidak ingin melewatkan kesempatan ini demi mendapatkan haknya sebagai seorang
Wibi membawa Amel ke apartemennya. Dia masuk ke dalam kamar dan mendapati Amel yang tertidur lelap. Gadis ini pasti kelelahan.Samar-samar Wibi mencium parfum yang Amel gunakan. Ada perasaan lain yang melanda hatinya, bahkan membuat jantungnya berdetak lebih kencang dibandingkan biasanya.Tampilan Amel yang kepanasan dan berkeringat menggoda iman Wibi, membuat libidonya naik seketika. Tekadnya untuk tidak menyentuh Amel mulai teruji. Dia laki-laki normal, bahkan sangat normal. Melihat gadis cantik tergeletak di depannya, siapa yang tidak tergoda?"Mas, jangan pergi." Amel mengigau dalam tidurnya, membuat iblis dalam dada pria ini sedikit teredam."Hiks.... Mas," cetus Amel tanpa dia sadari.Wibi tertegun. Ada geleyar aneh yang kini muncul di hatinya, seperti perasaan ingin melindungi atau semacamnya. Arogansinya terkikis sempurna, melihat
Amel dan Wibi bertengkar. Atau lebih tepatnya, wanita itu mendebat pria yang telah menikahinya beberapa jam yang lalu. Dengan sifatnya yang terbiasa mandiri, juga egonya yang tinggi, dia tidak mudah menerima pengaturan yang orang lain siapkan untuknya.Sebenarnya, Amel tidak berniat mendebat suaminya, tapi dia hanya ingin mengungkapkan apa yang tersimpan di dalam hatinya. Sejak awal dia tidak menginginkan ta'aruf di antara mereka berdua. Terlebih lagi, dengan sifatnya yang keras kepala ini, tidak heran jika ia memberontak.Namun kenyataannya, Amel tidak melakukannya. Dia masih tau diri akan posisinya sebagai seorang anak. Mama dan papa pasti akan kecewa saat dia menolak perjodohan ini lagi. Tak terhitung berapa banyak laki-laki yang sudah mama kenalkan padanya, pada akhirnya tak ada satu pun yang Amel pilih.BrukkAmel merebahkan badannya di atas ranjang, membiarkan kakinya menjuntai begitu saja. Raganya lel
Amel ikut Wibi ke apartemennya. Tapi dia ragu untuk masuk setelah mendengar pertanyaan yang pria ini lontarkan saat dalam perjalanan pulang tadi. Entah kenapa ada perasaan tidak nyaman yang Amel rasakan di dalam hatinya.Belum reda keterkejutan Amel, pria ini justru menyodorkan beberapa lembar kertas pada Amel."Surat Perjanjian Kerjasama?" tanya Amel yang tidak mengerti dengan keinginan pria ini. Ada sesuatu yang lain dari sorot matanya. Itu sorot mata yang sama saat mereka bertemu di koridor rumah sakit waktu itu."Baca!" titahnya sambil lalu.Amel berusaha tenang, membaca satu per satu pasal yang ada di sana. Tidak ada yang aneh, itu lebih seperti job desknya sebagai seorang istri. Salah satunya menemani Wibi saat ada acara gala dinner di luar.'Gala dinner? Apa pekerjaan pria ini?' batin Amel bertanya-tanya."Tidak ada satu pun pasal yang akan merugikanmu. Perjanjian
Wibi dan Amel kembali ke Jakarta usai makan malam. Keduanya tak banyak berbincang, atau lebih tepatnya Amel yang memilih menghindari percakapan. Gadis 25 tahun ini enggan berkomunikasi lebih jauh dengan pria asing yang kini resmi menjadi suaminya.Langit terlihat gelap sempurna saat mobil berwarna silver itu sampai di depan sebuah gang sempit. Tampak sebuah gerobak nasi goreng di depannya, dengan beberapa pembeli yang tengah menunggu pesanan."Mel, udah sampai." Wibi membangunkan gadis ini dengan hati-hati, menggoyangkan puncak lengannya perlahan."Hmm?" Amel mengucek matanya dan menatap sekeliling. Mereka sudah ada di lingkungan rumah kos yang dia tempati dua tahun belakangan."Kamu kemasi barang-barang kamu, saya tunggu di sini."Amel mematung di tempatnya. Dia enggan melakukan perintah pria ini. Lagipula, ini sudah larut malam. Apa yang akan orang-orang katakan tentangnya yang