"Aku tidak tahu siapa kau," kata-kata itu menghancurkan dunia Eliza Valentina dalam sekejap. Satu kecelakaan menghapus semua—kehidupan sempurna, cinta yang membara, dan masa depan yang telah direncanakan. Damian Lesmana, CEO muda yang dulu menggenggam dunia di tangannya, kini tak lebih dari cangkang kosong dengan tatapan dingin yang tak mengenali wanita yang pernah ia bersumpah untuk mencintai selamanya. Eliza bersumpah: cinta mereka terlalu berharga untuk dilupakan. Namun, perjalanan mengembalikan ingatan Damian berubah menjadi pertarungan hidup dan mati saat dua bayangan dari masa lalu muncul—Vianna, mantan asisten dengan dendam mematikan, dan Dani Sasongko, mantan kekasih Eliza yang tak pernah benar-benar melepaskannya. Bersama, mereka melihat amnesia Damian sebagai kesempatan sempurna untuk merebut semua yang mereka inginkan: perusahaan, kekuasaan, dan cinta. Setiap kenangan yang kembali adalah kemenangan. Setiap sentuhan yang ditolak adalah luka baru. Di tengah perang psikologis yang mempertaruhkan masa depan perusahaan dan hati yang nyaris remuk, Eliza harus melawan waktu dan manipulasi untuk membuktikan bahwa cinta sejati bukan hanya dapat bertahan—tapi mampu terlahir kembali dari ketiadaan. Dalam bayang-bayang ingatan yang hilang dan pertarungan melawan mereka yang tak segan menghancurkan segalanya, akankah cinta sejati mampu menemukan jalannya kembali—atau akan selamanya terkubur dalam kegelapan amnesia dan pengkhianatan?
View MorePutih. Semua putih. Terlalu putih hingga menyakitkan.
Damian Lesmana mengerjapkan mata, berusaha memfokuskan pandangannya yang kabur. Kepalanya berdenyut-denyut seperti dipukul palu tak kasat mata. Rasa sakit tajam menjalar dari pelipis kanan hingga ke belakang kepalanya, membuatnya hampir tidak bisa berpikir.
"Dia sadar! Ya Tuhan, Damian, kau sadar!" Suara seorang wanita memecah keheningan.
Damian mencoba bergerak, tapi seluruh tubuhnya terasa berat. Jarum infus terpasang di punggung tangannya, menjalarkan cairan dingin ke dalam pembuluh darahnya. Monitor detak jantung berbunyi monoton di samping tempat tidurnya. Bau antiseptik yang kuat menyengat hidungnya.
Rumah sakit. Dia berada di rumah sakit.
Wanita itu mencondongkan tubuhnya ke arah Damian, air mata mengalir di pipinya yang pucat. Rambutnya hitam panjang bergelombang, tidak tertata rapi seperti orang yang sudah beberapa hari tidak tidur. Matanya besar berwarna cokelat madu, kini memerah dan bengkak. Wajahnya menampakkan kelegaan luar biasa.
"Syukurlah... syukurlah kau kembali," bisiknya, menggenggam tangan Damian dengan jemarinya yang bergetar.
Damian menatapnya dengan dahi berkerut. Semakin dia memandang wajah wanita ini, semakin kebingungan melandanya. Dia tidak mengenal wanita ini. Sama sekali tidak.
"Si... siapa kau?" Damian akhirnya bertanya, suaranya serak dan kering setelah tidak digunakan entah berapa lama.
Wanita itu membeku. Senyum di wajahnya perlahan pudar, digantikan ekspresi bingung.
"Damian, ini aku. Eliza." Wanita itu—Eliza—menjawab dengan nada yang seolah berusaha meyakinkan bahwa ini hanya lelucon.
Damian menggeleng perlahan, setiap gerakan menimbulkan rasa sakit yang menyengat. "Maaf, tapi aku tidak mengenalmu."
Wajah Eliza memucat seketika. Dia mundur satu langkah, seolah baru saja ditampar.
"Kau... tidak ingat aku?"
"Seharusnya aku mengenalmu?" Damian bertanya, kini mulai curiga. Instingnya sebagai CEO yang waspada langsung aktif. Apakah wanita ini mencoba memanfaatkannya? Mengklaim hubungan yang tidak ada?
"Damian, kita... kita bertunangan." Eliza mengangkat tangan kirinya, menunjukkan cincin dengan berlian besar yang berkilau di jari manisnya. "Kita akan menikah tiga bulan lagi."
Pertunangan? Pernikahan? Damian merasa seolah lantai di bawahnya runtuh. Tidak mungkin. Dia pasti akan ingat jika memiliki tunangan. Memori terakhirnya yang jelas adalah bekerja di kantornya, merencanakan ekspansi LTI ke Asia Tenggara. Dia masih single, terlalu sibuk dengan perusahaannya untuk menjalin hubungan serius.
"Aku tidak bertunangan dengan siapapun," Damian berkata tegas, menarik tangannya dari genggaman Eliza. "Aku bahkan tidak mengenalmu. Bagaimana mungkin kita akan menikah?"
Air mata mulai mengalir lagi di pipi Eliza. Kali ini bukan air mata bahagia, melainkan kepanikan dan kesedihan yang mendalam.
"Aku... aku akan memanggil dokter," ucapnya dengan suara bergetar, bergegas keluar dari ruangan.
Begitu sendirian, Damian berusaha bangun, tapi rasa sakit di kepalanya meningkat sepuluh kali lipat. Dia mengamati ruangan VIP rumah sakit yang ditempatinya. Ada buket bunga besar di meja, kartu-kartu ucapan cepat sembuh, dan... foto. Foto dirinya dengan wanita bernama Eliza tadi. Mereka berdua tersenyum lebar, dengan latar belakang pantai di senja hari. Damian memegang foto itu dengan tangan gemetar.
Itu jelas dirinya. Tapi dia tidak memiliki ingatan apapun tentang momen ini.
Pintu terbuka, dan seorang dokter berjas putih masuk bersama Eliza yang masih terisak. Dokter itu berusia sekitar tiga puluhan, dengan kacamata dan wajah ramah namun serius.
"Damian, aku Dr. Adrian Wijaya. Kau ingat aku? Kita berteman sejak kuliah di Harvard."
Damian menggeleng pelan. "Maaf, tidak."
Dr. Adrian mencatat sesuatu di clipboardnya, ekspresinya semakin serius. "Damian, kau mengalami kecelakaan pesawat saat pulang dari Singapura dua minggu lalu. Jet pribadimu mengalami turbulensi hebat saat mendarat. Kau terbentur kepala dan koma selama 14 hari."
Damian mencoba mencerna informasi ini. Kecelakaan? Dua minggu koma? Tapi kenapa dia tidak bisa mengingat wanita ini?
"Tanggal berapa sekarang?" tanya Damian.
"22 Mei 2023," jawab Dr. Adrian.
Damian merasa seperti disiram air es. "Tidak mungkin. Seharusnya masih 2020."
Eliza menutupi mulutnya dengan tangan, matanya melebar ketakutan. Dr. Adrian menghela napas panjang.
"Aku perlu melakukan beberapa tes lagi, tapi Damian, aku mencurigai kau mengalami amnesia retrograde. Kau kehilangan ingatan dari periode waktu tertentu di masa lalumu."
"Berapa... berapa lama?" Damian bertanya, suaranya nyaris tak terdengar.
"Berdasarkan apa yang kau katakan, sekitar tiga tahun," jawab Dr. Adrian dengan nada profesional, meski matanya menunjukkan keprihatinan mendalam.
Tiga tahun. Tiga tahun hidupnya hilang.
Damian menatap Eliza yang berdiri gemetar di samping tempat tidurnya. Wanita yang mengaku sebagai tunangannya. Wanita yang sama sekali asing baginya.
"Aku minta maaf," kata Damian dengan nada dingin, "tapi aku tidak mengenalmu. Dan aku tidak percaya kita bertunangan."
Keterkejutan muncul di wajah Eliza, diikuti rasa sakit yang tak terucapkan. Air mata menggenang di matanya, tapi dia tidak membalas. Dr. Adrian melirik monitor detak jantung yang mulai menunjukkan peningkatan.
"Eliza, mungkin kau bisa tunggu di luar sebentar? Aku perlu memeriksa Damian lebih lanjut," pinta Dr. Adrian dengan lembut.
Eliza mengangguk lemah, melirik sekali lagi ke arah Damian sebelum berjalan keluar ruangan.
Begitu pintu tertutup, Damian mencengkeram lengan Dr. Adrian.
"Katakan padaku yang sebenarnya," desak Damian, matanya penuh kecurigaan. "Siapa wanita itu? Apa dia benar-benar tunanganku?"
Dr. Adrian menatap Damian dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca. "Dia Eliza Valentina, seorang desainer grafis berbakat. Dan ya, Damian, kalian sudah bertunangan selama enam bulan. Aku hadir saat kau melamarnya di restoran Altitude."
Damian menggeleng frustasi. "Tidak mungkin. Aku tidak pernah jatuh cinta. Aku tidak punya waktu untuk itu."
Dr. Adrian mengeluarkan ponsel dari sakunya dan membuka galeri foto. "Lihat ini."
Dia menyodorkan ponsel yang menampilkan selusin foto Damian dan Eliza dalam berbagai kesempatan: pesta perusahaan, liburan, acara formal, dan momen-momen kasual di rumah. Semuanya terlihat nyata. Dan di setiap foto, Damian terlihat lebih bahagia dari yang pernah dia ingat.
"Aku... tidak ingat semua ini," bisik Damian, tiba-tiba merasa seperti penyusup dalam hidupnya sendiri.
"Damian," kata Dr. Adrian serius, "ada sesuatu yang aneh dengan pola amnesiamu. Ini bukan seperti amnesia retrograde biasa akibat trauma kepala." Dia menatap hasil scan yang terpasang di dinding. "Ada sesuatu yang tidak beres, dan aku berjanji akan mencari tahu apa itu."
Di luar ruangan, tanpa sepengetahuan mereka, Eliza bersandar di dinding, air mata mengalir diam-diam di pipinya. Sementara di ujung koridor yang sama, seorang wanita anggun berambut hitam lurus dengan setelan formal sempurna mengamati situasi dengan senyum kecil tersembunyi. Vianna Darmawan, mantan asisten eksekutif Damian, memperbaiki blazernya dan berjalan menuju lift, menggenggam ponselnya dengan erat.
Semuanya berjalan sesuai rencana.
Laboratorium GlobalPharm, 4 tahun lalu.Vianna Darmawan berdiri dengan punggung tegak di depan Direktur Penelitian, Dr. Hendrik Santoso. Ruangan kantor itu dingin, baik dari suhu AC maupun dari atmosfer pembicaraan yang sedang berlangsung. Cahaya dari jendela kaca besar menyorot wajah Vianna yang tenang, namun matanya menyimpan determinasi kuat."Jadi kau ingin pindah ke divisi eksekutif?" Dr. Hendrik mengangkat alisnya, menatap Vianna dengan skeptis. "Setelah semua investasi yang kami tanamkan untuk pelatihanmu di divisi neuropharmaceutical?""Dengan segala hormat, Dr. Hendrik," Vianna tersenyum profesional, merapikan blazernya, "bakatku lebih cocok di bidang manajemen dan pemasaran. Dua tahun di lab sudah cukup memberiku pemahaman tentang produk kita.""Kau adalah salah satu peneliti paling berbakat dalam tim MX series," Dr. Hendrik bersandar di kursinya, melepas kacamata. "Keputusan ini akan menghambat karirmu.""Atau justru mempercepa
Dengan tangan sedikit gemetar, Damian membawa album foto ke kamarnya. Ia mengunci pintu, tidak ingin terganggu oleh siapapun, bahkan Kirana. Duduk di tepi tempat tidur, ia menarik napas dalam sebelum membuka cover navy blue album tersebut.Halaman pertama menampilkan tulisan tangan yang rapi:"Untuk Damian, cinta dan sahabat terbaikku. Tiga tahun yang mengubah hidupku. Tiga tahun penuh tawa, air mata, dan cinta yang terus bertumbuh. Ini kisah kita, dan masih banyak halaman kosong untuk diisi bersama. Selamanya. — Eliza."Tanggal di sudut halaman menunjukkan bahwa album ini diberikan hanya dua minggu sebelum kecelakaannya.Damian membalik ke halaman berikutnya dan menemukan foto pertama—dirinya dan Eliza di Kafe Enigma, Eliza tampak malu dengan noda kopi di kemejanya, sementara Damian tertawa. Di bawahnya tertulis: "Pertemuan pertama. Noda kopi dan permintaan maaf yang mengubah segalanya."Halaman demi halaman berisi kenangan yang tidak bi
Kafe Enigma terletak di sudut jalan yang tenang di kawasan Kemang, jauh dari kantor-kantor di area bisnis Jakarta. Damian tiba lima belas menit lebih awal, memilih meja di sudut yang tersembunyi namun memberinya pandangan jelas ke pintu masuk dan jalan di luar.Ia telah mengambil beberapa langkah pencegahan—menggunakan taksi biasa alih-alih mobil pribadinya, mengenakan pakaian kasual dan topi, serta meninggalkan ponsel utamanya di rumah, hanya membawa ponsel cadangan yang baru diaktifkan.Tepat pukul 7, Eliza memasuki kafe. Meski Damian tidak sepenuhnya mengingatnya, ada perasaan familiar yang hangat saat melihatnya—rambut hitam panjang yang tergerai, mata cokelat yang ekspresif, dan postur yang anggun namun sedikit tegang. Dia mengenakan jeans dan kemeja putih sederhana, jauh berbeda dari gambaran "perempuan matre" yang dijelaskan Vianna."Damian," Eliza tersenyum ragu saat menghampiri mejanya. "Terima kasih sudah m
"Halo? Damian?" suara Eliza terdengar tidak percaya di ujung sambungan."Eliza," Damian menjawab, suaranya lebih lembut dari yang ia perkirakan. "Aku... aku perlu bicara denganmu.""Apa kau..." Eliza terdengar ragu, "...kau mengingatku?""Tidak sepenuhnya," jawab Damian jujur. "Tapi aku baru saja mengalami semacam kilasan ingatan. Tentang kita, berlari di bawah hujan."Jeda sejenak. "Menuju studio lukis," Eliza melanjutkan dengan suara bergetar. "Kau datang memperingatkanku tentang badai, dan aku terpeleset.""Kau ingat," gumam Damian, merasa aneh menemukan konfirmasi atas memori yang bahkan tidak sepenuhnya ia yakini nyata. "Eliza, apa yang sebenarnya terjadi? Antara kita, kecelakaanku, Vi
Hujan masih turun deras ketika mobil Damian memasuki pekarangan mansion. Meski Vianna menawarkan untuk menginap di mansionnya, Damian dengan halus menolak, beralasan perlu menyiapkan presentasi untuk besok pagi. Kenyataannya, ia membutuhkan ruang untuk berpikir tanpa pengaruh siapapun."Kita bertemu besok di kantor?" tanya Vianna, masih duduk di mobil."Tentu," jawab Damian. "Terima kasih untuk makan malamnya."Begitu mobil Vianna menghilang di balik gerbang, Damian merasakan kelegaan aneh. Ia berdiri sejenak di teras, memandangi taman yang basah oleh hujan."Tuan mau saya siapkan teh hangat?" tanya Kirana, kepala pelayan yang sudah melayani keluarga Lesmana selama dua dekade."Terima kasih
Restaurant Skye di lantai 56 sebuah gedung pencakar langit menawarkan pemandangan Jakarta yang memukau. Cahaya lampu kota berpendar di bawah, sementara langit malam masih diselimuti mendung. Damian Lesmana duduk di meja dekat jendela, berhadapan dengan Vianna Darmawan yang mengenakan gaun hitam elegan. Malam ini adalah makan malam perayaan keberhasilan penyelamatan saham LTI dari jatuh lebih dalam."Mengesankan bagaimana kau bisa meyakinkan para investor hanya dalam tiga hari," puji Vianna, mengangkat gelasnya. "Kurasa insting bisnismu tetap tajam meski ingatanmu tidak."Damian tersenyum tipis. "Sebuah perusahaan adalah seperti tubuh. Bahkan jika kau lupa namanya, kau masih bisa merasakan bagaimana ia bekerja."Mereka bersulang, namun Damian tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menggan
DS Gallery berdiri megah di kawasan elit Menteng, menempati bangunan kolonial yang direstorasi dengan sempurna. Fasadnya putih dengan aksen hitam, jendela-jendela tinggi bergaya art deco, dan taman kecil terawat di bagian depan. Eliza berdiri di depan pintu kaca besar, mengamati detail arsitektur sambil mengumpulkan keberanian.Setelah perdebatan panjang dengan Nadira pagi tadi, Eliza akhirnya datang sendirian. Bukan untuk menerima tawaran—setidaknya itulah yang ia terus katakan pada dirinya sendiri—tapi untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri."Kau benar-benar datang," suara Dani menyambutnya begitu ia melangkah ke dalam lobi. Pria itu mengenakan setelan abu-abu dengan dasi biru tua, terlihat jauh lebih dewasa dan sukses dari Dani yang Eliza kenal di masa kuliah."Aku penas
Eliza duduk meringkuk di tepi tempat tidur kamar tamu Nadira, mengenakan sweater abu-abu yang kebesaran. Di luar, hujan masih setia mengguyur Jakarta sejak tiga hari lalu. Ia menatap kosong pada portfolio yang terbuka di laptopnya—desain-desain yang dulu ia kerjakan dengan penuh semangat kini terasa tanpa makna."Masih belum ada inspirasi?" Nadira muncul di ambang pintu, membawa secangkir teh hangat.Eliza menggeleng lemah. "Aku bahkan tidak bisa menyelesaikan desain yang paling sederhana. Pikiranku terus... kembali padanya."Nadira duduk di sampingnya, menyodorkan teh yang diterima Eliza dengan tangan sedikit gemetar. "Sudah coba menghubunginya lagi?""Nomornya sudah diblokir," jawab Eliza, tersenyum getir. "Atau mungkin diganti. Ent
Ponsel Eliza masih berdering. Pesan Dr. Adrian menampilkan peringatan jelas, tapi juga instruksi untuk bersikap normal. Dengan tangan sedikit gemetar, Eliza menggeser tombol hijau dan mengaktifkan speaker."Jangan tutup teleponnya!" suara Dani terdengar mendesak, seolah membaca keraguan Eliza.Eliza menatap Nadira dengan was-was, pesan Dr. Adrian masih terbuka di layar tablet di sampingnya. "Apa maumu, Dani?" tanyanya, berusaha terdengar dingin namun tidak mencurigakan."Aku tahu kau sedang kesulitan setelah... yang terjadi dengan Damian," suara Dani terdengar prihatin, hampir terlalu sempurna untuk menjadi tulus. "Aku hanya ingin membantu.""Membantuku?" Eliza tertawa getir, tidak perlu berpura-pura untuk bagian ini. "Seperti kau 'membantu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments