"Aku minta kau keluar dari ruangan ini sekarang juga."
Suara Damian memecah keheningan, dingin dan tajam seperti pisau es. Dr. Adrian baru saja meninggalkan ruangan untuk mengambil hasil tes tambahan, meninggalkan Damian dan Eliza dalam ketegangan yang menyesakkan.
Eliza berdiri di samping tempat tidur Damian, tangannya mencengkeram tali tas dengan erat. Wajahnya yang cantik kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang kemerahan. Sudah dua minggu dia nyaris tidak meninggalkan rumah sakit, menunggu Damian keluar dari koma.
"Damian, aku tahu ini berat untukmu, tapi—"
"Berat?" Damian mendengus, memotong kalimat Eliza. "Aku bangun dan menemukan seorang wanita asing mengklaim sebagai tunanganku. Yang benar saja."
Damian menggeser tubuhnya ke posisi duduk, mengabaikan rasa sakit yang menyengat di kepalanya. Dia mengamati Eliza dari atas ke bawah dengan tatapan penuh selidik. Wanita ini memang cantik, dengan pembawaan yang anggun. Tapi siapapun bisa melakukannya. Terlalu banyak penipu yang mengincar kekayaannya.
"Kau bisa menunjukkan seribu foto, tapi itu tidak membuktikan apapun di era digital ini," lanjut Damian dengan nada menuduh. "Apa yang kau inginkan sebenarnya? Uang? Akses ke perusahaanku?"
Eliza tersentak, seolah Damian baru saja menamparnya. Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya, namun kali ini dia menahannya.
"Aku tidak menginginkan apapun darimu," jawab Eliza dengan suara bergetar namun berusaha tegar. "Aku hanya ingin kau baik-baik saja."
"Oh, tentu saja," Damian tertawa sinis. "Semua orang yang mendekati seorang CEO selalu memiliki motif murni, bukan?"
Damian meraih ponsel yang Dr. Adrian tinggalkan di meja samping tempat tidur. Dia membuka galeri foto dan menggeser-geser foto yang ditunjukkan dokter sebelumnya. Dia dan Eliza di berbagai lokasi, terlihat bahagia. Sangat bahagia. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan Damian – atau setidaknya yang dia ingat.
"Bagaimana aku bisa yakin semua ini nyata?" tanya Damian, lebih kepada dirinya sendiri.
"Kau melamarku di restoran Altitude pada tanggal 14 November tahun lalu," Eliza berkata pelan. "Hujan turun sangat deras malam itu. Kau lupa membawa payung dan jas mahalmu basah kuyup. Kau bilang tidak masalah karena kehangatan hatiku sudah cukup untuk mengeringkanmu."
Damian menatapnya, mencari tanda kebohongan di wajahnya.
"Kau alergi kacang. Kau selalu bangun pukul lima pagi untuk lari, tidak peduli selarut apapun kau tidur. Kau punya tiga bekas luka di punggung dari kecelakaan motor saat SMA yang kau sembunyikan dari orangtuamu."
Eliza berhenti sejenak, suaranya mulai pecah.
"Kau selalu mengetuk jari telunjukmu tiga kali sebelum membuat keputusan besar. Seperti sebuah ritual. Kau melakukannya sebelum memutuskan untuk melamarku."
Damian merasakan tenggorokannya mengering. Detail-detail itu terlalu spesifik, terlalu personal. Tidak mungkin seorang penipu mengetahuinya. Tapi dia tetap tidak bisa mengingat wanita ini.
"Aku tetap tidak mengingatmu," kata Damian akhirnya, suaranya melunak sedikit. "Dan aku tidak bisa mempercayai seseorang yang tidak kukenal."
Eliza menarik napas dalam, berusaha menguatkan diri.
"Dr. Adrian menyarankan agar aku memberimu ruang," katanya. "Jadi aku akan melakukannya. Tapi aku tidak akan menyerah padamu, Damian. Tidak setelah semua yang kita lalui."
Pintu ruangan terbuka, dan seorang perawat masuk dengan membawa nampan berisi obat-obatan.
"Maaf mengganggu," kata perawat itu. "Waktunya minum obat, Tuan Lesmana."
"Tolong panggilkan keamanan," pinta Damian tiba-tiba. "Aku ingin wanita ini dikeluarkan dari kamarku dan tidak diizinkan masuk kembali."
Perawat itu terlihat bingung, menatap bergantian antara Damian dan Eliza.
"Tapi, Tuan, Nona Valentina adalah—"
"Lakukan saja," potong Damian dengan nada final. "Ini adalah permintaan resmi dari pasien."
Eliza menunduk, menyembunyikan air mata yang akhirnya jatuh. Tanpa menunggu keamanan datang, dia mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu.
"Aku akan kembali besok dengan Dr. Adrian," kata Eliza pelan. "Mungkin setelah istirahat, kau akan lebih siap menerima situasi ini."
"Jangan kembali," jawab Damian dingin. "Aku tidak ingin melihatmu lagi."
Eliza menatapnya sekali lagi, matanya basah namun ada keteguhan di dalamnya.
"Kau pernah berjanji tidak akan pernah meninggalkanku, Damian. Sekarang aku berjanji hal yang sama padamu."
Dengan itu, Eliza berbalik dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Damian dengan sejuta pertanyaan dan kemarahan yang tidak bisa dia jelaskan.
Begitu pintu tertutup, Damian melempar ponsel ke tempat tidur dengan frustrasi. Kepalanya berdenyut lebih kuat sekarang. Bagaimana mungkin dia kehilangan tiga tahun hidupnya? Bagaimana mungkin dia bertunangan dengan seseorang yang sama sekali tidak dia kenal?
"Tuan, Anda perlu minum obat ini," kata perawat, masih berdiri di samping tempat tidur dengan ekspresi tidak nyaman.
"Hubungi Rafi Pratama," perintah Damian, mengabaikan obat yang disodorkan. "Dia wakil direktur LTI. Dia harus datang ke sini sekarang juga."
Perawat mengangguk ragu. "Baik, Tuan. Tapi perlu Anda ketahui, Tuan Pratama sudah datang setiap hari selama Anda koma."
Damian mengernyit. Setidaknya Rafi adalah orang yang dia kenal. Seseorang yang bisa dipercaya untuk menjelaskan apa yang terjadi selama tiga tahun terakhir.
Di lorong rumah sakit, Eliza bersandar di dinding, tubuhnya berguncang oleh isakan tertahan. Dia tidak menyadari seseorang mengawasinya dari kejauhan.
Vianna Darmawan tersenyum tipis, merapikan blazernya yang sempurna. Dia berjalan menuju lift, mengirim pesan singkat dari ponselnya:
"Fase pertama berjalan sesuai rencana. Mereka terpisah."
Di ujung lorong yang lain, Dr. Adrian mengamati hasil scan otak Damian dengan dahi berkerut. Ada sesuatu yang aneh dengan pola kerusakan otak ini. Sesuatu yang tidak konsisten dengan trauma benturan biasa.
Dia mengangkat telepon dan menghubungi seorang kolega.
"Hari, aku butuh analisis toksikologi lengkap untuk pasien Damian Lesmana. Ada sesuatu yang tidak beres dengan kasus ini."
"Amnesia retrograde total akibat trauma kepala yang parah."Dr. Adrian Wijaya meletakkan hasil scan otak Damian di meja, memastikan cahaya dari negatoskop menerangi area yang ia tunjuk. Ruangan konsultasi itu sunyi, hanya terdengar deru halus dari pendingin udara. Damian duduk di kursi roda—sesuatu yang ia tolak keras namun dipaksa oleh protokol rumah sakit—sementara Rafi Pratama berdiri di belakangnya, wajahnya menunjukkan keprihatinan."Kerusakan terjadi di area hippocampus dan lobus temporal, bagian otak yang berperan kunci dalam pembentukan dan penyimpanan memori jangka panjang," lanjut Dr. Adrian. "Benturan yang kau alami saat kecelakaan pesawat cukup parah, Damian."Damian menatap hasil scan dengan dahi berkerut. Baru kemarin ia terbangun dari koma dua minggu, dan sekarang ia harus menerima kenyataan bahwa tiga tahun terakhir dari hidupnya lenyap tanpa bekas."Bisakah kau jelaskan secara spesifik apa itu amnesia retrograde?" tanya Damian, ingin memahami kondisinya dengan jelas.
Album foto itu terbuka di pangkuan Damian, halaman pertamanya menampilkan foto yang membuat dadanya terasa sesak. Dirinya dan Eliza di Kafe Enigma, tempat yang selama ini jadi favoritnya untuk menikmati espresso sebelum meeting pagi. Dalam foto itu, mereka duduk di sudut jendela, Damian tertawa lepas—ekspresi yang jarang ia tunjukkan di depan umum—sementara Eliza menyandarkan kepalanya di bahu Damian, tersenyum ke arah kamera."Ini diambil sekitar dua bulan setelah kita bertemu," Eliza menjelaskan dengan suara tenang. "Rafi yang memotretnya. Kau selalu menyebut ini sebagai 'bukti bahwa kecelakaan bisa berubah menjadi keajaiban.'""Kecelakaan?" tanya Damian, masih menatap foto tersebut dengan dahi berkerut."Pertemuan kita," Eliza tersenyum kecil. "Aku menumpahkan kopi ke kemeja putihmu. Kemeja Brioni yang kau bilang adalah favoritmu."Rafi tertawa pelan. "Kau marah besar, Dam. Tapi kemudian Eliza menawarkan untuk membayar biaya dry cleaning dan mengajakmu minum kopi sebagai permintaan
Laboratorium rumah sakit hampir kosong pada pukul 11 malam ini. Hanya Dr. Adrian Wijaya yang masih membungkuk di atas mikroskop, jemarinya dengan teliti menggeser slide berisi sampel darah Damian. Kantong mata menghiasi wajahnya yang lelah, tapi tatapannya penuh konsentrasi. Ini adalah hari ketiga sejak Damian Lesmana sadar dari koma, dan sesuatu dalam hasil tesnya terus mengganggu Dr. Adrian."Lagi-lagi menjadi dokter detektif, Adrian?"Dr. Maya Suryadi, kepala departemen neurologi, tersenyum dari ambang pintu. Wanita berusia lima puluhan itu dikenal sebagai salah satu ahli neurologi terbaik di Asia Tenggara."Ada sesuatu yang salah pada sampel darah Damian," jawab Adrian tanpa mengalihkan tatapannya dari mikroskop. "Lihat ini."Dr. Maya mendekat, mengambil alih mikroskop. "Hmm. Sel darah merah dengan struktur membran yang tidak normal. Kau yakin ini bukan karena reaksi obat-obatan yang kita berikan selama dia koma?""Positif. Aku sudah memeriksa semua obat dalam protokol perawatanny
Gerbang besar mansion Lesmana terbuka perlahan, menyambut kedatangan Range Rover hitam yang membawa Damian pulang. Di balik kaca gelap, Damian menatap bangunan bergaya modern minimalis yang sudah tiga tahun tidak ia ingat. Bentuk fisik mansionnya tetap sama seperti dalam ingatannya, tapi entah kenapa terasa seperti milik orang lain."Selamat datang kembali, Tuan," sambut Kirana, kepala pelayan berusia lima puluhan yang telah mengabdi pada keluarga Lesmana selama lebih dari dua dekade. Wajahnya yang teduh memancarkan kegembiraan tulus melihat Damian kembali."Terima kasih, Kirana," Damian mengangguk, berusaha tersenyum. Setidaknya wanita ini masih sama seperti yang ia ingat—tidak ada perubahan signifikan selain beberapa kerutan baru dan rambut yang lebih banyak beruban.Eliza berjalan beberapa langkah di belakang Damian, memberikan ruang sembari mengawasi dengan cemas. Dia tahu betapa sulitnya situasi ini—kembali ke rumah yang tidak lagi terasa seperti rumah."Kau ingin langsung berist
Fajar baru saja menyingsing ketika Damian terbangun dengan napas terengah. Mimpi yang sama—serpihan memori tentang dirinya melukis, tangan Eliza menuntun tangannya. Kepalanya masih berdenyut, efek samping dari kilasan ingatan semalam.Ia menyibakkan selimut dan berjalan ke jendela. Dari kamarnya di lantai dua, ia bisa melihat guest house di kejauhan. Lampu di sana sudah menyala, menandakan Eliza sudah bangun. Pandangannya beralih ke bangunan kecil dengan dinding kaca di ujung taman—studio lukis yang kemarin menarik perhatiannya. Ia melihat sosok Eliza berjalan dari guest house menuju studio, membawa sesuatu yang tampak seperti termos.Sejak bangun, pikiran Damian terus kembali pada kilasan ingatan semalam. Ia tak pernah melukis. Namun kenapa ia bisa mengingat sensasi kuas di tangannya dengan begitu jelas? Tekstur cat, aroma turpentin, tawa lembut Eliza di telinganya... Sensasi-sensasi itu terasa nyata, meski ia yakin tak pernah mengalaminya.
Suara denting pecahan kaca memecah keheningan studio. Damian berdiri dengan napas memburu, tangan kanannya masih terkepal setelah menghantam bingkai lukisan di dinding. Serpihan kaca berserakan di lantai kayu, memantulkan cahaya pagi yang masuk melalui jendela tinggi studio."Semua ini bohong!" teriaknya, suaranya bergema di ruangan yang sekarang terasa terlalu sempit untuk menampung amarahnya.Eliza mundur perlahan, matanya melebar menyaksikan Damian yang baru saja menghancurkan salah satu lukisan favorit mereka—pemandangan danau dengan dua siluet berpelukan di atas perahu kecil."Damian, kumohon..." bisiknya, suaranya bergetar.Tapi Damian tidak mendengar. Atau lebih tepatnya, ia memilih untuk tidak mendengar. Pandangannya kini beralih ke lukisan "Memori yang Hilang" yang telah ia robek. Dengan langkah berat, ia mendekati tumpukan kanvas lain yang tersandar di dinding."Aku bukan kegelapan!" Damian mencengkeram tepi kanvas berikutnya. "Dan kau...
Matahari mulai condong ke barat ketika Eliza akhirnya meninggalkan studio. Setelah berjam-jam mengumpulkan serpihan lukisan dan merapikan kekacauan, wajahnya kini pucat dan kosong—seperti kanvas yang belum tersentuh kuas. Jejak air mata masih jelas terlihat, tapi ia sudah tidak mampu menangis lagi.Di tangannya tergenggam sebuah kotak kayu berukir, kotak yang biasa ia gunakan untuk menyimpan peralatan sketsanya yang paling berharga. Kini kotak itu berisi fragmen-fragmen lukisan yang bisa ia selamatkan—satu-satunya bukti fisik dari karya seninya yang telah hancur."Nona Eliza?" Kirana berdiri di pintu belakang mansion, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Tuan Damian mencari Anda."Eliza tersenyum lemah. "Dimana dia?""Di ruang kerjanya, dengan Tuan Rafi. Mereka sedang membahas sesuatu tentang perusahaan." Kirana mengamati keadaan Eliza dengan seksama. "Anda baik-baik saja, Nona? Mau saya buatkan teh?""Tidak perlu, Kirana. Terima kasih." Eliza mengg
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Eliza bangun dari tidur singkatnya. Lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan ia hampir tidak tidur semalaman. Dengan gerakan yang hampir otomatis, ia bersiap untuk hari yang ia tahu akan menjadi salah satu hari terberat dalam hidupnya.Meja kerjanya berantakan dengan sketsa desain yang belum selesai dan contoh font untuk proyek terbarunya—semua terlupakan di tengah kekacauan emosional. Dengan helaan napas berat, Eliza mengirim pesan singkat ke kliennya, meminta sedikit perpanjangan waktu. Biasanya ia tidak pernah terlambat menyelesaikan proyek, tapi kali ini situasinya berbeda.Kirana sudah aktif di dapur mansion ketika Eliza memasuki pintu belakang. Mata pelayan setia itu langsung menangkap ekspresi Eliza."Nona baik-baik saja?" tanyanya khawatir.Eliza mengangguk, mencoba tersenyum. "Apa Damian sudah bangun?""Belum, Nona. Masih sangat pagi," jawab Kirana, melirik jam dinding yang menunjukkan pu
Apartemen Penthouse Dani Sasongko, 6 bulan laluMalam sudah larut di Jakarta ketika Vianna Darmawan menekan kode akses ke penthouse Dani di kawasan SCBD. Gedung-gedung pencakar langit berkilauan di kejauhan, termasuk menara LTI yang berdiri tegak dengan logo bercahaya di puncaknya—target mereka yang semakin dekat."Kau terlambat," sambut Dani yang sedang menuang wine merah ke decanter kristal. Layar besar di dinding menampilkan grafik pergerakan saham LTI dan DS Tech dalam tiga bulan terakhir. "Ada masalah?""Damian memintaku lembur untuk finalisasi kontrak Global Expansion," Vianna melepas high heels-nya, meletakkan tas di sofa. "Dia semakin bergantung padaku untuk keputusan strategis. Bagus untuk rencana kita."Dani meng
Conrad Hotel Jakarta, 18 bulan laluVianna Darmawan menyesap champagne-nya perlahan, mengamati kerlap-kerlip Jakarta dari rooftop bar mewah. Posisinya sebagai asisten eksekutif Damian Lesmana selama enam bulan telah memberinya akses ke lingkaran elit bisnis teknologi—jauh dari masa lalunya yang ingin ia kubur dalam-dalam. Dress hitam elegan yang ia kenakan adalah bukti perjalanan panjangnya, dari gadis miskin Cilandak menjadi wanita berpengaruh di jajaran eksekutif perusahaan teknologi terbesar di Indonesia."Tidak kusangka kau benar-benar berhasil masuk ke LTI," suara familiar menginterupsi lamunannya. Dani Sasongko muncul dengan setelan navy yang sempurna. Jam tangan Audemars Piguet melingkar di pergelangan tangannya, tanda kesuksesan DS Tech yang kini dihargai pasar. "Imprresif."
Skybar Altitude di lantai 56 sebuah gedung pencakar langit Jakarta menawarkan pemandangan kota yang spektakuler. Malam ini tempat itu setengah kosong—sempurna untuk pembicaraan privat. Lampu-lampu kota berkilauan seperti permata di bawah sana, pencahayaan temaram bar menciptakan atmosfer eksklusif.Vianna Darmawan, mengenakan gaun hitam ketat dan sepatu Christian Louboutin, menyesap martini-nya sambil menatap ke arah gedung LTI yang berkilau di kejauhan. Ia telah sengaja memilih meja dengan pemandangan langsung ke menara kaca itu—pengingat konstan tentang tujuannya."Maaf terlambat," suara bariton menginterupsi lamunannya. Dani Sasongko berdiri di sana, setelan abu-abu sempurna dan jam tangan Patek Philippe di pergelangan tangannya—simbol kesuksesan DS Tech Ventures.
Singapore Ritz-Carlton, 3 tahun lalu"Tech Innovation Summit" terpampang besar di banner-banner yang menghiasi ballroom hotel mewah. Para pengusaha teknologi elit dari seluruh Asia berkumpul, menikmati champagne sambil membicarakan investasi multi-juta dolar. Di salah satu sudut ruangan, seorang wanita muda dengan setelan hitam elegan mengamati kerumunan dengan tatapan kalkulatif. Vianna Darmawan, 26 tahun, mewakili GlobalPharm dalam konferensi bergengsi ini."Ms. Darmawan, benar?" seorang pria dengan aksen Amerika menyapanya. "Saya Dr. Wilson dari Stanford Research. Saya dengar presentasi Anda tentang integrasi AI dalam farmasi tadi sangat mengesankan."Vianna tersenyum sopan, menyembunyikan kegembiraan bahwa presentasi pertamanya mendapat pengakuan. "Terima kasih, Dr. Wilson. GlobalPharm berharap dapat menjalin kerja sama dengan laboratorium Anda di masa depan."Setelah beberapa menit berbasa-basi, Vianna melihat dua sosok yang menarik perhatia
Hujan deras mengguyur Jakarta sore itu, menciptakan dinding air yang mengaburkan pandangan. Eliza berdiri diam di ambang pintu guest house yang selama beberapa minggu terakhir menjadi tempat tinggalnya. Berkat intervensi cepat Dr. Adrian yang diam-diam menormalisasi infusnya, ia telah pulih lebih cepat dari yang diperkirakan Vianna. Namun hatinya masih terasa kosong, sehampa mansion yang kini harus ia tinggalkan.Air mata mengalir di pipinya, bercampur dengan tetesan hujan yang membasahi wajahnya. Badannya masih terasa lemah, kepalanya pusing, namun rasa sakit fisik ini tidak sebanding dengan luka di hatinya.Eliza memandang ke sekeliling ruangan kecil yang telah menjadi tempat berlindungnya selama masa-masa sulit setelah Damian kehilangan ingatan. Kini ruangan itu hampir kosong—barang-barangnya sebagian besar telah diangkut ke apart
Di ruang VIP klinik LTI di lantai 10, Eliza terbaring dengan selang oksigen di hidungnya. Dua jam telah berlalu sejak ia kolaps di ruang konferensi. Dr. Maya Suryadi, dokter perusahaan, baru saja selesai memeriksanya untuk kedua kalinya. Damian berdiri di pojok ruangan, wajahnya menunjukkan campuran emosi—kemarahan, kebingungan, kelelahan, dan meski ia enggan mengakuinya, kekhawatiran. Kilatan ingatan yang ia alami tadi membuatnya gelisah, tapi ia menepis perasaan itu sebagai ilusi."Dia mengalami serangan panik akut disertai hiperventilasi," jelas Dr. Maya, melepas stetoskopnya. "Tekanan darahnya juga sangat rendah, 90/60, tidak ideal. Ditambah kadar gula darah di bawah normal. Apa dia memiliki riwayat kondisi ini sebelumnya?"Damian tidak menjawab, matanya menatap kosong ke arah jendela yang menampilkan langit Jakarta yang semakin
Tuduhan demi tuduhan Damian terus menghujani Eliza seperti pecahan kaca yang mengiris jiwanya. Tanpa sadar, ia meraih botol air di meja, tangannya gemetar saat meneguk isinya, berharap dapat menenangkan diri. Ruangan itu mulai terasa berputar, suara Damian semakin jauh seolah datang dari terowongan panjang. Vianna berdiri di belakang Damian, wajahnya menunjukkan simpati palsu namun matanya berkilat penuh kemenangan."Aku telah memeriksa semua kontrak yang kau tandatangani sebagai desainer HomeSense," Damian melanjutkan, suaranya dipenuhi kemarahan dan pengkhianatan. "Klausul royalti yang kau masukkan memberimu akses ke sebagian keuntungan produk. Awalnya kupikir itu wajar, tapi sekarang jelas itu bagian dari rencana besar. Berapa banyak informasi yang kau bagi dengan Dani dari hasil uji pasar kita? Data pengguna? Roadmap pengembangan?"
Ruang konferensi lantai 38 LTI berubah menjadi arena pertempuran emosional. Vianna meletakkan folder baru di hadapan Damian, membukanya dengan gerakan dramatis."Ini adalah dokumen yang memberatkan lainnya," ucapnya dengan nada profesional. "Perjanjian konfidensial antara Eliza dan DS Tech yang berhasil kami lacak."Damian menatap dokumen tersebut, rahangnya mengeras. Berita tender offer DS Tech masih menggantung di udara seperti kabut beracun, menciptakan ketegangan yang nyaris bisa disentuh. Di luar, langit Jakarta mulai menggelap dengan awan mendung, mencerminkan suasana di dalam ruangan."Katakan padaku, Eliza," suara Damian rendah dan berbahaya, seperti predator yang siap menyerang. "Apa tujuan sebenarnya kau mendekati LTI? Karena sekarang semua terlihat sangat jelas."
"Jadi ini yang kau sebut kebetulan?" Damian menggebrak meja, suaranya menggema di ruang konferensi kosong. "Mantan kekasihmu kebetulan menjadi investor LTI? Kebetulan menemuimu tepat saat aku mengalami amnesia? Dan kebetulan juga kalian berdua terlihat sangat akrab di kafe dua hari lalu?"Eliza berdiri kaku, masih terkejut dengan foto-foto yang ditunjukkan Vianna. Ada foto-foto lama dirinya dengan Dani di kampus—yang wajar dimiliki sebagai kenangan—tapi juga beberapa foto yang tampak baru dan diambil secara diam-diam, menunjukkan mereka bertemu di kafe dua hari lalu. Vianna telah menjelaskan dengan detail bagaimana DS Tech secara sistematis mengakuisisi saham LTI melalui berbagai perusahaan cangkang tepat setelah kecelakaan Damian."Itu bukan seperti yang kau pikirkan," Eliza berusaha menjelaskan, suaranya gemetar. "Ya, aku bertemu D