Album foto itu terbuka di pangkuan Damian, halaman pertamanya menampilkan foto yang membuat dadanya terasa sesak. Dirinya dan Eliza di Kafe Enigma, tempat yang selama ini jadi favoritnya untuk menikmati espresso sebelum meeting pagi. Dalam foto itu, mereka duduk di sudut jendela, Damian tertawa lepas—ekspresi yang jarang ia tunjukkan di depan umum—sementara Eliza menyandarkan kepalanya di bahu Damian, tersenyum ke arah kamera.
"Ini diambil sekitar dua bulan setelah kita bertemu," Eliza menjelaskan dengan suara tenang. "Rafi yang memotretnya. Kau selalu menyebut ini sebagai 'bukti bahwa kecelakaan bisa berubah menjadi keajaiban.'"
"Kecelakaan?" tanya Damian, masih menatap foto tersebut dengan dahi berkerut.
"Pertemuan kita," Eliza tersenyum kecil. "Aku menumpahkan kopi ke kemeja putihmu. Kemeja Brioni yang kau bilang adalah favoritmu."
Rafi tertawa pelan. "Kau marah besar, Dam. Tapi kemudian Eliza menawarkan untuk membayar biaya dry cleaning dan mengajakmu minum kopi sebagai permintaan maaf."
Damian membalik halaman, menemukan lebih banyak foto: mereka di pantai Anyer, di villa Bandung, di pesta ulang tahun LTI, dan berbagai momen lain yang tidak bisa ia ingat sama sekali.
"Bagaimana dengan bukti lainnya?" tanya Damian, suaranya terdengar kering.
Eliza mengangguk dan mengambil folder dari tasnya. "Ini adalah sertifikat pertunangan kita, ditandatangani pada 14 November 2022 di Restoran Altitude. Dan ini adalah dokumen pembelian cincin pertunangan dari Tiffany & Co., juga dengan tanda tanganmu."
Damian memeriksa dokumen-dokumen tersebut dengan teliti. Itu memang tanda tangannya, tidak diragukan lagi.
"Aku juga membawa ini," kata Eliza, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya. "Jam tangan pemberian ayahmu. Kau memberikannya padaku untuk disimpan ketika harus di-service bulan lalu."
Damian menerima kotak tersebut dengan tangan sedikit gemetar. Di dalamnya terdapat jam tangan Patek Philippe Calatrava yang memang diwariskan ayahnya. Jam itu memiliki ukiran kecil di bagian belakangnya: "Untuk putraku, waktu adalah satu-satunya aset yang tak bisa dibeli kembali."
"Bagaimana..." Damian menelan ludah, "bagaimana mungkin jam ini ada padamu?"
"Kau mempercayakannya padaku untuk dibawa ke service reguler," jawab Eliza lembut. "Kau tidak pernah membiarkan orang lain menyentuhnya, bahkan Rafi. Tapi kau memberikannya padaku."
"Ada satu hal lagi," lanjut Eliza, mengeluarkan sebuah ponsel. "Ini ponselmu yang lama, sebelum kau mengupgrade tiga bulan lalu. Kau selalu menyimpan backup perangkat lamamu."
Eliza menyalakan ponsel itu dan membukanya dengan sidik jari Damian. Dia menunjukkan galeri foto, pesan teks, dan email—ratusan bukti interaksi mereka selama hampir tiga tahun.
"Aku percaya bahwa kita memang memiliki hubungan," Damian akhirnya berkata. "Bukti-buktinya terlalu kuat untuk dibantah. Tapi aku tetap tidak mengingatmu, Eliza. Dan aku tidak tahu apakah aku bisa merasakan hal yang sama seperti dulu."
Eliza mengangguk. "Aku mengerti. Aku tidak meminta lebih dari pengakuan itu untuk saat ini."
"Dr. Adrian," Damian berpaling, "apa langkah selanjutnya?"
"Paparan bertahap pada lingkungan yang familiar," jawab Dr. Adrian. "Tapi tidak terburu-buru. Kita perlu memastikan kondisi fisikmu juga pulih sepenuhnya."
"Aku ingin kembali ke kantorku," kata Damian tegas. "LTI membutuhkanku."
"Damian," Dr. Adrian memperingatkan, "kau baru saja sadar dari koma dua hari yang lalu."
"Aku setuju dengan Dr. Adrian," tambah Eliza hati-hati. "Mungkin sebaiknya kau pulih dulu di mansion. Aku bisa tinggal di guest house jika itu membuatmu lebih nyaman."
"Bagaimana dengan pengaturan transisi?" tanya Rafi. "Aku bisa terus menangani operasional LTI sementara Damian memulihkan diri."
"Itu ide yang baik," setuju Dr. Adrian.
Saat mengumpulkan dokumen-dokumennya, kalung berliontin matahari kecil di leher Eliza menarik perhatian Damian.
"Kalung itu," kata Damian tiba-tiba, "sepertinya familiar."
Eliza berhenti bergerak, matanya melebar. "Ini hadiah ulang tahunku yang pertama darimu. Kau bilang aku seperti matahari yang menerangi hidupmu."
Damian menatap kalung itu dengan intens, namun kemudian menggeleng frustasi. "Aku hampir... tapi kemudian hilang lagi."
"Itu pertanda baik," kata Dr. Adrian menyemangati. "Bersabarlah dengan dirimu sendiri."
Ketika Eliza dan Rafi keluar lebih dulu, Dr. Adrian tinggal sejenak dengan Damian.
"Ada satu hal yang masih menggangguku," kata Dr. Adrian pelan. "Hasil tes darahmu menunjukkan adanya zat yang tidak biasa. Intuisiku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres dengan kecelakaan ini."
Kalimat Dr. Adrian terputus ketika seorang perawat masuk memanggil untuk konsultasi darurat. Setelah Dr. Adrian pergi, Damian memejamkan mata, mencoba memproses semua informasi.
Beberapa menit kemudian, pintu terbuka lagi.
"Selamat siang, Tuan Lesmana. Senang melihat Anda sudah sadar."
Damian membuka mata. Seorang wanita anggun dengan blazer navy sempurna berdiri di ambang pintu.
"Siapa Anda?" tanya Damian.
"Vianna Darmawan, asisten eksekutif Anda," wanita itu menjawab dengan senyum profesional. "Saya datang segera setelah mendengar Anda sudah sadar."
"Asisten eksekutif? Tapi Rafi tidak menyebutkan apapun tentangmu."
"Tentu saja. Dalam situasi seperti ini, prioritas utama adalah keluarga dan teman dekat," jawab Vianna lancar.
"Bagaimana kau bisa masuk ke sini?" tanya Damian, semakin waspada.
"Saya memiliki akses sebagai kontak darurat kedua dalam dokumen perusahaan," jawab Vianna.
Sebelum Damian bisa merespons, Rafi kembali masuk.
"Dam, aku meninggalkan—" Kalimat Rafi terhenti saat melihat Vianna. Ekspresinya berubah drastis. "Vianna? Apa yang kau lakukan di sini?"
"Saya baru saja memperkenalkan diri pada Tuan Lesmana. Sebagai asisten eksekutifnya—"
"Asisten eksekutif?" potong Rafi tajam. "Dam, Vianna bukan asistenmu. Dia dipecat satu bulan sebelum kecelakaanmu karena ketahuan menjual informasi perusahaan ke kompetitor."
Vianna tetap tersenyum, tapi matanya berkilat. "Sepertinya ada kesalahpahaman di sini."
"Tidak ada kesalahpahaman," balas Rafi tegas. "Kau dipecat karena ketahuan melakukan spionase industri." Rafi mengambil ponselnya. "Aku akan memanggil keamanan."
Vianna menatap Damian dengan kesedihan yang tampak palsu. "Saya mengerti situasinya kompleks saat ini. Mungkin kita bisa mendiskusikan ini lagi saat Anda sudah lebih pulih, Tuan Lesmana."
Vianna berjalan keluar dengan anggun, meninggalkan ketegangan di ruangan itu.
"Siapa dia sebenarnya, Rafi?" tanya Damian.
"Salah satu kesalahan terbesar dalam rekrutmen. Mantan model yang beralih ke dunia eksekutif. Kau memecatnya sebulan sebelum kecelakaan karena dia ketahuan menjual rahasia pengembangan HomeSense 3.0 ke kompetitor."
"Rafi," kata Damian dengan suara rendah, "aku ingin kau melakukan dua hal segera. Pertama, tingkatkan keamanan di sekitarku dan Eliza. Kedua, aku ingin investigasi menyeluruh tentang Vianna—di mana dia berada saat kecelakaan terjadi, dan apa yang dia lakukan sejak saat itu."
Rafi mengangguk serius. "Berhati-hatilah, Dam. Aku punya firasat buruk tentang semua ini."
Laboratorium rumah sakit hampir kosong pada pukul 11 malam ini. Hanya Dr. Adrian Wijaya yang masih membungkuk di atas mikroskop, jemarinya dengan teliti menggeser slide berisi sampel darah Damian. Kantong mata menghiasi wajahnya yang lelah, tapi tatapannya penuh konsentrasi. Ini adalah hari ketiga sejak Damian Lesmana sadar dari koma, dan sesuatu dalam hasil tesnya terus mengganggu Dr. Adrian."Lagi-lagi menjadi dokter detektif, Adrian?"Dr. Maya Suryadi, kepala departemen neurologi, tersenyum dari ambang pintu. Wanita berusia lima puluhan itu dikenal sebagai salah satu ahli neurologi terbaik di Asia Tenggara."Ada sesuatu yang salah pada sampel darah Damian," jawab Adrian tanpa mengalihkan tatapannya dari mikroskop. "Lihat ini."Dr. Maya mendekat, mengambil alih mikroskop. "Hmm. Sel darah merah dengan struktur membran yang tidak normal. Kau yakin ini bukan karena reaksi obat-obatan yang kita berikan selama dia koma?""Positif. Aku sudah memeriksa semua obat dalam protokol perawatanny
Gerbang besar mansion Lesmana terbuka perlahan, menyambut kedatangan Range Rover hitam yang membawa Damian pulang. Di balik kaca gelap, Damian menatap bangunan bergaya modern minimalis yang sudah tiga tahun tidak ia ingat. Bentuk fisik mansionnya tetap sama seperti dalam ingatannya, tapi entah kenapa terasa seperti milik orang lain."Selamat datang kembali, Tuan," sambut Kirana, kepala pelayan berusia lima puluhan yang telah mengabdi pada keluarga Lesmana selama lebih dari dua dekade. Wajahnya yang teduh memancarkan kegembiraan tulus melihat Damian kembali."Terima kasih, Kirana," Damian mengangguk, berusaha tersenyum. Setidaknya wanita ini masih sama seperti yang ia ingat—tidak ada perubahan signifikan selain beberapa kerutan baru dan rambut yang lebih banyak beruban.Eliza berjalan beberapa langkah di belakang Damian, memberikan ruang sembari mengawasi dengan cemas. Dia tahu betapa sulitnya situasi ini—kembali ke rumah yang tidak lagi terasa seperti rumah."Kau ingin langsung berist
Fajar baru saja menyingsing ketika Damian terbangun dengan napas terengah. Mimpi yang sama—serpihan memori tentang dirinya melukis, tangan Eliza menuntun tangannya. Kepalanya masih berdenyut, efek samping dari kilasan ingatan semalam.Ia menyibakkan selimut dan berjalan ke jendela. Dari kamarnya di lantai dua, ia bisa melihat guest house di kejauhan. Lampu di sana sudah menyala, menandakan Eliza sudah bangun. Pandangannya beralih ke bangunan kecil dengan dinding kaca di ujung taman—studio lukis yang kemarin menarik perhatiannya. Ia melihat sosok Eliza berjalan dari guest house menuju studio, membawa sesuatu yang tampak seperti termos.Sejak bangun, pikiran Damian terus kembali pada kilasan ingatan semalam. Ia tak pernah melukis. Namun kenapa ia bisa mengingat sensasi kuas di tangannya dengan begitu jelas? Tekstur cat, aroma turpentin, tawa lembut Eliza di telinganya... Sensasi-sensasi itu terasa nyata, meski ia yakin tak pernah mengalaminya.
Suara denting pecahan kaca memecah keheningan studio. Damian berdiri dengan napas memburu, tangan kanannya masih terkepal setelah menghantam bingkai lukisan di dinding. Serpihan kaca berserakan di lantai kayu, memantulkan cahaya pagi yang masuk melalui jendela tinggi studio."Semua ini bohong!" teriaknya, suaranya bergema di ruangan yang sekarang terasa terlalu sempit untuk menampung amarahnya.Eliza mundur perlahan, matanya melebar menyaksikan Damian yang baru saja menghancurkan salah satu lukisan favorit mereka—pemandangan danau dengan dua siluet berpelukan di atas perahu kecil."Damian, kumohon..." bisiknya, suaranya bergetar.Tapi Damian tidak mendengar. Atau lebih tepatnya, ia memilih untuk tidak mendengar. Pandangannya kini beralih ke lukisan "Memori yang Hilang" yang telah ia robek. Dengan langkah berat, ia mendekati tumpukan kanvas lain yang tersandar di dinding."Aku bukan kegelapan!" Damian mencengkeram tepi kanvas berikutnya. "Dan kau...
Matahari mulai condong ke barat ketika Eliza akhirnya meninggalkan studio. Setelah berjam-jam mengumpulkan serpihan lukisan dan merapikan kekacauan, wajahnya kini pucat dan kosong—seperti kanvas yang belum tersentuh kuas. Jejak air mata masih jelas terlihat, tapi ia sudah tidak mampu menangis lagi.Di tangannya tergenggam sebuah kotak kayu berukir, kotak yang biasa ia gunakan untuk menyimpan peralatan sketsanya yang paling berharga. Kini kotak itu berisi fragmen-fragmen lukisan yang bisa ia selamatkan—satu-satunya bukti fisik dari karya seninya yang telah hancur."Nona Eliza?" Kirana berdiri di pintu belakang mansion, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Tuan Damian mencari Anda."Eliza tersenyum lemah. "Dimana dia?""Di ruang kerjanya, dengan Tuan Rafi. Mereka sedang membahas sesuatu tentang perusahaan." Kirana mengamati keadaan Eliza dengan seksama. "Anda baik-baik saja, Nona? Mau saya buatkan teh?""Tidak perlu, Kirana. Terima kasih." Eliza mengg
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Eliza bangun dari tidur singkatnya. Lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan ia hampir tidak tidur semalaman. Dengan gerakan yang hampir otomatis, ia bersiap untuk hari yang ia tahu akan menjadi salah satu hari terberat dalam hidupnya.Meja kerjanya berantakan dengan sketsa desain yang belum selesai dan contoh font untuk proyek terbarunya—semua terlupakan di tengah kekacauan emosional. Dengan helaan napas berat, Eliza mengirim pesan singkat ke kliennya, meminta sedikit perpanjangan waktu. Biasanya ia tidak pernah terlambat menyelesaikan proyek, tapi kali ini situasinya berbeda.Kirana sudah aktif di dapur mansion ketika Eliza memasuki pintu belakang. Mata pelayan setia itu langsung menangkap ekspresi Eliza."Nona baik-baik saja?" tanyanya khawatir.Eliza mengangguk, mencoba tersenyum. "Apa Damian sudah bangun?""Belum, Nona. Masih sangat pagi," jawab Kirana, melirik jam dinding yang menunjukkan pu
Lalu lintas Jakarta siang itu terasa lebih padat dari biasanya. Dari jendela Mercedes hitam yang dikemudikan Rafi, Damian memandang ke luar dengan pikiran kosong. Cincin pertunangan Eliza aman tersimpan di laci meja kerjanya, tapi liontin matahari miliknya masih berada di saku Damian—sentuhan dingin logam yang entah kenapa memberikan ketenangan aneh."Kau yakin tentang ini, Dam?" tanya Rafi, memecah keheningan. "Bertemu Vianna di kantor?""Lebih baik di kantor," jawab Damian datar. "Tempat netral, banyak saksi."Rafi mengangguk setuju, tapi ekspresinya tetap cemas. "Aku sudah mengirimkan file-file tentang pemecatan Vianna ke emailmu. Mungkin sebaiknya kau membacanya sebelum bertemu dengannya.""Nanti," gumam Damian, tatapannya masih tertuju ke luar jendela. Pikirannya masih dipenuhi surat Eliza, kata-kata yang begitu tulus hingga terasa seperti pisau yang mengiris. Bagaimana mungkin ia melupakan seseorang yang begitu berarti?Mobil berbelok masuk k
"Lantai 20 sampai 25 adalah pusat pengembangan teknologi kita," jelas Rafi saat mereka keluar dari lift. Damian mengikuti dengan dahi berkerut, mencoba menyerap semua informasi baru. "Di sinilah tim kita mengembangkan seluruh lini produk HomeSense.""HomeSense," ulang Damian, merasakan nama itu di lidahnya. Dalam ingatannya, HomeSense hanyalah proyek konsep—sistem otomasi rumah sederhana yang baru dalam tahap pengembangan awal. "Ceritakan lebih banyak tentang itu."Rafi mengarahkannya ke sebuah ruangan luas dengan dinding kaca—innovation center yang dipenuhi insinyur dan desainer yang bekerja di berbagai workstation."HomeSense adalah flagship product LTI sekarang," Rafi mulai menjelaskan. "Kita meluncurkan versi pertamanya dua setengah tahun lalu—sistem otomasi rumah dasar dengan kontrol suara dan aplikasi. Sukses besar, tapi HomeSense 2.0 yang benar-benar mengubah perusahaan."Mereka berhenti di depan sebuah ruangan yang dirancang seperti apartemen mode
Apartemen Penthouse Dani Sasongko, 6 bulan laluMalam sudah larut di Jakarta ketika Vianna Darmawan menekan kode akses ke penthouse Dani di kawasan SCBD. Gedung-gedung pencakar langit berkilauan di kejauhan, termasuk menara LTI yang berdiri tegak dengan logo bercahaya di puncaknya—target mereka yang semakin dekat."Kau terlambat," sambut Dani yang sedang menuang wine merah ke decanter kristal. Layar besar di dinding menampilkan grafik pergerakan saham LTI dan DS Tech dalam tiga bulan terakhir. "Ada masalah?""Damian memintaku lembur untuk finalisasi kontrak Global Expansion," Vianna melepas high heels-nya, meletakkan tas di sofa. "Dia semakin bergantung padaku untuk keputusan strategis. Bagus untuk rencana kita."Dani meng
Conrad Hotel Jakarta, 18 bulan laluVianna Darmawan menyesap champagne-nya perlahan, mengamati kerlap-kerlip Jakarta dari rooftop bar mewah. Posisinya sebagai asisten eksekutif Damian Lesmana selama enam bulan telah memberinya akses ke lingkaran elit bisnis teknologi—jauh dari masa lalunya yang ingin ia kubur dalam-dalam. Dress hitam elegan yang ia kenakan adalah bukti perjalanan panjangnya, dari gadis miskin Cilandak menjadi wanita berpengaruh di jajaran eksekutif perusahaan teknologi terbesar di Indonesia."Tidak kusangka kau benar-benar berhasil masuk ke LTI," suara familiar menginterupsi lamunannya. Dani Sasongko muncul dengan setelan navy yang sempurna. Jam tangan Audemars Piguet melingkar di pergelangan tangannya, tanda kesuksesan DS Tech yang kini dihargai pasar. "Imprresif."
Skybar Altitude di lantai 56 sebuah gedung pencakar langit Jakarta menawarkan pemandangan kota yang spektakuler. Malam ini tempat itu setengah kosong—sempurna untuk pembicaraan privat. Lampu-lampu kota berkilauan seperti permata di bawah sana, pencahayaan temaram bar menciptakan atmosfer eksklusif.Vianna Darmawan, mengenakan gaun hitam ketat dan sepatu Christian Louboutin, menyesap martini-nya sambil menatap ke arah gedung LTI yang berkilau di kejauhan. Ia telah sengaja memilih meja dengan pemandangan langsung ke menara kaca itu—pengingat konstan tentang tujuannya."Maaf terlambat," suara bariton menginterupsi lamunannya. Dani Sasongko berdiri di sana, setelan abu-abu sempurna dan jam tangan Patek Philippe di pergelangan tangannya—simbol kesuksesan DS Tech Ventures.
Singapore Ritz-Carlton, 3 tahun lalu"Tech Innovation Summit" terpampang besar di banner-banner yang menghiasi ballroom hotel mewah. Para pengusaha teknologi elit dari seluruh Asia berkumpul, menikmati champagne sambil membicarakan investasi multi-juta dolar. Di salah satu sudut ruangan, seorang wanita muda dengan setelan hitam elegan mengamati kerumunan dengan tatapan kalkulatif. Vianna Darmawan, 26 tahun, mewakili GlobalPharm dalam konferensi bergengsi ini."Ms. Darmawan, benar?" seorang pria dengan aksen Amerika menyapanya. "Saya Dr. Wilson dari Stanford Research. Saya dengar presentasi Anda tentang integrasi AI dalam farmasi tadi sangat mengesankan."Vianna tersenyum sopan, menyembunyikan kegembiraan bahwa presentasi pertamanya mendapat pengakuan. "Terima kasih, Dr. Wilson. GlobalPharm berharap dapat menjalin kerja sama dengan laboratorium Anda di masa depan."Setelah beberapa menit berbasa-basi, Vianna melihat dua sosok yang menarik perhatia
Hujan deras mengguyur Jakarta sore itu, menciptakan dinding air yang mengaburkan pandangan. Eliza berdiri diam di ambang pintu guest house yang selama beberapa minggu terakhir menjadi tempat tinggalnya. Berkat intervensi cepat Dr. Adrian yang diam-diam menormalisasi infusnya, ia telah pulih lebih cepat dari yang diperkirakan Vianna. Namun hatinya masih terasa kosong, sehampa mansion yang kini harus ia tinggalkan.Air mata mengalir di pipinya, bercampur dengan tetesan hujan yang membasahi wajahnya. Badannya masih terasa lemah, kepalanya pusing, namun rasa sakit fisik ini tidak sebanding dengan luka di hatinya.Eliza memandang ke sekeliling ruangan kecil yang telah menjadi tempat berlindungnya selama masa-masa sulit setelah Damian kehilangan ingatan. Kini ruangan itu hampir kosong—barang-barangnya sebagian besar telah diangkut ke apart
Di ruang VIP klinik LTI di lantai 10, Eliza terbaring dengan selang oksigen di hidungnya. Dua jam telah berlalu sejak ia kolaps di ruang konferensi. Dr. Maya Suryadi, dokter perusahaan, baru saja selesai memeriksanya untuk kedua kalinya. Damian berdiri di pojok ruangan, wajahnya menunjukkan campuran emosi—kemarahan, kebingungan, kelelahan, dan meski ia enggan mengakuinya, kekhawatiran. Kilatan ingatan yang ia alami tadi membuatnya gelisah, tapi ia menepis perasaan itu sebagai ilusi."Dia mengalami serangan panik akut disertai hiperventilasi," jelas Dr. Maya, melepas stetoskopnya. "Tekanan darahnya juga sangat rendah, 90/60, tidak ideal. Ditambah kadar gula darah di bawah normal. Apa dia memiliki riwayat kondisi ini sebelumnya?"Damian tidak menjawab, matanya menatap kosong ke arah jendela yang menampilkan langit Jakarta yang semakin
Tuduhan demi tuduhan Damian terus menghujani Eliza seperti pecahan kaca yang mengiris jiwanya. Tanpa sadar, ia meraih botol air di meja, tangannya gemetar saat meneguk isinya, berharap dapat menenangkan diri. Ruangan itu mulai terasa berputar, suara Damian semakin jauh seolah datang dari terowongan panjang. Vianna berdiri di belakang Damian, wajahnya menunjukkan simpati palsu namun matanya berkilat penuh kemenangan."Aku telah memeriksa semua kontrak yang kau tandatangani sebagai desainer HomeSense," Damian melanjutkan, suaranya dipenuhi kemarahan dan pengkhianatan. "Klausul royalti yang kau masukkan memberimu akses ke sebagian keuntungan produk. Awalnya kupikir itu wajar, tapi sekarang jelas itu bagian dari rencana besar. Berapa banyak informasi yang kau bagi dengan Dani dari hasil uji pasar kita? Data pengguna? Roadmap pengembangan?"
Ruang konferensi lantai 38 LTI berubah menjadi arena pertempuran emosional. Vianna meletakkan folder baru di hadapan Damian, membukanya dengan gerakan dramatis."Ini adalah dokumen yang memberatkan lainnya," ucapnya dengan nada profesional. "Perjanjian konfidensial antara Eliza dan DS Tech yang berhasil kami lacak."Damian menatap dokumen tersebut, rahangnya mengeras. Berita tender offer DS Tech masih menggantung di udara seperti kabut beracun, menciptakan ketegangan yang nyaris bisa disentuh. Di luar, langit Jakarta mulai menggelap dengan awan mendung, mencerminkan suasana di dalam ruangan."Katakan padaku, Eliza," suara Damian rendah dan berbahaya, seperti predator yang siap menyerang. "Apa tujuan sebenarnya kau mendekati LTI? Karena sekarang semua terlihat sangat jelas."
"Jadi ini yang kau sebut kebetulan?" Damian menggebrak meja, suaranya menggema di ruang konferensi kosong. "Mantan kekasihmu kebetulan menjadi investor LTI? Kebetulan menemuimu tepat saat aku mengalami amnesia? Dan kebetulan juga kalian berdua terlihat sangat akrab di kafe dua hari lalu?"Eliza berdiri kaku, masih terkejut dengan foto-foto yang ditunjukkan Vianna. Ada foto-foto lama dirinya dengan Dani di kampus—yang wajar dimiliki sebagai kenangan—tapi juga beberapa foto yang tampak baru dan diambil secara diam-diam, menunjukkan mereka bertemu di kafe dua hari lalu. Vianna telah menjelaskan dengan detail bagaimana DS Tech secara sistematis mengakuisisi saham LTI melalui berbagai perusahaan cangkang tepat setelah kecelakaan Damian."Itu bukan seperti yang kau pikirkan," Eliza berusaha menjelaskan, suaranya gemetar. "Ya, aku bertemu D