Share

Bab 6: Kembali ke Mansion

Author: Anprar
last update Last Updated: 2025-04-07 17:50:42

Gerbang besar mansion Lesmana terbuka perlahan, menyambut kedatangan Range Rover hitam yang membawa Damian pulang. Di balik kaca gelap, Damian menatap bangunan bergaya modern minimalis yang sudah tiga tahun tidak ia ingat. Bentuk fisik mansionnya tetap sama seperti dalam ingatannya, tapi entah kenapa terasa seperti milik orang lain.

"Selamat datang kembali, Tuan," sambut Kirana, kepala pelayan berusia lima puluhan yang telah mengabdi pada keluarga Lesmana selama lebih dari dua dekade. Wajahnya yang teduh memancarkan kegembiraan tulus melihat Damian kembali.

"Terima kasih, Kirana," Damian mengangguk, berusaha tersenyum. Setidaknya wanita ini masih sama seperti yang ia ingat—tidak ada perubahan signifikan selain beberapa kerutan baru dan rambut yang lebih banyak beruban.

Eliza berjalan beberapa langkah di belakang Damian, memberikan ruang sembari mengawasi dengan cemas. Dia tahu betapa sulitnya situasi ini—kembali ke rumah yang tidak lagi terasa seperti rumah.

"Kau ingin langsung beristirahat atau berkeliling dulu?" tanya Rafi, yang telah menyetir mobil itu sepanjang perjalanan.

"Berkeliling," jawab Damian tegas. "Aku perlu melihat... perubahan apa saja yang terjadi."

Kirana membungkuk sopan. "Saya telah menyiapkan kamar Tuan dan makan siang akan siap dalam satu jam."

Mereka melangkah memasuki foyer mansion yang luas. Langkah Damian terhenti di ambang pintu. Interiornya berbeda—sangat berbeda dari yang ia ingat. Tiga tahun lalu, desain interiornya didominasi gaya modern industrial dengan palet warna gelap—hitam, abu-abu, dan sentuhan metal. Sekarang, ruangan itu terasa lebih hangat dengan kombinasi modern minimalis dan sentuhan tradisional Indonesia. Palet warna lebih cerah, dengan banyak elemen kayu natural dan tanaman hijau.

"Kita merenovasi sekitar dua tahun lalu," jelas Rafi melihat ekspresi terkejut Damian. "Kau bilang ingin rumah yang lebih terasa seperti... rumah, bukan kantor kedua."

Damian mengamati lukisan besar berukuran 2x3 meter yang mendominasi dinding utama. Lukisan pemandangan gunung berawan dengan cahaya matahari menyusup di antara celah-celahnya—menenangkan namun penuh kekuatan.

"Itu karya pertamaku yang kau beli," kata Eliza pelan. "Sebelum kita resmi bersama. Kau melihatnya di pameranku dan langsung menawar harga tiga kali lipat dari yang kupasang, hanya agar tidak ada yang bisa membelinya duluan."

Damian tidak menjawab, hanya menatap lukisan itu lebih lama. Ada sesuatu yang familiar yang tak bisa ia jelaskan. 

Mereka melanjutkan tur ke ruang keluarga, di mana perubahan semakin terlihat. Ruangan yang dulu nyaris tidak pernah digunakan karena Damian menghabiskan waktunya di kantor atau ruang kerja, kini tampak sering ditinggali. Ada selimut lembut di sofa, beberapa novel dan majalah seni di meja kopi, dan koleksi foto berbingkai di rak—foto Damian dan Eliza di berbagai lokasi.

"Kau mulai menghabiskan akhir pekan di rumah," kata Rafi, seolah membaca pikiran Damian. "Tidak lagi tinggal di kantor berhari-hari seperti dulu."

Mereka bergerak ke ruang makan dan dapur yang juga mengalami perubahan signifikan. Dapur yang sebelumnya jarang digunakan selain oleh staf, kini terlihat lebih hidup.

"Kau mulai memasak lagi," kata Eliza, sedikit tersenyum. "Hobi yang kau tinggalkan saat orangtuamu meninggal. Kita sering memasak bersama di akhir pekan."

Damian mengernyit. Ibunya yang mengajarinya memasak saat remaja, dan setelah kematian orangtuanya, ia berhenti melakukannya karena terlalu menyakitkan. Bagaimana mungkin ia kembali pada kebiasaan itu?

Tur berlanjut ke lantai dua, dimana kamar tidur utama terletak. Ruangan itu luas dan didominasi jendela besar yang menghadap taman belakang. Tempat tidur king size dengan linen putih tampak rapi sempurna. Namun, bukti kehadiran Eliza terlihat jelas—beberapa buku di meja samping tempat tidur, sejumlah peralatan makeup di meja rias, dan pakaian wanita di pintu lemari yang sedikit terbuka.

"Aku akan memindahkan barang-barangku ke guest house," kata Eliza cepat, menyadari ketidaknyamanan Damian. "Aku hanya belum sempat membereskannya."

"Ya, tolong," jawab Damian, lebih ketus dari yang ia inginkan. 

Rafi berdeham, berusaha mencairkan ketegangan. "Mungkin cukup untuk hari ini? Kau butuh istirahat, Dam."

"Satu tempat lagi," Damian bersikeras. "Ruang kerjaku."

Ruang kerja Damian berada di ujung koridor lantai dua. Tangannya sedikit gemetar saat memutar kenop pintu, berharap setidaknya ruangan ini tetap sama—tempat pribadinya, ruang di mana ia merasa paling nyaman.

Kekecewaannya langsung terlihat saat pintu terbuka. Ruangan itu juga berbeda. Masih ada meja kerja dan rak buku yang ia kenali, tapi penataannya berubah. Meja kerja menghadap jendela alih-alih dinding, rak buku lebih terorganisir, dan ada sofa nyaman di sudut ruangan. Dinding yang dulu polos kini dihiasi beberapa lukisan kecil bergaya abstrak.

"Aku menyarankan perubahan tata letak agar kau bisa melihat keluar saat bekerja," jelas Eliza hati-hati. "Kau bilang itu membantumu berpikir lebih jernih."

Damian mengelilingi ruangan, menyentuh permukaan meja kerjanya—setidaknya ini masih meja yang sama, hanya posisinya yang berbeda. Matanya tertumbuk pada foto di meja—dirinya dan Eliza di suatu pantai, tersenyum lebar ke kamera. Ia tampak sangat bahagia, ekspresi yang bahkan ia sendiri jarang lihat di cermin selama bertahun-tahun.

"Kurasa itu cukup untuk hari ini," kata Damian akhirnya, kelelahan fisik dan emosional mulai terasa. "Aku ingin istirahat."

"Tentu," Eliza mengangguk. "Aku akan membereskan barang-barangku dulu, lalu pindah ke guest house."

Saat Eliza dan Rafi meninggalkan ruangan, Damian merosot ke kursinya, menutup mata. Kepalanya berdenyut dengan informasi dan kesan baru. Ini memang rumahnya—secara fisik, secara legal—tapi terasa seperti milik versi dirinya yang lain, Damian yang tidak ia kenal.

Dari jendela ruang kerjanya, ia bisa melihat sebagian taman belakang yang juga telah berubah. Dan di ujung taman, terdapat bangunan kecil bergaya studio dengan dinding kaca yang tidak ia ingat pernah membangunnya.

Studio lukis. Pasti itu studio Eliza.

Damian meraih ponsel barunya—ponsel lamanya hancur dalam kecelakaan—dan mengirim pesan pada Rafi: "Siapkan file lengkap tentang proyek HomeSense dan semua perkembangan perusahaan 3 tahun terakhir. Aku perlu mengingat segalanya secepat mungkin."

Ia hendak meninggalkan ruang kerja ketika matanya kembali tertumbuk pada lukisan pemandangan gunung yang dilihatnya di ruang depan tadi. Lukisan Eliza yang pertama ia beli. Entah mengapa ia terdorong untuk melihatnya lagi.

Damian melangkah ke ruang depan, menatap lukisan besar itu dengan seksama. Ada sesuatu tentang lukisan itu yang membuatnya terusik. Sapuan kuas di bagian awan, cara cahaya matahari menerobos celah gunung—terlalu familiar. Ia melangkah mendekat, mengamati detail tekstur cat.

Tiba-tiba, kepalanya berdenyut hebat. Serpihan gambar melintas di benaknya—tangannya sendiri memegang kuas, melukis langit serupa di atas kanvas, dengan Eliza berdiri di belakangnya, mengarahkan tangannya dengan lembut. Tawa Eliza terdengar jernih di telinganya, sensasi tangannya di atas tangan Damian terasa nyata.

Napas Damian tercekat. Ia mencengkeram tepi sofa untuk menyeimbangkan tubuhnya.

Ia tidak pernah melukis. Tidak dalam ingatannya.

Di guest house, Eliza duduk di tepi tempat tidur, mengusap air mata yang akhirnya bisa ia keluarkan setelah menahan diri sepanjang hari. Ia menggenggam liontin matahari di lehernya—hadiah pertama dari Damian—dan berbisik pada dirinya sendiri, "Dia akan mengingatnya lagi. Harus."

Sementara itu, Damian masih terpaku di depan lukisan, jantungnya berdegup kencang. 

"Apa lagi yang telah kulupakan?" bisiknya pada diri sendiri, genggamannya pada sofa menguat hingga buku-buku jarinya memutih.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 7: Studio yang Asing

    Fajar baru saja menyingsing ketika Damian terbangun dengan napas terengah. Mimpi yang sama—serpihan memori tentang dirinya melukis, tangan Eliza menuntun tangannya. Kepalanya masih berdenyut, efek samping dari kilasan ingatan semalam.Ia menyibakkan selimut dan berjalan ke jendela. Dari kamarnya di lantai dua, ia bisa melihat guest house di kejauhan. Lampu di sana sudah menyala, menandakan Eliza sudah bangun. Pandangannya beralih ke bangunan kecil dengan dinding kaca di ujung taman—studio lukis yang kemarin menarik perhatiannya. Ia melihat sosok Eliza berjalan dari guest house menuju studio, membawa sesuatu yang tampak seperti termos.Sejak bangun, pikiran Damian terus kembali pada kilasan ingatan semalam. Ia tak pernah melukis. Namun kenapa ia bisa mengingat sensasi kuas di tangannya dengan begitu jelas? Tekstur cat, aroma turpentin, tawa lembut Eliza di telinganya... Sensasi-sensasi itu terasa nyata, meski ia yakin tak pernah mengalaminya.

    Last Updated : 2025-04-08
  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 8: Kemarahan dan Kehancuran

    Suara denting pecahan kaca memecah keheningan studio. Damian berdiri dengan napas memburu, tangan kanannya masih terkepal setelah menghantam bingkai lukisan di dinding. Serpihan kaca berserakan di lantai kayu, memantulkan cahaya pagi yang masuk melalui jendela tinggi studio."Semua ini bohong!" teriaknya, suaranya bergema di ruangan yang sekarang terasa terlalu sempit untuk menampung amarahnya.Eliza mundur perlahan, matanya melebar menyaksikan Damian yang baru saja menghancurkan salah satu lukisan favorit mereka—pemandangan danau dengan dua siluet berpelukan di atas perahu kecil."Damian, kumohon..." bisiknya, suaranya bergetar.Tapi Damian tidak mendengar. Atau lebih tepatnya, ia memilih untuk tidak mendengar. Pandangannya kini beralih ke lukisan "Memori yang Hilang" yang telah ia robek. Dengan langkah berat, ia mendekati tumpukan kanvas lain yang tersandar di dinding."Aku bukan kegelapan!" Damian mencengkeram tepi kanvas berikutnya. "Dan kau...

    Last Updated : 2025-04-09
  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 9: Eliza yang Terluka

    Matahari mulai condong ke barat ketika Eliza akhirnya meninggalkan studio. Setelah berjam-jam mengumpulkan serpihan lukisan dan merapikan kekacauan, wajahnya kini pucat dan kosong—seperti kanvas yang belum tersentuh kuas. Jejak air mata masih jelas terlihat, tapi ia sudah tidak mampu menangis lagi.Di tangannya tergenggam sebuah kotak kayu berukir, kotak yang biasa ia gunakan untuk menyimpan peralatan sketsanya yang paling berharga. Kini kotak itu berisi fragmen-fragmen lukisan yang bisa ia selamatkan—satu-satunya bukti fisik dari karya seninya yang telah hancur."Nona Eliza?" Kirana berdiri di pintu belakang mansion, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Tuan Damian mencari Anda."Eliza tersenyum lemah. "Dimana dia?""Di ruang kerjanya, dengan Tuan Rafi. Mereka sedang membahas sesuatu tentang perusahaan." Kirana mengamati keadaan Eliza dengan seksama. "Anda baik-baik saja, Nona? Mau saya buatkan teh?""Tidak perlu, Kirana. Terima kasih." Eliza mengg

    Last Updated : 2025-04-09
  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 10: Cincin dan Pesan

    Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Eliza bangun dari tidur singkatnya. Lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan ia hampir tidak tidur semalaman. Dengan gerakan yang hampir otomatis, ia bersiap untuk hari yang ia tahu akan menjadi salah satu hari terberat dalam hidupnya.Meja kerjanya berantakan dengan sketsa desain yang belum selesai dan contoh font untuk proyek terbarunya—semua terlupakan di tengah kekacauan emosional. Dengan helaan napas berat, Eliza mengirim pesan singkat ke kliennya, meminta sedikit perpanjangan waktu. Biasanya ia tidak pernah terlambat menyelesaikan proyek, tapi kali ini situasinya berbeda.Kirana sudah aktif di dapur mansion ketika Eliza memasuki pintu belakang. Mata pelayan setia itu langsung menangkap ekspresi Eliza."Nona baik-baik saja?" tanyanya khawatir.Eliza mengangguk, mencoba tersenyum. "Apa Damian sudah bangun?""Belum, Nona. Masih sangat pagi," jawab Kirana, melirik jam dinding yang menunjukkan pu

    Last Updated : 2025-04-09
  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 11: Gedung yang Berubah

    Lalu lintas Jakarta siang itu terasa lebih padat dari biasanya. Dari jendela Mercedes hitam yang dikemudikan Rafi, Damian memandang ke luar dengan pikiran kosong. Cincin pertunangan Eliza aman tersimpan di laci meja kerjanya, tapi liontin matahari miliknya masih berada di saku Damian—sentuhan dingin logam yang entah kenapa memberikan ketenangan aneh."Kau yakin tentang ini, Dam?" tanya Rafi, memecah keheningan. "Bertemu Vianna di kantor?""Lebih baik di kantor," jawab Damian datar. "Tempat netral, banyak saksi."Rafi mengangguk setuju, tapi ekspresinya tetap cemas. "Aku sudah mengirimkan file-file tentang pemecatan Vianna ke emailmu. Mungkin sebaiknya kau membacanya sebelum bertemu dengannya.""Nanti," gumam Damian, tatapannya masih tertuju ke luar jendela. Pikirannya masih dipenuhi surat Eliza, kata-kata yang begitu tulus hingga terasa seperti pisau yang mengiris. Bagaimana mungkin ia melupakan seseorang yang begitu berarti?Mobil berbelok masuk k

    Last Updated : 2025-04-10
  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 12: Produk yang Tak Dikenal

    "Lantai 20 sampai 25 adalah pusat pengembangan teknologi kita," jelas Rafi saat mereka keluar dari lift. Damian mengikuti dengan dahi berkerut, mencoba menyerap semua informasi baru. "Di sinilah tim kita mengembangkan seluruh lini produk HomeSense.""HomeSense," ulang Damian, merasakan nama itu di lidahnya. Dalam ingatannya, HomeSense hanyalah proyek konsep—sistem otomasi rumah sederhana yang baru dalam tahap pengembangan awal. "Ceritakan lebih banyak tentang itu."Rafi mengarahkannya ke sebuah ruangan luas dengan dinding kaca—innovation center yang dipenuhi insinyur dan desainer yang bekerja di berbagai workstation."HomeSense adalah flagship product LTI sekarang," Rafi mulai menjelaskan. "Kita meluncurkan versi pertamanya dua setengah tahun lalu—sistem otomasi rumah dasar dengan kontrol suara dan aplikasi. Sukses besar, tapi HomeSense 2.0 yang benar-benar mengubah perusahaan."Mereka berhenti di depan sebuah ruangan yang dirancang seperti apartemen mode

    Last Updated : 2025-04-10
  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 13: Rapat yang Kacau

    Gedung LTI pagi itu dipenuhi atmosfer tegang. Berita tentang kembalinya Damian ke kantor menyebar cepat, menciptakan gelombang spekulasi di kalangan karyawan. Berbagai skenario beredar—mulai dari kekhawatiran akan restrukturisasi hingga harapan akan kepemimpinan baru yang lebih segar.Damian memasuki ruang rapat di lantai 40 dengan langkah tegap yang tidak mencerminkan kegugupan di dalamnya. Ruangan berukuran besar itu memiliki jendela dari lantai hingga langit-langit, memberikan pemandangan 360 derajat kota Jakarta. Meja rapat oval besar terbuat dari kayu jati solid, dikelilingi kursi kulit hitam yang hampir semuanya telah terisi."Selamat pagi," sapa Damian, mengambil tempat di kepala meja. Rafi duduk di sebelah kanannya, memberinya anggukan penuh dukungan."Damian!" Robert Chen, anggota dewan senior, adalah yang pertama menyapanya. "Senang melihatmu kembali. Bagaimana kesehatanmu?""Membaik, terima kasih," jawab Damian singkat, menghindari detail

    Last Updated : 2025-04-10
  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 14: Saham Anjlok

    Headline surat kabar bisnis Jakarta pagi itu bagaikan tamparan keras:"SAHAM LTI ANJLOK 15% SETELAH KONFIRMASI AMNESIA CEO DAMIAN LESMANA"Damian membaca artikel tersebut dengan dahi berkerut dalam. Menurut laporan, sumber internal LTI mengonfirmasi bahwa ia menderita amnesia retrograde yang menghapus ingatannya selama tiga tahun terakhir—tepat periode di mana perusahaan mengalami transformasi terbesar."Siapa yang membocorkan ini?" geram Damian, membanting koran ke meja ruang kerjanya. Rafi berdiri di depannya, ekspresinya sama geramnya."Kita sedang menyelidikinya," jawab Rafi. "Tapi kerusakan sudah terjadi. Pasar bereaksi panik. Investor khawatir tentang stabilitas kepemimpinan perusahaan."

    Last Updated : 2025-04-11

Latest chapter

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 34: Perjanjian Tidak Terucap

    Apartemen Penthouse Dani Sasongko, 6 bulan laluMalam sudah larut di Jakarta ketika Vianna Darmawan menekan kode akses ke penthouse Dani di kawasan SCBD. Gedung-gedung pencakar langit berkilauan di kejauhan, termasuk menara LTI yang berdiri tegak dengan logo bercahaya di puncaknya—target mereka yang semakin dekat."Kau terlambat," sambut Dani yang sedang menuang wine merah ke decanter kristal. Layar besar di dinding menampilkan grafik pergerakan saham LTI dan DS Tech dalam tiga bulan terakhir. "Ada masalah?""Damian memintaku lembur untuk finalisasi kontrak Global Expansion," Vianna melepas high heels-nya, meletakkan tas di sofa. "Dia semakin bergantung padaku untuk keputusan strategis. Bagus untuk rencana kita."Dani meng

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 33: Kepentingan Bersama

    Conrad Hotel Jakarta, 18 bulan laluVianna Darmawan menyesap champagne-nya perlahan, mengamati kerlap-kerlip Jakarta dari rooftop bar mewah. Posisinya sebagai asisten eksekutif Damian Lesmana selama enam bulan telah memberinya akses ke lingkaran elit bisnis teknologi—jauh dari masa lalunya yang ingin ia kubur dalam-dalam. Dress hitam elegan yang ia kenakan adalah bukti perjalanan panjangnya, dari gadis miskin Cilandak menjadi wanita berpengaruh di jajaran eksekutif perusahaan teknologi terbesar di Indonesia."Tidak kusangka kau benar-benar berhasil masuk ke LTI," suara familiar menginterupsi lamunannya. Dani Sasongko muncul dengan setelan navy yang sempurna. Jam tangan Audemars Piguet melingkar di pergelangan tangannya, tanda kesuksesan DS Tech yang kini dihargai pasar. "Imprresif."

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 32: Pertemuan "Kebetulan"

    Skybar Altitude di lantai 56 sebuah gedung pencakar langit Jakarta menawarkan pemandangan kota yang spektakuler. Malam ini tempat itu setengah kosong—sempurna untuk pembicaraan privat. Lampu-lampu kota berkilauan seperti permata di bawah sana, pencahayaan temaram bar menciptakan atmosfer eksklusif.Vianna Darmawan, mengenakan gaun hitam ketat dan sepatu Christian Louboutin, menyesap martini-nya sambil menatap ke arah gedung LTI yang berkilau di kejauhan. Ia telah sengaja memilih meja dengan pemandangan langsung ke menara kaca itu—pengingat konstan tentang tujuannya."Maaf terlambat," suara bariton menginterupsi lamunannya. Dani Sasongko berdiri di sana, setelan abu-abu sempurna dan jam tangan Patek Philippe di pergelangan tangannya—simbol kesuksesan DS Tech Ventures.

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 31: Masa Lalu Tersembunyi

    Singapore Ritz-Carlton, 3 tahun lalu"Tech Innovation Summit" terpampang besar di banner-banner yang menghiasi ballroom hotel mewah. Para pengusaha teknologi elit dari seluruh Asia berkumpul, menikmati champagne sambil membicarakan investasi multi-juta dolar. Di salah satu sudut ruangan, seorang wanita muda dengan setelan hitam elegan mengamati kerumunan dengan tatapan kalkulatif. Vianna Darmawan, 26 tahun, mewakili GlobalPharm dalam konferensi bergengsi ini."Ms. Darmawan, benar?" seorang pria dengan aksen Amerika menyapanya. "Saya Dr. Wilson dari Stanford Research. Saya dengar presentasi Anda tentang integrasi AI dalam farmasi tadi sangat mengesankan."Vianna tersenyum sopan, menyembunyikan kegembiraan bahwa presentasi pertamanya mendapat pengakuan. "Terima kasih, Dr. Wilson. GlobalPharm berharap dapat menjalin kerja sama dengan laboratorium Anda di masa depan."Setelah beberapa menit berbasa-basi, Vianna melihat dua sosok yang menarik perhatia

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 30: Hujan dan Air Mata

    Hujan deras mengguyur Jakarta sore itu, menciptakan dinding air yang mengaburkan pandangan. Eliza berdiri diam di ambang pintu guest house yang selama beberapa minggu terakhir menjadi tempat tinggalnya. Berkat intervensi cepat Dr. Adrian yang diam-diam menormalisasi infusnya, ia telah pulih lebih cepat dari yang diperkirakan Vianna. Namun hatinya masih terasa kosong, sehampa mansion yang kini harus ia tinggalkan.Air mata mengalir di pipinya, bercampur dengan tetesan hujan yang membasahi wajahnya. Badannya masih terasa lemah, kepalanya pusing, namun rasa sakit fisik ini tidak sebanding dengan luka di hatinya.Eliza memandang ke sekeliling ruangan kecil yang telah menjadi tempat berlindungnya selama masa-masa sulit setelah Damian kehilangan ingatan. Kini ruangan itu hampir kosong—barang-barangnya sebagian besar telah diangkut ke apart

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 29: Kemenangan Vianna

    Di ruang VIP klinik LTI di lantai 10, Eliza terbaring dengan selang oksigen di hidungnya. Dua jam telah berlalu sejak ia kolaps di ruang konferensi. Dr. Maya Suryadi, dokter perusahaan, baru saja selesai memeriksanya untuk kedua kalinya. Damian berdiri di pojok ruangan, wajahnya menunjukkan campuran emosi—kemarahan, kebingungan, kelelahan, dan meski ia enggan mengakuinya, kekhawatiran. Kilatan ingatan yang ia alami tadi membuatnya gelisah, tapi ia menepis perasaan itu sebagai ilusi."Dia mengalami serangan panik akut disertai hiperventilasi," jelas Dr. Maya, melepas stetoskopnya. "Tekanan darahnya juga sangat rendah, 90/60, tidak ideal. Ditambah kadar gula darah di bawah normal. Apa dia memiliki riwayat kondisi ini sebelumnya?"Damian tidak menjawab, matanya menatap kosong ke arah jendela yang menampilkan langit Jakarta yang semakin

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 28: Eliza Terjatuh

    Tuduhan demi tuduhan Damian terus menghujani Eliza seperti pecahan kaca yang mengiris jiwanya. Tanpa sadar, ia meraih botol air di meja, tangannya gemetar saat meneguk isinya, berharap dapat menenangkan diri. Ruangan itu mulai terasa berputar, suara Damian semakin jauh seolah datang dari terowongan panjang. Vianna berdiri di belakang Damian, wajahnya menunjukkan simpati palsu namun matanya berkilat penuh kemenangan."Aku telah memeriksa semua kontrak yang kau tandatangani sebagai desainer HomeSense," Damian melanjutkan, suaranya dipenuhi kemarahan dan pengkhianatan. "Klausul royalti yang kau masukkan memberimu akses ke sebagian keuntungan produk. Awalnya kupikir itu wajar, tapi sekarang jelas itu bagian dari rencana besar. Berapa banyak informasi yang kau bagi dengan Dani dari hasil uji pasar kita? Data pengguna? Roadmap pengembangan?"

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 27: Tuduhan Brutal

    Ruang konferensi lantai 38 LTI berubah menjadi arena pertempuran emosional. Vianna meletakkan folder baru di hadapan Damian, membukanya dengan gerakan dramatis."Ini adalah dokumen yang memberatkan lainnya," ucapnya dengan nada profesional. "Perjanjian konfidensial antara Eliza dan DS Tech yang berhasil kami lacak."Damian menatap dokumen tersebut, rahangnya mengeras. Berita tender offer DS Tech masih menggantung di udara seperti kabut beracun, menciptakan ketegangan yang nyaris bisa disentuh. Di luar, langit Jakarta mulai menggelap dengan awan mendung, mencerminkan suasana di dalam ruangan."Katakan padaku, Eliza," suara Damian rendah dan berbahaya, seperti predator yang siap menyerang. "Apa tujuan sebenarnya kau mendekati LTI? Karena sekarang semua terlihat sangat jelas."

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 26: Konfrontasi Panas

    "Jadi ini yang kau sebut kebetulan?" Damian menggebrak meja, suaranya menggema di ruang konferensi kosong. "Mantan kekasihmu kebetulan menjadi investor LTI? Kebetulan menemuimu tepat saat aku mengalami amnesia? Dan kebetulan juga kalian berdua terlihat sangat akrab di kafe dua hari lalu?"Eliza berdiri kaku, masih terkejut dengan foto-foto yang ditunjukkan Vianna. Ada foto-foto lama dirinya dengan Dani di kampus—yang wajar dimiliki sebagai kenangan—tapi juga beberapa foto yang tampak baru dan diambil secara diam-diam, menunjukkan mereka bertemu di kafe dua hari lalu. Vianna telah menjelaskan dengan detail bagaimana DS Tech secara sistematis mengakuisisi saham LTI melalui berbagai perusahaan cangkang tepat setelah kecelakaan Damian."Itu bukan seperti yang kau pikirkan," Eliza berusaha menjelaskan, suaranya gemetar. "Ya, aku bertemu D

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status