Suara denting pecahan kaca memecah keheningan studio. Damian berdiri dengan napas memburu, tangan kanannya masih terkepal setelah menghantam bingkai lukisan di dinding. Serpihan kaca berserakan di lantai kayu, memantulkan cahaya pagi yang masuk melalui jendela tinggi studio.
"Semua ini bohong!" teriaknya, suaranya bergema di ruangan yang sekarang terasa terlalu sempit untuk menampung amarahnya.
Eliza mundur perlahan, matanya melebar menyaksikan Damian yang baru saja menghancurkan salah satu lukisan favorit mereka—pemandangan danau dengan dua siluet berpelukan di atas perahu kecil.
"Damian, kumohon..." bisiknya, suaranya bergetar.
Tapi Damian tidak mendengar. Atau lebih tepatnya, ia memilih untuk tidak mendengar. Pandangannya kini beralih ke lukisan "Memori yang Hilang" yang telah ia robek. Dengan langkah berat, ia mendekati tumpukan kanvas lain yang tersandar di dinding.
"Aku bukan kegelapan!" Damian mencengkeram tepi kanvas berikutnya. "Dan kau...
Matahari mulai condong ke barat ketika Eliza akhirnya meninggalkan studio. Setelah berjam-jam mengumpulkan serpihan lukisan dan merapikan kekacauan, wajahnya kini pucat dan kosong—seperti kanvas yang belum tersentuh kuas. Jejak air mata masih jelas terlihat, tapi ia sudah tidak mampu menangis lagi.Di tangannya tergenggam sebuah kotak kayu berukir, kotak yang biasa ia gunakan untuk menyimpan peralatan sketsanya yang paling berharga. Kini kotak itu berisi fragmen-fragmen lukisan yang bisa ia selamatkan—satu-satunya bukti fisik dari karya seninya yang telah hancur."Nona Eliza?" Kirana berdiri di pintu belakang mansion, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Tuan Damian mencari Anda."Eliza tersenyum lemah. "Dimana dia?""Di ruang kerjanya, dengan Tuan Rafi. Mereka sedang membahas sesuatu tentang perusahaan." Kirana mengamati keadaan Eliza dengan seksama. "Anda baik-baik saja, Nona? Mau saya buatkan teh?""Tidak perlu, Kirana. Terima kasih." Eliza mengg
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Eliza bangun dari tidur singkatnya. Lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan ia hampir tidak tidur semalaman. Dengan gerakan yang hampir otomatis, ia bersiap untuk hari yang ia tahu akan menjadi salah satu hari terberat dalam hidupnya.Meja kerjanya berantakan dengan sketsa desain yang belum selesai dan contoh font untuk proyek terbarunya—semua terlupakan di tengah kekacauan emosional. Dengan helaan napas berat, Eliza mengirim pesan singkat ke kliennya, meminta sedikit perpanjangan waktu. Biasanya ia tidak pernah terlambat menyelesaikan proyek, tapi kali ini situasinya berbeda.Kirana sudah aktif di dapur mansion ketika Eliza memasuki pintu belakang. Mata pelayan setia itu langsung menangkap ekspresi Eliza."Nona baik-baik saja?" tanyanya khawatir.Eliza mengangguk, mencoba tersenyum. "Apa Damian sudah bangun?""Belum, Nona. Masih sangat pagi," jawab Kirana, melirik jam dinding yang menunjukkan pu
Lalu lintas Jakarta siang itu terasa lebih padat dari biasanya. Dari jendela Mercedes hitam yang dikemudikan Rafi, Damian memandang ke luar dengan pikiran kosong. Cincin pertunangan Eliza aman tersimpan di laci meja kerjanya, tapi liontin matahari miliknya masih berada di saku Damian—sentuhan dingin logam yang entah kenapa memberikan ketenangan aneh."Kau yakin tentang ini, Dam?" tanya Rafi, memecah keheningan. "Bertemu Vianna di kantor?""Lebih baik di kantor," jawab Damian datar. "Tempat netral, banyak saksi."Rafi mengangguk setuju, tapi ekspresinya tetap cemas. "Aku sudah mengirimkan file-file tentang pemecatan Vianna ke emailmu. Mungkin sebaiknya kau membacanya sebelum bertemu dengannya.""Nanti," gumam Damian, tatapannya masih tertuju ke luar jendela. Pikirannya masih dipenuhi surat Eliza, kata-kata yang begitu tulus hingga terasa seperti pisau yang mengiris. Bagaimana mungkin ia melupakan seseorang yang begitu berarti?Mobil berbelok masuk k
"Lantai 20 sampai 25 adalah pusat pengembangan teknologi kita," jelas Rafi saat mereka keluar dari lift. Damian mengikuti dengan dahi berkerut, mencoba menyerap semua informasi baru. "Di sinilah tim kita mengembangkan seluruh lini produk HomeSense.""HomeSense," ulang Damian, merasakan nama itu di lidahnya. Dalam ingatannya, HomeSense hanyalah proyek konsep—sistem otomasi rumah sederhana yang baru dalam tahap pengembangan awal. "Ceritakan lebih banyak tentang itu."Rafi mengarahkannya ke sebuah ruangan luas dengan dinding kaca—innovation center yang dipenuhi insinyur dan desainer yang bekerja di berbagai workstation."HomeSense adalah flagship product LTI sekarang," Rafi mulai menjelaskan. "Kita meluncurkan versi pertamanya dua setengah tahun lalu—sistem otomasi rumah dasar dengan kontrol suara dan aplikasi. Sukses besar, tapi HomeSense 2.0 yang benar-benar mengubah perusahaan."Mereka berhenti di depan sebuah ruangan yang dirancang seperti apartemen mode
Gedung LTI pagi itu dipenuhi atmosfer tegang. Berita tentang kembalinya Damian ke kantor menyebar cepat, menciptakan gelombang spekulasi di kalangan karyawan. Berbagai skenario beredar—mulai dari kekhawatiran akan restrukturisasi hingga harapan akan kepemimpinan baru yang lebih segar.Damian memasuki ruang rapat di lantai 40 dengan langkah tegap yang tidak mencerminkan kegugupan di dalamnya. Ruangan berukuran besar itu memiliki jendela dari lantai hingga langit-langit, memberikan pemandangan 360 derajat kota Jakarta. Meja rapat oval besar terbuat dari kayu jati solid, dikelilingi kursi kulit hitam yang hampir semuanya telah terisi."Selamat pagi," sapa Damian, mengambil tempat di kepala meja. Rafi duduk di sebelah kanannya, memberinya anggukan penuh dukungan."Damian!" Robert Chen, anggota dewan senior, adalah yang pertama menyapanya. "Senang melihatmu kembali. Bagaimana kesehatanmu?""Membaik, terima kasih," jawab Damian singkat, menghindari detail
Headline surat kabar bisnis Jakarta pagi itu bagaikan tamparan keras:"SAHAM LTI ANJLOK 15% SETELAH KONFIRMASI AMNESIA CEO DAMIAN LESMANA"Damian membaca artikel tersebut dengan dahi berkerut dalam. Menurut laporan, sumber internal LTI mengonfirmasi bahwa ia menderita amnesia retrograde yang menghapus ingatannya selama tiga tahun terakhir—tepat periode di mana perusahaan mengalami transformasi terbesar."Siapa yang membocorkan ini?" geram Damian, membanting koran ke meja ruang kerjanya. Rafi berdiri di depannya, ekspresinya sama geramnya."Kita sedang menyelidikinya," jawab Rafi. "Tapi kerusakan sudah terjadi. Pasar bereaksi panik. Investor khawatir tentang stabilitas kepemimpinan perusahaan."
Kafe Enigma terletak di kawasan Senopati, jauh dari gedung pencakar langit SCBD. Desain interiornya perpaduan industrial dan vintage—dinding bata ekspos, lampu gantung dengan bohlam edison, dan furnitur kayu tua yang direstorasi. Tempat yang populer di kalangan profesional kreatif Jakarta.Damian tiba lima belas menit lebih awal, sengaja memilih meja di sudut yang sama seperti yang dideskripsikan Eliza dalam suratnya—tempat pertemuan pertama mereka tiga tahun lalu. Sepanjang perjalanan ke kafe, pikirannya dipenuhi strategi untuk menyelamatkan perusahaan dari krisis yang sedang terjadi. Tapi saat duduk menunggu, semua pikiran itu tergantikan oleh kegelisahan tentang pertemuan dengan Eliza.Tepat pukul dua, pintu kafe terbuka dan Eliza melangkah masuk. Bahkan dari kejauhan, Damian bisa melihat perubahan padanya—lingkaran hitam tipis di bawah matan
Sore menjelang di mansion Lesmana. Hujan rintik-rintik mulai turun, menciptakan melodi lembut di atap kaca studio lukis yang kini sepi. Tiga hari telah berlalu sejak pertemuan Damian dan Eliza di Kafe Enigma. Pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan tentatif—Eliza setuju membantu dengan preview HomeSense 3.0, tetapi hubungan personal mereka masih berada di zona abu-abu.Damian duduk di ruang kerjanya, jemarinya dengan cepat mengetik email kepada Michelle Tanuwijaya tentang persiapan event eksklusif untuk investor dan media terpilih. Meskipun saham LTI mulai menunjukkan tanda-tanda stabilisasi, ancaman dari Robert Chen masih menjadi bayang-bayang gelap yang mengganggu pikirannya."Kirana," panggil Damian saat melihat kepala pelayan setia keluarganya melewati pintu yang sedikit terbuka."Ya, Tuan?" Kirana muncul di ambang pintu, wajahnya selalu menampilkan ketenangan yang sama seperti yang Damian ingat."Tolong buatkan kopi. Sepertinya malam ini akan panja
Apartemen Penthouse Dani Sasongko, 6 bulan laluMalam sudah larut di Jakarta ketika Vianna Darmawan menekan kode akses ke penthouse Dani di kawasan SCBD. Gedung-gedung pencakar langit berkilauan di kejauhan, termasuk menara LTI yang berdiri tegak dengan logo bercahaya di puncaknya—target mereka yang semakin dekat."Kau terlambat," sambut Dani yang sedang menuang wine merah ke decanter kristal. Layar besar di dinding menampilkan grafik pergerakan saham LTI dan DS Tech dalam tiga bulan terakhir. "Ada masalah?""Damian memintaku lembur untuk finalisasi kontrak Global Expansion," Vianna melepas high heels-nya, meletakkan tas di sofa. "Dia semakin bergantung padaku untuk keputusan strategis. Bagus untuk rencana kita."Dani meng
Conrad Hotel Jakarta, 18 bulan laluVianna Darmawan menyesap champagne-nya perlahan, mengamati kerlap-kerlip Jakarta dari rooftop bar mewah. Posisinya sebagai asisten eksekutif Damian Lesmana selama enam bulan telah memberinya akses ke lingkaran elit bisnis teknologi—jauh dari masa lalunya yang ingin ia kubur dalam-dalam. Dress hitam elegan yang ia kenakan adalah bukti perjalanan panjangnya, dari gadis miskin Cilandak menjadi wanita berpengaruh di jajaran eksekutif perusahaan teknologi terbesar di Indonesia."Tidak kusangka kau benar-benar berhasil masuk ke LTI," suara familiar menginterupsi lamunannya. Dani Sasongko muncul dengan setelan navy yang sempurna. Jam tangan Audemars Piguet melingkar di pergelangan tangannya, tanda kesuksesan DS Tech yang kini dihargai pasar. "Imprresif."
Skybar Altitude di lantai 56 sebuah gedung pencakar langit Jakarta menawarkan pemandangan kota yang spektakuler. Malam ini tempat itu setengah kosong—sempurna untuk pembicaraan privat. Lampu-lampu kota berkilauan seperti permata di bawah sana, pencahayaan temaram bar menciptakan atmosfer eksklusif.Vianna Darmawan, mengenakan gaun hitam ketat dan sepatu Christian Louboutin, menyesap martini-nya sambil menatap ke arah gedung LTI yang berkilau di kejauhan. Ia telah sengaja memilih meja dengan pemandangan langsung ke menara kaca itu—pengingat konstan tentang tujuannya."Maaf terlambat," suara bariton menginterupsi lamunannya. Dani Sasongko berdiri di sana, setelan abu-abu sempurna dan jam tangan Patek Philippe di pergelangan tangannya—simbol kesuksesan DS Tech Ventures.
Singapore Ritz-Carlton, 3 tahun lalu"Tech Innovation Summit" terpampang besar di banner-banner yang menghiasi ballroom hotel mewah. Para pengusaha teknologi elit dari seluruh Asia berkumpul, menikmati champagne sambil membicarakan investasi multi-juta dolar. Di salah satu sudut ruangan, seorang wanita muda dengan setelan hitam elegan mengamati kerumunan dengan tatapan kalkulatif. Vianna Darmawan, 26 tahun, mewakili GlobalPharm dalam konferensi bergengsi ini."Ms. Darmawan, benar?" seorang pria dengan aksen Amerika menyapanya. "Saya Dr. Wilson dari Stanford Research. Saya dengar presentasi Anda tentang integrasi AI dalam farmasi tadi sangat mengesankan."Vianna tersenyum sopan, menyembunyikan kegembiraan bahwa presentasi pertamanya mendapat pengakuan. "Terima kasih, Dr. Wilson. GlobalPharm berharap dapat menjalin kerja sama dengan laboratorium Anda di masa depan."Setelah beberapa menit berbasa-basi, Vianna melihat dua sosok yang menarik perhatia
Hujan deras mengguyur Jakarta sore itu, menciptakan dinding air yang mengaburkan pandangan. Eliza berdiri diam di ambang pintu guest house yang selama beberapa minggu terakhir menjadi tempat tinggalnya. Berkat intervensi cepat Dr. Adrian yang diam-diam menormalisasi infusnya, ia telah pulih lebih cepat dari yang diperkirakan Vianna. Namun hatinya masih terasa kosong, sehampa mansion yang kini harus ia tinggalkan.Air mata mengalir di pipinya, bercampur dengan tetesan hujan yang membasahi wajahnya. Badannya masih terasa lemah, kepalanya pusing, namun rasa sakit fisik ini tidak sebanding dengan luka di hatinya.Eliza memandang ke sekeliling ruangan kecil yang telah menjadi tempat berlindungnya selama masa-masa sulit setelah Damian kehilangan ingatan. Kini ruangan itu hampir kosong—barang-barangnya sebagian besar telah diangkut ke apart
Di ruang VIP klinik LTI di lantai 10, Eliza terbaring dengan selang oksigen di hidungnya. Dua jam telah berlalu sejak ia kolaps di ruang konferensi. Dr. Maya Suryadi, dokter perusahaan, baru saja selesai memeriksanya untuk kedua kalinya. Damian berdiri di pojok ruangan, wajahnya menunjukkan campuran emosi—kemarahan, kebingungan, kelelahan, dan meski ia enggan mengakuinya, kekhawatiran. Kilatan ingatan yang ia alami tadi membuatnya gelisah, tapi ia menepis perasaan itu sebagai ilusi."Dia mengalami serangan panik akut disertai hiperventilasi," jelas Dr. Maya, melepas stetoskopnya. "Tekanan darahnya juga sangat rendah, 90/60, tidak ideal. Ditambah kadar gula darah di bawah normal. Apa dia memiliki riwayat kondisi ini sebelumnya?"Damian tidak menjawab, matanya menatap kosong ke arah jendela yang menampilkan langit Jakarta yang semakin
Tuduhan demi tuduhan Damian terus menghujani Eliza seperti pecahan kaca yang mengiris jiwanya. Tanpa sadar, ia meraih botol air di meja, tangannya gemetar saat meneguk isinya, berharap dapat menenangkan diri. Ruangan itu mulai terasa berputar, suara Damian semakin jauh seolah datang dari terowongan panjang. Vianna berdiri di belakang Damian, wajahnya menunjukkan simpati palsu namun matanya berkilat penuh kemenangan."Aku telah memeriksa semua kontrak yang kau tandatangani sebagai desainer HomeSense," Damian melanjutkan, suaranya dipenuhi kemarahan dan pengkhianatan. "Klausul royalti yang kau masukkan memberimu akses ke sebagian keuntungan produk. Awalnya kupikir itu wajar, tapi sekarang jelas itu bagian dari rencana besar. Berapa banyak informasi yang kau bagi dengan Dani dari hasil uji pasar kita? Data pengguna? Roadmap pengembangan?"
Ruang konferensi lantai 38 LTI berubah menjadi arena pertempuran emosional. Vianna meletakkan folder baru di hadapan Damian, membukanya dengan gerakan dramatis."Ini adalah dokumen yang memberatkan lainnya," ucapnya dengan nada profesional. "Perjanjian konfidensial antara Eliza dan DS Tech yang berhasil kami lacak."Damian menatap dokumen tersebut, rahangnya mengeras. Berita tender offer DS Tech masih menggantung di udara seperti kabut beracun, menciptakan ketegangan yang nyaris bisa disentuh. Di luar, langit Jakarta mulai menggelap dengan awan mendung, mencerminkan suasana di dalam ruangan."Katakan padaku, Eliza," suara Damian rendah dan berbahaya, seperti predator yang siap menyerang. "Apa tujuan sebenarnya kau mendekati LTI? Karena sekarang semua terlihat sangat jelas."
"Jadi ini yang kau sebut kebetulan?" Damian menggebrak meja, suaranya menggema di ruang konferensi kosong. "Mantan kekasihmu kebetulan menjadi investor LTI? Kebetulan menemuimu tepat saat aku mengalami amnesia? Dan kebetulan juga kalian berdua terlihat sangat akrab di kafe dua hari lalu?"Eliza berdiri kaku, masih terkejut dengan foto-foto yang ditunjukkan Vianna. Ada foto-foto lama dirinya dengan Dani di kampus—yang wajar dimiliki sebagai kenangan—tapi juga beberapa foto yang tampak baru dan diambil secara diam-diam, menunjukkan mereka bertemu di kafe dua hari lalu. Vianna telah menjelaskan dengan detail bagaimana DS Tech secara sistematis mengakuisisi saham LTI melalui berbagai perusahaan cangkang tepat setelah kecelakaan Damian."Itu bukan seperti yang kau pikirkan," Eliza berusaha menjelaskan, suaranya gemetar. "Ya, aku bertemu D