Matahari mulai condong ke barat ketika Eliza akhirnya meninggalkan studio. Setelah berjam-jam mengumpulkan serpihan lukisan dan merapikan kekacauan, wajahnya kini pucat dan kosong—seperti kanvas yang belum tersentuh kuas. Jejak air mata masih jelas terlihat, tapi ia sudah tidak mampu menangis lagi.
Di tangannya tergenggam sebuah kotak kayu berukir, kotak yang biasa ia gunakan untuk menyimpan peralatan sketsanya yang paling berharga. Kini kotak itu berisi fragmen-fragmen lukisan yang bisa ia selamatkan—satu-satunya bukti fisik dari karya seninya yang telah hancur.
"Nona Eliza?" Kirana berdiri di pintu belakang mansion, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Tuan Damian mencari Anda."
Eliza tersenyum lemah. "Dimana dia?"
"Di ruang kerjanya, dengan Tuan Rafi. Mereka sedang membahas sesuatu tentang perusahaan." Kirana mengamati keadaan Eliza dengan seksama. "Anda baik-baik saja, Nona? Mau saya buatkan teh?"
"Tidak perlu, Kirana. Terima kasih." Eliza mengg
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Eliza bangun dari tidur singkatnya. Lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan ia hampir tidak tidur semalaman. Dengan gerakan yang hampir otomatis, ia bersiap untuk hari yang ia tahu akan menjadi salah satu hari terberat dalam hidupnya.Meja kerjanya berantakan dengan sketsa desain yang belum selesai dan contoh font untuk proyek terbarunya—semua terlupakan di tengah kekacauan emosional. Dengan helaan napas berat, Eliza mengirim pesan singkat ke kliennya, meminta sedikit perpanjangan waktu. Biasanya ia tidak pernah terlambat menyelesaikan proyek, tapi kali ini situasinya berbeda.Kirana sudah aktif di dapur mansion ketika Eliza memasuki pintu belakang. Mata pelayan setia itu langsung menangkap ekspresi Eliza."Nona baik-baik saja?" tanyanya khawatir.Eliza mengangguk, mencoba tersenyum. "Apa Damian sudah bangun?""Belum, Nona. Masih sangat pagi," jawab Kirana, melirik jam dinding yang menunjukkan pu
Lalu lintas Jakarta siang itu terasa lebih padat dari biasanya. Dari jendela Mercedes hitam yang dikemudikan Rafi, Damian memandang ke luar dengan pikiran kosong. Cincin pertunangan Eliza aman tersimpan di laci meja kerjanya, tapi liontin matahari miliknya masih berada di saku Damian—sentuhan dingin logam yang entah kenapa memberikan ketenangan aneh."Kau yakin tentang ini, Dam?" tanya Rafi, memecah keheningan. "Bertemu Vianna di kantor?""Lebih baik di kantor," jawab Damian datar. "Tempat netral, banyak saksi."Rafi mengangguk setuju, tapi ekspresinya tetap cemas. "Aku sudah mengirimkan file-file tentang pemecatan Vianna ke emailmu. Mungkin sebaiknya kau membacanya sebelum bertemu dengannya.""Nanti," gumam Damian, tatapannya masih tertuju ke luar jendela. Pikirannya masih dipenuhi surat Eliza, kata-kata yang begitu tulus hingga terasa seperti pisau yang mengiris. Bagaimana mungkin ia melupakan seseorang yang begitu berarti?Mobil berbelok masuk k
"Lantai 20 sampai 25 adalah pusat pengembangan teknologi kita," jelas Rafi saat mereka keluar dari lift. Damian mengikuti dengan dahi berkerut, mencoba menyerap semua informasi baru. "Di sinilah tim kita mengembangkan seluruh lini produk HomeSense.""HomeSense," ulang Damian, merasakan nama itu di lidahnya. Dalam ingatannya, HomeSense hanyalah proyek konsep—sistem otomasi rumah sederhana yang baru dalam tahap pengembangan awal. "Ceritakan lebih banyak tentang itu."Rafi mengarahkannya ke sebuah ruangan luas dengan dinding kaca—innovation center yang dipenuhi insinyur dan desainer yang bekerja di berbagai workstation."HomeSense adalah flagship product LTI sekarang," Rafi mulai menjelaskan. "Kita meluncurkan versi pertamanya dua setengah tahun lalu—sistem otomasi rumah dasar dengan kontrol suara dan aplikasi. Sukses besar, tapi HomeSense 2.0 yang benar-benar mengubah perusahaan."Mereka berhenti di depan sebuah ruangan yang dirancang seperti apartemen mode
Gedung LTI pagi itu dipenuhi atmosfer tegang. Berita tentang kembalinya Damian ke kantor menyebar cepat, menciptakan gelombang spekulasi di kalangan karyawan. Berbagai skenario beredar—mulai dari kekhawatiran akan restrukturisasi hingga harapan akan kepemimpinan baru yang lebih segar.Damian memasuki ruang rapat di lantai 40 dengan langkah tegap yang tidak mencerminkan kegugupan di dalamnya. Ruangan berukuran besar itu memiliki jendela dari lantai hingga langit-langit, memberikan pemandangan 360 derajat kota Jakarta. Meja rapat oval besar terbuat dari kayu jati solid, dikelilingi kursi kulit hitam yang hampir semuanya telah terisi."Selamat pagi," sapa Damian, mengambil tempat di kepala meja. Rafi duduk di sebelah kanannya, memberinya anggukan penuh dukungan."Damian!" Robert Chen, anggota dewan senior, adalah yang pertama menyapanya. "Senang melihatmu kembali. Bagaimana kesehatanmu?""Membaik, terima kasih," jawab Damian singkat, menghindari detail
Headline surat kabar bisnis Jakarta pagi itu bagaikan tamparan keras:"SAHAM LTI ANJLOK 15% SETELAH KONFIRMASI AMNESIA CEO DAMIAN LESMANA"Damian membaca artikel tersebut dengan dahi berkerut dalam. Menurut laporan, sumber internal LTI mengonfirmasi bahwa ia menderita amnesia retrograde yang menghapus ingatannya selama tiga tahun terakhir—tepat periode di mana perusahaan mengalami transformasi terbesar."Siapa yang membocorkan ini?" geram Damian, membanting koran ke meja ruang kerjanya. Rafi berdiri di depannya, ekspresinya sama geramnya."Kita sedang menyelidikinya," jawab Rafi. "Tapi kerusakan sudah terjadi. Pasar bereaksi panik. Investor khawatir tentang stabilitas kepemimpinan perusahaan."
Kafe Enigma terletak di kawasan Senopati, jauh dari gedung pencakar langit SCBD. Desain interiornya perpaduan industrial dan vintage—dinding bata ekspos, lampu gantung dengan bohlam edison, dan furnitur kayu tua yang direstorasi. Tempat yang populer di kalangan profesional kreatif Jakarta.Damian tiba lima belas menit lebih awal, sengaja memilih meja di sudut yang sama seperti yang dideskripsikan Eliza dalam suratnya—tempat pertemuan pertama mereka tiga tahun lalu. Sepanjang perjalanan ke kafe, pikirannya dipenuhi strategi untuk menyelamatkan perusahaan dari krisis yang sedang terjadi. Tapi saat duduk menunggu, semua pikiran itu tergantikan oleh kegelisahan tentang pertemuan dengan Eliza.Tepat pukul dua, pintu kafe terbuka dan Eliza melangkah masuk. Bahkan dari kejauhan, Damian bisa melihat perubahan padanya—lingkaran hitam tipis di bawah matan
Sore menjelang di mansion Lesmana. Hujan rintik-rintik mulai turun, menciptakan melodi lembut di atap kaca studio lukis yang kini sepi. Tiga hari telah berlalu sejak pertemuan Damian dan Eliza di Kafe Enigma. Pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan tentatif—Eliza setuju membantu dengan preview HomeSense 3.0, tetapi hubungan personal mereka masih berada di zona abu-abu.Damian duduk di ruang kerjanya, jemarinya dengan cepat mengetik email kepada Michelle Tanuwijaya tentang persiapan event eksklusif untuk investor dan media terpilih. Meskipun saham LTI mulai menunjukkan tanda-tanda stabilisasi, ancaman dari Robert Chen masih menjadi bayang-bayang gelap yang mengganggu pikirannya."Kirana," panggil Damian saat melihat kepala pelayan setia keluarganya melewati pintu yang sedikit terbuka."Ya, Tuan?" Kirana muncul di ambang pintu, wajahnya selalu menampilkan ketenangan yang sama seperti yang Damian ingat."Tolong buatkan kopi. Sepertinya malam ini akan panja
Langit Jakarta masih mendung ketika Damian melangkah memasuki lobi gedung LTI. Jam tangannya menunjukkan pukul 09:45, memberinya waktu lima belas menit sebelum pertemuan dengan Vianna."Pagi, Tuan Lesmana," sapa resepsionis. "Tuan Pratama sudah menunggu di ruang meeting lantai 38.""Terima kasih," Damian mengangguk singkat, melangkah menuju lift eksekutif.Di perjalanan naik, Damian mengulang rencana mereka. Rafi akan hadir sebagai saksi, merekam pembicaraan secara diam-diam. Michael Wong ditempatkan di ruangan sebelah dengan akses audio, memberikan informasi melalui earpiece tersembunyi yang kini Damian kenakan.Pintu lift terbuka di lantai 38. Rafi sudah menunggu, wajahnya menunjukkan kecemasan."Dia sudah datang?" tanya Damian."Belum," jawab Rafi. "Tapi keamanan memberitahu dia sedang dalam perjalanan naik. Dam, sekali lagi kuperingatkan—""Aku tahu," potong Damian pelan. "Jangan percaya apapun yang dia katakan tanpa bukti konkret
Laboratorium GlobalPharm, 4 tahun lalu.Vianna Darmawan berdiri dengan punggung tegak di depan Direktur Penelitian, Dr. Hendrik Santoso. Ruangan kantor itu dingin, baik dari suhu AC maupun dari atmosfer pembicaraan yang sedang berlangsung. Cahaya dari jendela kaca besar menyorot wajah Vianna yang tenang, namun matanya menyimpan determinasi kuat."Jadi kau ingin pindah ke divisi eksekutif?" Dr. Hendrik mengangkat alisnya, menatap Vianna dengan skeptis. "Setelah semua investasi yang kami tanamkan untuk pelatihanmu di divisi neuropharmaceutical?""Dengan segala hormat, Dr. Hendrik," Vianna tersenyum profesional, merapikan blazernya, "bakatku lebih cocok di bidang manajemen dan pemasaran. Dua tahun di lab sudah cukup memberiku pemahaman tentang produk kita.""Kau adalah salah satu peneliti paling berbakat dalam tim MX series," Dr. Hendrik bersandar di kursinya, melepas kacamata. "Keputusan ini akan menghambat karirmu.""Atau justru mempercepa
Dengan tangan sedikit gemetar, Damian membawa album foto ke kamarnya. Ia mengunci pintu, tidak ingin terganggu oleh siapapun, bahkan Kirana. Duduk di tepi tempat tidur, ia menarik napas dalam sebelum membuka cover navy blue album tersebut.Halaman pertama menampilkan tulisan tangan yang rapi:"Untuk Damian, cinta dan sahabat terbaikku. Tiga tahun yang mengubah hidupku. Tiga tahun penuh tawa, air mata, dan cinta yang terus bertumbuh. Ini kisah kita, dan masih banyak halaman kosong untuk diisi bersama. Selamanya. — Eliza."Tanggal di sudut halaman menunjukkan bahwa album ini diberikan hanya dua minggu sebelum kecelakaannya.Damian membalik ke halaman berikutnya dan menemukan foto pertama—dirinya dan Eliza di Kafe Enigma, Eliza tampak malu dengan noda kopi di kemejanya, sementara Damian tertawa. Di bawahnya tertulis: "Pertemuan pertama. Noda kopi dan permintaan maaf yang mengubah segalanya."Halaman demi halaman berisi kenangan yang tidak bi
Kafe Enigma terletak di sudut jalan yang tenang di kawasan Kemang, jauh dari kantor-kantor di area bisnis Jakarta. Damian tiba lima belas menit lebih awal, memilih meja di sudut yang tersembunyi namun memberinya pandangan jelas ke pintu masuk dan jalan di luar.Ia telah mengambil beberapa langkah pencegahan—menggunakan taksi biasa alih-alih mobil pribadinya, mengenakan pakaian kasual dan topi, serta meninggalkan ponsel utamanya di rumah, hanya membawa ponsel cadangan yang baru diaktifkan.Tepat pukul 7, Eliza memasuki kafe. Meski Damian tidak sepenuhnya mengingatnya, ada perasaan familiar yang hangat saat melihatnya—rambut hitam panjang yang tergerai, mata cokelat yang ekspresif, dan postur yang anggun namun sedikit tegang. Dia mengenakan jeans dan kemeja putih sederhana, jauh berbeda dari gambaran "perempuan matre" yang dijelaskan Vianna."Damian," Eliza tersenyum ragu saat menghampiri mejanya. "Terima kasih sudah m
"Halo? Damian?" suara Eliza terdengar tidak percaya di ujung sambungan."Eliza," Damian menjawab, suaranya lebih lembut dari yang ia perkirakan. "Aku... aku perlu bicara denganmu.""Apa kau..." Eliza terdengar ragu, "...kau mengingatku?""Tidak sepenuhnya," jawab Damian jujur. "Tapi aku baru saja mengalami semacam kilasan ingatan. Tentang kita, berlari di bawah hujan."Jeda sejenak. "Menuju studio lukis," Eliza melanjutkan dengan suara bergetar. "Kau datang memperingatkanku tentang badai, dan aku terpeleset.""Kau ingat," gumam Damian, merasa aneh menemukan konfirmasi atas memori yang bahkan tidak sepenuhnya ia yakini nyata. "Eliza, apa yang sebenarnya terjadi? Antara kita, kecelakaanku, Vi
Hujan masih turun deras ketika mobil Damian memasuki pekarangan mansion. Meski Vianna menawarkan untuk menginap di mansionnya, Damian dengan halus menolak, beralasan perlu menyiapkan presentasi untuk besok pagi. Kenyataannya, ia membutuhkan ruang untuk berpikir tanpa pengaruh siapapun."Kita bertemu besok di kantor?" tanya Vianna, masih duduk di mobil."Tentu," jawab Damian. "Terima kasih untuk makan malamnya."Begitu mobil Vianna menghilang di balik gerbang, Damian merasakan kelegaan aneh. Ia berdiri sejenak di teras, memandangi taman yang basah oleh hujan."Tuan mau saya siapkan teh hangat?" tanya Kirana, kepala pelayan yang sudah melayani keluarga Lesmana selama dua dekade."Terima kasih
Restaurant Skye di lantai 56 sebuah gedung pencakar langit menawarkan pemandangan Jakarta yang memukau. Cahaya lampu kota berpendar di bawah, sementara langit malam masih diselimuti mendung. Damian Lesmana duduk di meja dekat jendela, berhadapan dengan Vianna Darmawan yang mengenakan gaun hitam elegan. Malam ini adalah makan malam perayaan keberhasilan penyelamatan saham LTI dari jatuh lebih dalam."Mengesankan bagaimana kau bisa meyakinkan para investor hanya dalam tiga hari," puji Vianna, mengangkat gelasnya. "Kurasa insting bisnismu tetap tajam meski ingatanmu tidak."Damian tersenyum tipis. "Sebuah perusahaan adalah seperti tubuh. Bahkan jika kau lupa namanya, kau masih bisa merasakan bagaimana ia bekerja."Mereka bersulang, namun Damian tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menggan
DS Gallery berdiri megah di kawasan elit Menteng, menempati bangunan kolonial yang direstorasi dengan sempurna. Fasadnya putih dengan aksen hitam, jendela-jendela tinggi bergaya art deco, dan taman kecil terawat di bagian depan. Eliza berdiri di depan pintu kaca besar, mengamati detail arsitektur sambil mengumpulkan keberanian.Setelah perdebatan panjang dengan Nadira pagi tadi, Eliza akhirnya datang sendirian. Bukan untuk menerima tawaran—setidaknya itulah yang ia terus katakan pada dirinya sendiri—tapi untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri."Kau benar-benar datang," suara Dani menyambutnya begitu ia melangkah ke dalam lobi. Pria itu mengenakan setelan abu-abu dengan dasi biru tua, terlihat jauh lebih dewasa dan sukses dari Dani yang Eliza kenal di masa kuliah."Aku penas
Eliza duduk meringkuk di tepi tempat tidur kamar tamu Nadira, mengenakan sweater abu-abu yang kebesaran. Di luar, hujan masih setia mengguyur Jakarta sejak tiga hari lalu. Ia menatap kosong pada portfolio yang terbuka di laptopnya—desain-desain yang dulu ia kerjakan dengan penuh semangat kini terasa tanpa makna."Masih belum ada inspirasi?" Nadira muncul di ambang pintu, membawa secangkir teh hangat.Eliza menggeleng lemah. "Aku bahkan tidak bisa menyelesaikan desain yang paling sederhana. Pikiranku terus... kembali padanya."Nadira duduk di sampingnya, menyodorkan teh yang diterima Eliza dengan tangan sedikit gemetar. "Sudah coba menghubunginya lagi?""Nomornya sudah diblokir," jawab Eliza, tersenyum getir. "Atau mungkin diganti. Ent
Ponsel Eliza masih berdering. Pesan Dr. Adrian menampilkan peringatan jelas, tapi juga instruksi untuk bersikap normal. Dengan tangan sedikit gemetar, Eliza menggeser tombol hijau dan mengaktifkan speaker."Jangan tutup teleponnya!" suara Dani terdengar mendesak, seolah membaca keraguan Eliza.Eliza menatap Nadira dengan was-was, pesan Dr. Adrian masih terbuka di layar tablet di sampingnya. "Apa maumu, Dani?" tanyanya, berusaha terdengar dingin namun tidak mencurigakan."Aku tahu kau sedang kesulitan setelah... yang terjadi dengan Damian," suara Dani terdengar prihatin, hampir terlalu sempurna untuk menjadi tulus. "Aku hanya ingin membantu.""Membantuku?" Eliza tertawa getir, tidak perlu berpura-pura untuk bagian ini. "Seperti kau 'membantu