Headline surat kabar bisnis Jakarta pagi itu bagaikan tamparan keras:
"SAHAM LTI ANJLOK 15% SETELAH KONFIRMASI AMNESIA CEO DAMIAN LESMANA"
Damian membaca artikel tersebut dengan dahi berkerut dalam. Menurut laporan, sumber internal LTI mengonfirmasi bahwa ia menderita amnesia retrograde yang menghapus ingatannya selama tiga tahun terakhir—tepat periode di mana perusahaan mengalami transformasi terbesar.
"Siapa yang membocorkan ini?" geram Damian, membanting koran ke meja ruang kerjanya. Rafi berdiri di depannya, ekspresinya sama geramnya.
"Kita sedang menyelidikinya," jawab Rafi. "Tapi kerusakan sudah terjadi. Pasar bereaksi panik. Investor khawatir tentang stabilitas kepemimpinan perusahaan."
Kafe Enigma terletak di kawasan Senopati, jauh dari gedung pencakar langit SCBD. Desain interiornya perpaduan industrial dan vintage—dinding bata ekspos, lampu gantung dengan bohlam edison, dan furnitur kayu tua yang direstorasi. Tempat yang populer di kalangan profesional kreatif Jakarta.Damian tiba lima belas menit lebih awal, sengaja memilih meja di sudut yang sama seperti yang dideskripsikan Eliza dalam suratnya—tempat pertemuan pertama mereka tiga tahun lalu. Sepanjang perjalanan ke kafe, pikirannya dipenuhi strategi untuk menyelamatkan perusahaan dari krisis yang sedang terjadi. Tapi saat duduk menunggu, semua pikiran itu tergantikan oleh kegelisahan tentang pertemuan dengan Eliza.Tepat pukul dua, pintu kafe terbuka dan Eliza melangkah masuk. Bahkan dari kejauhan, Damian bisa melihat perubahan padanya—lingkaran hitam tipis di bawah matan
Sore menjelang di mansion Lesmana. Hujan rintik-rintik mulai turun, menciptakan melodi lembut di atap kaca studio lukis yang kini sepi. Tiga hari telah berlalu sejak pertemuan Damian dan Eliza di Kafe Enigma. Pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan tentatif—Eliza setuju membantu dengan preview HomeSense 3.0, tetapi hubungan personal mereka masih berada di zona abu-abu.Damian duduk di ruang kerjanya, jemarinya dengan cepat mengetik email kepada Michelle Tanuwijaya tentang persiapan event eksklusif untuk investor dan media terpilih. Meskipun saham LTI mulai menunjukkan tanda-tanda stabilisasi, ancaman dari Robert Chen masih menjadi bayang-bayang gelap yang mengganggu pikirannya."Kirana," panggil Damian saat melihat kepala pelayan setia keluarganya melewati pintu yang sedikit terbuka."Ya, Tuan?" Kirana muncul di ambang pintu, wajahnya selalu menampilkan ketenangan yang sama seperti yang Damian ingat."Tolong buatkan kopi. Sepertinya malam ini akan panja
Langit Jakarta masih mendung ketika Damian melangkah memasuki lobi gedung LTI. Jam tangannya menunjukkan pukul 09:45, memberinya waktu lima belas menit sebelum pertemuan dengan Vianna."Pagi, Tuan Lesmana," sapa resepsionis. "Tuan Pratama sudah menunggu di ruang meeting lantai 38.""Terima kasih," Damian mengangguk singkat, melangkah menuju lift eksekutif.Di perjalanan naik, Damian mengulang rencana mereka. Rafi akan hadir sebagai saksi, merekam pembicaraan secara diam-diam. Michael Wong ditempatkan di ruangan sebelah dengan akses audio, memberikan informasi melalui earpiece tersembunyi yang kini Damian kenakan.Pintu lift terbuka di lantai 38. Rafi sudah menunggu, wajahnya menunjukkan kecemasan."Dia sudah datang?" tanya Damian."Belum," jawab Rafi. "Tapi keamanan memberitahu dia sedang dalam perjalanan naik. Dam, sekali lagi kuperingatkan—""Aku tahu," potong Damian pelan. "Jangan percaya apapun yang dia katakan tanpa bukti konkret
Damian menatap pesan Eliza di ponselnya sekali lagi. Kafe Enigma, jam 2. Jemarinya mengetikkan balasan singkat: "Maaf, ada urusan mendadak. Bisakah kita reschedule besok?" Meski sebagian dirinya ingin langsung mengonfrontasi Eliza tentang Dani Sasongko, instingnya mengatakan ia perlu lebih banyak informasi terlebih dahulu.Lima menit kemudian, pesan lain masuk di ponselnya. Bukan dari Eliza, tapi dari Vianna: "Aku punya kenangan pribadi yang mungkin membantu ingatanmu. Makan siang di Altitude Restaurant, Hotel Mulia, 12:30?"Damian meraih jasnya, memutuskan untuk bertemu Vianna. Bukan karena mempercayainya, tapi untuk memahami lebih jauh permainan yang sedang dijalankan wanita itu."Terima kasih sudah meluangkan waktu, Damian," sapa Vianna saat Damian tiba di restoran mewah lantai atas Hotel Mulia. Dia terlihat anggun dalam dress navy yang elegan."Langsung saja, Ms. Darmawan," Damian duduk tanpa basa-basi. "Kau bilang memiliki informasi
Amplop yang diberikan Vianna terasa berat di saku jas Damian. Sepanjang perjalanan dari Hotel Mulia kembali ke kantor LTI, pikirannya dipenuhi tanda tanya. Siapa yang mengirim pesan misterius tentang neurotoksin? Bagaimana Vianna mengetahui detail-detail pribadinya yang begitu spesifik?Di ruang kerjanya, Damian memastikan pintu terkunci sebelum mengeluarkan amplop pemberian Vianna. Dengan hati-hati, ia menumpahkan isinya ke atas meja—lebih banyak foto, beberapa tiket konser dengan tanggal tiga tahun lalu, dan sepucuk surat dengan tulisan tangan yang mengklaim sebagai tulisannya sendiri.Foto-foto itu menunjukkan dirinya dan Vianna dalam berbagai kesempatan dan lokasi. Damian mengamati tiap foto dengan cermat, mencari tanda-tanda manipulasi digital. Beberapa terlihat meyakinkan, tapi beberapa lainnya mencurigakan.Ponselnya berdering. Rafi."Kau di mana?" tanya Rafi langsung. "Aku mencarimu sejak tadi.""Di kantorku," jawab Damian. "Ada perkembanga
Cilandak, Jakarta Selatan, 1998.Hujan deras mengguyur permukiman kumuh di pinggiran kota. Di salah satu rumah berdinding triplek tipis, seorang gadis berusia enam belas tahun meringkuk di sudut kamar sempit, kedua tangannya menutup telinga. Di luar, teriakan ayahnya yang mabuk bercampur dengan suara tangis ibunya."Aku sudah muak dengan kehidupan ini!" teriak sang ayah, diikuti suara barang pecah. "Sudah cukup susah mencari uang, dan kau masih minta lebih?""Aku hanya minta uang untuk sekolah Vianna," suara lemah ibunya terdengar memohon. "Dia pintar, dia bisa jadi orang. Tidak seperti kita."Tamparan keras terdengar, diikuti isak tangis tertahan.Vianna Hartati—nama aslinya sebelum mengubahnya menjadi Vianna Darmawan—mengepalkan tangannya erat-erat. Air mata mengalir di pipinya yang tirus, tapi tidak ada isakan yang keluar. Dia sudah lama belajar untuk menangis dalam diam.Di tangannya tergenggam surat pemberitahuan beasiswa da
Sore itu, Galeri Spectrum diselimuti cahaya lembut senja yang menembus jendela kaca besar. Eliza Valentina sedang menyelesaikan penyusunan katalog pameran tunggalnya yang akan dibuka minggu depan. Meski tangannya sibuk bekerja, pikirannya terus melayang pada Damian dan situasi rumit yang mereka hadapi. Upayanya mengalihkan pikiran dari kekacauan hubungan mereka tampak sia-sia."Mungkin warna biru lebih cocok untuk sampulnya," gumam Eliza pada dirinya sendiri, jemarinya dengan cekatan mengganti template di laptopnya. Sudah hampir tiga jam ia berkutat dengan desain yang sama, mencoba mencapai kesempurnaan yang mungkin hanya pengalihan dari masalah pribadinya."Kau selalu menyukai warna biru. Beberapa hal tidak berubah, ya?"Suara familiar itu membuat Eliza seketika membeku. Detak jantungnya terasa berhenti sesaat. Perlahan ia mengangkat wajah, matanya melebar melihat sosok di depannya. Tidak mungkin, pikirnya, ini pasti halusina
Keesokan harinya, Eliza duduk gelisah di kafe kecil tidak jauh dari apartemennya, jemarinya terus menggenggam liontin matahari di lehernya seperti jimat perlindungan. Semalaman ia nyaris tidak bisa tidur, memikirkan pesan misterius Dani dan potensi keterlibatannya dalam situasi Damian. Apakah ia harus mempercayai pria yang pernah menghancurkan hatinya lima tahun lalu?Pengunjung kafe pagi itu sedikit, kebanyakan pekerja kantoran yang mampir sebelum berangkat kerja. Dinding kaca kafe memperlihatkan kesibukan jalan di luar, kontras dengan kegelisahan Eliza yang tertahan. Ia telah tiba lima belas menit lebih awal, memesan secangkir teh herbal yang kini hampir tak tersentuh.Tepat pukul sepuluh, Dani memasuki kafe, mengenakan pakaian yang jauh lebih kasual dibandingkan penampilannya di galeri kemarin—kemeja lengan panjang digulung dan celana chino, tampak lebih seperti Dani yang dulu ia kenal. Tanpa jas dan dasi, ia terlihat lebih manusiawi, lebih d
Laboratorium GlobalPharm, 4 tahun lalu.Vianna Darmawan berdiri dengan punggung tegak di depan Direktur Penelitian, Dr. Hendrik Santoso. Ruangan kantor itu dingin, baik dari suhu AC maupun dari atmosfer pembicaraan yang sedang berlangsung. Cahaya dari jendela kaca besar menyorot wajah Vianna yang tenang, namun matanya menyimpan determinasi kuat."Jadi kau ingin pindah ke divisi eksekutif?" Dr. Hendrik mengangkat alisnya, menatap Vianna dengan skeptis. "Setelah semua investasi yang kami tanamkan untuk pelatihanmu di divisi neuropharmaceutical?""Dengan segala hormat, Dr. Hendrik," Vianna tersenyum profesional, merapikan blazernya, "bakatku lebih cocok di bidang manajemen dan pemasaran. Dua tahun di lab sudah cukup memberiku pemahaman tentang produk kita.""Kau adalah salah satu peneliti paling berbakat dalam tim MX series," Dr. Hendrik bersandar di kursinya, melepas kacamata. "Keputusan ini akan menghambat karirmu.""Atau justru mempercepa
Dengan tangan sedikit gemetar, Damian membawa album foto ke kamarnya. Ia mengunci pintu, tidak ingin terganggu oleh siapapun, bahkan Kirana. Duduk di tepi tempat tidur, ia menarik napas dalam sebelum membuka cover navy blue album tersebut.Halaman pertama menampilkan tulisan tangan yang rapi:"Untuk Damian, cinta dan sahabat terbaikku. Tiga tahun yang mengubah hidupku. Tiga tahun penuh tawa, air mata, dan cinta yang terus bertumbuh. Ini kisah kita, dan masih banyak halaman kosong untuk diisi bersama. Selamanya. — Eliza."Tanggal di sudut halaman menunjukkan bahwa album ini diberikan hanya dua minggu sebelum kecelakaannya.Damian membalik ke halaman berikutnya dan menemukan foto pertama—dirinya dan Eliza di Kafe Enigma, Eliza tampak malu dengan noda kopi di kemejanya, sementara Damian tertawa. Di bawahnya tertulis: "Pertemuan pertama. Noda kopi dan permintaan maaf yang mengubah segalanya."Halaman demi halaman berisi kenangan yang tidak bi
Kafe Enigma terletak di sudut jalan yang tenang di kawasan Kemang, jauh dari kantor-kantor di area bisnis Jakarta. Damian tiba lima belas menit lebih awal, memilih meja di sudut yang tersembunyi namun memberinya pandangan jelas ke pintu masuk dan jalan di luar.Ia telah mengambil beberapa langkah pencegahan—menggunakan taksi biasa alih-alih mobil pribadinya, mengenakan pakaian kasual dan topi, serta meninggalkan ponsel utamanya di rumah, hanya membawa ponsel cadangan yang baru diaktifkan.Tepat pukul 7, Eliza memasuki kafe. Meski Damian tidak sepenuhnya mengingatnya, ada perasaan familiar yang hangat saat melihatnya—rambut hitam panjang yang tergerai, mata cokelat yang ekspresif, dan postur yang anggun namun sedikit tegang. Dia mengenakan jeans dan kemeja putih sederhana, jauh berbeda dari gambaran "perempuan matre" yang dijelaskan Vianna."Damian," Eliza tersenyum ragu saat menghampiri mejanya. "Terima kasih sudah m
"Halo? Damian?" suara Eliza terdengar tidak percaya di ujung sambungan."Eliza," Damian menjawab, suaranya lebih lembut dari yang ia perkirakan. "Aku... aku perlu bicara denganmu.""Apa kau..." Eliza terdengar ragu, "...kau mengingatku?""Tidak sepenuhnya," jawab Damian jujur. "Tapi aku baru saja mengalami semacam kilasan ingatan. Tentang kita, berlari di bawah hujan."Jeda sejenak. "Menuju studio lukis," Eliza melanjutkan dengan suara bergetar. "Kau datang memperingatkanku tentang badai, dan aku terpeleset.""Kau ingat," gumam Damian, merasa aneh menemukan konfirmasi atas memori yang bahkan tidak sepenuhnya ia yakini nyata. "Eliza, apa yang sebenarnya terjadi? Antara kita, kecelakaanku, Vi
Hujan masih turun deras ketika mobil Damian memasuki pekarangan mansion. Meski Vianna menawarkan untuk menginap di mansionnya, Damian dengan halus menolak, beralasan perlu menyiapkan presentasi untuk besok pagi. Kenyataannya, ia membutuhkan ruang untuk berpikir tanpa pengaruh siapapun."Kita bertemu besok di kantor?" tanya Vianna, masih duduk di mobil."Tentu," jawab Damian. "Terima kasih untuk makan malamnya."Begitu mobil Vianna menghilang di balik gerbang, Damian merasakan kelegaan aneh. Ia berdiri sejenak di teras, memandangi taman yang basah oleh hujan."Tuan mau saya siapkan teh hangat?" tanya Kirana, kepala pelayan yang sudah melayani keluarga Lesmana selama dua dekade."Terima kasih
Restaurant Skye di lantai 56 sebuah gedung pencakar langit menawarkan pemandangan Jakarta yang memukau. Cahaya lampu kota berpendar di bawah, sementara langit malam masih diselimuti mendung. Damian Lesmana duduk di meja dekat jendela, berhadapan dengan Vianna Darmawan yang mengenakan gaun hitam elegan. Malam ini adalah makan malam perayaan keberhasilan penyelamatan saham LTI dari jatuh lebih dalam."Mengesankan bagaimana kau bisa meyakinkan para investor hanya dalam tiga hari," puji Vianna, mengangkat gelasnya. "Kurasa insting bisnismu tetap tajam meski ingatanmu tidak."Damian tersenyum tipis. "Sebuah perusahaan adalah seperti tubuh. Bahkan jika kau lupa namanya, kau masih bisa merasakan bagaimana ia bekerja."Mereka bersulang, namun Damian tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menggan
DS Gallery berdiri megah di kawasan elit Menteng, menempati bangunan kolonial yang direstorasi dengan sempurna. Fasadnya putih dengan aksen hitam, jendela-jendela tinggi bergaya art deco, dan taman kecil terawat di bagian depan. Eliza berdiri di depan pintu kaca besar, mengamati detail arsitektur sambil mengumpulkan keberanian.Setelah perdebatan panjang dengan Nadira pagi tadi, Eliza akhirnya datang sendirian. Bukan untuk menerima tawaran—setidaknya itulah yang ia terus katakan pada dirinya sendiri—tapi untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri."Kau benar-benar datang," suara Dani menyambutnya begitu ia melangkah ke dalam lobi. Pria itu mengenakan setelan abu-abu dengan dasi biru tua, terlihat jauh lebih dewasa dan sukses dari Dani yang Eliza kenal di masa kuliah."Aku penas
Eliza duduk meringkuk di tepi tempat tidur kamar tamu Nadira, mengenakan sweater abu-abu yang kebesaran. Di luar, hujan masih setia mengguyur Jakarta sejak tiga hari lalu. Ia menatap kosong pada portfolio yang terbuka di laptopnya—desain-desain yang dulu ia kerjakan dengan penuh semangat kini terasa tanpa makna."Masih belum ada inspirasi?" Nadira muncul di ambang pintu, membawa secangkir teh hangat.Eliza menggeleng lemah. "Aku bahkan tidak bisa menyelesaikan desain yang paling sederhana. Pikiranku terus... kembali padanya."Nadira duduk di sampingnya, menyodorkan teh yang diterima Eliza dengan tangan sedikit gemetar. "Sudah coba menghubunginya lagi?""Nomornya sudah diblokir," jawab Eliza, tersenyum getir. "Atau mungkin diganti. Ent
Ponsel Eliza masih berdering. Pesan Dr. Adrian menampilkan peringatan jelas, tapi juga instruksi untuk bersikap normal. Dengan tangan sedikit gemetar, Eliza menggeser tombol hijau dan mengaktifkan speaker."Jangan tutup teleponnya!" suara Dani terdengar mendesak, seolah membaca keraguan Eliza.Eliza menatap Nadira dengan was-was, pesan Dr. Adrian masih terbuka di layar tablet di sampingnya. "Apa maumu, Dani?" tanyanya, berusaha terdengar dingin namun tidak mencurigakan."Aku tahu kau sedang kesulitan setelah... yang terjadi dengan Damian," suara Dani terdengar prihatin, hampir terlalu sempurna untuk menjadi tulus. "Aku hanya ingin membantu.""Membantuku?" Eliza tertawa getir, tidak perlu berpura-pura untuk bagian ini. "Seperti kau 'membantu