Putih. Semua putih. Terlalu putih hingga menyakitkan.
Damian Lesmana mengerjapkan mata, berusaha memfokuskan pandangannya yang kabur. Kepalanya berdenyut-denyut seperti dipukul palu tak kasat mata. Rasa sakit tajam menjalar dari pelipis kanan hingga ke belakang kepalanya, membuatnya hampir tidak bisa berpikir.
"Dia sadar! Ya Tuhan, Damian, kau sadar!" Suara seorang wanita memecah keheningan.
Damian mencoba bergerak, tapi seluruh tubuhnya terasa berat. Jarum infus terpasang di punggung tangannya, menjalarkan cairan dingin ke dalam pembuluh darahnya. Monitor detak jantung berbunyi monoton di samping tempat tidurnya. Bau antiseptik yang kuat menyengat hidungnya.
Rumah sakit. Dia berada di rumah sakit.
Wanita itu mencondongkan tubuhnya ke arah Damian, air mata mengalir di pipinya yang pucat. Rambutnya hitam panjang bergelombang, tidak tertata rapi seperti orang yang sudah beberapa hari tidak tidur. Matanya besar berwarna cokelat madu, kini memerah dan bengkak. Wajahnya menampakkan kelegaan luar biasa.
"Syukurlah... syukurlah kau kembali," bisiknya, menggenggam tangan Damian dengan jemarinya yang bergetar.
Damian menatapnya dengan dahi berkerut. Semakin dia memandang wajah wanita ini, semakin kebingungan melandanya. Dia tidak mengenal wanita ini. Sama sekali tidak.
"Si... siapa kau?" Damian akhirnya bertanya, suaranya serak dan kering setelah tidak digunakan entah berapa lama.
Wanita itu membeku. Senyum di wajahnya perlahan pudar, digantikan ekspresi bingung.
"Damian, ini aku. Eliza." Wanita itu—Eliza—menjawab dengan nada yang seolah berusaha meyakinkan bahwa ini hanya lelucon.
Damian menggeleng perlahan, setiap gerakan menimbulkan rasa sakit yang menyengat. "Maaf, tapi aku tidak mengenalmu."
Wajah Eliza memucat seketika. Dia mundur satu langkah, seolah baru saja ditampar.
"Kau... tidak ingat aku?"
"Seharusnya aku mengenalmu?" Damian bertanya, kini mulai curiga. Instingnya sebagai CEO yang waspada langsung aktif. Apakah wanita ini mencoba memanfaatkannya? Mengklaim hubungan yang tidak ada?
"Damian, kita... kita bertunangan." Eliza mengangkat tangan kirinya, menunjukkan cincin dengan berlian besar yang berkilau di jari manisnya. "Kita akan menikah tiga bulan lagi."
Pertunangan? Pernikahan? Damian merasa seolah lantai di bawahnya runtuh. Tidak mungkin. Dia pasti akan ingat jika memiliki tunangan. Memori terakhirnya yang jelas adalah bekerja di kantornya, merencanakan ekspansi LTI ke Asia Tenggara. Dia masih single, terlalu sibuk dengan perusahaannya untuk menjalin hubungan serius.
"Aku tidak bertunangan dengan siapapun," Damian berkata tegas, menarik tangannya dari genggaman Eliza. "Aku bahkan tidak mengenalmu. Bagaimana mungkin kita akan menikah?"
Air mata mulai mengalir lagi di pipi Eliza. Kali ini bukan air mata bahagia, melainkan kepanikan dan kesedihan yang mendalam.
"Aku... aku akan memanggil dokter," ucapnya dengan suara bergetar, bergegas keluar dari ruangan.
Begitu sendirian, Damian berusaha bangun, tapi rasa sakit di kepalanya meningkat sepuluh kali lipat. Dia mengamati ruangan VIP rumah sakit yang ditempatinya. Ada buket bunga besar di meja, kartu-kartu ucapan cepat sembuh, dan... foto. Foto dirinya dengan wanita bernama Eliza tadi. Mereka berdua tersenyum lebar, dengan latar belakang pantai di senja hari. Damian memegang foto itu dengan tangan gemetar.
Itu jelas dirinya. Tapi dia tidak memiliki ingatan apapun tentang momen ini.
Pintu terbuka, dan seorang dokter berjas putih masuk bersama Eliza yang masih terisak. Dokter itu berusia sekitar tiga puluhan, dengan kacamata dan wajah ramah namun serius.
"Damian, aku Dr. Adrian Wijaya. Kau ingat aku? Kita berteman sejak kuliah di Harvard."
Damian menggeleng pelan. "Maaf, tidak."
Dr. Adrian mencatat sesuatu di clipboardnya, ekspresinya semakin serius. "Damian, kau mengalami kecelakaan pesawat saat pulang dari Singapura dua minggu lalu. Jet pribadimu mengalami turbulensi hebat saat mendarat. Kau terbentur kepala dan koma selama 14 hari."
Damian mencoba mencerna informasi ini. Kecelakaan? Dua minggu koma? Tapi kenapa dia tidak bisa mengingat wanita ini?
"Tanggal berapa sekarang?" tanya Damian.
"22 Mei 2023," jawab Dr. Adrian.
Damian merasa seperti disiram air es. "Tidak mungkin. Seharusnya masih 2020."
Eliza menutupi mulutnya dengan tangan, matanya melebar ketakutan. Dr. Adrian menghela napas panjang.
"Aku perlu melakukan beberapa tes lagi, tapi Damian, aku mencurigai kau mengalami amnesia retrograde. Kau kehilangan ingatan dari periode waktu tertentu di masa lalumu."
"Berapa... berapa lama?" Damian bertanya, suaranya nyaris tak terdengar.
"Berdasarkan apa yang kau katakan, sekitar tiga tahun," jawab Dr. Adrian dengan nada profesional, meski matanya menunjukkan keprihatinan mendalam.
Tiga tahun. Tiga tahun hidupnya hilang.
Damian menatap Eliza yang berdiri gemetar di samping tempat tidurnya. Wanita yang mengaku sebagai tunangannya. Wanita yang sama sekali asing baginya.
"Aku minta maaf," kata Damian dengan nada dingin, "tapi aku tidak mengenalmu. Dan aku tidak percaya kita bertunangan."
Keterkejutan muncul di wajah Eliza, diikuti rasa sakit yang tak terucapkan. Air mata menggenang di matanya, tapi dia tidak membalas. Dr. Adrian melirik monitor detak jantung yang mulai menunjukkan peningkatan.
"Eliza, mungkin kau bisa tunggu di luar sebentar? Aku perlu memeriksa Damian lebih lanjut," pinta Dr. Adrian dengan lembut.
Eliza mengangguk lemah, melirik sekali lagi ke arah Damian sebelum berjalan keluar ruangan.
Begitu pintu tertutup, Damian mencengkeram lengan Dr. Adrian.
"Katakan padaku yang sebenarnya," desak Damian, matanya penuh kecurigaan. "Siapa wanita itu? Apa dia benar-benar tunanganku?"
Dr. Adrian menatap Damian dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca. "Dia Eliza Valentina, seorang desainer grafis berbakat. Dan ya, Damian, kalian sudah bertunangan selama enam bulan. Aku hadir saat kau melamarnya di restoran Altitude."
Damian menggeleng frustasi. "Tidak mungkin. Aku tidak pernah jatuh cinta. Aku tidak punya waktu untuk itu."
Dr. Adrian mengeluarkan ponsel dari sakunya dan membuka galeri foto. "Lihat ini."
Dia menyodorkan ponsel yang menampilkan selusin foto Damian dan Eliza dalam berbagai kesempatan: pesta perusahaan, liburan, acara formal, dan momen-momen kasual di rumah. Semuanya terlihat nyata. Dan di setiap foto, Damian terlihat lebih bahagia dari yang pernah dia ingat.
"Aku... tidak ingat semua ini," bisik Damian, tiba-tiba merasa seperti penyusup dalam hidupnya sendiri.
"Damian," kata Dr. Adrian serius, "ada sesuatu yang aneh dengan pola amnesiamu. Ini bukan seperti amnesia retrograde biasa akibat trauma kepala." Dia menatap hasil scan yang terpasang di dinding. "Ada sesuatu yang tidak beres, dan aku berjanji akan mencari tahu apa itu."
Di luar ruangan, tanpa sepengetahuan mereka, Eliza bersandar di dinding, air mata mengalir diam-diam di pipinya. Sementara di ujung koridor yang sama, seorang wanita anggun berambut hitam lurus dengan setelan formal sempurna mengamati situasi dengan senyum kecil tersembunyi. Vianna Darmawan, mantan asisten eksekutif Damian, memperbaiki blazernya dan berjalan menuju lift, menggenggam ponselnya dengan erat.
Semuanya berjalan sesuai rencana.
"Aku minta kau keluar dari ruangan ini sekarang juga."Suara Damian memecah keheningan, dingin dan tajam seperti pisau es. Dr. Adrian baru saja meninggalkan ruangan untuk mengambil hasil tes tambahan, meninggalkan Damian dan Eliza dalam ketegangan yang menyesakkan.Eliza berdiri di samping tempat tidur Damian, tangannya mencengkeram tali tas dengan erat. Wajahnya yang cantik kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang kemerahan. Sudah dua minggu dia nyaris tidak meninggalkan rumah sakit, menunggu Damian keluar dari koma."Damian, aku tahu ini berat untukmu, tapi—""Berat?" Damian mendengus, memotong kalimat Eliza. "Aku bangun dan menemukan seorang wanita asing mengklaim sebagai tunanganku. Yang benar saja."Damian menggeser tubuhnya ke posisi duduk, mengabaikan rasa sakit yang menyengat di kepalanya. Dia mengamati Eliza dari atas ke bawah dengan tatapan penuh selidik. Wanita ini memang cantik, dengan pembawaan yang anggun. Tapi siapapun bisa melakukannya. Terlalu banyak p
"Amnesia retrograde total akibat trauma kepala yang parah."Dr. Adrian Wijaya meletakkan hasil scan otak Damian di meja, memastikan cahaya dari negatoskop menerangi area yang ia tunjuk. Ruangan konsultasi itu sunyi, hanya terdengar deru halus dari pendingin udara. Damian duduk di kursi roda—sesuatu yang ia tolak keras namun dipaksa oleh protokol rumah sakit—sementara Rafi Pratama berdiri di belakangnya, wajahnya menunjukkan keprihatinan."Kerusakan terjadi di area hippocampus dan lobus temporal, bagian otak yang berperan kunci dalam pembentukan dan penyimpanan memori jangka panjang," lanjut Dr. Adrian. "Benturan yang kau alami saat kecelakaan pesawat cukup parah, Damian."Damian menatap hasil scan dengan dahi berkerut. Baru kemarin ia terbangun dari koma dua minggu, dan sekarang ia harus menerima kenyataan bahwa tiga tahun terakhir dari hidupnya lenyap tanpa bekas."Bisakah kau jelaskan secara spesifik apa itu amnesia retrograde?" tanya Damian, ingin memahami kondisinya dengan jelas.
Album foto itu terbuka di pangkuan Damian, halaman pertamanya menampilkan foto yang membuat dadanya terasa sesak. Dirinya dan Eliza di Kafe Enigma, tempat yang selama ini jadi favoritnya untuk menikmati espresso sebelum meeting pagi. Dalam foto itu, mereka duduk di sudut jendela, Damian tertawa lepas—ekspresi yang jarang ia tunjukkan di depan umum—sementara Eliza menyandarkan kepalanya di bahu Damian, tersenyum ke arah kamera."Ini diambil sekitar dua bulan setelah kita bertemu," Eliza menjelaskan dengan suara tenang. "Rafi yang memotretnya. Kau selalu menyebut ini sebagai 'bukti bahwa kecelakaan bisa berubah menjadi keajaiban.'""Kecelakaan?" tanya Damian, masih menatap foto tersebut dengan dahi berkerut."Pertemuan kita," Eliza tersenyum kecil. "Aku menumpahkan kopi ke kemeja putihmu. Kemeja Brioni yang kau bilang adalah favoritmu."Rafi tertawa pelan. "Kau marah besar, Dam. Tapi kemudian Eliza menawarkan untuk membayar biaya dry cleaning dan mengajakmu minum kopi sebagai permintaan
Laboratorium rumah sakit hampir kosong pada pukul 11 malam ini. Hanya Dr. Adrian Wijaya yang masih membungkuk di atas mikroskop, jemarinya dengan teliti menggeser slide berisi sampel darah Damian. Kantong mata menghiasi wajahnya yang lelah, tapi tatapannya penuh konsentrasi. Ini adalah hari ketiga sejak Damian Lesmana sadar dari koma, dan sesuatu dalam hasil tesnya terus mengganggu Dr. Adrian."Lagi-lagi menjadi dokter detektif, Adrian?"Dr. Maya Suryadi, kepala departemen neurologi, tersenyum dari ambang pintu. Wanita berusia lima puluhan itu dikenal sebagai salah satu ahli neurologi terbaik di Asia Tenggara."Ada sesuatu yang salah pada sampel darah Damian," jawab Adrian tanpa mengalihkan tatapannya dari mikroskop. "Lihat ini."Dr. Maya mendekat, mengambil alih mikroskop. "Hmm. Sel darah merah dengan struktur membran yang tidak normal. Kau yakin ini bukan karena reaksi obat-obatan yang kita berikan selama dia koma?""Positif. Aku sudah memeriksa semua obat dalam protokol perawatanny
Gerbang besar mansion Lesmana terbuka perlahan, menyambut kedatangan Range Rover hitam yang membawa Damian pulang. Di balik kaca gelap, Damian menatap bangunan bergaya modern minimalis yang sudah tiga tahun tidak ia ingat. Bentuk fisik mansionnya tetap sama seperti dalam ingatannya, tapi entah kenapa terasa seperti milik orang lain."Selamat datang kembali, Tuan," sambut Kirana, kepala pelayan berusia lima puluhan yang telah mengabdi pada keluarga Lesmana selama lebih dari dua dekade. Wajahnya yang teduh memancarkan kegembiraan tulus melihat Damian kembali."Terima kasih, Kirana," Damian mengangguk, berusaha tersenyum. Setidaknya wanita ini masih sama seperti yang ia ingat—tidak ada perubahan signifikan selain beberapa kerutan baru dan rambut yang lebih banyak beruban.Eliza berjalan beberapa langkah di belakang Damian, memberikan ruang sembari mengawasi dengan cemas. Dia tahu betapa sulitnya situasi ini—kembali ke rumah yang tidak lagi terasa seperti rumah."Kau ingin langsung berist
Fajar baru saja menyingsing ketika Damian terbangun dengan napas terengah. Mimpi yang sama—serpihan memori tentang dirinya melukis, tangan Eliza menuntun tangannya. Kepalanya masih berdenyut, efek samping dari kilasan ingatan semalam.Ia menyibakkan selimut dan berjalan ke jendela. Dari kamarnya di lantai dua, ia bisa melihat guest house di kejauhan. Lampu di sana sudah menyala, menandakan Eliza sudah bangun. Pandangannya beralih ke bangunan kecil dengan dinding kaca di ujung taman—studio lukis yang kemarin menarik perhatiannya. Ia melihat sosok Eliza berjalan dari guest house menuju studio, membawa sesuatu yang tampak seperti termos.Sejak bangun, pikiran Damian terus kembali pada kilasan ingatan semalam. Ia tak pernah melukis. Namun kenapa ia bisa mengingat sensasi kuas di tangannya dengan begitu jelas? Tekstur cat, aroma turpentin, tawa lembut Eliza di telinganya... Sensasi-sensasi itu terasa nyata, meski ia yakin tak pernah mengalaminya.
Suara denting pecahan kaca memecah keheningan studio. Damian berdiri dengan napas memburu, tangan kanannya masih terkepal setelah menghantam bingkai lukisan di dinding. Serpihan kaca berserakan di lantai kayu, memantulkan cahaya pagi yang masuk melalui jendela tinggi studio."Semua ini bohong!" teriaknya, suaranya bergema di ruangan yang sekarang terasa terlalu sempit untuk menampung amarahnya.Eliza mundur perlahan, matanya melebar menyaksikan Damian yang baru saja menghancurkan salah satu lukisan favorit mereka—pemandangan danau dengan dua siluet berpelukan di atas perahu kecil."Damian, kumohon..." bisiknya, suaranya bergetar.Tapi Damian tidak mendengar. Atau lebih tepatnya, ia memilih untuk tidak mendengar. Pandangannya kini beralih ke lukisan "Memori yang Hilang" yang telah ia robek. Dengan langkah berat, ia mendekati tumpukan kanvas lain yang tersandar di dinding."Aku bukan kegelapan!" Damian mencengkeram tepi kanvas berikutnya. "Dan kau...
Matahari mulai condong ke barat ketika Eliza akhirnya meninggalkan studio. Setelah berjam-jam mengumpulkan serpihan lukisan dan merapikan kekacauan, wajahnya kini pucat dan kosong—seperti kanvas yang belum tersentuh kuas. Jejak air mata masih jelas terlihat, tapi ia sudah tidak mampu menangis lagi.Di tangannya tergenggam sebuah kotak kayu berukir, kotak yang biasa ia gunakan untuk menyimpan peralatan sketsanya yang paling berharga. Kini kotak itu berisi fragmen-fragmen lukisan yang bisa ia selamatkan—satu-satunya bukti fisik dari karya seninya yang telah hancur."Nona Eliza?" Kirana berdiri di pintu belakang mansion, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Tuan Damian mencari Anda."Eliza tersenyum lemah. "Dimana dia?""Di ruang kerjanya, dengan Tuan Rafi. Mereka sedang membahas sesuatu tentang perusahaan." Kirana mengamati keadaan Eliza dengan seksama. "Anda baik-baik saja, Nona? Mau saya buatkan teh?""Tidak perlu, Kirana. Terima kasih." Eliza mengg
Apartemen Penthouse Dani Sasongko, 6 bulan laluMalam sudah larut di Jakarta ketika Vianna Darmawan menekan kode akses ke penthouse Dani di kawasan SCBD. Gedung-gedung pencakar langit berkilauan di kejauhan, termasuk menara LTI yang berdiri tegak dengan logo bercahaya di puncaknya—target mereka yang semakin dekat."Kau terlambat," sambut Dani yang sedang menuang wine merah ke decanter kristal. Layar besar di dinding menampilkan grafik pergerakan saham LTI dan DS Tech dalam tiga bulan terakhir. "Ada masalah?""Damian memintaku lembur untuk finalisasi kontrak Global Expansion," Vianna melepas high heels-nya, meletakkan tas di sofa. "Dia semakin bergantung padaku untuk keputusan strategis. Bagus untuk rencana kita."Dani meng
Conrad Hotel Jakarta, 18 bulan laluVianna Darmawan menyesap champagne-nya perlahan, mengamati kerlap-kerlip Jakarta dari rooftop bar mewah. Posisinya sebagai asisten eksekutif Damian Lesmana selama enam bulan telah memberinya akses ke lingkaran elit bisnis teknologi—jauh dari masa lalunya yang ingin ia kubur dalam-dalam. Dress hitam elegan yang ia kenakan adalah bukti perjalanan panjangnya, dari gadis miskin Cilandak menjadi wanita berpengaruh di jajaran eksekutif perusahaan teknologi terbesar di Indonesia."Tidak kusangka kau benar-benar berhasil masuk ke LTI," suara familiar menginterupsi lamunannya. Dani Sasongko muncul dengan setelan navy yang sempurna. Jam tangan Audemars Piguet melingkar di pergelangan tangannya, tanda kesuksesan DS Tech yang kini dihargai pasar. "Imprresif."
Skybar Altitude di lantai 56 sebuah gedung pencakar langit Jakarta menawarkan pemandangan kota yang spektakuler. Malam ini tempat itu setengah kosong—sempurna untuk pembicaraan privat. Lampu-lampu kota berkilauan seperti permata di bawah sana, pencahayaan temaram bar menciptakan atmosfer eksklusif.Vianna Darmawan, mengenakan gaun hitam ketat dan sepatu Christian Louboutin, menyesap martini-nya sambil menatap ke arah gedung LTI yang berkilau di kejauhan. Ia telah sengaja memilih meja dengan pemandangan langsung ke menara kaca itu—pengingat konstan tentang tujuannya."Maaf terlambat," suara bariton menginterupsi lamunannya. Dani Sasongko berdiri di sana, setelan abu-abu sempurna dan jam tangan Patek Philippe di pergelangan tangannya—simbol kesuksesan DS Tech Ventures.
Singapore Ritz-Carlton, 3 tahun lalu"Tech Innovation Summit" terpampang besar di banner-banner yang menghiasi ballroom hotel mewah. Para pengusaha teknologi elit dari seluruh Asia berkumpul, menikmati champagne sambil membicarakan investasi multi-juta dolar. Di salah satu sudut ruangan, seorang wanita muda dengan setelan hitam elegan mengamati kerumunan dengan tatapan kalkulatif. Vianna Darmawan, 26 tahun, mewakili GlobalPharm dalam konferensi bergengsi ini."Ms. Darmawan, benar?" seorang pria dengan aksen Amerika menyapanya. "Saya Dr. Wilson dari Stanford Research. Saya dengar presentasi Anda tentang integrasi AI dalam farmasi tadi sangat mengesankan."Vianna tersenyum sopan, menyembunyikan kegembiraan bahwa presentasi pertamanya mendapat pengakuan. "Terima kasih, Dr. Wilson. GlobalPharm berharap dapat menjalin kerja sama dengan laboratorium Anda di masa depan."Setelah beberapa menit berbasa-basi, Vianna melihat dua sosok yang menarik perhatia
Hujan deras mengguyur Jakarta sore itu, menciptakan dinding air yang mengaburkan pandangan. Eliza berdiri diam di ambang pintu guest house yang selama beberapa minggu terakhir menjadi tempat tinggalnya. Berkat intervensi cepat Dr. Adrian yang diam-diam menormalisasi infusnya, ia telah pulih lebih cepat dari yang diperkirakan Vianna. Namun hatinya masih terasa kosong, sehampa mansion yang kini harus ia tinggalkan.Air mata mengalir di pipinya, bercampur dengan tetesan hujan yang membasahi wajahnya. Badannya masih terasa lemah, kepalanya pusing, namun rasa sakit fisik ini tidak sebanding dengan luka di hatinya.Eliza memandang ke sekeliling ruangan kecil yang telah menjadi tempat berlindungnya selama masa-masa sulit setelah Damian kehilangan ingatan. Kini ruangan itu hampir kosong—barang-barangnya sebagian besar telah diangkut ke apart
Di ruang VIP klinik LTI di lantai 10, Eliza terbaring dengan selang oksigen di hidungnya. Dua jam telah berlalu sejak ia kolaps di ruang konferensi. Dr. Maya Suryadi, dokter perusahaan, baru saja selesai memeriksanya untuk kedua kalinya. Damian berdiri di pojok ruangan, wajahnya menunjukkan campuran emosi—kemarahan, kebingungan, kelelahan, dan meski ia enggan mengakuinya, kekhawatiran. Kilatan ingatan yang ia alami tadi membuatnya gelisah, tapi ia menepis perasaan itu sebagai ilusi."Dia mengalami serangan panik akut disertai hiperventilasi," jelas Dr. Maya, melepas stetoskopnya. "Tekanan darahnya juga sangat rendah, 90/60, tidak ideal. Ditambah kadar gula darah di bawah normal. Apa dia memiliki riwayat kondisi ini sebelumnya?"Damian tidak menjawab, matanya menatap kosong ke arah jendela yang menampilkan langit Jakarta yang semakin
Tuduhan demi tuduhan Damian terus menghujani Eliza seperti pecahan kaca yang mengiris jiwanya. Tanpa sadar, ia meraih botol air di meja, tangannya gemetar saat meneguk isinya, berharap dapat menenangkan diri. Ruangan itu mulai terasa berputar, suara Damian semakin jauh seolah datang dari terowongan panjang. Vianna berdiri di belakang Damian, wajahnya menunjukkan simpati palsu namun matanya berkilat penuh kemenangan."Aku telah memeriksa semua kontrak yang kau tandatangani sebagai desainer HomeSense," Damian melanjutkan, suaranya dipenuhi kemarahan dan pengkhianatan. "Klausul royalti yang kau masukkan memberimu akses ke sebagian keuntungan produk. Awalnya kupikir itu wajar, tapi sekarang jelas itu bagian dari rencana besar. Berapa banyak informasi yang kau bagi dengan Dani dari hasil uji pasar kita? Data pengguna? Roadmap pengembangan?"
Ruang konferensi lantai 38 LTI berubah menjadi arena pertempuran emosional. Vianna meletakkan folder baru di hadapan Damian, membukanya dengan gerakan dramatis."Ini adalah dokumen yang memberatkan lainnya," ucapnya dengan nada profesional. "Perjanjian konfidensial antara Eliza dan DS Tech yang berhasil kami lacak."Damian menatap dokumen tersebut, rahangnya mengeras. Berita tender offer DS Tech masih menggantung di udara seperti kabut beracun, menciptakan ketegangan yang nyaris bisa disentuh. Di luar, langit Jakarta mulai menggelap dengan awan mendung, mencerminkan suasana di dalam ruangan."Katakan padaku, Eliza," suara Damian rendah dan berbahaya, seperti predator yang siap menyerang. "Apa tujuan sebenarnya kau mendekati LTI? Karena sekarang semua terlihat sangat jelas."
"Jadi ini yang kau sebut kebetulan?" Damian menggebrak meja, suaranya menggema di ruang konferensi kosong. "Mantan kekasihmu kebetulan menjadi investor LTI? Kebetulan menemuimu tepat saat aku mengalami amnesia? Dan kebetulan juga kalian berdua terlihat sangat akrab di kafe dua hari lalu?"Eliza berdiri kaku, masih terkejut dengan foto-foto yang ditunjukkan Vianna. Ada foto-foto lama dirinya dengan Dani di kampus—yang wajar dimiliki sebagai kenangan—tapi juga beberapa foto yang tampak baru dan diambil secara diam-diam, menunjukkan mereka bertemu di kafe dua hari lalu. Vianna telah menjelaskan dengan detail bagaimana DS Tech secara sistematis mengakuisisi saham LTI melalui berbagai perusahaan cangkang tepat setelah kecelakaan Damian."Itu bukan seperti yang kau pikirkan," Eliza berusaha menjelaskan, suaranya gemetar. "Ya, aku bertemu D