Pagi ini mendung begitu kelabu menutupi langit, semendung perasaanku yang sama sekali tidak menemukan alasan lagi untuk berdiri dan menjalani hidup ini.Meski hamil, kehadiran bayi ini tidak menggerakkan jiwa antusiasku sama sekali. Aku makin bermuram durja dan kian tenggelam dalam kesedihan. Tidak pernah lagi terukir senyum dalam tiap bait doa yang kuuntai ke hadapan Tuhan. Hanya rintihan dan air mata penyesalan mewarnai hari hari dan ibadahku. Sebenarnya aku tahu, Tuhan tak akan meletakkan beban di atas bahu yang salah, tapi kadang aku merasa aku tak layak untuk ujian ini. Aku terlampau rapuh untuk cobaan demikian berat. Ya Allah, aku ingin mati saja rasanya.*Kusiapkan kopi dan makanan di meja, setelah itu aku bersiap untuk berangkat kerja, kukenakan sepatu dan jilbab dengan benar.Saat hendak membuka pintu suamiku ternyata sudah bangun dari tidurnya. Ia membuka pintu kamar depan, dengan wajah yang masih mengantuk dia bertanya padaku, "Sudah mau berangkat?""Seperti yang kau lih
“Buktinya kau memindahkan semua foto pernikahan dan pernik yang jadi aksesoris rumah kalian, dan ya, juga foto pernikahan yang tadinya sangat menyakiti hatiku.rupanya, Tuhan tidak membiarkan diri ini terlalu lama dalam penyiksaan batin dan air mata. Doaku akan terkabul dengan berpisahnya kamu berdua dan kembalinya suamiku padaku. terima kasih ya Raisa.”“Sama sama.” aku membalas datar tanpa ekspresi karena sudah lelah dengan perdebatan yang akan menguras perasaan dan hatiku, terserah dia saja saat ingin menyakiti batin ini. Dia 5berha5kmarah meski sebenarnya sasaran kemarahan itu harusnya bukan aku saja.“Kalian bicaralah aku akan ke dalam untuk istrahat,”ucapku sambil menghela napas dan melangkah meninggalkan ruang tamu. Hatiku dongkol tidak terkira atas sikap semau maunya hati mbak aira untuk berkunjung ke rumah ini, melenggang santai seakan tempat ini adalah hak miliknya. sikapnya yang nyaman san sok santai membuatku makin tak betah dengan suami sendriri. andai bisa memilih, and
Aku mendongak dan menangis di hadapan suami, dia memandangku dengan iba, mendekat lalu membelai rambutku dan membawa kepala ini ke dalam pelukannya."Aku dilema di dalam situasi kita yang seperti ini Mas, sangat dilema," ucapku lirih, disela tangisku Mas Tama masih mengecup diri ini."Kita pasti bisa melewati, perlahan, Aira akan menerima hubungan ini," ucap Mas Tama."Tapi bagaimana Mas, Mbak aira masih tidak berubah sama sekali," jawabku pilu, ".... sudahlah, jangan bicara apa apa lagi. Kita bercerai saja.""Kamu pikir, jalan satu-satunya untuk kebahagiaan kita hanya bercerai? Kamu nggak mikirin perasaan aku dan bagaimana Aku berusaha untuk mempertahankan rumah tangga ini denganmu. Bahkan aku menghancurkan ekspektasi keluargaku.""Aku juga menghancurkan ekspektasi ayah dan bundaku yang masih menginginkan kebahagiaan dan berharap bahwa aku menikah dengan pria baik-baik. Mereka tidak pernah menyangka kalau aku akan mengalami nasib tragis diduakan suami.""Ya Tuhan, sayang, kenapa b
Aku terhenyak degan perlakuan kakak madu yang arogan, dia membalikkan botol selai tanpa ba,bi,bu, dan perasaan. Kalau dipikir apa kesalahan botol selai itu pada dirinya, haruskah ia memberiku pelajaran dengan cara menumpahkan makanan? aneh sekali.Segera kuambil serbet untuk mengelapi makanan manis yag tumpah ke meja, saat sibuk melakukan itu, suamiku lewat dan mnyambangi diri ini. Melihat botol selai yang berantakan dia seolah memahami bahwa sedang terjadi sesuatu.“Apakah kau baik-baik saja?'”“Kau tak penasaran ini perbuatan siapa?”“Maafkan ya….” wajah suamiku memelas, dia tahu itu perbuatan Mbak Aira. Parahnya, dia membelanya dan memintaku memaklumi. Ah, ya Allah, aku makin lelah."Ya, selalu aku yang akan mengalah dan disalahkan, jadi tolong lepaskan aku dari dilema ini, tolong ceraikan aku Mas." Air mataku jatuh begitu saja di pipi, Mas Tama hendak mendekatiku untuk menyeka mata ini, tapi Mbak Aira sudah berteriak dan memanggil suaminya dari mobil.“Aku pergi ya, aku bisa terla
Dua Minggu penuh air mata bergulir, itu bukan masa singkat yang bisa kunikmati dengan hanya melakukan rutinitas sehari-hari dan pergi bekerja tanpa memikirkan apapun.Ke mana-mana aku melangkah, aku selalu was-was akan bertemu dengan Mas Tama atau istrinya atau mungkin keluarga istrinya dan saudara Mbak Aira. Aku khawatir akan dihujat atau dihina jika berpapasan dengan mereka.Untuk pertama kalinya, hari ini aku menjejaki pengadilan agama untuk perkara cerai yang kutuntuy dari suamiku. Ironisnya, aku menuntut orang yang kucintai, dan kulakukan itu demi keluarganya, demi ketenangan hatinya, aku mengalah menjauh agar suamiku tidak terus terjebak dilema.Kini aku dan Bunda duduk di depan ruang tunggu dengan perasaan berdebar, sudah dua Minggu aku berusaha menata hati agar tidak terpengaruh atau rindu pada Mas Tama, aku sungguh berharap dari lubuk perasaan yang terdalam, bahwa aku bisa mengabaikan kehadirannua, tidak memikirkan dia apalagi berdebar saat kami berpandangan mata. Lamat lam
"Kenapa begitu Mas?""Aku memilih mempertahankan Raisa sebab dia istri yang baik dan sabar. Maaf bukan bermaksud untuk bersikap egois dan mau menang sendiri, aku hanya menilai Raisa tidak pantas mendapatkan perlakuan begini, jadi aku tak akan meninggalkannya." "Apa?""Ya!"Suasana ruangan ini menjadi panas dan riuh, Mbak Aira berdiri dengan tatapan mata yang melotot sementara mas Tama terlihat tenang-tenang saja duduk di bangkunya. Aku sendiri juga diam, bingung harus bicara apa."Raisa, katakan sesuatu! Bukannya kau yang mau mengembalikan suamiku padaku?""Iya, betul, tapi ....""Tapi apa? Apa kamu berubah pikiran hah?" ucapnya panik."Tidak juga, saya hanya menunggu keputusan Mas Tama.""Ayo keluar Aira!""Kamu harus menentukan pilihan Mas, kita harus menghargai hakim."Mas Tama melirik pada tiga orang pria yang terlihat menunggu jawaban dari kami dengan wajah penuh keheranan atas drama yang terjadi."Saya akan mempertahankan Raisa.""Terus aku gimana?" tanya Mbak Aira."Dari tadi
"Akhirnya kamu pulang juga, aku khawatir nungguin kamu di rumah.""Kenapa?" tanyaku memandang wajahmu, menelisik perasaan dan apa yang dia sembunyikan selama ini. Sayangnya, aku kurang mengerti apa rencana suamiku."Setelah mengambil keputusan tadi, penting bagiku untuk tahu pendapat dan perasaanmu." Dia memandang mataku dan menggenggam tanganku dengan penuh perasaan. Kupikir aku akan menghindarinya, perasaanku masih tidak menentu setelah dia memutuskan untuk meninggalkan Mbak Aira dan memilihku. Ingin menjauh tapi respon tubuh ini malah semakin dekat padanya. Dia merangkulku, mencium kepala dari balik jilbab ini."Sayang, aku mengkhawatirkanmu," bisiknya."Terima kasih karena kamu sudah ambil keputusan," ucapku."Kamu setuju gak dengan keputusanku?""Aku bahagia, tapi tidakkah kau merasa bersalah meninggalkan istri dan anak anak yang masih membutuhkanmu? Aku mungkin hamil, tapi aku bisa mengatasi masalahku, sementara istrimu, dia sudah bersamamu selama ini, dia mencintai dan membutuh
"Kenapa lagi?""Ini Mas ... Mbak Aira....""Kalau dia mengirimkan ancaman, hapus saja, bila perlu blok.""Iya, Mas, aku akan menuruti kata katamu."Sebenarnya aku ingin Mas Tama bicara pada istrinya agar berhenti menyudutkanku, tapi jika demikian aku akan dianggap sebagai wanita kompor yang terus memanas-manasi hubungan antara dia dan istrinya. Ditambah, citra diriku yang makin buruk karena mencari pembelaan suami dan membuat dia memusuhi istrinya."Boleh lihat pesannya?""Tidak, demi kebaikan kita semua, sebaiknya tidak. Aku akan menghapusnya dan melupakannya.""Apakah dia menyebutmu dengan kata kata yang tak pantas?""Seperti itulah, tapi aku tak akan mengambil hati, sudahlah, aku mau melanjutkan cuci piring, kamu duduklah aku akan buatkan teh.""Terima kasih, Sayang.""Iya, Mas."*Keesokan hari, kusambut pagi penuh berkah dengan membuka pintu dan jendela, kusibak tirai gorden sambil tersenyum menatap mentari yang menyembul ceria di ufuk timur.Kusiapkan sarapan dan kopi suami, tak