"Sebaiknya segera tentukan pilihanmu Nak, Ibu juga tidak ingin kamu terus-menerus sendiri seperti itu, karena penilaian orang lain tentang status janda sangat merugikan posisimu," ujar Ibu ketika aku menelponnya."Iya Bu, aku tahu tapi aku belum menentukan pilihanku, aku belum siap untuk naik ke jenjang berikutnya.""Ada dua pria yang begitu tulus dan menyayangimu, Nduk, kamu tinggal memilihnya," ujar Ibu."Bagaimanapun itu adalah pilihan yang sulit, Bu," gumamku pelan."Raisa menyukai salah satu dari pria itu?" tanya Ibu lagi."Raisa ingin aku kembali kepada Mas Raffiq.""Bagaimana dengan perasaanmu sendiri?""Entahlah... masih bingung," jawab ku sambil menghela nafas pelan."Lalu apa yang terjadi tentang Soraya?""Dia masih ditahan di rumahnya, Bu, polisi belum memiliki cukup bukti untuk bisa menjebloskan dia ke penjaara.""Jelas-jelas dia yang menyerang wira dengan air keras," ujar Ibu sedikit ingin marah."Tapi keluarga dan pengacaranya memiliki pengaruh besar, Bu. Mereka mati-m
"kabar buruk apa Mas?" tanyaku dengan khawatir."Mungkin kamu akan terkejut," ujarnya sambil menunduk."Apaan sih, ngomong dong Mas," ujarku penasaran."Aku mendapat kabar kalau Soraya mengalami tabrakan bersama sopir Dan pengacaranya ketika mereka kembali dari kantor polisi, sore tadi," jawab Mas Rafiq."Nggak mungkin, masa sih Mas?""Ya, bahkan ceritanya pun masuk koran dan media online kalau nggak percaya lihat aja bawa anak seorang pengasuh pondok pesantren terkenal mengalami kecelakaan," ujarnya sambil menunjukkan ponselnya.Kuambil ponsel dari tangan Mas Rafiq lalu melihat portal berita online yang menyajikan berita yang terjadi pagi hari ini. Setelah kubaca, ternyata benar bahwa korbannya adalah Soraya Hamid beserta 2 orang penumpang lainnya."Kok bisa ya Mas?"Aku masih terkejut dan tidak pernah menyangka apa yang akan terjadi ini."Katanya sih mobilnya terlalu mengebut di jalan tol, lalu ketika ingin ingin menghindari mobil yang ada di depannya sopir kehilangan kendali dan m
"Apa hubungannya denganku andai soraya koma atau mati sekalipun?" tanyaku.Mereka yang mendengar ungkapan itu seketika menghentikan kegiatannya dan menatapku dengan wajah dan ekspresi terbelalak."Ta-tapi, orang tuanya menyalahkan Mbak Jannah," ujar Rina."Aku tidak peduli,anaknya juga hidupku menderita dan suamiku sampai meninggal dunia,Aku ingin melihat kembali ekspresi wajah ustadz Hamid yang datang untuk menuntutku," jawabku sengit.Mereka terkesiap bukan main selama ini mereka tahu bahwa aku wanita yang lembut berhati luas dan selalu mengalah, tapi tidak untuk sekarang ini. Aku lelah menjadi putri yang baik hati, sesekali Aku pun ingin menjadi penyihir jahat demi keselamatan dan kepentingan hidupku juga."Aku akan hidupku atau menikah dengan siapa saja yang aku inginkan, aku tidak akan bertanggung jawab atas apa yang tidak aku lakukan, dan aku tidak akan menolong orang yang tidak tahu diuntung lagi, maaf," ujarku sambil menangkupkan kedua belah tangan dan meninggalkan tempat itu.
Angin sejuk menyapu udara sore, dedaunan kering jatuh dan bertebaran di halaman rumah bapak.Hari Minggu aku tak memilih untuk ke toko, rasanya badan ini lesu untuk keluar dari rumah, sehingga ku hanya menghabiskan waktu untuk duduk di pelataran ruma bapa sembari menyaksikan kedua anakku yang bermain ceria."Assalamualaikum," sapa seseorang menyentak lamunanku."Oh, Mas Rafiq, silakan Masuk," jawabku."Ada Bapak dan Ibumu," tanyanya sambil m ngambil posisi di sebelahku."Ada Mas," jawabku pelan."Boleh aku bertemu?" Binar matanya terlihat ceria dan bersemangat."Iya, tapi ....""Kenapa?" Dia menangkap keraguanku."Sepertinya akan sulit menyakinkan Bapak, Mas, semalam aku sudah bicara, tapi beliau ...." Aku tak melanjutkan namun memberi isyarat berupa gelengan padanya."Kenapa?"Tanpa kami sadari bapak ternyata telah berdiri di belakang kami." Ehem, kamu ada di sini?""I-iya, Pak, saya di sini," jawab Mas Rafiq."Silakan masuk, kebetulan saya ingin bicara padamu," ujar Bapak."Oh,
Dua minggu berlalu setelah pertemuan terakhir Bapak dengan mas Rafiq hingga Aku tidak pernah lagi menemuinya atau dia yang datang ke rumahku, sesekali kami saling menelpon dan mengirimkan pesan namun tidak sesering dulu.Entah dia menyerah atau sibuk, jujur aku masih berharap dia datang dan semuanya kembali seperti semula. Ah, terkadang harapanku terlihat konyol, dan aku merutukinyaSeperti kegiatanku tiap hari setelah menyiapkan anak dan makanan, segera kuluncurkan kendaraan menuju pusat kota untuk membuka toko dan melanjutkan bisnisku.Kuparkirkan mobil di sebelah kiri toko di mana ada pohon teduh yang ketika musim hujan warna bunganya putih cantik melambai di jendela dan bertebaran di halaman storeku. Kulihat rollling door sudah dibuka artinya Rudi dan Rina sudah datang. Kualihkan pandangan ke meja kerja dimana biasanya asisten meletakkan to do list dan buku pesanan.Sebuah buket yang dipenuhi mawar cantik dilapisi dengan kertas berwarna fuchsia, letak cantik di atas meja, aku y
"Tidak, jangan lagi, Jannah, tidak ingin scene demi scene indah dalam hidup kita selalu disela oleh dokter itu."Ia menahanku dalam pelukan."Tolong lepaskan aku,", ujarku yang dipeluknya dari belakang."Tidak, kamu hanya akan jadi milikku.""Orang orang melihat kita," bisikku."Apa peduliku, yang aku pikirkan hanya kamu tiap waktu, bahkan aku tidak bisa tidur, semakin berusaha jauh darimu makin membuatku gila," bisiknya di telingaku.Pemuda ini punya cara berbeda membahasakan cintanya, dia spontan dan ala adanya, tidak perlu kejutan atau keromantisan, yah kutangkap di sini, dia hanya ingin memilikiku saja, dan tidak lebih dari itu."Jannah, boleh aku bicara," bisiknya."Ya, tapi lepaskan aku."Ia membalikkan badanku hingga tubuh dan wajah kami sejajar.Sesaat dia mengeluarkan sebentuk cincin lalu berlutut di hadapanku."Sudah lama aku ingin mengatakan ini, bahwa aku merindukanmu, aku memang bukan siapa-siapa dan tidak punya siapa siapa, tapi aku memiliki hati yang mencintaimu tanpa
Mas Rafiq sangat terkejut mendapat perlakuan yang tidak terduga dariku, begitupun aku yang sangat murka dengan tingkah lakunya yang kekanak-kanakan."Aku tidak sengaja melakukan itu Jannah?""Kau harus menemukan cincinku, kau tidak berhak melepasnya dariku!" jeritku marah."Aku sangat minta maaf, aku tidak bermaksud membuangnya.""Meski kau tidak bermaksud membuangnya, bahkan menyentuhku pun kau tidak berhak Rafiq!kau tahu sendiri bahwa saat ini aku akan menjadi istri orang lain kenapa kamu masih nekat untuk memaksa aku!""Kemarin-kemarin kamu masih baik padaku, ada apa denganmu sekarang Jannah?" Ucapnya sambil menelan ludah dengan wajah yang sedih sementara rintik hujanmulai berjatuhan dan membasahi rambutnya."Aku tidak suka caramu yang memaksaku? Aku benci cara jahat ini.""Aku akan mengganti cincinmu," ujarnya sambil berusaha menghampiri dan memegang tanganku."Singkirkan tanganmu dariku, Aku muak, meski kau mencarinya mustahil menemukan cincin itu dalam selokan drainase," timpal
"Mana cincinnya?" ulangnya lagi memecah kebingunganku."Aku menyimpannya di rumah," jawabku cepat."Kenapa kamu menyimpannya di rumah, kenapa tidak dipakai saja, bukankah cincin itu adalah pengikat hubungan kita," ujarnya sambil sengaja menyentuhkan punggung tangannya ke tanganku."Eh, ehm, aku ....""Aku berharap cincin itu tidak hilang karena Aku membelinya dari uang tabungan itu sendiri," bisiknya sembari tersenyum."Ayo kita pergi," ajakku."Kau akan pergi ke toko?""Iya.""Maaf ya aku tidak bisa mengantarmu karena aku juga harus bekerja," ujarnya sedikit keras karena kami sama-sama berada di pintu mobil masing-masing."Kamu sudah mulai masuk kerja?""Iya,aku harus bekerja untuk menghadapi kenyataan dan juga menabung untuk membangun keluargaku," candanya sambil tersenyum penuh arti."Aku akan menjemputmu nanti sore dan kita akan pergi makan berdua, tapi pasti kan kalau memakai cincin mu," ujarnya lalu mobil itu meluncur pergi "Wira ... tapi ...." Ah, dia sudah pergi. Sedang aku m