"Apa hubungannya denganku andai soraya koma atau mati sekalipun?" tanyaku.
Mereka yang mendengar ungkapan itu seketika menghentikan kegiatannya dan menatapku dengan wajah dan ekspresi terbelalak. "Ta-tapi, orang tuanya menyalahkan Mbak Jannah," ujar Rina. "Aku tidak peduli,anaknya juga hidupku menderita dan suamiku sampai meninggal dunia,Aku ingin melihat kembali ekspresi wajah ustadz Hamid yang datang untuk menuntutku," jawabku sengit. Mereka terkesiap bukan main selama ini mereka tahu bahwa aku wanita yang lembut berhati luas dan selalu mengalah, tapi tidak untuk sekarang ini. Aku lelah menjadi putri yang baik hati, sesekali Aku pun ingin menjadi penyihir jahat demi keselamatan dan kepentingan hidupku juga. "Aku akan hidupku atau menikah dengan siapa saja yang aku inginkan, aku tidak akan bertanggung jawab atas apa yang tidak aku lakukan, dan aku tidak akan menolong orang yang tidak tahu diuntung lagi, maaf," ujarku sambil menangkupkan kedua belah tangan dan meninggalkan tempat itu. "Hei, jangan pergi kamu, kamu harus bertanggung jawab," ujar Ibu Wira. "Bicarakan saja dengan putramu pertanggung jawaban seperti dia inginkan dariku, tapi ingat, Soraya pun harus bertanggung jawab atas perbuatan yang merusak wajah putramu, kau harus bersikap adil dengan semua ini Nyonya Zahrina." Kau wanita itu bungkam menatapku sambil membulatkan mata dan menelan ludahnya, ia tidak bisa menjawabku seolah kehilangan kata-kata. "Kenapa,lagu karena Ustad Hamid adalah pria yang terkenal dan punya pengaruh?" "Aku tidak takut siapapun," desisnya. "Kalau begitu, langsung saja temui Ustad Hamid dan labrak dia seperti anda melabrakku." "Kamu jangan sombong kamu,mentang-mentang semua laki-laki mencintaimu dan merebutmu!" "Aku tak merasa itu adalah sebuah keberuntungan Nyonya, aku merasa disusahkan oleh hal itu." "Sudah, sudah cukup!" Paman Wira menyela dan memisahkan kami. "Kamu melunjak karena Dokter Rafiq selalu membela dan ada di sisimu, kan?" "Saya tidak pernah berusaha menjadi dewa penyelamat, saya hanya ingin selalu berada di sisinya saja," timpal Mas Rafiq yang terlihat tersinggung dengan ucapan Ibunda Wira. "Aku akan membawa Jannah pergi, mohon izin kami pergi dulu," ujar Mas Rafiq sambil memegang lenganku. "Ya, silakan," ujar Paman Wira, "Mohon maaf juga atas ketidaknyamanan yang kami timbulkan," jawabnya. "Begitulah! Begitulah kalau wanita murahan yang selalu memanfaatkan kelembutan dan kecantikannya untuk menjerat laki-laki," teriaknya menghinaku. "Hentikan! Anda telah menghina Ibu dari anakku, aku tidak akan membiarkan itu!" teriak Mas Rafiq dengan wajah merah padam dan ekspresi rahang mengetat dan mata yang membeliak. Terlihat sekali mantan suamiku sangat marah dengan ucapan nyonya Zahrina. "Silakan bela perempuan yang mau dibawa oleh laki-laki ke mana saja dengan dalih mengantar atau apapun itu," ujarnya sengit. "Tutup mulut Anda sebelum aku menamparnya,", ujar Mas Rafiq dengan langkah yang sedikit dimajukan ke arah wanita itu. "Kau mau menamparku hah! Ayo sini, ayo tampar!" tantangnya sambil memajukan wajah dan dadanya. "Cukup Mbak, sudah," bujuk adiknya, "Ayo kita pergi Mbak," ujarnya sambil menyeret bahu kakaknya itu. * Di mobil, perjalanan pulang ke rumahku. "Aku tidak suka jika ada orang yang menghinamu seperti itu Jannah," ungkap pria yang pernah membersamaiku hampir 2 tahun lamanya dalam ikatan pernikahan. "Aku juga tidak suka terpaksa emosi dan berteriak kepada orang lain, Maaf Mas," ujarku lirih. "Aku bisa memakluminya Jannah, sudah begitu banyak menelan kepahitan dan kesusahan karena orang lain,sekarang aku ingin kamu menikmati hidupmu dan berbahagia." Dia menatap mataku lekat seperti ekspresi yang selalu dia lakukan kepadaku dulu. "Aku juga berharap bisa begitu Mas, Aku ingin semua badai ini segera berlalu." "Apa yang akan kamu lakukan tentang Soraya dan Wira?" "Entahlah," jawabku sambil menghela napas lelah, "kan waktu yang menjawab segalanya atau ikuti saja alurnya." "Aku tahu bahwa kau sangat lelah." Kali ini pria itu memberanikan diri menyentuh punggung tanganku lalu menggenggamnya, biarkan dia terus melakukan itu tanpa menariknya lebih cepat karena khawatir melukai perasaannya. "Iya benar, Aku sangat lelah Mas," jawabnya. "Mari pergi dan lari dari semua ini," ajaknya dengan sentuhan tangan yang lebih erat dari sebelumnya. "Tapi jika masakannya belum selesai aku terkesan tidak bertanggung jawab Mas," ujarku sedikit ragu. Perasaanku yang tadi ketika aku tidak marah dengan Nyonya Zahrina memang sangat berapi-api, tapi ketika merasa sedikit lega Ada rasa ragu dan takut tersisa di hati ini, aku seolah oleh merasa menjadi pecundang yang lari dari medan perang kenyataan hidup ini. "Kita menikah saja lagi, agar mereka gak lagi mengusikku," ajaknya dengan tatapn serius dan penuh harapan. "Aku harus kembali padamu, Mas?" "Iya, harusnya begitu, karena hanya aku yang maou memahami situasi dan hatimu, Jannah," jawabnya dengan tatapan sendu dan penuh kasih, seperti dulu, seperti saat dia masih mengejarmu dulu. "Mas ... Aku masih ragu, Mas ...." "Tenangkan dirimu, percayalah, aku akan menjagamu dan anak anak kita, ini demi Rayan dan Raisa, ya," bujuknya. Tak kujawab lagi kata katanya, hanya pandangan mata yang aku terawangkan jauh ke langit sana, berharap Tuhan memberikan jawaban dari rentetan teka teki jalan hidup ini. ** Kebetulan ini akhir pekan, aku memilih kembali ke rumah Bapak dan Ibu karena harus membicarakan sesuatu, aku akan mendiskusikan tentang rencana rujukku dengan Mas Rafiq. Kupilih waktu yang paling ideal untuk membicarakan hal ini, yaitu, sehabis makan malam, ketika orang tuaku sedang asyik bercengkerama dengan kedua cucunya. "Bapak, boleh Jannah menanyakan sesuatu?" "Iya, ada apa?" Bapak yang sedang asyik Rayan bermain Lego dan mobil-mobilan menoleh kepadaku dan memberikan perhatiannya. "Bapak, ibu Jannah, ingin bertanya, masih bolehkah jika Jannah kembali pada Mas Rafiq?" Bapak tak segera memberikan jawaban, namun ia menatap wajahku dengan seksama sehingga karena lamanya tatapan itu membuatku gugup dan sedikit ketakutan. "Bapak ...." Ibu menyentuh bahunya. "Memangnya apa yang membuatmu yakin untuk kembali kepada pria itu?" Suara Bapak terdengar berat. "Dia terus berusaha untuk mengejar dan memperjuangkanku Pak, dia ingin aku memberinya sebuah kesempatan untuk kembali menata puing rumah tangga kami," jawabku pelan. "Bagaimana jika pria itu menghianatimu lagi?" "Aku yakin kali ini dia sudah berubah Pak." "Bagus kalau dia sudah berubah, bagaimana dengan ibunya? Bukankah nyonya yang kaya raya itu sangat menyukai menantunya yang kedua?" kali ini pertanyaan Bapak pembuatku bimbang untuk kembali kepada Mas Rafiq. "Meski wanita itu sudah minta maaf dan bersikap baik padamu tidak akan memberikan jaminan bahwa dia tidak akan merubah suatu hari nanti." "Pak, sesekali dukung anakmu tho, Pak," bujuk Ibu. "Bapak selalu mendukung apa yang bisa membahagiakannya, tapi untuk kembali pada Rafiq, Bapak tidak setuju! berhubungan baik boleh tapi rujuk tidak!" tegasnya. Kalimat penegasan Bapak seperti bongkahan batu besar yang diletakkan di dadaku membuatku sesak dan sulit mengendalikan nafas. Aku tidak bisa membayangkan seluruhnya bahwa orang tuaku akan menolak gagasan rujuk ini. "Mungkin Jannah sudah bicara banyak dengan Rafiq Pak," ujar ibu. "Aku juga sudah melihat bagaimana dia berusaha menunjukkan keseriusannya Pak. "Bisa saja dia bersikap manis saat ini namun beberapa saat kemudian ia kembali menorehkan luka yang menyakitkan, intinya, Bapak sangat tidak mau kau terluka terus menerus." "Sebagai orang tua kita mendukung dan mendoakan saja Pak, biarkan janda menentukan pilihan dan hidup bahagia," kata Ibu pelan. "Silakan saja kalau mau kembali sama si Raffiq, tapi aku tidak akan pernah memberikan restuku lagi."Bapak bangkit dari tempat duduknya lalu masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya. Aku sedikit terperangah mendapatkan respon seperti itu dari bapak, tapi tidak ada yang bisa kulakukan, memberontak pun bukan hal yang baik dan akan membuat rumah tanggaku nantinya berkah dan penuh kebahagiaan. "Ibu ..." Aku merajuk kepada ibu, menghampiri dan menghenyakan diri dekat kakinya. "Ibu akan bicarakan dengan Bapakmu, kamu tenang ya, Nduk," ucapnya sambil membelai rambutku. "Jannah, sudah banyak diusik orang lain karena status yang masih sendiri, belum lagi orang yang benci dan iri kepada Jannah, Mas Rafiq selalu ada untuk mendukung dan memberiku semangat." "Iya, ibu tahu," jawabnya. "Akankah Bapak menerima semua ini nantinya?" "Sebenarnya Bapak adalah pria yang berhati lembut dan sangat sayang padamu, Nduk, Ibu yakin dia akan meluluskan keinginanmu." "Kita berdoa ya, Bu. Tapi jika tak berhasil, maka Jannah akan menerima dengan lapang dada takdir untuk hidup sendiri saja." "Jangan berkata begitu, percayalah Tuhan akan bantu kamu menemukan jodoh dan jalan hidupmu yang terbaik, Nduk." Semoga saja apa yang diucapkan ibu dikabul dan terdengarkan oleh Tuhan.Angin sejuk menyapu udara sore, dedaunan kering jatuh dan bertebaran di halaman rumah bapak.Hari Minggu aku tak memilih untuk ke toko, rasanya badan ini lesu untuk keluar dari rumah, sehingga ku hanya menghabiskan waktu untuk duduk di pelataran ruma bapa sembari menyaksikan kedua anakku yang bermain ceria."Assalamualaikum," sapa seseorang menyentak lamunanku."Oh, Mas Rafiq, silakan Masuk," jawabku."Ada Bapak dan Ibumu," tanyanya sambil m ngambil posisi di sebelahku."Ada Mas," jawabku pelan."Boleh aku bertemu?" Binar matanya terlihat ceria dan bersemangat."Iya, tapi ....""Kenapa?" Dia menangkap keraguanku."Sepertinya akan sulit menyakinkan Bapak, Mas, semalam aku sudah bicara, tapi beliau ...." Aku tak melanjutkan namun memberi isyarat berupa gelengan padanya."Kenapa?"Tanpa kami sadari bapak ternyata telah berdiri di belakang kami." Ehem, kamu ada di sini?""I-iya, Pak, saya di sini," jawab Mas Rafiq."Silakan masuk, kebetulan saya ingin bicara padamu," ujar Bapak."Oh,
Dua minggu berlalu setelah pertemuan terakhir Bapak dengan mas Rafiq hingga Aku tidak pernah lagi menemuinya atau dia yang datang ke rumahku, sesekali kami saling menelpon dan mengirimkan pesan namun tidak sesering dulu.Entah dia menyerah atau sibuk, jujur aku masih berharap dia datang dan semuanya kembali seperti semula. Ah, terkadang harapanku terlihat konyol, dan aku merutukinyaSeperti kegiatanku tiap hari setelah menyiapkan anak dan makanan, segera kuluncurkan kendaraan menuju pusat kota untuk membuka toko dan melanjutkan bisnisku.Kuparkirkan mobil di sebelah kiri toko di mana ada pohon teduh yang ketika musim hujan warna bunganya putih cantik melambai di jendela dan bertebaran di halaman storeku. Kulihat rollling door sudah dibuka artinya Rudi dan Rina sudah datang. Kualihkan pandangan ke meja kerja dimana biasanya asisten meletakkan to do list dan buku pesanan.Sebuah buket yang dipenuhi mawar cantik dilapisi dengan kertas berwarna fuchsia, letak cantik di atas meja, aku y
"Tidak, jangan lagi, Jannah, tidak ingin scene demi scene indah dalam hidup kita selalu disela oleh dokter itu."Ia menahanku dalam pelukan."Tolong lepaskan aku,", ujarku yang dipeluknya dari belakang."Tidak, kamu hanya akan jadi milikku.""Orang orang melihat kita," bisikku."Apa peduliku, yang aku pikirkan hanya kamu tiap waktu, bahkan aku tidak bisa tidur, semakin berusaha jauh darimu makin membuatku gila," bisiknya di telingaku.Pemuda ini punya cara berbeda membahasakan cintanya, dia spontan dan ala adanya, tidak perlu kejutan atau keromantisan, yah kutangkap di sini, dia hanya ingin memilikiku saja, dan tidak lebih dari itu."Jannah, boleh aku bicara," bisiknya."Ya, tapi lepaskan aku."Ia membalikkan badanku hingga tubuh dan wajah kami sejajar.Sesaat dia mengeluarkan sebentuk cincin lalu berlutut di hadapanku."Sudah lama aku ingin mengatakan ini, bahwa aku merindukanmu, aku memang bukan siapa-siapa dan tidak punya siapa siapa, tapi aku memiliki hati yang mencintaimu tanpa
Mas Rafiq sangat terkejut mendapat perlakuan yang tidak terduga dariku, begitupun aku yang sangat murka dengan tingkah lakunya yang kekanak-kanakan."Aku tidak sengaja melakukan itu Jannah?""Kau harus menemukan cincinku, kau tidak berhak melepasnya dariku!" jeritku marah."Aku sangat minta maaf, aku tidak bermaksud membuangnya.""Meski kau tidak bermaksud membuangnya, bahkan menyentuhku pun kau tidak berhak Rafiq!kau tahu sendiri bahwa saat ini aku akan menjadi istri orang lain kenapa kamu masih nekat untuk memaksa aku!""Kemarin-kemarin kamu masih baik padaku, ada apa denganmu sekarang Jannah?" Ucapnya sambil menelan ludah dengan wajah yang sedih sementara rintik hujanmulai berjatuhan dan membasahi rambutnya."Aku tidak suka caramu yang memaksaku? Aku benci cara jahat ini.""Aku akan mengganti cincinmu," ujarnya sambil berusaha menghampiri dan memegang tanganku."Singkirkan tanganmu dariku, Aku muak, meski kau mencarinya mustahil menemukan cincin itu dalam selokan drainase," timpal
"Mana cincinnya?" ulangnya lagi memecah kebingunganku."Aku menyimpannya di rumah," jawabku cepat."Kenapa kamu menyimpannya di rumah, kenapa tidak dipakai saja, bukankah cincin itu adalah pengikat hubungan kita," ujarnya sambil sengaja menyentuhkan punggung tangannya ke tanganku."Eh, ehm, aku ....""Aku berharap cincin itu tidak hilang karena Aku membelinya dari uang tabungan itu sendiri," bisiknya sembari tersenyum."Ayo kita pergi," ajakku."Kau akan pergi ke toko?""Iya.""Maaf ya aku tidak bisa mengantarmu karena aku juga harus bekerja," ujarnya sedikit keras karena kami sama-sama berada di pintu mobil masing-masing."Kamu sudah mulai masuk kerja?""Iya,aku harus bekerja untuk menghadapi kenyataan dan juga menabung untuk membangun keluargaku," candanya sambil tersenyum penuh arti."Aku akan menjemputmu nanti sore dan kita akan pergi makan berdua, tapi pasti kan kalau memakai cincin mu," ujarnya lalu mobil itu meluncur pergi "Wira ... tapi ...." Ah, dia sudah pergi. Sedang aku m
Pukul empat lebih lima belas menit. Kutunggu kedatangan Wira ke toko untuk menjemputku. Rina dan Rudi sudah pulang duluan, dan aku menunggu di depan store yang telah kukunci. Menurut katanya kami akan pergi makan ke resto dipinggit kota yang terkenal dengan kelezatan makanan juga keindahan arsitekturnya yang instagramable.Cuaca dingin setelah hujan ditambah angin yang berembus membuatku terpaksa membenahi posisi mantel dan merapatkan resletingnya hingga ke leher. Kupegang tas di tangan kanan sedang tangan kiriku kumasukkan ke dalam kantung untuk menghangatkannya.Sepuluh menit, dua puluh menit, kutelpon nomornya tapi ia tak menjawab. Kuchat wa tidak dibaca, aku gusar namun berfikir positif saja mungkin dia terjebak macet dan tak mendengar kalo ponselnya berdering. Ata mungkin dia sedang sibuk dengan pekerjaannya, ah, aku pusing.Sudah hampir jam lima dan dia belum kunjung datang. Lelah berdiri aku duduk di pelataran, namun dinginnya lantai membuatku tak betah hingga berdiri mematun
Ponselku berdering ketika aku hampir merebahkan tubuh di pembaringan"Selamat malam, kamu lagi apa?" Dia menelpon dan menanyakan hal itu."Selamat malam, mau tidur." "Soal siang tadi, maaf aku tidak bisa mengantarnya secara langsung dan formal, maafkan aku ya," ujarnya memaksudkan beberapa barang yang dia beli untuk seserahan, dia juga memintaku untuk memilih seperti apa kain dan corak yang kuinginkan lalu mengirim contoh perhiasan, tas dan sepatu untuk kupakai di hari akad nanti."Gak apa- apa, aku belum mau tidur, kamu sendiri sedang apa?""Gak ada, aku di rumah aja," balasnya."Ya udah kalo gitu kamu tidur aja, aku juga mau tidurkan anak-anak dulu," balasku."Ya udah, selamat istirahat aja, daaah."Kuletakkan ponsel di nakas dekat tempat tidur lalu merebahkan di kasur, namun tiba-tiba, pintu diketuk, dan Raisa datang memanggilku."Bunda ... Bunda sudah belikan aku krayon dan palet untuk lukisan yang baru?""Maaf ... Bunda lupa, Nak.""Yah ... Bunda, benda itu harus dibawa besok ke
Aku mengendara dengan hati remuk redam sambil menyembunyikan air mata dari tatapan putriku yang terus mengajakku mengobrol sepanjang perjalanan pulang."Bunda, kok Bunda diam aja sih?""Anu ... Bunda, kehabisan topik," candaku."Oh begitukah?""Kenapa emangnya?""Nggak ada, biasanya kan Bunda juga cerewet ngajakin aku ngobrol.""Oh, begitu ya, hehehhe."Dia terus menatap dan menelisik gestur dan pembawaanku yang canggung dan gugup kepadanya."Tapi kok Bunda kayaknya sedih," ujarnya."Tidak juga nak, apa yang membuat Bunda sedih Bunda baik-baik saja dan bahagia," jawabku.Dia hanya mengangguk sambil membuang tatapannya ke arah luar jendela mobil sedang aku tetap tersenyum mengalihkan perhatiannya dari kecurigaan.Sesampainya di rumah kusuruh putriku untuk naik dan langsung beristirahat, begitu pun aku yang langsung masuk ke kamar.Kuhempaskan diri di kasur sambil menghela napas berat.Kulirik sudur kamar, di atas meja kutata semua seserahan yang sudah diletakkan dalam kotak akrilik, d