"Tidak, jangan lagi, Jannah, tidak ingin scene demi scene indah dalam hidup kita selalu disela oleh dokter itu."
Ia menahanku dalam pelukan. "Tolong lepaskan aku,", ujarku yang dipeluknya dari belakang. "Tidak, kamu hanya akan jadi milikku." "Orang orang melihat kita," bisikku. "Apa peduliku, yang aku pikirkan hanya kamu tiap waktu, bahkan aku tidak bisa tidur, semakin berusaha jauh darimu makin membuatku gila," bisiknya di telingaku. Pemuda ini punya cara berbeda membahasakan cintanya, dia spontan dan ala adanya, tidak perlu kejutan atau keromantisan, yah kutangkap di sini, dia hanya ingin memilikiku saja, dan tidak lebih dari itu. "Jannah, boleh aku bicara," bisiknya. "Ya, tapi lepaskan aku." Ia membalikkan badanku hingga tubuh dan wajah kami sejajar. Sesaat dia mengeluarkan sebentuk cincin lalu berlutut di hadapanku. "Sudah lama aku ingin mengatakan ini, bahwa aku merindukanmu, aku memang bukan siapa-siapa dan tidak punya siapa siapa, tapi aku memiliki hati yang mencintaimu tanpa alasan, ingin kuletakkan sejak lama cincin ini di jarimu, jadi, menikahlah denganku," pintanya dengan tatapan lekat. Orang-orang yang sejak tadi berlalu-lalang sibuk membeli makanan dan souvenir kini berkerumun memperhatikan kami. Mereka antusias dan bertepuk tangan sambil bersorak, "Terima ... Terima ...." "Wira ... Aku ...." "Aku sudah mendapatkan restu Bapak, jadi mohon terima ini?" "Anakku ...." "Mereka juga akan jadi anakku?" "Tapi itu akan mengganggumu ...." "Tidak aku sudah memikirkan itu sebelum melamarku." "Orag tuamu ...." "Kita akan tinggal ditempat yang jauh di mana tak seorang pun mengganggu," jawabnya kali ini air matanya menetes. Aku masih terpaku bingung namun orang orang semakin riuh meintaku menerimanya. Bahkan, mereka kini ikut berlutut mendukung Wira. "Terimalah Mbak," pinta seorang ibu. "Iya, terima aja, kasihan tuh cowoknya nunggu," timpal yang lain. "Baiklah ...." "Benarkah?" wajah Wira sangat bahagia ia langsung berdiri dan menaikan cincinnya ke jariku. "Ya," aku mengangguk pelan. "Aku harap kamu tidak ragu," ujarnya sambil meraih wajahku dan mendaratkan sebuah ciuman hangat di keningku. Aku tahu ia sangat bahagia, karena tanpa henti doa terus mengucapkan terima kasih dan memelukku erat, bahasa tubuhnya mengungkapkan tidak ada kepura-puraan di sana dan dia nampak bangga memenangkan hatiku. "Terima kasih, kini aku bisa menyebutmu belahan hatiku," bisiknya. "Ayo kita pulang," ajakku. "Baik." Dengan berterima kasih kepada semua orang kami berhasil menyibak kerumunan dan menajuh dari tempat itu. Sepanjang perjalanan pulang aku tak banyak bicara hanya menatap pada cincin safir bermata biru dengan berlian-verlian kecil di pinggirnya melingkari jemariku. Aku bingung sebenarnya, aku harus bahagia atau bagaimana, aku punya anak dan dia masih muda, tapi kemudian, Aku berfikir kenapa harus memusingkan hari esok yang belum terjadi, kenapa tidak menjalani saja apa adanya? "Kamu kenapa?" "Tidak ada." "Kenapa diam saja," tanyanya. "Hanya berfikir kenapa Mas Rafiq selalu hadir di saat yang tepat." "Mungkin dia punya GPS untuk melacak ku atau dia memang mengikutimu dari dulu, tapi abaikan saja, jangan memikirkan apapun selain aku dan tentang hidup kita." "Ya ampun kamu ...." Aku menepuk bahunya sambil tersenyum. "Tapi kamu pun mengikutiku, tahu dari mana kamu semua detail hidupku?" Kali ini aku menodongnya dengan pertanyaan. "Oh, aku hanya iseng saja," jawabnya. "Kau tidak bisa menjawab begitu," balasku. "Aku memang tertarik padamu, dari dulu, hanya saja ... kamu milik orang lain," jawabnya. "Sabar sekali kamu mengikutiku dari dulu," ujarku. "Aku hanya dapat informasi saja dari orang orang yang kebetulan ada di sekitarmu, bukannya aku menguntitmu." "Tapi kau tahu dengan detail." "Ya, harus detail, biar gak salah," jawabnya tertawa. "Kamu menyukaiku?" "Sangat." "Dari segi apa?" "Dari awal wajah, semakin ke sini semakin aku kagum dan menyukaimu, kesabaran dan ketangguhanmu." "Aku tidak sebaik itu kok," selaku. "Seperti apapun aku menyukaimu dan aku ingin kau menyukaiku." "Baiklah." Tanpa terasa dengan obrolan kami tadi, mobil sudah berhenti di depan rumah Bapak. "Kamu sudah pindah ke sini?" "Sejak kamu dan Soraya bermasalah aku memilih untuk tinggal dengan orang tuaku." "Oh begitu ya, kalau begitu aku akan mampir sebentar," jawabnya sambil membuka pintu mobil. "Kamu yakin ...?" Aku agak ragu, karena mengingat wacana bapak yang ingin menjodohkanku dengan pemuda yang bernama Bima dari kampung halamannya. "Tapi, aku tidak yakin Bapak akan menerima kehadiranmu," ujarku ragu. "Jangan khawatir, aku akan bicara." Benar saja baru kusibak pintu gerbang Bapak sudah berdiri di teras dan menatap kami nanar, Wira berjalan santai seolah tak terjadi apa-apa dan tidak terlihat ekspresi takut sedikit pun di wajahnya. "Assalamualaikum, Pak," sapa Wira yang meraih punggung tangan Bapak kau menciumnya. "Walaikumsalam, kamu sudah sehat rupanya," balas bapak tanpa ekspresi apapun. "Alhamdulillah saya sehat," jawabnya. Mereka berdua duduk di sofa sedang aku masuk mengambilkan air minum untuk Wira. Setelah kuletakkan nampan berisi air minum dan Ibu ikut bergabung bersama kami, Wira pun angkat bicara. "Bapak saya dan Jannah ... Uhm, maksud saya, saya telah melamarnya dan Alhamdulillah dia menerimanya." "Oh ya? Kamu sudah berfikir matang?" "Sudah Pak." "Orang tuamu menentang dan menghina anak saya," ujar Bapak. "Bukan orang tua saya yang akan menikahinya tapi saya." "Tapi mereka orang tuamu dan mereka pasti ikut andil dalam hidupmu, mereka pasti akan melingkupi rumah tangga kalian dan itu akan mengganggu Jannah!" Pemuda itu mengangkat wajahnya dan membalas tatapan Bapak. Dia berani melakukan itu, lebih berani dari Mas Rafiq, yang biasanya hanya menunduk menanggapi keangkeran Bapak. "Saya akan memastikan keamanan istri dan anak anaknya." "Istri katamu?" Kali ini entah mengapa Bapak tertawa sinis. "Iya, dia akan jadi istri saya kan, Pak?" "Bagaimana kalo saya tidak setuju?" "Entahlah Pak, saya akan berusaha meyakinkan Bapak." "Sejauh ini pengorbananmu sudah besar, tapi keluargamu itu yang aku takutkan," ujar Bapak sambil melepas kacamata yang tadi dia pakai untuk menonton TV ke atas meja, "mereka tak akan melepaskan Jannah dengan mudah, dan aku sudah jera melepaskan anakku dalam penderitaan. Aku menyetujui pernikahannya yang dulu-dulu tapi dia selalu menderita, itu sebagian juga salahku." Mata Bapak berkaca-kaca. "Tolong, restui saya ...." Wira pun membalas dengan menghampiri Bapak. "Aku sudah tak sanggup melihat Jannah menderita, aku kasihan pada anakku. Menikah denganmu akan menjadikannya menikah tiga kali dan aku lelah terhadap stigma yag menyebut anakku tukang kawin." "Tidak ada yang akan mengatakan begitu, Pak. Lagipula berapa kali pun menikah ketika kita tak menemukan kebahagiaan dan harus bercerai, itu artinya belum berjodoh, Pak. Bukan karena sengaja atau dibuat-buat. Mestikah kita bertahan dengan orang yang salah demi stigma masyarakat? tidak kan Pak?" "Aku ragu, Nak Wira aku tak yakin melepas anakku." "Maka Bapak bisa mengambil sumpah dariku bahwa aku akan menjaganya dan Bapak berhak mengambil nyawaku jika aku tidak amanah," kata Wira sambil menggenggam tangan orang tuaku denga erat, dan penuh kesungguhan. "Aku mulai yakin," ujar Bapak. "Iya, terima kasih, untuk selanjutnya saya akan berjuang, memenangkan hati Bapak dan Ibu." Beberapa saat kemudian, Wira pamit undur diri karena hari sudah petang. Sempat orang tuaku memintanya untuk tinggal dan makan malam bersama kami, namun pemuda itu menolaknya. "Sebaiknya saya segera pulang, karena masih banyak hal yang harus saya urus dan bicarakan pada keluarga saya," ujarnya sambil mencium tangan Bapak dan Ibu. "Saya pulang dulu, assalamualaikum." Kuantar pemuda itu ke gerbang, dan setelah mobilnya menjauh aku kemba masuk ke dalam rumah. Namun tiba tiba sepasang tangan kekar menyergap dan mendesakku ke dinding di mana kami tersamarkan oleh rimbunnya dedaunan pohon yang ditanam Bapak di halaman depan rumah. "To-tolong ... Arggg ...." Aku lagsung terdiam ketika tahu bahwa yang membekap mulutku adalah Mas Rafiq. "Ap-apa yang kamu lakukan?" ujarku tersengal-sengal. "Masih ada waktu untuk kita pergi, ambil anak anak dan kita akan pergi ke luar negeri dan hidup tenang di sana." Ia membingkai wajahku dan mendekatkan dirinya padaku. "Apa yang kau katakan, Mas Rafiq kau kenapa?" "Lihat ini, aku sudah siapkan e-tiket untuk kita berempat, aku, kamu, dan anak anak kita. Kamu bisa pilih kita tinggal di London, Swiss, atau Belgia, tapi kumohon, jangan menikah dengannya, jangan Jannah," ujar mantan suamiku denga air mata berderai. "Astaghfirullah, Mas, jangan berkata seperti itu," balasku. "Lepaskan cincin ini, dia tak pantas di jarimu," katanya sambil menarik tanganku dan berusaha melepaskan cincin pemberian Wira. "Jangan Mas Rafiq, jangan!" Cincin itu terlepas dan jatuh, masuk ke lubang besi drainase, dan hilang entah kemana, membuatku meradang bukan kepalang. Plak! Kutampar wajah pria yang pernah sangat aku cinta itu, "Beraninya kamu, Mas! Aku benci denganmu! ya, aku meyadari perasaaanku padamu bukan suka, melainkan benci, aku menunda hubungan dengan banyak orang, karena kamu dan trauma yang pernah kaugoreskan! Pergi dari sini! Pergi!" teriakku mengusirnya. "Ma-maaf Jannah ...." Ia terlihat shock dan kaget. "Pergi!"Mas Rafiq sangat terkejut mendapat perlakuan yang tidak terduga dariku, begitupun aku yang sangat murka dengan tingkah lakunya yang kekanak-kanakan."Aku tidak sengaja melakukan itu Jannah?""Kau harus menemukan cincinku, kau tidak berhak melepasnya dariku!" jeritku marah."Aku sangat minta maaf, aku tidak bermaksud membuangnya.""Meski kau tidak bermaksud membuangnya, bahkan menyentuhku pun kau tidak berhak Rafiq!kau tahu sendiri bahwa saat ini aku akan menjadi istri orang lain kenapa kamu masih nekat untuk memaksa aku!""Kemarin-kemarin kamu masih baik padaku, ada apa denganmu sekarang Jannah?" Ucapnya sambil menelan ludah dengan wajah yang sedih sementara rintik hujanmulai berjatuhan dan membasahi rambutnya."Aku tidak suka caramu yang memaksaku? Aku benci cara jahat ini.""Aku akan mengganti cincinmu," ujarnya sambil berusaha menghampiri dan memegang tanganku."Singkirkan tanganmu dariku, Aku muak, meski kau mencarinya mustahil menemukan cincin itu dalam selokan drainase," timpal
"Mana cincinnya?" ulangnya lagi memecah kebingunganku."Aku menyimpannya di rumah," jawabku cepat."Kenapa kamu menyimpannya di rumah, kenapa tidak dipakai saja, bukankah cincin itu adalah pengikat hubungan kita," ujarnya sambil sengaja menyentuhkan punggung tangannya ke tanganku."Eh, ehm, aku ....""Aku berharap cincin itu tidak hilang karena Aku membelinya dari uang tabungan itu sendiri," bisiknya sembari tersenyum."Ayo kita pergi," ajakku."Kau akan pergi ke toko?""Iya.""Maaf ya aku tidak bisa mengantarmu karena aku juga harus bekerja," ujarnya sedikit keras karena kami sama-sama berada di pintu mobil masing-masing."Kamu sudah mulai masuk kerja?""Iya,aku harus bekerja untuk menghadapi kenyataan dan juga menabung untuk membangun keluargaku," candanya sambil tersenyum penuh arti."Aku akan menjemputmu nanti sore dan kita akan pergi makan berdua, tapi pasti kan kalau memakai cincin mu," ujarnya lalu mobil itu meluncur pergi "Wira ... tapi ...." Ah, dia sudah pergi. Sedang aku m
Pukul empat lebih lima belas menit. Kutunggu kedatangan Wira ke toko untuk menjemputku. Rina dan Rudi sudah pulang duluan, dan aku menunggu di depan store yang telah kukunci. Menurut katanya kami akan pergi makan ke resto dipinggit kota yang terkenal dengan kelezatan makanan juga keindahan arsitekturnya yang instagramable.Cuaca dingin setelah hujan ditambah angin yang berembus membuatku terpaksa membenahi posisi mantel dan merapatkan resletingnya hingga ke leher. Kupegang tas di tangan kanan sedang tangan kiriku kumasukkan ke dalam kantung untuk menghangatkannya.Sepuluh menit, dua puluh menit, kutelpon nomornya tapi ia tak menjawab. Kuchat wa tidak dibaca, aku gusar namun berfikir positif saja mungkin dia terjebak macet dan tak mendengar kalo ponselnya berdering. Ata mungkin dia sedang sibuk dengan pekerjaannya, ah, aku pusing.Sudah hampir jam lima dan dia belum kunjung datang. Lelah berdiri aku duduk di pelataran, namun dinginnya lantai membuatku tak betah hingga berdiri mematun
Ponselku berdering ketika aku hampir merebahkan tubuh di pembaringan"Selamat malam, kamu lagi apa?" Dia menelpon dan menanyakan hal itu."Selamat malam, mau tidur." "Soal siang tadi, maaf aku tidak bisa mengantarnya secara langsung dan formal, maafkan aku ya," ujarnya memaksudkan beberapa barang yang dia beli untuk seserahan, dia juga memintaku untuk memilih seperti apa kain dan corak yang kuinginkan lalu mengirim contoh perhiasan, tas dan sepatu untuk kupakai di hari akad nanti."Gak apa- apa, aku belum mau tidur, kamu sendiri sedang apa?""Gak ada, aku di rumah aja," balasnya."Ya udah kalo gitu kamu tidur aja, aku juga mau tidurkan anak-anak dulu," balasku."Ya udah, selamat istirahat aja, daaah."Kuletakkan ponsel di nakas dekat tempat tidur lalu merebahkan di kasur, namun tiba-tiba, pintu diketuk, dan Raisa datang memanggilku."Bunda ... Bunda sudah belikan aku krayon dan palet untuk lukisan yang baru?""Maaf ... Bunda lupa, Nak.""Yah ... Bunda, benda itu harus dibawa besok ke
Aku mengendara dengan hati remuk redam sambil menyembunyikan air mata dari tatapan putriku yang terus mengajakku mengobrol sepanjang perjalanan pulang."Bunda, kok Bunda diam aja sih?""Anu ... Bunda, kehabisan topik," candaku."Oh begitukah?""Kenapa emangnya?""Nggak ada, biasanya kan Bunda juga cerewet ngajakin aku ngobrol.""Oh, begitu ya, hehehhe."Dia terus menatap dan menelisik gestur dan pembawaanku yang canggung dan gugup kepadanya."Tapi kok Bunda kayaknya sedih," ujarnya."Tidak juga nak, apa yang membuat Bunda sedih Bunda baik-baik saja dan bahagia," jawabku.Dia hanya mengangguk sambil membuang tatapannya ke arah luar jendela mobil sedang aku tetap tersenyum mengalihkan perhatiannya dari kecurigaan.Sesampainya di rumah kusuruh putriku untuk naik dan langsung beristirahat, begitu pun aku yang langsung masuk ke kamar.Kuhempaskan diri di kasur sambil menghela napas berat.Kulirik sudur kamar, di atas meja kutata semua seserahan yang sudah diletakkan dalam kotak akrilik, d
Aku mengikutinya namun tanpa sadar, kakimu menghentikan tarikan gas dan menukarnya dengan rem. Kenapa aku mengikutinya, toh kalo memang mirip Mas Ikbal tak akan mengubah kenyataan jika itu adalah orang lain, meski gestur tubuh dan senyumnya sama, tetap saja ia tak mengenalku, dan tentu ia bukan cintaku. Buat apa aku mengejarnya? Kalau ternyata dia suami orang atau tunangan wanita lain, apa yang akan terjadi pada mereka? Sementara perkara menundukkan hati pria bukanlah keahlian ku, setidaknya aku canggung dalam hal itu.Maka, sambil menertawai diri sendiri aku memutar balik mobil dan kembali ke rumah. Aku tertawa, menertawakan kebodohan yang hampir saja terulang."Tuhan ... Hanya satu pertanyaan, mengapa kisah cintaku selalu gagal? Apakah aku tidak pantas menerima sebuah ketulusan atau merajut tali asmara ...." Aku menggumam dalam desahan napas lelah, lagi bosan.**Ya, keputusan itu lebih baik bagiku. Jika aku tak menikah, tentu aku tak harus khawatir, membagi pikiran dan meluangkan
Sendiri ...Kata itu memang ditakutkan banyak orang tapi juga ampuh bagi mereka yang merasa berpasangan adalah penderitaan. Satu hal yang mungkin sulit dikuasai seseorang, perasaan sepi.Setelah enam purnama aku masih setia membunuh waktu dengan tumpukan nota tagihan, laporan keuangan dan pengiriman, aku tak bosan dengan itu semua. Hanya saja, perlahan menjalar rasa rindu terhadap sesuatu tapi entah apa.Anak-anakku sehat, jarang sakit atau bertingkah nakal, jarang pula menunjukkan gelagat merindukan seseorang yang suatu ketika akan disebut ayah, mudah-mudahan tidak untuk selamanya. Aku bahagia, bisa bekerja dan menghasilkan banyak uang, aku bisa menuruti keinginan anak-anak, orang tua berangkat umroh dan semuanya sempurna.*Ketika asyik memainka jari di permukaan tombol kalkulator, tiba-tiba asistenku mendekat dan berbisik."Merasa gak sih, tiap hari ada yang memperhatikan dan mengikuti?" tanyanya dengan penuh misteri."Apaan sih, horor deh," ujarku sambil menusuk lengannya pelan
Hari demi hari berlalu dan tahun berganti, Raisa dan Rayan beranjak besar dan si bungsu mulai masuk sekolah. Kami berempat di dalam sebuah rumah yang tidak begitu mewah tapi berlantai dua, menghabiskan hidup dan hari-hari kami dengan penuh canda tawa. Tidak ada gangguan apapun, tidak ada desas-desus tidak sedap atau masalah yang mendera. Kami selalu bisa saling mengerti dan saling melengkapi kekurangan. Kami menempati sebuah rumah berlantai dua yang tidak mewah namun penuh dengan kehangatan. Layaknya keluarga pada umumnya hidup kami berjalan normal dan tidak pernah mendapatkan gangguan dari pihak manapun. Bisnis kami juga berjalan lancar dia dan restorannya sedang aku tetap fokus dengan koleksi di butikku, Raisa mulai masuk SMP dan Rayan kini berada di kelas 2 SD. Semuanya sempurna. Mas Rafiq adalah suami yang baik dan aku adalah istri yang selalu mendukung. * Minggu malam kami pergi ke sebuah undangan resepsi pernikahan, kami bersiap berangkat dengan setelan batik berwarna emas