Share

125

"Tidak, jangan lagi, Jannah, tidak ingin scene demi scene indah dalam hidup kita selalu disela oleh dokter itu."

Ia menahanku dalam pelukan.

"Tolong lepaskan aku,", ujarku yang dipeluknya dari belakang.

"Tidak, kamu hanya akan jadi milikku."

"Orang orang melihat kita," bisikku.

"Apa peduliku, yang aku pikirkan hanya kamu tiap waktu, bahkan aku tidak bisa tidur, semakin berusaha jauh darimu makin membuatku gila," bisiknya di telingaku.

Pemuda ini punya cara berbeda membahasakan cintanya, dia spontan dan ala adanya, tidak perlu kejutan atau keromantisan, yah kutangkap di sini, dia hanya ingin memilikiku saja, dan tidak lebih dari itu.

"Jannah, boleh aku bicara," bisiknya.

"Ya, tapi lepaskan aku."

Ia membalikkan badanku hingga tubuh dan wajah kami sejajar.

Sesaat dia mengeluarkan sebentuk cincin lalu berlutut di hadapanku.

"Sudah lama aku ingin mengatakan ini, bahwa aku merindukanmu, aku memang bukan siapa-siapa dan tidak punya siapa siapa, tapi aku memiliki hati yang mencintaimu tanpa alasan, ingin kuletakkan sejak lama cincin ini di jarimu, jadi, menikahlah denganku," pintanya dengan tatapan lekat.

Orang-orang yang sejak tadi berlalu-lalang sibuk membeli makanan dan souvenir kini berkerumun memperhatikan kami. Mereka antusias dan bertepuk tangan sambil bersorak, "Terima ... Terima ...."

"Wira ... Aku ...."

"Aku sudah mendapatkan restu Bapak, jadi mohon terima ini?"

"Anakku ...."

"Mereka juga akan jadi anakku?"

"Tapi itu akan mengganggumu ...."

"Tidak aku sudah memikirkan itu sebelum melamarku."

"Orag tuamu ...."

"Kita akan tinggal ditempat yang jauh di mana tak seorang pun mengganggu," jawabnya kali ini air matanya menetes.

Aku masih terpaku bingung namun orang orang semakin riuh meintaku menerimanya. Bahkan, mereka kini ikut berlutut mendukung Wira.

"Terimalah Mbak," pinta seorang ibu.

"Iya, terima aja, kasihan tuh cowoknya nunggu," timpal yang lain.

"Baiklah ...."

"Benarkah?" wajah Wira sangat bahagia ia langsung berdiri dan menaikan cincinnya ke jariku.

"Ya," aku mengangguk pelan.

"Aku harap kamu tidak ragu," ujarnya sambil meraih wajahku dan mendaratkan sebuah ciuman hangat di keningku.

Aku tahu ia sangat bahagia, karena tanpa henti doa terus mengucapkan terima kasih dan memelukku erat, bahasa tubuhnya mengungkapkan tidak ada kepura-puraan di sana dan dia nampak bangga memenangkan hatiku.

"Terima kasih, kini aku bisa menyebutmu belahan hatiku," bisiknya.

"Ayo kita pulang," ajakku.

"Baik."

Dengan berterima kasih kepada semua orang kami berhasil menyibak kerumunan dan menajuh dari tempat itu.

Sepanjang perjalanan pulang aku tak banyak bicara hanya menatap pada cincin safir bermata biru dengan berlian-verlian kecil di pinggirnya melingkari jemariku.

Aku bingung sebenarnya, aku harus bahagia atau bagaimana, aku punya anak dan dia masih muda, tapi kemudian,

Aku berfikir kenapa harus memusingkan hari esok yang belum terjadi, kenapa tidak menjalani saja apa adanya?

"Kamu kenapa?"

"Tidak ada."

"Kenapa diam saja," tanyanya.

"Hanya berfikir kenapa Mas Rafiq selalu hadir di saat yang tepat."

"Mungkin dia punya GPS untuk melacak ku atau dia memang mengikutimu dari dulu, tapi abaikan saja, jangan memikirkan apapun selain aku dan tentang hidup kita."

"Ya ampun kamu ...." Aku menepuk bahunya sambil tersenyum.

"Tapi kamu pun mengikutiku, tahu dari mana kamu semua detail hidupku?" Kali ini aku menodongnya dengan pertanyaan.

"Oh, aku hanya iseng saja," jawabnya.

"Kau tidak bisa menjawab begitu," balasku.

"Aku memang tertarik padamu, dari dulu, hanya saja ... kamu milik orang lain," jawabnya.

"Sabar sekali kamu mengikutiku dari dulu," ujarku.

"Aku hanya dapat informasi saja dari orang orang yang kebetulan ada di sekitarmu, bukannya aku menguntitmu."

"Tapi kau tahu dengan detail."

"Ya, harus detail, biar gak salah," jawabnya tertawa.

"Kamu menyukaiku?"

"Sangat."

"Dari segi apa?"

"Dari awal wajah, semakin ke sini semakin aku kagum dan menyukaimu, kesabaran dan ketangguhanmu."

"Aku tidak sebaik itu kok," selaku.

"Seperti apapun aku menyukaimu dan aku ingin kau menyukaiku."

"Baiklah."

Tanpa terasa dengan obrolan kami tadi, mobil sudah berhenti di depan rumah Bapak.

"Kamu sudah pindah ke sini?"

"Sejak kamu dan Soraya bermasalah aku memilih untuk tinggal dengan orang tuaku."

"Oh begitu ya, kalau begitu aku akan mampir sebentar," jawabnya sambil membuka pintu mobil.

"Kamu yakin ...?"

Aku agak ragu, karena mengingat wacana bapak yang ingin menjodohkanku dengan pemuda yang bernama Bima dari kampung halamannya.

"Tapi, aku tidak yakin Bapak akan menerima kehadiranmu," ujarku ragu.

"Jangan khawatir, aku akan bicara."

Benar saja baru kusibak pintu gerbang Bapak sudah berdiri di teras dan menatap kami nanar, Wira berjalan santai seolah tak terjadi apa-apa dan tidak terlihat ekspresi takut sedikit pun di wajahnya.

"Assalamualaikum, Pak," sapa Wira yang meraih punggung tangan Bapak kau menciumnya.

"Walaikumsalam, kamu sudah sehat rupanya," balas bapak tanpa ekspresi apapun.

"Alhamdulillah saya sehat," jawabnya.

Mereka berdua duduk di sofa sedang aku masuk mengambilkan air minum untuk Wira.

Setelah kuletakkan nampan berisi air minum dan Ibu ikut bergabung bersama kami, Wira pun angkat bicara.

"Bapak saya dan Jannah ... Uhm, maksud saya, saya telah melamarnya dan Alhamdulillah dia menerimanya."

"Oh ya? Kamu sudah berfikir matang?"

"Sudah Pak."

"Orang tuamu menentang dan menghina anak saya," ujar Bapak.

"Bukan orang tua saya yang akan menikahinya tapi saya."

"Tapi mereka orang tuamu dan mereka pasti ikut andil dalam hidupmu, mereka pasti akan melingkupi rumah tangga kalian dan itu akan mengganggu Jannah!"

Pemuda itu mengangkat wajahnya dan membalas tatapan Bapak. Dia berani melakukan itu, lebih berani dari Mas Rafiq, yang biasanya hanya menunduk menanggapi keangkeran Bapak.

"Saya akan memastikan keamanan istri dan anak anaknya."

"Istri katamu?" Kali ini entah mengapa Bapak tertawa sinis.

"Iya, dia akan jadi istri saya kan, Pak?"

"Bagaimana kalo saya tidak setuju?"

"Entahlah Pak, saya akan berusaha meyakinkan Bapak."

"Sejauh ini pengorbananmu sudah besar, tapi keluargamu itu yang aku takutkan," ujar Bapak sambil melepas kacamata yang tadi dia pakai untuk menonton TV ke atas meja, "mereka tak akan melepaskan Jannah dengan mudah, dan aku sudah jera melepaskan anakku dalam penderitaan. Aku menyetujui pernikahannya yang dulu-dulu tapi dia selalu menderita, itu sebagian juga salahku." Mata Bapak berkaca-kaca.

"Tolong, restui saya ...." Wira pun membalas dengan menghampiri Bapak.

"Aku sudah tak sanggup melihat Jannah menderita, aku kasihan pada anakku. Menikah denganmu akan menjadikannya menikah tiga kali dan aku lelah terhadap stigma yag menyebut anakku tukang kawin."

"Tidak ada yang akan mengatakan begitu, Pak. Lagipula berapa kali pun menikah ketika kita tak menemukan kebahagiaan dan harus bercerai, itu artinya belum berjodoh, Pak. Bukan karena sengaja atau dibuat-buat. Mestikah kita bertahan dengan orang yang salah demi stigma masyarakat? tidak kan Pak?"

"Aku ragu, Nak Wira aku tak yakin melepas anakku."

"Maka Bapak bisa mengambil sumpah dariku bahwa aku akan menjaganya dan Bapak berhak mengambil nyawaku jika aku tidak amanah," kata Wira sambil menggenggam tangan orang tuaku denga erat, dan penuh kesungguhan.

"Aku mulai yakin," ujar Bapak.

"Iya, terima kasih, untuk selanjutnya saya akan berjuang, memenangkan hati Bapak dan Ibu."

Beberapa saat kemudian, Wira pamit undur diri karena hari sudah petang. Sempat orang tuaku memintanya untuk tinggal dan makan malam bersama kami, namun pemuda itu menolaknya.

"Sebaiknya saya segera pulang, karena masih banyak hal yang harus saya urus dan bicarakan pada keluarga saya," ujarnya sambil mencium tangan Bapak dan Ibu.

"Saya pulang dulu, assalamualaikum."

Kuantar pemuda itu ke gerbang, dan setelah mobilnya menjauh aku kemba masuk ke dalam rumah. Namun tiba tiba sepasang tangan kekar menyergap dan mendesakku ke dinding di mana kami tersamarkan oleh rimbunnya dedaunan pohon yang ditanam Bapak di halaman depan rumah.

"To-tolong ... Arggg ...."

Aku lagsung terdiam ketika tahu bahwa yang membekap mulutku adalah Mas Rafiq.

"Ap-apa yang kamu lakukan?"

ujarku tersengal-sengal.

"Masih ada waktu untuk kita pergi, ambil anak anak dan kita akan pergi ke luar negeri dan hidup tenang di sana." Ia membingkai wajahku dan mendekatkan dirinya padaku.

"Apa yang kau katakan, Mas Rafiq kau kenapa?"

"Lihat ini, aku sudah siapkan e-tiket untuk kita berempat, aku, kamu, dan anak anak kita. Kamu bisa pilih kita tinggal di London, Swiss, atau Belgia, tapi kumohon, jangan menikah dengannya, jangan Jannah," ujar mantan suamiku denga air mata berderai.

"Astaghfirullah, Mas, jangan berkata seperti itu," balasku.

"Lepaskan cincin ini, dia tak pantas di jarimu," katanya sambil menarik tanganku dan berusaha melepaskan cincin pemberian Wira.

"Jangan Mas Rafiq, jangan!"

Cincin itu terlepas dan jatuh, masuk ke lubang besi drainase, dan hilang entah kemana, membuatku meradang bukan kepalang.

Plak!

Kutampar wajah pria yang pernah sangat aku cinta itu,

"Beraninya kamu, Mas! Aku benci denganmu! ya, aku meyadari perasaaanku padamu bukan suka, melainkan benci, aku menunda hubungan dengan banyak orang, karena kamu dan trauma yang pernah kaugoreskan! Pergi dari sini! Pergi!" teriakku mengusirnya.

"Ma-maaf Jannah ...." Ia terlihat shock dan kaget.

"Pergi!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status